61. Sembarangan

Lagi nggak ada ide yg cemerlang. Part ini ya cuma ngalor ngidul gaje. Buat hiburan aja lah ya, daripada nggak ada update. Wkwk...

Yuk lah. Happy reading :)

***

Setelah melalui pamitan yang agak dramatis dengan mama mertua, Salma kembali menjalani kehidupan sebagai istri dari seseorang yang masih berstatus mahasiswa.

Berempat —dengan Bu Dita dan Wahyudi— baru saja tiba di Semarang. Wahyudi segera mohon diri untuk pulang ke indekosnya. Ada sisa waktu dua hari sebelum perkuliahan dimulai, dia ingin pulang dulu ke rumah orang tuanya.

Ucapan terima kasih diulang berkali-kali oleh Wahyudi dari sejak meninggalkan Surabaya. Andro sampai jengah mendengarnya.

"Lebaymu lho, Yud. Njelehi."

"Wis ben. Memang aku merasa berhutang budi banyak banget sama kamu, Ndro. Sorry ya kalau aku suka kelewatan becanda. Kelewatan juga kalau nasihatin kamu."

"Halah, koyok karo sopo ae, Yud. Biasa ae lah. Aku sama Salma malah yang thanks banget ke kamu, udah selalu ngingetin aku kalau mulai oleng. Doain ya, Yud, biar aku olengnya ke Salma terus."

"Oleng terus nubruk, ngono? Modus thok."

"Ngertinan ae, Yud," sahut Andro. Tangannya usil mendorong kepala sahabatnya.

Salma dan Bu Dita terkikik. Meskipun sering melihat interaksi keduanya, tetap saja itu sesuatu yang menghibur bagi Salma dan ibunya.

"Salam nggo bapak ibu, yo," pesan Andro. Wahyudi mengangguk kemudian berlalu dari hadapan mereka.

Andro merangkul bahu Salma, menatap dalam pada mata bening yang selalu membuatnya jatuh cinta.

"Udah siap menjalani kehidupan sebagai istri mahasiswa lagi kan, Sal?" Tak menjawab, Salma hanya mencubit perut suaminya.

"Yang jelas udah siap bersih-bersih rumah ya, Sal?" celetuk Bu Dita. Salma tertawa, menyetujui ucapan ibunya.

Ketiganya masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Salma meminta izin pada ibunya untuk mengganti baju.

"Mas istirahat aja, deh. Pasti capek kan habis nyetir. Sebentar lagi juga udah mau mulai kuliah. Sal beresin rumah sama ibu aja. Nanti sore Sal masakin kesukaan Mas, deh. Mas pengen makan apa?"

Bagaimana Andro tidak jatuh cinta pada Salma kalau setiap hari selalu menerima perlakuan manis darinya?

"Nggak kok, aku nggak capek. Aku mau bantu bersih-bersih rumah juga. Maafin aku ya, Sal. Aku sayang kamu. Aku nggak minta dimasakin apa-apa. Apa aja yang kamu bikinin aku mau."

Dipeluknya Salma dari belakang. Mengendus-endus leher putih nan jenjang yang selalu wangi dan menyenangkan.

"Mas, please. Nggak usah minta maaf terus. Kita kan mau move on. Kalau Mas gitu terus, malah jadi mengingatkan Sal sama yang sudah-sudah. Come on. Kita hidup normal aja, tanpa harus ada perasaan bersalah, dan bla bla bla. Yang paling penting kita udah nggak bahas masa lalu. Itu aja, Mas.

"Kalau Mas masih bersikap begitu terus, merasa bersalah, nggak enakan, sering banget minta maaf, dan semacamnya, itu tuh seperti membahas masa lalu dalam bentuk lain."

Lagi-lagi semua yang dikatakan Salma benar. Rasa bersalah, permintaan maaf yang keseringan, dan bla bla bla itu sama seperti membahas masa lalu, cuma bungkusnya saja yang berbeda.

Bukankah Andro sendiri jengah ketika Wahyudi berkali-kali menyampaikan terima kasih? Seolah ingin terus membahas kebaikan Andro kepadanya.

Begitupun rasa bersalah dan permintaan maafnya yang berulang-ulang kepada Salma. Sejatinya cuma mengingatkan Salma kalau Andro pernah —bahkan tak cuma sekali— melakukan sesuatu yang menyakiti hatinya berkaitan dengan masa lalu.

"Mungkin Mas butuh hiburan. Dan hiburannya Mas yang paling menghibur tuh kayaknya tugas-tugas yang menumpuk gitu, deh. Mas jadi mikir terus, berkegiatan terus, sibuk terus. Insya Allah dua hari lagi."

Salma beringsut ke tempat tidur. Masih dengan Andro yang memeluknya dari belakang. Didorongnya Andro agar duduk di tepian dan Salma berada di pangkuan, melingkarkan tangannya di leher Angkasa Andromeda, menempelkan hidungnya pada hidung mancung suami tercinta.

"Sal nggak mau tahu. Pokoknya kalau sampai Mas minta maaf lagi berkaitan yang dulu-dulu, Sal akan hukum Mas. Biar Mas kapok."

"Hukumannya apa?"

"Sal balik ke Surabaya. Tinggal sama mama papa. Kita LDR-an."

"Kok gitu, sih? Nggak bakalan, ah. Kamu istri yang baik, yang selalu patuh sama suami."

"Tapi Sal juga manusia lho, Mas. Punya rasa, punya hati, punya emosi."

"Oke, deal. Aku nggak akan bahas masa lalu dalam bentuk apapun. Aku nggak akan minta maaf soal masa lalu. Dan aku akan amnesia buat segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu."

"Nah, begitu lebih bagus." Salma tersenyum.

"So...."

"So..., kita beres-beres rumah. Ibu pasti udah nunggu."

Secepat kilat Salma beranjak dari pangkuan Andro. Andro cemberut, menyadari sang istri sudah lolos dari pelukannya. Salma tertawa lebar. Andro bangkit dan mengejar. Keduanya lalu berlarian sambil tergelak-gelak sampai di luar kamar.

Bu Dita berteriak-teriak, mengingatkan Salma agar tidak berlari-lari karena dia sedang hamil.

"Astaghfirullah hal adzim. Ya Allah, Sal. Sorry banget, Sal. Saking senengnya becanda sama kamu, aku lupa kalau kamu lagi hamil, malah kuajak lari-larian. Ganti baju, Sal, kita ke dokter kandungan sekarang."

"Mas, ih. Nggak gitu juga kali. Jangan lebay. Sal baik-baik aja, kok. Happy. Nanti kalau ada yang nggak nyaman, Sal bilang deh, baru kita ke dokter. Tapi ini Sal fine aja kok. Kita bersih-bersih rumah aja, yuk."

"Oke, Sal. Pokoknya kalau nggak nyaman buruan bilang ya. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. I love you."

"Ih, ada ibu lho, Mas," ucap Salma malu-malu.

"Nggak apa-apa, biar ibu tahu kalau mantunya cinta banget sama anaknya."

"Insya Allah ibu tahu kok, Mas Andro. Salma juga tahu. Alhamdulillah, ibu senang sekali anak ibu dicintai sampai sedemikiannya sama Mas Andro. Titip Salma ya, Mas Andro. Meskipun dia anak yang kuat, tolong jangan sakiti hatinya. Ibu yang nggak kuat kalau sampai itu terjadi."

"Ibu.... Nggak, Bu. Ibu nggak perlu khawatir soal itu. Insya Allah Mas Andro baik, sayang banget sama Sal. Mas pasti menjaga Sal. Sal yakin banget soal itu.

"Udah, ah, nggak usah melow gini. Sal jadi nggak pengen bersih-bersih rumah. Sal pengennya jalan-jalan aja. Boleh ya, Mas?"

"Ya sudah, kalian berdua jalan-jalan saja, biar ibu yang bersih-bersih." Bu Dite menawarkan diri, tapi Salma tidak setuju. Mana bisa dia membiarkan ibunya kerepotan sendiri.

"Ya udah, kita bertiga bersih-bersih rumah dulu, seperlunya aja. Habis itu kita jalan-jalan. Andro punya ide mau ke mana kita nanti, dan ibu pasti senang kalau ikut kami."

"Ke mana memangnya?" Salma penasaran.

"Rahasia. Pokoknya kita bersih-bersih dulu."

Hendak memaksa Andro, tapi Salma gengsi. Dia memilih untuk menekan rasa ingin tahunya dan bersikap biasa, berlagak seolah apa yang dilakukan Andro bukan sesuatu yang mempengaruhi moodnya. Padahal sebenarnya tidak, hati Salma dongkol luar biasa.

Sebagai suami, Andro tahu persis ada yang berbeda pada sikap Salma. Biarpun Salma menunjukkan gelagat yang biasa saja, tapi caranya menatap Andro setiap kali diajak bicara tidak seperti biasa, kayak ada sengit-sengitnya gitu.

"Kamu kesel ya, Sal?"

"Kesel kenapa memangnya?" Salma balas bertanya, sambil tetap mengepel lantai kamar mereka.

"Penasaran kaaan, kita nanti mau ke mana." Andro malah menggoda.

"Nggak. Emang gue pikirin."

Andro tertawa. Nada bicara Salma terdengar sewot.

"Jangan kesel dong, Sal. Aku cuma becanda. Aku kasih tahu sekarang deh kita mau ke ---"

"Stop! Sal nggak pengen tahu sekarang, nanti aja kalau udah selesai semua. Sesuai yang Mas bilang di awal. Dan ngasih tahunya di depan ibu."

"Kok gitu?"

"Ya terserah Sal, dong. Kan Sal juga tadi nggak protes waktu Mas main rahasiaan."

"Hemm, gitu ya? Kamu kalau lagi kesel bisa nyebelin juga ya, Sal."

Sekali lagi Andro menggoda Salma. Yang digoda cuma menelan ludah. Kesalnya sudah di ubun-ubun, tapi tetap harus menjaga harkat dan martabat sebagai orang yang 'tidak penasaran' pada rahasia Andro tadi.

"Kadang-kadang kita memang harus bersikap nyebelin kalau ngadepin orang yang lagi nyebelin juga."

Tawa Andro pecah. Didekapnya Salma dari belakang, menciumi lagi tengkuk yang putih dan mulus sembari menghirupi wangi Salma yang selalu Andro sukai.

"Apa sih, Mas? Jangan ganggu orang lagi kerjaan, nanti Mas buka rahasianya lebih lama lagi lho. Sal kuatir Mas yang nggak kuat nyimpen rahasia."

Andro makin tergelak-gelak. Dia beranjak keluar kamar tanpa berpamitan dan kembali tak sampai satu menit kemudian dengan menggandeng Bu Dita.

"Salma kesel, Bu, gara-gara saya pakai rahasiaan segala. Mau saya bocorin sekarang, dianya nggak mau, katanya harus ada Ibu."

"Mas Andro apa-apaan, sih?" Andro tak peduli pada wajah Salma yang menunjukkan kekesalan luar biasa. Apapun kondisinya, Salma tetap cantik di matanya.

"Habis ini kita ke rumahnya Yudi."

"Ehk. Ke rumahnya Mas Wahyudi?" tanya Salma dan ibunya bersamaan. Keduanya berpandangan dengan mata yang sama-sama berbinar begitu Andro menjawab dengan ya. Ekspresi kesal Salma yang sebelumnya sangat kentara, hilang begitu mudahnya.

"Waaah, iya, iya, mau. Ya udah, yuk, kita selesaikan kerjaan kita dulu. Sal tinggal ngepel kamar sama dapur aja kok. Habis itu langsung siap-siap."

"Semangat banget sih yang mau ngepoin calon besan tantenya." Andro kembali menggoda ketika Bu Dita sudah tak ada bersama mereka. Salma tergelak karena niatnya ketahuan.

"Tapi jangan terlalu tinggi ekspektasimu dan ibu ya, Sal. Yudi memang berasal dari keluarga sederhana banget. Bapaknya guru agama SD, kalau di rumah ya bertani. Ibunya jualan sayur gitu, punya kios kecil di pasar. Kalau sore ngajar ngaji." Salma menghentikan kegiatannya. Menatap Andro dengan mata berkaca-kaca.

"Terus kenapa memangnya? Leti sama kok kayak Mas. Yang mau melihat Sal bukan dari latar belakang. Mas Wahyudi orang baik. Orang tuanya juga Sal yakin baik. Alhamdulillah, masih lengkap punya bapak ibu. Leti orangnya tulus. Mas lihat sendiri kan gimana dia setiap kali cerita tentang Mas Wahyudi?"

"Eh, bukan gitu maksudku, Sal. Maksudku jangan ketinggian ekspektasi sama Yudi. Dia emoh-emoh tenan tiap aku bahas Leti di depannya. Dia merasa harus tahu diri, sekalipun mungkin perasaan itu juga ada. Makanya aku bilang, kamu sama ibu jangan ketinggian ekspektasi. Kita ke sana silaturahmi aja, nggak usah membawa misi dan harapan lain kecuali ngepoin."

Salma manggut-manggut. Ingatannya mundur pada keadaannya beberapa waktu lalu. Dia bisa mengerti perasaan dan rasa tahu diri yang ada pada seorang Wahyudi. Dia pernah memiliki perasaan yang serupa.

"Iya, Mas. Sal bisa mengerti posisi Mas Wahyudi. Sal pernah mengalami hal yang sama. Harus tahu diri."

"Ssstt, itu udah dulu. Sekarang kamu punya aku, punya banyak orang yang menyayangi kamu, kamu punya segalanya yang lebih dari aku. Nggak usah sedih soal Yudi. Doakan saja. Biarpun dia nggak se-perfect kamu, tapi dia baik dan tulus, dan aku yakin dia akan punya kehidupan yang baik nantinya. With or without Leticia. Kamu jangan nangis, oke?"

Salma mengangguk. Lalu merasakan tangan Andro meraih dagunya dan mengangkatnya. Menghapus air mata Salma dengan tangan kirinya. Terakhir, dikecupnya bibir Salma. Lama. Sesuatu yang selalu dia suka.

"I love you, Salmaku." Andro menjauhkan kepalanya dari Salma.

"Mmmh." Salma menariknya, melanjutkan yang terjadi baru saja. Andro mengikuti, berteriak Yes dalam hati.

Sepuluh menit berlalu. "Udah ya, Sal. Nanti aku kebablasan. Atau mau dibablasin sekalian? Ke rumah Yudi bisa besok-besok lagi."

Satu cubitan kecil membuat perut Andro terasa nyeri, tapi dia tertawa. Salma selalu bisa menyenangkan hatinya.

Pekerjaan selesai sebelum asar. Ketiganya segera bersiap. Mereka berangkat sepulang Andro dari salat berjamaah di masjid.

Andro sengaja tak mengabari Wahyudi. Dia sudah beberapa kali mengunjungi rumah orang tua sahabatnya, bahkan pernah menginap dua kali. Jadi dia tak kesulitan menemukan letaknya meski si tuan rumah tak turut serta.

Rumah keluarga Wahyudi terletak di daerah Boja, sebuah kota kecamatan yang termasuk area dataran tinggi di Kabupaten Kendal.

Keluarga Wahyudi adalah keluarga sederhana, meski begitu mereka memiliki hubungan antar anggota keluarga yang dekat dan hangat. Sesuatu yang dulu membuat Andro jatuh ketika hal serupa itu hilang dari keluarganya. Itulah sebabnya Andro klik dengan Wahyudi, dia merasa mendapatkan kehangatan keluarga saat pertama kali bertemu kedua orang tua sahabatnya.

Andro, Salma, dan Bu Dita tiba di tujuan bersamaan dengan pemilik rumah pulang dari sawah. Pak Djamin —bapaknya Wahyudi— dan istrinya menyambut tamu-tamu istimewa yang datang tanpa diundang.

Salma dan Bu Dita menyalami ibunya Wahyudi. Dua plastik besar berisi ayam bakar dan buah-buahan diserahkan sebagai buah tangan. Satu plastik lagi berisi kue-kue diletakkan Andro di meja makan.

Ucapan terima kasih dari kedua orang tua Wahyudi mengalir sederas arus air. Untuk kedatangan mereka, untuk oleh-oleh yang dibawa, juga untuk banyak bantuan yang diberikan kepada anaknya. Andro sampai tak enak hati.

"Sampun, Pak, Bu. Kami ke sini mau berkunjung saja. Sama mau ngenalin ini, istri saya sama ibu mertua saya. Tadi spontan aja saya kepikiran ngajak jalan-jalan ke sini, silaturahmi. Karena istri dan ibu juga kenal baik sama Yudi, jadi menyambut dengan semangat. Ngapunten nggih, Pak, Bu, kalau kedatangan kami malah ngerepoti."

Salma memandang Andro dengan penuh cinta. Dia membatinkan rasa bangga, ternyata suaminya bisa luwes juga berkomunikasi dengan orang tua di luar circle keluarga mereka.

"Lha nggih mboten repot, ra. Malah seneng." Pak Djamin tertawa. Kemudian menyuruh sang istri memanggil Wahyudi.

Yang dipanggil keluar dari kamar, menuju ruang tamu dengan mata yang masih belum terbuka sepenuhnya. Ibunya tak memberi tahu bahwa ada tamu istimewa.

"Astaghfirullah hal adzim. Ki aku ngimpi opo piye?" Yudi mengucek-kucek mata, meyakinkan diri bahwa dia sudah tak lagi berada di gelombang teta.

Andro tertawa. "Iyo. Kon ngimpi. Kakean mroyek, kurang turu, dadie rodok halu ngono iku. Raup sik kono."

Obrolan selanjutnya mengalir lancar tanpa rasa sungkan yang berlebihan. Tuan rumah menghidangkan makan sesuai apa yang ada. Tidak diada-adakan, tidak disusah-susahkan. Ayam bakar yang dibawa Andro dan Salma terhidang juga, tapi mereka lebih memilih masakan hasil bikinan sang tuan rumah.

Salma dan ibunya memuji sayur asem dan pepes mujair bikinan ibunda Wahyudi. Yang dipuji balas memuji kecantikan Salma dan ibunya.

"Mbak Salma iki ayu neni. Ayune koyo noni-noni Belanda. Nopo pancene keturunan Londo to, Mbak?"
(Mbak Salma ini cantik sekali. Cantiknya kayak noni Belanda. Apa memang ada keturunan bule, Mbak?)

"Nggih, Bu. Saya ada keturunan Sulawesi dan Spanyol, Bu. Lha itu, ibu saya lebih Londo lagi daripada saya." Salma terkekeh sambil menunjuk ibunya, disambut tawa dari yang lain di meja makan.

"Alhamdulillah. Mas Andro ngganteng, garwane yo ayu, sholihah. Mugi-mugi Gusti Allah paringi Yudi bojo sing ayu, sholihah, pinter karo awak dewe yo, Pak."

Ibunda Wahyudi melempar harap. Andro mengaminkan paling keras sambil melirik terang-terangan ke arah Wahyudi. Salma sampai harus menahan tawa.

Suasana akrab dan menyenangkan berlangsung sepanjang obrolan. Terjeda sebentar untuk salat maghrib, juga isya. Mereka semua ikut ke musala, Pak Djamin yang menjadi imam di sana.

Menjelang pukul sembilan Andro berpamitan. Keluarga Wahyudi menawarkan mereka untuk menginap, tetapi Andro menolak dengan halus, beralasan mereka tak membawa baju ganti. Sebenarnya lebih kepada takut merepotkan, karena kunjungan kali ini dia tak lagi datang sendiri.

Sebelum pulang, Andro mengajak keluarga sahabatnya berfoto bersama. Salma senang sekali, akan dia tunjukkan foto mereka pada Leticia.

Baru selesai membatin, gawai Salma berbunyi. Satu panggilan video dari sepupu yang baru saja dia pikirkan. Sepertinya hati mereka berdua terkoneksi.

"Hola, Leti," jawab Salma sambil melempar senyum. Diketuknya ikon loudspeaker agar Andro dan ibunya ikut mendengar.

"Salmaaa. I miss you, sepupuku. What are you doing now? Tante Tami said kalau kamu sudah ke Samaran, ke kampus Andro."

Salma tertawa. "Semarang, Leti."

"Iya, itu maksudnya. Eh, Yudi di Surabaya or ikut kamu dan Andro juga?"

Di belakang Salma, Andro tertawa. Tangannya mencengkeram lengan sahabatnya agar tak beranjak dari sebelahnya. Satu tangannya lagi mengambil alih gawai Salma.

"Hai, Leti. Yudi di sini. Silakan nih kalau mau bicara sama dia."

Andro menjejalkan gawai Salma ke tangan sahabatnya, lalu mendorongnya agar mengambil jarak dari mereka semua. Wahyudi hanya bisa menelan ludah. Pasrah.

"Sinten sing telpon, Mas Andro? Kadose kok priyayi setri. Senes pacar-pacar kados niku to nggih?" Ibunda Wahyudi bertanya. Andro dan yang lain duduk kembali.
(Siapa yang telpon? Sepertinya kok anak perempuan. Bukan pacar-pacar gitu kan ya?)

"Mboten, Bu. Yudi mboten pacar-pacaran. Fokus kuliah saja, biar cepet lulus."

Padahal tidak demikian. Setidaknya beberapa waktu lalu, Wahyudi adalah mahasiswa yang hobi modus dan gesa gesi alias gebet sana gebet sini. Tapi memang sekarang ini sudah tidak lagi, setelah secercah hidayah menyapanya sepulang dari panti.

"Alhamdulillah. Wong niku nek mboten mergane pikantuk beasiswa nggih mboten saget kuliah, to. Mangkane kulo kaliyan bapake wanti-wanti terus kersane kuliah sing bener, ampun dolan terus, ampun kakean jajan. Wong namung anake guru biasa karo tani ki lak yo kudune sadar diri. Lak ngoten to, Mas, Mbak, Bu?"
(Itu saja kalau bukan karena dapat beasiswa juga nggak bisa kuliah. Makanya saya dan bapaknya mengingatkan terus supaya kuliah yang benar, nggak main terus, nggak kebanyakan jajan. Orang cuma anak guru biasa dan bertani itu kan ya mestinya sadar diri)

Andro, Salma, dan Bu Dita mengangguk. Membiarkan ibu Wahyudi menumpahkan curahan hatinya.

"Opo meneh sekolah dibayari pemerintah, lak nggih kudune ora yak-yakan, ora sak karepe dewe. Nek jatahe sekawan tahun njuk pas wayahe lulus kok dereng lulus, kan nggih eman. Nek mriki sik ken neruske ngragati, lha nggih abot.
(Apalagi  sekolah dibiayai pemerintah, kan ya mestinya jangan sembarangan, jangan semaunya sendiri. Kalau jatahnya empat bulan, pas waktunya lulus malah belum lulus, kan ya sayang. Kalau kami yang suruh lanjut membiayai, ya berat)

"Harapane nggih sekolah sik bener, lulus,  angsal gawean sing sae, njuk mbantu tiyang sepuh nyekolahke adike."
(Harapannya ya sekolah saja yang benar, lulus, dapat pekerjaan yang bagus, terus membantu orang tua menyekolahkan adiknya)

Salma tersenyum, matanya berkaca-kaca menatap ibu Wahyudi. Teringat pada dirinya sendiri beberapa waktu yang lalu.

Bu Dita mengerti. Digenggamnya tangan Salma. Matanya turut berkaca-kaca.

"Yang telpon itu sepupu saya, Bu. Anak kakaknya ibu dari Spanyol. Kemarin main ke Surabaya tiga minggu. Kalau pas kami nggak bisa menemani, biasanya kami minta bantuan Mas Wahyudi untuk menemani dia. Makanya kenal sama Mas Wahyudi." Salma menjelaskan. Suaranya agak bergetar. Terharu.

Untung saja Wahyudi tak berlama-lama mengobrol dengan Leti. Tak sampai sepuluh menit dia sudah kembali bersama yang lainnya. Sikapnya biasa, tapi tidak dengan ekspresi yang coba dia sembunyikan.

Andro kembali berpamitan. Keluarga Yudi mengantar sampai depan pagar. Yudi sendiri mengikuti Andro sampai masuk mobil.

"Yang sabar, Yud. Insya Allah ada jalan. Kita semua doain kamu, kok," ujar Andro dari balik kaca mobil yang terbuka.

"Mbahmu kui! Wis ah, ndang mulih kono. Ribut wae. Suwun yo jajane, akeh banget. Salam nggo bapak ibumu."
(Nenekmu itu!  Udah ah, pulang aja sana. Ribut mulu. Terima kasih ya oleh-olehnya, banyak sekali. Salam buat bapak ibumi)

"Yoh. Pokoke angger ora salam nggo bojoku ae. (Ya. Pokoknya asal bukan salam buat istriku, aja.) Salma tertawa kecil, mencubit pinggang Andro dengan mesra.

Mereka pulang dengan bahagia. Keluarga Wahyudi menjadi topik di sepanjang perjalanan.

"Jangan berekspektasi tinggi sama Yudi ya, Sal, Bu. Ya semoga bener yang Yudi bilang. Leti cuma kebawa euforia aja sama kedekatan mereka selama di Surabaya. Semoga satu dua bulan ke depan semuanya mereda."

"Memangnya kenapa, Mas Andro? Kalau jodoh kan ya nggak ke mana."

"Iya sih, Bu. Tapi berat aja. Kalau merekanya sendiri mungkin ya bisa, cuma kalau sudah sampai ke orang tua kayaknya masing-masing agak sulit menerima." Andro menanggapi pertanyaan dan pendapat ibu mertua.

"Ya udah sih, Mas, kita doain aja. Mas Wahyudi baik kok. Tante Sara juga kayaknya welcome. Bener kata ibu, kalau jodoh nggak akan ke mana."

"Kayak kita ya, Sal?"

"Udah. Itu juga nggak usah dibahas kalau jatuhnya malah membahas masa lalu dalam versi lain."

Andro diam. Dalam hati berkata, Salah meneeeehh.

***

Hahaha, salah meneeehh. Sabar ya, Ndro.

Part ini bener-bener dahlah. Absuuurd. Hahaha... Makanya kukasih judul part-nya Sembarangan. Nggak pa-pa lah ya.

Oh iya, kemarin-kemarin sempat cek-cek note HP. Aku biasa nulis draft di sana. Semua tulisanku kumulai dan kuselesaikan di sana. Alhamdulillah.

Nah, di sana juga aku nemu lumayan banyak draft yg yaaa berawal dari kayak gini. Kok ngalor ngidul banget, kok gaje banget, kok absurd banget, dsb. Ada yg sampai kelar, ada yg baru beberapa paragraf, ada yg udah panjang tp gak kelar, dsb.
*ssstt, ada yg ttg Fikar Nara juga waktu Fikar nge-gep Luli Iqbal breakfast bareng di ruang kepala lab Mektan. Hihi.

Random banget ya aku nih. Wkwk.

Part ini juga gitu. Ngetik udah agak banyak, pas dibaca lagi, kok nggak banget sih. Ganti lagi. Pas dibaca lagi, nggak banget juga. Dst.

Akhirnya kugabung-gabungin. Lah, makin nggak jelas. Tapi..., tapi..., tapi..., pas dicek jumlah kata kok udah 2,8K. Hahaha...

Yaudah, gpp lah ya aku post aja. Memang Move On ini udah nggak ada target apa-apa, termasuk target kapan kelarnya. Let's flow aja.

Baiklah. Segini dulu aja. Mohon maafnya ya kalau diajak berpusing ria. Thank you udah mau baca dan meramaikan.

See you :)

Semarang, 16062022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top