59. Wejangan

Happy reading :)

***

Spanyol menjadi negara favorit Salma sekarang. Selain ada darah hispanik yang mengalir di tubuhnya,  ada pula sejarah kegemilangan Islam di Andalusia. Dan yang paling berarti, di negara matador itulah dia menemukan fakta sekaligus solusi untuk permasalahannya dengan masa lalu suaminya. Meski belum terbukti, setidaknya solusi itu menjadi harapan tersendiri baginya.

Mereka di Spanyol tak lama. Tapi sepanjang kebersamaan mereka di sana, Andro nyaris tak pernah menghandle urusan lain. Hanya urusan bulan madu mereka saja.

Memang urusan Andro juga tak banyak. Selain dengan keluarga, dia hanya aktif di kampus. Itu pun bukan sebagai aktivis organisasi. Hanya seorang mahasiswa siaga, yang siap kapan saja dimintai bantuan oleh dosen, karyawan, teman, atau kakak dan adik tingkatnya. Itu saja. Sedangkan di luaran sana, dia adalah pribadi yang —boleh dibilang— anti sosial.

Sepuluh hari di Spanyol, tujuh harinya dihabiskan Andro untuk menemani Salma menjelajahi kota-kota penuh sejarah dari era kejayaan Islam di tanah Iberia.

Andro dan Salma ditemani oleh Leticia. Mereka memulai rangkaian perjalanan dari kota yang terletak di ujung paling selatan Spanyol. Kota yang juga menjadi benteng pertahanan terakhir kejayaan Islam di Andalusia. Granada.

Seorang warga lokal dari Granada mendampingi perjalanan sebagai driver sekaligus tour guide yang akan memandu mereka. Leticia saja tak cukup, sebab meski lahir dan besar di Spanyol, Leticia tidak tertarik dengan sejarah, sehingga tak banyak membantu jika hanya dia sendiri yang menemani Andro dan Salma.

Salma benar-benar menikmati perjalanannya. Kondisi yang tengah hamil dan menjadi kekhawatiran keluarganya sama sekali tak terjadi. Sebaliknya, Salma malah terlihat lebih sehat dan bersemangat dari sebelumnya.

Salah satu yang membuat Salma begitu bahagia adalah sikap Andro yang manis. Suaminya itu menunjukkan kesungguhan untuk benar-benar lepas dari masa lalu. Handphone dia serahkan pada Salma. Melepaskan diri sama sekali dari urusan dan informasi apapun tentang kampus. Komunikasi dengan keluarga, semua dilakukan menggunakan gawai Salma.

Salma tak sadar, salah satu yang membuat Andro menempelnya ketat adalah karena kecemburuan. Dia merasa perhatian Benicio dan Sebastian kepada Salma agak berlebihan. Meski tak pernah ada sentuhan fisik, ngobrol berdua, atau semacamnya, tetap saja Andro merasa terganggu.

Memang keluarga Salma di Spanyol menyambut dan memperlakukan Salma dan Bu Dita dengan sangat baik. Kepada Salma mereka seolah ingin membayar semua kisah pahit yang pernah dilaluinya dalam kekurangan. Kepada Bu Dita mereka seakan takut Si Anak Hilang akan kembali hilang.

Andro gelisah. Selama ini belum pernah ada kecemburuan untuk Salma. Ada pun sifatnya hanya ringan saja, lebih kepada bercanda, seperti saat Salma bersikap baik kepada Wahyudi. Tapi itu tidak terlalu mengganggu, sebab Andro tahu persis bagaimana Salma menjaga diri dari lawan jenis, apalagi yang bukan mahram.

Dengan Benicio dan Sebastian pun Salma sangat menjaga jarak. Sikap kedua sepupu laki-lakinya juga sebenarnya sama saja baiknya dengan sikap Leticia, apalagi keduanya juga sudah punya kekasih. Hanya karena mereka berbeda jenis saja sehingga lebih mengganggu pikiran Andro.

"Sal, aku bisa bantu apa?"

Salma sedang menata bawaan mereka. Besok sore mereka akan melakukan penerbangan ke tanah air. Salma sendiri sudah rindu dengan keluarga di Surabaya. Andro pekan depan juga mulai kuliah.

"Nggak usah, Mas. Udah Sal selesaiin semua."

"Terus aku ngapain, dong? Mijitin kamu aja, boleh?"

Salma tersenyum. "Mas sekarang makin baik dan manis ya sama Sal. Terima kasih banyak ya, Mas Andro. Sal sayang sama Mas."

Dihentikan sejenak urusan packing yang tinggal sedikit saja. Salma mendekati Andro dan memeluknya.

"Maafkan aku ya, Sal, selama ini udah selalu bikin kamu marah dan sakit hati. Aku baru tahu, cemburu itu rasanya nggak enak banget."

Salma mengerenyit, agak heran dengan kalimat yang baru meluncur dari bibir yang selalu memberinya kehangatan. "Maksudnya gimana, nih? Mas cemburu sama Sal? Sal ngapain memangnya? Astaghfirullah."

Ada yang berdebar di dada Salma. Dia cemas. Khawatir ada perilakunya yang mengundang rasa cemburu dalam diri Andro. Dia coba mengingat tentang sikapnya, kata-katanya, juga perbuatannya kepada orang-orang di sekelilingnya sembilan hari terakhir ini. Tapi nihil. Dia merasa semua wajar saja.

"Kamu nggak ada yang salah, Sal, cuma akunya aja yang berlebihan. Sikap sepupu-sepupumu baik dan manis banget ke kamu. Iya sih semuanya begitu. Tapi Beni dan Sebastian itu laki-laki, jadi aku suka cenut-cenut sendiri kalau melihat mereka bersikap ke kamu. Aku jadi nggak tenang, rasanya pengen cepat-cepat pulang aja."

Bukannya kesal, Salma justru tertawa. "Berarti cemburu tuh nggak enak ya, Mas?"

"Banget, Sal. Aku jadi merasa ditampar. Berapa bulan kita nikah, entah sudah berapa kali aku bikin kamu sedih gara-gara hal begini. Maafin aku ya, Sal."

"Ih, apaan sih, Mas. Kita udah berhari-hari lho nggak bahas itu. Biarpun ini juga nggak spesifik ke sana, tapi kalau bicara kayak gini berpotensi mengingatkan Mas ke sana, lebih baik kita stop aja.

"Mas tenang aja. Setelah Sal pikir-pikir, Sal sekarang udah lebih kuat dari sebelum-sebelumnya. Sal yang sekarang beda sama Sal yang dulu. Sal yang sekarang punya banyak orang yang menyayangi dan mendukung, bukan orang yang kekurangan secara materi, dan punya banyak bekal keterampilan yang bisa jadi penyokong Sal buat hidup mandiri.

"Sal udah nggak terlalu ambil pusing soal masa lalu Mas. Sal akan fokus bantu Mas lepas dari itu, tapi kalau Mas masih tetap susah move on, Mas bisa memilih, kok. Daripada Mas tersiksa sendiri, kan?

"Maaf, bukan Sal sombong ya. Sal sayang sama Mas Andro. Cinta. Tapi Sal punya bargaining position yang semestinya bikin Mas juga mikir seribu kali kalau mau bikin Sal oleng."

Andro diam, menahan matanya yang berkaca-kaca. Salma kalau sudah bicara serius, tak ada amarah pun tetap berhasil mengintimidasi. Andro mengalaminya sekali lagi.

Sebenarnya Salma sudah berhari-hari menyimpan kegalauan. Menyembunyikannya di balik kegembiraan dan euforia perjalanan.

Di awal ketibaan mereka di Spanyol, setelah pembicaraan tentang seseorang dari masa lalu Angkasa Andromeda, Salma berbicara pada ibunya. Dicurahkannya semua keluh dan kesah, untuk pertama kalinya. Dia lega, satu beban terlepaskan. Ibunya bahagia, bisa menjadi tempat anaknya menumpahkan kesedihan.

Bu Dita menghiburnya, menyampaikan banyak hal yang menguatkan Salma, juga menyadarkan bahwa dia berharga. Bu Dita pula mengucapkan permohonan maafnya, bisa jadi yang Salma alami adalah balasan atas dosa-dosanya. Tapi untuk yang satu ini Salma tak sepakat, sebab setiap manusia menanggung sendiri kesalahan dan dosa dari perbuatan yang dilakukannya.

Sepanjang perjalanan menjelajahi Andalusia, selama itu pula Salma menimbang dan membulatkan tekad untuk mengungkapkan penguatan ibunya tersebut pada suaminya.

Hari ini, sehari menjelang kepulangan mereka ke Indonesia, Salma melakukannya. Dia lega. Walau begitu, hatinya yang paling dalam berkali-kali memohon ampunan pada Yang Maha Kuasa, sejatinya dia merasa bersalah dengan apa yang dia katakan pada Angkasa Andromeda. Dia takut menjadi istri durhaka akibat perkataannya.

"Maaf ya, Mas. Kalau yang Sal bilang tadi salah dan menyinggung perasaan Mas. Sal takut. Sal takut jadi istri durhaka. Tapi Sal juga lelah kalau terus-terusan ada di bawah bayang-bayang orang lain. Sal---"

"Aku yang minta maaf, Sal. Please, jangan tinggalkan aku, ya. Aku janji, aku akan memperbaiki diriku. But please, stay here with me, Sal. Sampai kapanpun."

Keduanya berpelukan erat, bertangisan hebat. Seakan mengeluarkan yang selama ini tersumbat.

"I love you, Salmaku."

***

Perpisahan tiba. Kali ini dengan banyak air mata. Oma Lucia, Tante Sara, dan Leticia melepas Salma dan Bu Dita dengan berat hati. Sadar, pertemuan mereka berikutnya mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Bu Dita awalnya belum akan pulang dengan Andro dan Salma, tapi dia berubah pikiran. Pekan depan menantunya sudah harus kembali disibukkan dengan urusan kampus. Dia tak tega Salma sendirian di Semarang. Jadilah dia ikut pulang.

Di pesawat, Andro tak enak hati hendak duduk berdua di samping Salma. Dipanggilnya salah satu awak kabin untuk bertukar seat dengan ibu mertua. Dia memilih sendiri saja. Salma menyerahkan handphone suaminya, yang selama ini ada padanya.

"Nggak usah, Sal."

"Nggak apa-apa, Mas. Mas udah dewasa lho, udah bisa memilih dan memilah gimana menggunakannya. Siapa tahu mau ngabari Mas Wahyu atau Mas Wahyudi buat jemput di bandara besok."

"Iya. Thanks buat kepercayaan kamu ke aku ya, Sal."

"Mas, kita balik kayak dulu lagi aja, deh. Anggap aja nggak pernah ada masalah diantara kita. Sal nggak mau ada jarak."

"Ehk, tahu gitu tadi nggak usah minta tukeran sama ibu, ya."

Cubitan Salma mendarat di perut Andro. Keduanya tertawa. Hati Andro berdesir-desir tak terkira. Rasanya seperti waktu pertama Salma mencubitnya.

Mereka berpisah tempat duduk. Salma mengobrol dengan ibunya, Andro bertukar pesan dengan Wahyudi, memintanya menjemput di bandara besok malam.

Hubungan keduanya sudah membaik. Salma yang menghubungi Wahyudi agar tidak memblokir suaminya lagi. Ditambah bumbu-bumbu provokasi soal Leti.

Andro tak sedikitpun menyinggung soal Zulfa. Pun tak mencari tahu apapun, baik lewat status whatsapp, sosial media, bahkan membuka grup angkatan pun tak dia lakukan. Dia bahkan tak peduli apakah Asya masih memblokir kontaknya atau tidak.

***

Menjelang pukul tujuh malam pesawat yang membawa Andro, Salma, dan Bu Dita mendarat dengan selamat di bandara Juanda, Surabaya. Ketiganya bergegas menuju pintu keluar begitu usai urusan bagasi.

Andro menarik satu troli dan menaruh lima koper besar dan dua koper kabin di atasnya sambil membatin, "Dasar perempuan, belanja nggak belanja kopernya tetep aja beranak pinak."

Kenyataannya Salma dan ibunya tak banyak membeli cinderamata atau barang untuk kesenangan pribadinya di sana. Tapi saudara-saudaranya di sana membawakan banyak hadiah untuk Salma dan ibunya, saking bersukacita dengan kedatangan mereka.

Sekali lagi Andro seperti diingatkan, bahwa istrinya bukan perempuan sembarangan. Dia dikelilingi orang-orang yang menyayangi, tidak berkekurangan, dan memiliki banyak skill kehidupan yang mumpuni.

Aku yang rugi kalau kehilangan Salma, batinnya lagi, sambil tetap mendorong troli.

"Itu Mas Wahyudi," seru Salma.

Senyum Andro mengembang. Diam-diam dia merindukan sahabatnya. Rasanya tak sabar ingin esok pagi segera tiba. Dia berencana menculik Wahyudi untuk menumpahkan segala resah hatinya.

"Sehat, Bro?" sambut Wahyudi, setelah lebih dulu bersalaman dan mencium tangan Bu Dita. Juga menganggukkan kepala dengan hormat untuk Salma.

"Alhamdulillah. Kon ngangeni jebule, Cuk!"

"Njelehi." Wahyudi mencebik, berbisik pelan menjawab pernyataan sahabatnya.

"Soulmate banget, ya. Sampai lupa sama istri," celetuk Salma. Keempatnya tertawa.

Mama dan Papa tak ikut menjemput, sudah memberitahu sebelumnya. Alasannya karena kesibukan. Tapi feeling Andro berkata lain. Dia pasrah saja.

Wahyudi mengambil alih troli dari Andro. Mereka beriringan menuju pintu terluar, lalu Wahyudi izin untuk mengambil mobil.

"Sal, kamu sama ibu tunggu sini sambil jagain koper, ya. Aku ikut Yudi ke parkiran." Kesempatan, pikir Andro. Dikejarnya Wahyudi, yang berpura-pura tak sadar sedang diikuti.

"Gak usah golek perkoro lah, Ndro. Aku kegowo-gowo ki gak penak," ujar Wahyudi tanpa menoleh.

"Suudzon. Aku bukan mau bahas masa lalu, Yud. Udah selesai. Aku udah punya yang lebih segalanya. Aku nggak mau kehilangan Salma."

"Alhamdulillah. Bagus lah kalau begitu. Terus, kamu ikut ke sini mau ngapain?"

"Mau..., meluk kamu Wahyudi sayaaang." Andro memeluk Wahyudi dari belakang. Dua detik berikutnya mendorong kepala sahabatnya dengan semena-mena.

"Jijik!" umpat keduanya bersamaan, lalu tawa mereka membuat berisik parkiran.

"Aku belum balik ke rumah lho ini, Ndro. Balik kerja langsung ke sini."

"Kerja apaan emangnya? Magang kok sampai malem."

"Diajak Pak Dimas ke lapangan."

"Bukan urusan proyek tempatmu magang, kan? Harusnya boleh nolak, Yud."

"Iya, sih. Tapi aku kan bisa dapat pelajaran dan pengalaman yang bisa mendukung masa depanku nanti, Bro. Lagian, diajakin bos masa nolak sih. Nggak enak kali, Ndro."

"Yo wis. Sepurane nek kon kesel. Aku gak eruh, dadie yo tak jaluki tulung mrene."

"Santai, Ndro. My pleasure. Aku kan juga merindukanmu."

"Huek." Kedua sahabat itu tertawa lagi.

"Eh, merindukan aku mesti ada udang dibalik bantal iki. Kon meh takon-takon tentang Leti ta?"

"Nggak lah, Ndro. Cukup tahu diri aja. Aku sama dia udah macam langit sama bumi. Bedanya jauh banget."

"Tapi dia jatuh cinta banget sama kamu, Yud."

Yudi bersyukur Salma dan ibunya sudah terlihat. Pembahasan tentang Leticia bisa dihentikan sekarang juga. Sejujurnya topik itu membuatnya tak nyaman. Dia hanya tahu diri. Itu saja.

"Eh, Ndro. Nanti kalau sampai di rumah mamamu ada marah atau semacamnya, terus namaku kebawa-bawa, tolong kamu jangan langsung suuzon sama aku ya. Besok pas ketemu lagi aku jelasin," pesan Yudi sesaat sebelum mereka turun dari mobil.

Perjalanan sampai ke rumah Andro cukup lancar. Mama dan papa sudah ada di rumah saat mereka tiba. Mama menyambut Salma dengan semangat. Yang tidak tahu pasti akan mengira kalau yang anaknya mama adalah Salma.

Sesudahnya mereka makan malam, sebelum mempersilakan Andro, Salma, dan Bu Dita untuk istirahat.

"Salma biar tidur sama mama ya, Ndro. Kamu sama papa," pinta Utami.

"Eh, permintaan macam apa itu? Nggak, nggak. Salma ya sama Andro. Enak aja Mama, nih." Andro tak terima. Antariksa terkekeh mendengar perdebatan istri dan anaknya. Menyuruh Utami untuk mengalah saja.

Salma tidur tak lama setelah masuk kamar dan membersihkan badan. Andro sebaliknya, sampai menjelang tengah malam masih sulit memejamkan mata.

Gawainya bergetar, tak dibiarkan berisik lebih lama. Panggilan dari mamanya.

"Belum tidur, Ndro?"

"Iya, belum, Ma. Nggak tahu nih, belum bisa tidur aja."

"Ke sini, ya. Ke kamar mama. Mama sama papa mau dengar cerita kalian waktu di sana."

"Hemm." Obrolan Andro akhiri. Lalu dengan malas-malasan menuju ke kamar mamanya. Lebih cepat selesai lebih baik, begitu pikirnya.

Usai mengucap salam, Andro langsung menyusup diantara mama dan papanya. "Kangen jadi anak kesayangan lagi," katanya manja.

"Masih dan selalu anak kesayangan lho, ya." Mamanya gemas. Dikecupnya pipi Andro seperti mengecup pipi bayi. Andro kegelian.

"Sekarang yang kayak anaknya mama malah Salma, deh."

"Dih, cemburu sama istri sendiri. Sendirinya bikin istri cemburu gara-gara perempuan dari masa lalu."

Duh, salah ngomong. Sungguh, Andro menyesal atas apa yang barusan dia katakan.

"To the point aja, Ma. Andro siap disidang. Salma laporan apa lagi sama Mama?" Cuma bisa berburuk sangka, padahal mamanya dan Salma sudah berhenti membahas 'orang ketiga' sejak hari itu. Andro saja yang agak sensi.

"Nggak ada, Ndro. Mama cuma mau pesan sama kamu, tolong hargai Salma. Dia istrimu. Sedang hamil. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi waktu dia melahirkan nanti. Dan mama juga nggak tahu, apakah kamu akan sekhawatir saat temanmu itu mau melahirkan anak suaminya.

"Kamu punya Salma. Seharusnya waktu kamu khawatir berlebihan soal temanmu, kamu posisikan Salma di posisinya. Salma hamil anakmu lho. Cucu mama. Dia nggak pernah manja, nggak pernah ngerepotin kamu, nggak pernah minta macam-macam, nggak pernah menuntut ini itu. Malah sebaliknya. Kamu sibuk, dia terima. Kamu capek, dia layanin. Kamu sakit, dia yang ngerawat. Dia penuhi semua keperluanmu. Dia sabar banget ngadepin kamu.

"Kamu harusnya sadar diri, Ndro. Salma itu perempuan yang istimewa. Dia punya banyak sekali kelebihan. Kasarnya ya, Ndro, Salma tanpa kamu masih akan baik-baik saja, tapi kamu tanpa Salma pasti akan jauh lebih sulit daripada ketika ada Salma di samping kamu.

"Satu hal yang harus kamu catat baik-baik, Ndro. Yang kamu nikahi itu Salma, bukan perempuan dari masa lalumu. Salma itu istrimu. IS-TRI-MU! Mama tahu kamu mencintainya, tapi belum cukup kalau kamu masih selalu menempatkan dia di bawah bayang-bayang perempuan dari masa lalumu."

Mama bicara panjang lebar tanpa Andro berani menyela. Topik yang diam-diam mengikutinya sepanjang sepuluh hari terakhir ini.

"Iya, Ma. Andro salah. Tapi demi Allah, Andro mencintai Salma sepenuh hati dan jiwa, Ma. Salma sendiri sudah bilang ke Andro, dia akan bantu Andro biar bisa lepas dari bayang-bayang Z..., bayang-bayang masa lalu."

Utami menatap sengit. Antariksa menahan tawa, dalam hati berkata, "Perempuan memang beda."

***

Hai, ketemu lagi sama Andro-Salma setelah Senin kemarin absen. Tapi aku mohon maaf sebesar-besarnya. Part ini bener-bener nggak ada baca ulang-edit sama sekali. Ditulisnya juga disambi acara acari. Jadi mohon dimaklumi kalau ceritanya dari Sabang sampai Merauke. Semoga tetap sambung menyambung menjadi satu. Eaaakk.

Kalau ada yg salah, atau kurang bisa diterima akal sehat, atau agak janggal dirasakan, atau agak wagu, dsb... Please, bantu koreksi ya. InsyaAllah nanti aku betulin. Yang penting update dulu. Hehe...

Oh iya, Pengantin Dodol versi revisi udah mulai kupost yaa. Yuk, ramaikan juga.

Baiklah. Terima kasih banyak untuk semua. Love love.

See you :)

Bojonegoro, 26052022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top