60. Mencurahkan

Dua hari istirahat di rumah saja, Andro merasa cukup. Hari itu dia berniat untuk mengobrol dengan sahabatnya, Wahyudi. Pas banget mama mengajak Salma untuk ikut ke kantornya. Andro sendiri tak tahu untuk keperluan apa, tapi dia tak melarang. Mamanya pasti punya tujuan sendiri, dan dia yakin tujuannya pasti baik.

Tepat pukul sebelas Andro memacu mobilnya menuju proyek tempat Wahyudi magang dan tiba tepat saat adzan zuhur berkumandang.

Orang-orang di sana sudah tahu siapa Andro tanpa perlu bertanya. Selain sudah pernah beberapa kali datang, wajahnya juga mirip dengan Antariksa.

Andro menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya, lalu menghampiri sahabatnya. Mengajaknya salat zuhur di masjid terdekat dan makan siang.

"Lha Salma mana?" Keduanya baru masuk ke mobil. Wahyudi mengira Salma menunggu di sana, ternyata tidak.

"Diculik mamaku, diajakin ke kantor."

"Wah, ati-ati, Ndro. Warning kui. Nek awakmu macem-macem, siap-siap dicoret seko ahli waris."

"Lamb*mu, Yud!" Keduanya terbahak.

"Eh, nanti makan di kafe kenanganmu sama Leti, yo."

"Kenangan mbahmu, kui." Wahyudi sewot. Dia sedang mencoba menjauhi segala sesuatu tentang Leti.

"Ojok ngono. Dia cinta banget lho, Yud, sama kamu."

"Gak lah, Ndro. Paling seminggu dua minggu lagi juga udah selesai. Euforia aja, soale nang kene sing sok ngancani yo aku. Lha sing akeh nganggure yo aku." Wahyudi tertawa. Terdengar dipaksakan.

"Ya nggak gitu juga, Yud. Aku ngerti, kamu berusaha memenuhi ikrarmu waktu itu. Tapi ya nggak harus menutup hatimu juga. Nek seneng yo diakoni wae seneng, kan nggak harus dinikahi sekarang juga to? Nggak harus dipacarin juga. Minimal kamu mau mengakui perasaanmu. Minimalnya lagi, akuilah pada dirimu sendiri. Aku gak kudu ngerti, Salma gak kudu ngerti, bahkan Leti pun gak kudu ngerti.

"Jadikan motivasi. Dengan ada yang nungguin kamu, semangat dan gerakanmu buat berjuang tuh jadi berkali-kali lipat. Harus cepet lulus, cepet kerja, cepet ngumpulin tabungan, cepet bisa jemput dia di Madrid."

"Heh, opo kui jemput di Madrid barang? Ngarang wae."

Melihat muka Wahyudi yang sudah asem, Andro malah ngakak. Makin makin saja mencandai Wahyudi.

"Jare arep curhat, malah isine ngeceni wong thok. Nek gur arep ngeceni aku, bar iki gak sah mangan wae. Aku tak mangan dewe nang warteg."

"Cieee, Wahyudi mutung."

"Sak karepmu, Ndro."

Yudi turun dari mobil, mendahului Andro menuju tempat wudhu. Pembicaraan mengenai Leti sedang berusaha dia hindari. Bukan apa-apa. Dia hanya merasa mereka —dia dan Leti— bagai langit dan bumi. Komunikasinya dengan Leti sendiri masih berlangsung baik, meski dia tetap berusaha untuk tidak terlalu sering menanggapi, bahkan berharap semuanya akan terhenti.

Andro mengejar Yudi, merangkulnya dari belakang seraya meyakinkan teman baiknya bahwa dia tak akan membicarakan Leti lagi.

Deal. Mereka berjalan bersisian memasuki masjid. Kemudian setelah usai jamaah salat zuhur, keduanya meluncur menuju kafe yang disebutkan Andro tadi.

"Waktu itu kamu dipanggil mamaku, kan? Terus mamaku ngomong apa aja sama kamu?"

Andro membuka pembicaraan dengan pertanyaan. Dia sudah tahu kalau Wahyudi sempat dipanggil mama dan papanya untuk ditanya-tanya soal dirinya.

Wahyudi menceritakan semuanya tanpa ditambah. Hanya dikurangi sedikit soal pertanyaan mama papa Andro tentang Leticia. Bagian itu cukup dia saja yang tahu.

"Sebelum tahu dari mamamu, aku udah feeling sih, Ndro, kalau Salma bakalan tahu. Kamu kentara banget. Aku yang jauh aja bisa ngerasain kekhawatiranmu yang lebay gitu, apalagi Salma yang ada di depanmu."

Andro mengangguk-angguk sambil menggigit bibirnya. Kejadian demi kejadian di Spanyol terekam jelas dalam ingatannya.

"Terus gimana, Ndro? Salma marah? Eh, tapi orang kayak Salma sih menurutku nggak mungkin marah, apalagi ngamuk. Ngambek juga kayaknya nggak. Nggak level." Wahyudi mengemukakan pendapatnya.

Andro tersenyum kecut. Bagian yang terakhir seperti menyindir seseorang yang mereka berdua sama-sama kenal. Ada rasa tak suka. Menurutnya, Wahyudi tak harus berlebihan juga membela Salma dan menyudutkan Zulfa.

Astaghfirullah, kenapa ke sana lagi sih, Ndro! Rasa bersalah pada Salma kembali menghinggapi.

Dihelanya napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Iya, Yud. Salma bukan tipe seperti itu. Dia kuat, mandiri, nggak cengeng, dan pinter banget mengontrol emosi. Tapi kalau sudah marah, dia kayak setrika. Menghaluskan kata-kata, tapi panasnya luar biasa. Atos, Cuk!"

Wahyudi menahan tawa. Sahabatnya terlihat masih akan meneruskan bicara.

"Tapi yang dia bilang bener semua. Intinya sih, dia menunjukkan ke aku kalau dia itu berharga. Istimewa. Jadi, kalaupun aku menyia-nyiakannya, dia nggak akan jatuh cuma karena cinta atau semacamnya. Dia bisa tetap berdiri, biarpun harus melawan segala kesakitan dan derita. Dan jangan lupa, Yud, hampir 20 tahun dia menjalani hidup yang nggak mudah.

"Yang paling bikin aku salut, Yud. Dia malah tanya ke aku, apa yang bisa dia lakukan buat bantu aku melepaskan bayang-bayang Zulfa?"

Andro menelan ludah. Menyebut nama Zulfa sudah mulai aneh baginya. Ada rasa bersalah, juga rasa takut akan kehilangan Salma.

"Ya nggak segitunya juga lah, Ndro. Aku memang nggak tahu detail tentang Salma, tapi aku bisa menilai, kalau dia bukan tipe orang yang akan mudah melupakan mereka yang punya peran besar dalam hidupnya. Apalagi orang itu kamu, suaminya.

"Tapi awakmu pancen rodo ndableg, sih. Kalau nggak diancam sampai terpojok gitu ya nggak akan kapok. Allah Maha Tahu, memang udah paling pas menjodohkan tuan muda Angkasa Andromeda dengan seseorang seperti Salma. Dia bisa kasih kebebasan buat kamu, sekaligus bisa bikin kamu ngerasa terancam. Kamu bisa ke mana-mana, tapi nggak bisa lepas dari dia.

"Udahlah, lupain Zulfa. Jangan lupa, Ndro, aku juga kenal baik sama Zulfa. Dan aku bisa memastikan, kalau kamu udah punya yang jauh jauh jauh lebih segalanya dari dia. So..., ojok gobl*k, Ndro!"

"Move on tuh ternyata nggak segampang yang kukira, Yud. Demi Allah, Yud, aku cintanya cuma sama Salma. Setiap bareng dia aku bahagia. Pas jauh dari dia, aku ngerasa ada yang kurang dalam hidupku. Pokoknya Salma tuh udah jadi number one person setelah mamaku.

"Tapi kadang kejadiankayak kemarin itu masih mempengaruhi pikiranku, Yud. Kayak muncul gitu aja di luar keinginan dan kesadaran. Apa itu berarti aku gagal move on, Yud?

"Eh, opo aku tak pindah kuliah ae yo? Balik Suroboyo ngono. Biar nggak ada urusan apapun lagi sama Zulfa. Jadi nggak terpengaruh apapun lagi soal Zulfa."

"Oalah, Ndrooo. Aku tadi kan udah bilang, ojok gobl*k. Belum lima menit aku mingkem, kamu udah langsung gobl*k to, Ndrooo Ndro. Mbuh, ah! Tak balik kantor ae, jam istirahat wis meh entek."

Diseruputnya es kopi susu gula aren favoritnya hingga tak bersisa, bahkan sampai menimbulkan suara. Srot srot srooottt.

"Ngisin-isini. Koyok gak tau ngombe kopi susu enak ae, Yud. Kere ki ojok dipamer-pamerke."

"Lha piye, nduweku yo gur kekerean ngene iki lho yo."

Keduanya tertawa. Beriringan meninggalkan kafe dengan lega. Bicara dengan Wahyudi seringkali tak perlu panjang lebar, juga tak perlu tuntas sampai ke akar. Mereka sudah sama-sama kenal dan paham kepribadian masing-masing.

Andro mengantarkan Wahyudi ke proyek. Ada rasa iba melihat Wahyudi. Andro tahu, sahabatnya itu diam-diam menyembunyikan kesedihan. Sebulan magang di sana, Wahyudi sudah diterima sebagai bagian dari para pekerja. Keberadaannya di sana tinggal dua hari lagi. Mereka harus kembali ke Semarang untuk menuntut ilmu pengetahuan.

"Yud, kon mesti sedih, yo?"

"Lha sedih ngopo, ik?"

"Meh balik Semarang meneh."

"Ngertinan kae. Tapi memang iya sih, Ndro. Jadi berasa berat, gitu. Kayak harus meninggalkan pas lagi sayang-sayangnya."

"Nah, itu juga yang dirasain Leti waktu ninggalin kamu."

Plak!

Tangan Wahyudi menepuk mulut Andro. "Dasar lambe turah!" Kemudian cekikikan lagi berdua.

Wajah Wahyudi langsung berubah serius ketika memasuki direksi keet. Ada Dimas di sana, dengan Rea. Entah kenapa, Wahyudi masih selalu merasa segan yang berlebihan setiap bertemu dengan kakak ipar sahabatnya itu.

"Nggak usah tegang deh, Yud. Kamu kalau lihat Mas Dimas udah kayak lihat sekjen PBB aja." Rea terkekeh.

"Lha memang Mas Dimas sekjen PBB sih, Mbak. Perwakilan Bos Besar," sahut Andro asal. Rea ngakak sembari membenarkan gurauan adiknya. Dimas tersenyum saja. Yudi masih segan seperti semula.

"Mas Dimas nggak nggigit, Yud. Nggak makan orang juga. Segan boleh, tapi ya nggak harus segitunya juga." Rea berpesan lagi pada Yudi. Yang diajak bicara mengangguk dan tersenyum malu.

Belakangan ini Rea cukup akrab dengan Wahyudi dibanding sebelumnya. Selain karena Yudi tinggal di rumah orang tuanya, juga karena sebulan terakhir ini Dimas sering menyebut nama serta memuji perform seorang Wahyudi. Rea bahkan punya feeling, kedekatan Yudi dengan keluarga Antariksa kelak akan mengantarkan Wahyudi mendapat posisi spesial di perusahaan keluarganya.

Apalagi ada potensi di masa depan mereka akan officially bersaudara. Rea dan Dimas juga kemarin sempat memanggil dan menanyai Yudi terkait insiden farewell kiss di bandara. Menghadiahi Wahyudi dengan cie cie yang membuatnya mati gaya.

Selain itu, Utami dan Antariksa juga sudah menganggap Yudi seperti anak sendiri. Anak angkat kalau istilah Rea. Anak pungut kalau kata Angkasa Andromeda.

"Yo wis, Ndro. Mereka biar kembali bekerja. Kita nongkrong bareng aja. Tak traktir yuk, kon pengen opo?"

Rea berpamitan sembari mencium tangan Dimas. Akan menunggu sambil ngobrol dengan adik kesayangan. Dimas mengiyakan. Mengusap puncak kepala Rea yang tertutup jilbab coklat muda. Usapan sekilas, tapi di mata Andro terlihat begitu mesra.

"Mas Dimas tuh kalau sama kamu pakainya bahasa sentuhan ya, Mbak. Mata sama gesturenya lho, cinta banget sama kamu." Andro menyampaikan komentarnya saat keduanya berada di mobil Rea.

"Sama kayak Salma ke kamu. Bahasanya tuh lewat perhatian. Sayangnya dan ngemongnya ke kamu lho, masya Allah. Eman banget kalau sampai kamu sia-siain."

"Aku nggak pernah nyia-nyiain Sal, Mbak. Aku sayang dan cinta banget sama dia. Tapi gara-gara satu kejadian kemarin itu, aku jadi kayak nggak dipercaya sama semua orang kalau aku cinta sama Salma sepenuh hati." Untuk kesekian kali Andro merasa sebagai tertuduh.

"Aku percaya sama kamu kok, Ndro. Ya kalau menurutku juga wajar, sih. Apalagi kamu sama Salma baru jalan enam bulanan ini, yang itupun bener-bener mulai dari nol. Aku percaya kamu, bukan karena kamu adikku, Ndro, tapi karena secara perlakuan kamu ke salma tuh udah baik banget dan kelihatan banget sebagai suami yang cinta istri.

"Kamu cuma perlu tanya lagi ke hatimu, apa masih ada sisa-sisa perasaan buat si masa lalumu itu? Kalau bener masih ada, menurutku kamu harus bertaubat, sih. Mohon ampunan dan minta bantuan sama Allah. Itu yang selalu Mas Dimas bilang setiap kali kami merasa ada kesulitan."

Mata Rea berbinar setiap kali menyebut nama Dimas. Laki-laki itu bahkan sudah menggeser nama Antariksa ke urutan tiga dalam daftar laki-laki paling berarti di hidupnya. Nomor duanya tentu saja si adik tercinta.

"Kamu sama mantan-mantanmu dulu bisa langsung lupa gitu ya, mbak? Gimana ceritanya? Bagi tips, lah."

"Kita beda, Ndro. Aku putus langsung lupa sama sekali, ya karena aku memang cuma main-main aja. Senang-senang. Have fun. Nggak pakai hati. Kamu kan nggak gitu. Kamu bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, tapi bapermu terlalu dalam. Jadinya yaa gitu deh.

"Kalau aku bilang, kamu rugi besar sih. Udahlah cuma dimanfaatin, eh kesininya malah jadi duri di rumah tanggamu sama Salma."

"Dia nggak salah apa-apa juga kali, Mbak." Andro tak ingin protes, tapi dia merasa harus meluruskan 'tuduhan' kakaknya.

"Oke. Tapi aku juga nggak butuh denger pembelaanmu ke dia, Ndro. Aku malas menduga-duga. Udah cukup lah aku percaya kalau kamu cinta banget sama Salma."

Jleb! Tajam sekali tanggapan Rea.

"Iya, sorry." Jawaban Andro lebih seperti gumaman. Dalam hati merutuki dirinya sendiri.

"Terus sama Mas Dimas, kenapa Mbak bisa langsung nerima? Dan sebaliknya, Mas Dimas kok bisa nerima Mbak?"

"Aku dulu ikut pilihan mama papa. Yakin aja kalau pilihannya baik. Secara kamu ngerti sendiri lah, mama sama papa gimana sih sayangnya ke kita? Nggak mungkin akan milihin yang nggak bisa mereka percaya untuk bahagiain kita, ya kan?

"Dan keputusanku untuk nerima keinginan mama papa tuh tepat banget. Mas Dimas orangnya sabar, Ndro. Sesabar-sabarnya orang. Dia lho, ngadepin papa yang menurutku kayak mengeksploitasi dia habis-habisan aja masih selalu husnuzon.

"Kata Mas Dimas, 'Perusahaan papa itu udah besar, Re. Anaknya yang diharapkan meneruskan usahanya nanti cuma dua. Kamu nggak tertarik di bidang itu. Andro belum selesai kuliahnya. Sekarang ini cuma aku yang diharapkan papa, dalam hal ini sebagai pengganti kamu, anaknya. Kita lillahita'ala, Re. Niatkan sbg birrul walidain. Beban kerjaanku mungkin memang berat dan melebihi kapasitas pendidikanku, tapi insyaAllah otakku masih mampu menerima. Dan kalau kita niatkan lillahita'ala, yakinlah, Allah akan memampukan kita.'

"Gitu kata Mas Dimas, Ndro. Makanya nih ya, fokuslah sama Salma. Dia pilihan mama papa. Pasti udah melalui screening yang tajam dan terpercaya ala Nyonya Utami Wulandari. Apalagi kamu sendiri yang kemudian minta menikahi Salma. Kamu masih ingat kan obrolan-obrolan kita waktu kamu galau mau nikahin Salma tapi bla bla bla."

Andro mengangguk. Dalam hati membenarkan semua ucapan kakaknya. Masa-masa galau, persiapan pernikahan dan tetek bengeknya, sampai menjelang pernikahannya dengan Salma seperti diputar ulang di benaknya.

"Setiap rumah tangga punya masalahnya masing-masing, Ndro. Mama pernah dihantam masalah orang ketiga. Keluarganya Mas Dimas masalahnya di finansial yang kurang beruntung. Terus pas nikah sama aku, beberapa keluarga juga nge-judge bapak ibunya, dinyinyirin kalau nikahin aku salah satunya karena harta bla bla bla.

"Aku sama Mas Dimas sendiri juga ada masalah. Salah satunya belum hamil-hamil sampai sekarang. Tapi ya sama kayak kamu dan Salma, kami nikah masih belum lama, ya udah sih, belum dikasih rezeki hamil juga masih wajar aja. Wong yang nikah udah lama belum dikasih anak juga nggak satu dua. Yang penting kami berusaha.

"Kamu pun mestinya gitu. Rumah tanggamu sama Salma baru hitungan bulan. Aku bisa memaklumi kalau dalam range waktu segitu kamu belum berhasil melupakan, yang penting kamu udah berusaha. Nah, pertanyaannya, kamu udah berusaha belum?"

"Insya Allah udah, Mbak," jawab Andro. Tegas dan percaya diri.

"Oke. Sip. Pokoknya jangan berhenti berusahanya. Aku yakin, Salma bisa ngerti dan memahami."

"Dia malah nanya ke aku, dia bisa bantu apa biar aku bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu? Gitu, Mbak."

"Masya Allah. Kamu tuh cuma harus buka mata lebih lebar, Ndro. Itu yang di depanmu, yang tiap hari ngeladenin manjamu, ngadepin sikap semaumu, ngurusin segala keperluanmu, lagi hamil anakmu pula. Itu Salma, Ndro. Salma!"

Rea setengah berteriak saking gemasnya.

"Nih, aku kasih nasihat, ya, adik kesayangan. Pertama, perbanyak syukurmu. Jangan-jangan kamu lupa bersyukur sudah Allah kasih istri sebaik Salma?"

Terdengar helaan napas dari Andro. Rea melirik saja.

"Yang kedua, Ndro. Untuk melupakan si masa lalumu itu, niatkan lillahita'ala. Niatkan birrul walidain. Niatkan menjadi sebaik-sebaik laki-laki terhadap keluarganya, terhadap istrinya. Niatkan untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluargamu, biar kelak bisa bersama-sama berkumpul di jannah-Nya. Tujuan hidup kita kan ya itu, to?"

"Dan ingat satu hal! Zulfa bukan keluargamu! Jadi nggak ada urusan sama surgamu nanti!"

Andro menepikan mobilnya, berhenti di bawah pohon angsana. Matanya berkaca-kaca. Banyak hal yang baru disadarinya.

Ternyata move on itu bukan hanya sekadar 'tak lagi ada perasaan', batinnya. Lalu wajah Salma yang selalu meneduhkan berkelebat di kepalanya. Hatinya mendadak berdebar.

"Kita ke kantornya mama ya, Mbak. Aku pengen ketemu Salma. Ini kunci mobilku, terserah nanti siapa yang mau anterin pulang ke rumah."

"Wooo..., memang dasar adik nggak tahu diri!"

***

Wah, nggak nyangka udah sampai part 60. Cerita apa sih sebenarnya aku tuh. Ngalor ngidul aja kok bisa sampai sepanjang ini. Dasar kebanyakan halu yak. Hahaha... Semoga tetap suka dan aku berharap ada manfaatnya.

Btw, part ini sebenernya nggak ada. Tadinya mau langsung bawa Andro Salma ke Semarang, tapi tiba-tiba Wahyudi sama Rea menyela pikiranku. Halah. Wkwk...

Seperti biasa, absurd. Tapi semoga tetap menghiburd. Haha, maksa!

Updatenya juga kelewat dikit dari hari Senin. Soalnya pas nemenin bocah tidur, emaknya ikut zzzz.... Bangun-bangun udah mau ganti hari. Eh, belum diedit pula. Alhamdulillah, tetap disyukuri, seenggaknya Move On nggak absen lagi kayak minggu kemarin. Hihi...

Baiklah. Terima kasih udah membaca dan mendukung Andro Salma sampai sejauh ini. Maafkan untuk segala kekurangan.

See you :)

Semarang, 07062022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top