58. Move On

Lagi sakit kepala, tapi juga lagi semangat nulisnya.

Yaudah...
Selamat membaca :)

***

"Mas, bangun. Salat zuhur dulu." Salma menepuk lembut pipi Andro, kiri kanan bergantian.

"Hemm."

"Nanti habis salat tidur lagi. Yuk, bangun dulu. Sebentaaar aja."

"Iya."

"Iya ya ayo, bangun."

"Aku capek banget, Sal."

"Iya. Namanya masih hidup di dunia ya masih ada capeknya, karena istirahat yang sebenarnya itu nanti kalau udah masuk surga."

Berat amat nasihatnya, gerutu Andro dalam hati.

"Nanti aja jamak sama asar boleh, kan?"

"Qosor juga boleh sih, tapi kalau bisa salat pada waktunya kan lebih bagus."

"Kali ini aku milih yang biasa aja, Sal."

"Kok gitu?"

"Sumpah. Aku capek banget, Sal. Please."

"Iya, Sal tahu Mas capek banget. Capek khawatirin Mbak Zulfa, kan? Ya udah, Sal mau---"

"Ehk. Iya, Sal. Aku salat sekarang."

Kalimat Salma belum usai, tapi sudah berhasil membuka mata Andro selebar-lebarnya. Kantuknya auto-menghilang entah ke mana. Rasa lelah yang sangat membuat Andro lupa kalau dia baru saja menyakiti hati istrinya.

Astaghfirullah hal adzim, batin Andro berkali-kali.

Usai salat Salma menawarinya makan siang. Andro menggeleng. Dia belum lapar. Salma minta maaf karena sudah makan duluan. Ada janin dalam rahimnya yang membuatnya tak boleh egois menuruti malas atau lelah.

"Makan sama siapa? Tante Sara bukannya istirahat dua hari, ya?"

"Iya. Tante masih tidur tadi, tapi ya nggak dua hari full juga kali, Mas. " Salma terkekeh. Andro kadang suka lucu begitu.

"Oma yang bangunin Sal. Kami makan bareng dengan ibu, Tio Balta, dan Beni. Sal juga bilang kalau Sal pengen mengunjungi tempat-tempat yang dulu menjadi bagian dari kejayaan Andalusia. Beni punya kenalan tour guide sekaligus owner dari travel muslim, nanti dia akan hubungi temannya itu."
*tio: paman/om (bahasa Spanyol)

"Hemm..., Beni ya? Dia ganteng lho, Sal. Kok kamu nggak ngajakin aku makan bareng, sih. Kalian kan bukan mahram."

Andro bercanda, tapi tak tepat waktunya. Salma menarik napas dalam. Rasanya ingin meledak mendengar pernyataan suaminya.

"Mas nggak ada alasan buat cemburuin Sal kayak gitu. Mas egois. Mas cuma cari pengalihan isu buat menutupi kesalahan Mas kemarin, kan?" Salma menekan emosi sekuat tenaga. Batinnya merapal istighfar agar dijaga dalam kesabaran.

Andro diam. Dia sadar telah melakukan kesalahan. Lagi.

Aku kenapa, sih? Perasaan dari kemarin melakukan hal bodoh terus. Kon pancen gobl*k, Ndro! keluhnya dalam hati, sambil memaki dirinya sendiri.

"Maaf, Sal. Aku nggak bermaksud begitu."

"Tapi Mas melakukan itu. Mas juga nggak bermaksud kepikiran Mbak Zulfa, kan? Tapi Mas mengikuti keinginan Mas untuk melakukan itu, kan? Dan Sal bisa apa selain menerima?

"Sal. Aku---"

"Mas apa? Mas cinta banget sama Sal. Sayang banget sama Sal. Dan bla bla bla. Tapi---"

"Kenyataannya begitu, Sal. Aku memang sangat mencintai kamu."

"Tapi Mas juga belum bisa melepaskan perasaan Mas sama Mbak Zulfa, kan?"

"Aku udah nggak ada rasa sama Zulfa, Sal. Kemarin itu cuma kekhawatiran sebagai seorang teman."

"Mas ingat waktu teman Mas kecelakaan sampai pingsan? Yang Mas harus buru-buru ke Salatiga malam-malam?" Andro mengangguk lemah.

"Mas nggak panik. Mas bisa tetap tenang. Kenapa? Karena dia memang benar-benar teman. Sebatas teman. Mungkin begitu juga kalau kejadiannya sama teman perempuan yang Mas nggak pernah ada perasaan. Tapi ini Mas gelisah, bukan karena teman, tapi karena ini Mbak Zulfa."

"Tapi aku udah berusaha untuk nggak memikirkan itu, Sal. Aku tetap perhatian sama kamu. Aku---"

"Mas masih bisa membela diri, ya? Hebat banget. Tapi Mas juga pasti tahu, perhatian dengan pikiran dan perasaan yang fokus dan yang terbagi itu beda banget. Kerasa banget.

"Sal masih bisa mengerti dan memaklumi kalau perhatian Mas terbagi ke urusan kuliah yang juga nggak ada habisnya. Tapi kalau urusan dengan perempuan lain....

"Berat, Mas. Sama beratnya dengan perasaan yang harus Sal tahan setiap kali ada kejadian yang melibatkan Mbak Zulfa. Sal juga harus selalu meraba-raba dan mencari jawaban sendiri atas pertanyaan yang selalu membayangi Sal.

"Apa benar Mas cinta sama Sal? Apa benar ada tempat di hatinya Mas buat Sal? Atau mungkin Mas cuma memenuhi keinginan mama untuk nikahin Sal? Atau malah..., Sal cuma pelarian dari patah hatinya Mas karena Mbak Zulfa nikah?"

Andro ingin berteriak. Memaki dan melempar apa saja yang ada di dekatnya. Dia mencintai Salma. Sangat cinta. Sepenuh hati dan jiwanya. Kejadian seperti kemarin di luar kendalinya. Itupun dia merasa sudah mati-matian menolak kekhawatirannya akan Zulfa, salah satunya dengan menonaktifkan handphonenya. Kalau secara gesture Salma masih menangkap sesuatu yang berbeda, dia bisa apa?

Hening. Hampir lima menit tanpa sepatah pun pembicaraan. Hanya terdengar hela napas panjang yang berulang Salma lakukan. Andro masih memilih diam, sebab di saat-saat seperti ini, semua ucapannya pasti salah di hadapan Salma.

Sekali lagi terdengar tarikan napas panjang, yang Salma lepaskan dengan sangat perlahan.

"Katakan, Mas. Sal harus melakukan apa untuk membantu Mas melepaskan perasaan itu buat Mbak Zulfa?"

Salma mengatakan itu dengan penuh ketenangan. Dada Andro sesak oleh keharuan. Meski marah dan sakit hati kepadanya, Salma selalu punya stok kesabaran lebih untuk menghadapi dan memaafkannya. Salma selalu tahu apa yang dia butuhkan.

Dipeluknya Salma. Tak ada lagi rasa malu bagi Andro untuk meneteskan air mata di hadapan istrinya.

"Iya, Sal. Aku butuh waktu. Dan aku butuh kamu."

Salma menenangkan Andro yang meluapkan tangisnya dengan total. Tentu saja ada suuzon. Jangan-jangan salah satu sebab suaminya menangis sampai segitunya adalah mengeluarkan semua keresahannya yang kemarin. Tapi ya sudahlah, mungkin dia sendiri terlalu sering membahas Zulfa sehingga mengganggu proses move on seorang Angkasa Andromeda.

Ehk. Apa benar begitu, ya? Jangan-jangan malah aku yang bikin Mas Andro gagal move on? Astaghfirullah.

Salma seperti menyadari sesuatu. Pikiran itu melintas tiba-tiba di benak Salma. Dia jadi tak sabar untuk bertanya pada mama mertua. Ya, mama mertua. Meski beda kasus, tapi ada satu kesamaan pada masalah yang menimpa rumah tangganya dan rumah tangga papa mama. Ada bayang-bayang perempuan lain, hanya status perempuannya saja yang berbeda. Istri siri dan mantan gebetan.

"Insya Allah Sal udah maafin Mas. Sekarang Mas tidur lagi aja ya, Sal temenin. Habis itu Sal mau telpon mama. Ada sesuatu yang mau Sal tanyakan. Sal butuh belajar dari mama."

"Kamu mau laporin aku, ya? Ya deh, nggak apa-apa kalau itu bikin kamu lega dan bisa maafin aku. Aku siap. Kalau nanti mama ngamuk sama aku, aku terima."

Salma terkikik geli. "Mas sensi banget sih. PMS ya?"

"Ya udah. Kamu telpon mama sekarang aja, Sal. Aku ikut dengerin."

"Nggak, ah. Ini kan rahasia perempuan. Mas tidur aja."

"Ayolah, Sal. Please."

"Sal nggak boleh punya rahasia, ya? Padahal rahasiaannya juga cuma sama mama lho."

Suara Salma melemah. Strategi saja. Berdebat dengan Andro hampir pasti berakhir percuma. Tapi Andro suka tak tega kalau Salma sudah pasang tampang sedih atau memelas.

"Iya, Sal, iya. Aku tidur. Temenin dulu ya." Salma mengangguk dan tersenyum. Menemani suaminya dan memastikan Andro benar-benar tidur. Bukan pura-pura tidur tapi diam-diam nguping.

16.25 waktu Madrid, Salma mencoba menghubungi mama mertuanya. Agak lama. Baru diangkat pada panggilan keempat.

"Assalamualaikum, Ma. Maaf, Salma mengganggu ya, Ma?"

"Waalaikumussalam. Nggak kok. Menantu kesayangan mana ada mengganggu. Mama yang minta maaf angkat telponnya lama. Tadi lagi siapin baju papa. Dia baru pulang, ada kerjaan di Gresik sama Dimas. Udah tiga bulan ini lho mama siapin baju buat Iksa. Mama niru kamu, Sal.

Sebelumnya Utami tak pernah sedetail itu melayani Antariksa. Merasa dari sejak awal menikah sudah sama-sama mandiri, sehingga menganggap hal demikian adalah sesuatu yang berlebihan.

"Ternyata bukan begitu konsepnya ya, Sal. Mama baru sadar pas Andro cerita kebiasaan-kebiasaan baru setelah dia nikah sama kamu. Iya sih. Laki-laki mau model gimanapun kalau dimanja dan diperhatiin gitu ternyata dia seneng."

Di seberang sana mama tertawa. Sejak ada Salma, mama Andro memang suka cerita apa saja pada menantu kesayangan. Ucapan terima kasih beberapa kali tertuju untuk Salma. Salma tersenyum senang.

"Kok papa masih sore udah pulang, Ma?"

"Kamu lupa apa gimana sih, Nak? Di sini udah jam sepuluh malam lho." Keduanya tertawa berderai-derai. Salma benar-benar lupa soal perbedaan waktu yang saat ini membentang diantara dia dan mama mertua.

Selisih waktu Spanyol dan Indonesia di musim gugur dan dingin adalah 6 jam lebih lambat dari Indonesia. Sedangkan di musim semi dan panas selisihnya 5 jam.

"Mama, Salma mau tanya sedikit. Boleh?" Salma mulai masuk pada tujuan utamanya menelepon mama. Tentu saja jawabannya adalah boleh. Bahkan apapun akan Utami usahakan kalau itu Salma yang minta.

"Emm, ini tentang mama waktu ada..., emm..., maaf, Ma. Waktu ada perempuan lain di sisi papa."

"Nggak apa-apa, Nak. Sampaikan saja," kata Utami lemah lembut. Tak mau Salma merasa sungkan.

"Apa mama pernah membahas soal perempuan itu di depan papa?"

"Tentu saja pernah, Nak. Tapi hanya untuk hal-hal yang prinsip. Dan mama cuma mau membicarakannya di kantor saja, di ruang meeting. Rumah nggak menerima perempuan itu, bahkan sekadar namanya saja."

"Berarti nggak pernah bahas ya, Ma?"

"Waktu Iksa masih terikat pernikahan dengan dia, iya, nggak pernah. Dan jangan pernah bahas apapun tentang perempuan lain yang menjadi pengganggu di rumah tangga kita. Seperti apapun jenis gangguannya."

Di sana, Utami mulai meraba ke mana arah pembicaraan Salma. Pengalaman membuatnya paham, tapi dia tak mau bertanya, tak mau menghakimi, dan tak mau menjatuhkan siapa-siapa.

Menurut Utami, membicarakan perempuan yang mempunyai tempat khusus di hati pasangannya adalah sesuatu yang 'haram' dilakukan. Karena kita tidak pernah tahu isi hati seseorang, termasuk pasangan.

"Namanya orang suka, cinta, sayang, atau apalah namanya. Mendengar nama someone special-nya disebut, bisa aja bikin dia deg-degan dan happy. Itu harus dihindari, Salma. Sekalipun kita menyebutnya dengan kemarahan, dengan kebencian. Who knows? Kita nggak tahu bagaimana nama tersebut masuk ke telinga dan hati pasangan kita kan, Nak?

"So, jangan pernah sebut nama dia, apapun alasannya. Kalau pasangan kita sedang berusaha move on, itu cuma akan mengingatkannya tentang seseorang dari masa lalu. Kalau pasangan kita masih menjalin hubungan, seperti papa dulu, itu akan membuat fokusnya saat bersama kita jadi terbagi.

"Kalau harus ada yang dibahas soal orang tersebut, cari tempat dan waktu yang khusus untuk membicarakan hal-hal tersebut. Seperti mama memilih ruang meeting kantor. Selain itu, simpan saja segala sesuatu yang berhubungan dengan orang itu. Sekalipun kita ingin, tekan sekuatnya keinginan untuk membicarakannya."

Salma menggigit bibirnya. Baru sadar bahwa di juga punya andil kesalahan sehingga membuat suaminya masih belum bisa move on sepenuhnya dari masa lalu.

Dia sering sekali membawa-bawa nama Zulfa kalau sedang dikuasai cemburu. Dia sering sekali berprasangka buruk setiap kali suaminya terlihat melamun atau memikirkan sesuatu. Dia juga sering berusaha meyakinkan suaminya kalau dia baik-baik saja dengan keberadaan Zulfa.

Disusutnya dua bening yang sudah menggenang di sudut mata, sambil memandangi Andro yang tidur nyenyak sekali seperti bayi beruang.

"Salma salah, Ma. Berarti selama ini malah Sal yang bikin Mas Andro susah move on dong, ya?" Salma menangis di depan mama.

"Nggak seperti itu, Sayang. Dalam hal ini tetap Andro yang paling besar kesalahannya, karena hati dia yang punya. Kamu nggak bisa mengontrol yang satu itu, cuma Allah saja, dan Andro. Kamu juga kan belum ngerti dan belum ada pengalaman soal seperti ini. Berhubungan dekat sama laki-laki aja baru sama Andro. Makanya, Andro itu beruntung banget punya kamu.

"Tapi, Nak, memang melupakan itu butuh waktu. Itu pun nggak akan bisa untuk lupa sama sekali, kecuali amnesia. Hanya saja, untuk melepaskan perasaan ya semestinya Andro bisa. Dan harus bisa.

"Kamu yang sabar ya, Sayang. Mama dan papa minta maaf atas nama Andro. Bukan membela karena dia anak mama, tapi memang butuh waktu. Setidaknya dengan Salma nggak bahas lagi tentang seseorang dari masa lalu Andro, harapannya bisa meminimalisir Andro untuk ingat ke sana.

"Nggak ada yang salah di sini. Salma masih belajar. Andro juga masih belajar. Mama sama papa juga masih belajar terus kok, termasuk belajar dari kalian berdua.

"Nah, kalau soal perasaan Andro ke kamu, percayalah, Salma, Andro serius. Dia mencintai kamu dengan sepenuh hatinya. Bucin kalau kata anak zaman now. Mama kenal banget sama Andro. Mama yang melahirkan dia.

"Wahyudi juga banyak cerita kemarin. Memang dia kami panggil, mau kami tanyai tentang hubungannya dengan Leticia. Malah jadi membahas tentang Andro. Anak itu punya kemampuan menggiring lawan bicara ternyata." Mama menutup dengan tawa. Lalu mengubah panggilan suara menjadi panggilan video.

"Andronya mana, Sal?" Wajah papa muncul di layar. Salma tersenyum melihat kemiripan wajah papa dengan suaminya.

"Lagi tidur, Pa. Mas capek banget kayaknya."

"Bangunin aja. Tempelin HP ke kupingnya ya, Salma."

"Eh, jangan, Pa. Kasihan."

"Nggak apa-apa, Sal. Bangunin aja." Mama ikut mengompori. Salma menyerah.

"Mas, maaf Sal bangunin. Dicari mama sama papa. Ini videocall."

Andro meraih gawai dan menempelkan ke telinganya. Menjawab dengan malas-malasan dan setengah sadar. "Apa sih? Anak lagi capek juga diganggu. Katanya suruh honeymoon, tapi ditelponin mulu. Males, ah."

"Mas, itu tadi Sal yang telpon mama duluan. Di sana udah jam sepuluh malam. Malah Sal yang ganggu mama papa, Mas." Salma berbisik  meluruskan. Andro cuek saja. Mengakhiri panggilan dan melempar handphone Salma sembarangan, lalu tidur lagi.

"Astaghfirullah," gumam Salma sambil memungut handphonenya. Untung saja dia punya bekal sabar yang sudah ditempa sepanjang hidupnya. Menghadapi Andro kadang butuh kesabaran lebih.

Diteleponnya kembali mama mertua, menyampaikan permohonan maaf atas kelakuan suaminya. Mama juga meminta maaf, sebab terlambat dalam mendidik Andro soal adab, terutama kepada kedua orang tua dan orang-orang dekatnya.

Usai menelepon mama dan menerima tambahan nasihat, Salma memutuskan untuk tidur. Kalaupun tak mengantuk, rebahan sambil memuroja'ah hafalan menurutnya lebih bermanfaat daripada melamun atau bicara dengan orang lain. Sedang ada banyak hal yang harus dia jaga sekarang ini. Bertemu orang lain mungkin bisa membuatnya khilaf dan bicara yang tidak perlu.

Tak sampai setengah jam Salma sudah pulas. Tangannya melingkari tubuh Andro. Memeluknya dengan cinta dan kesabaran yang selalu Salma tanamkan dalam hatinya.

-------

Pintu kamar diketuk. Andro yang sedang asyik memandangi Salma bergegas membukakan pintunya. Suara oma terdengar, membuat Salma terbangun. Dilihatnya sekilas jam dinding, jam sembilan lebih sedikit. Berarti sudah tiga jam lebih dia tidur.

Oma Lucia menghampiri Salma yang masih di atas tempat tidur. "Omaaa. Maafkan Sal, ketiduran lama," kata Salma manja. Neneknya memeluk sambil tertawa.

"Nggak apa-apa, Sayang, kan kamu memang harus banyak istirahat. Nggak boleh kelelahan. Tapi waktunya makan ya tetap harus makan. Ada baby lho di sini." Perut Salma diusap lembut oleh omanya.

"Yuk, kita makan sama-sama. Yang lain sudah menunggu. Sebastian juga sudah pulang, pengen kenalan sama tante dan sepupu-sepupunya."

"Iya, Oma. Sal cuci muka dulu sebentar ya."

Oma meninggalkan mereka. Salma segera bersiap.

"Mas udah bangun dari lama ya? Kok udah seger gitu. Udah ganti baju juga. Udah mandi?" tanya Salma sambil mengganti baju.

"Bangun sekitar sejam lalu. Langsung mandi, terus ngelihatin kamu. Pules banget tidurnya. Cantik banget orangnya. Puas banget aku ngelihatinnya."

"Hih, gombal suwek." Salma mencibir. Andro ngakak mendengar celetukan Salma.

"Yuk, Mas, keluar sekarang. Nggak enak ditunggu sama yang lain." Ditariknya tangan Andro menuju ruang makan.

Di Spanyol makan malam di atas pukul sembilan adalah sesuatu yang biasa. Sara menjelaskan pada mereka tentang kebiasaan makan orang Spanyol yang bermacam-macam. Juga membanggakan menu makan mereka yang sehat dengan jumlah yang tidak berlebihan.

Usai makan malam, perkenalan keluarga dilakukan lagi. Kali ini lebih lengkap dan detail daripada pagi tadi. Tentu saja masih dalam suasana santai dan hangat khas orang Spanyol.

Andro, Salma, dan Dita merasa senang berada di tengah-tengah keluarga Gomez. Mereka merasa diterima sebagai keluarga, bukan sebagai tamu, atau orang baru.

Orang Spanyol memang terkenal hangat, ramah, dan sangat dekat dengan keluarga. Begitupun keluarga Baltasar dan Sara yang tetap menunjukkan antusiasme hingga aktivitas makan malam selesai.

"Alhamdulillah. Sal bahagia banget, Mas, punya keluarga yang semuanya baik-baik dan menerima Sal dengan tangan terbuka." Malam sudah larut. Keduanya baru masuk ke kamar.

"Iya. Baik semua, kecuali aku ya, Sal? Aku yang suamimu, harusnya yang paling dekat dan bahagiain kamu, tapi malah aku yang paling sering nyakitin kamu."

"Nggak. Sal nggak mau bicarain soal itu lagi. Kita tutup buku. Sama seperti masa lalu Sal yang nggak perlu dibicarakan, masa lalu Mas juga bukan buat kita bahas-bahas lagi. Semuanya udah selesai. Sekarang waktunya Mas buat move on. Move on yang sebenar-benarnya. Sal akan bantu sekuat tenaga biar Mas bisa melepaskan itu semua.

"Tapi Mas harus janji kalau Mas akan berusaha maksimal. Nggak gampang menuruti emosi dan perasaan. Sejatinya itu cuma keinginan dan bisikan syetan, kok. Sal janji akan selalu ada saat Mas membutuhkan. Kalau Mas ingat masa lalu, Mas harus cepat-cepat datengin Sal sebagai pengalihan. Pokoknya cuma Sal, bukan yang lain."

Sesungguhnya Andro sudah tahu semua pembicaraan Salma dengan mamanya sore tadi. Mama merekam dan mengirimkan rekaman suara tersebut kepadanya, lengkap dengan banyak voicenote dari mama dan papa, yang dia dengarkan sambil memandangi wajah cantik Salma saat sedang lelap-lelapnya.

Andro sendiri tak pernah menyadari, tapi yang dikatakan mamanya memang benar. Kadang saat dia tak punya tendensi apa-apa soal Zulfa, Salma yang justru membuatnya ingat pada sosok yang pernah mengisi hatinya.

Maka ketika Salma bukannya marah tapi malah bertanya, apa yang bisa Salma lakukan untuk membantunya lepas dari bayang-bayang masa lalunya? Saat itulah Andro merasa seperti anak kecil yang bertemu ibu peri nan baik hati.

Itu yang dia butuhkan. Bukan kemarahan dan penghakiman. Dan Salma memberinya itu semua.

"Maafkan aku ya, Sal. Aku janji, aku akan berusaha untuk itu. Tinggal selangkah lagi. Dan aku yakin itu akan lebih mudah, karena kamu selalu ada buat aku. Terima kasih, Salmaku. I love you."

***

Bener sih. Kadang kita udah lupa, eh malah diingatkan. Udah nggak kepikiran, eh malah dibahas-bahas. Pas tiba-tiba ada sesuatu yang bikin kita kepikiran sosok dari masa lalu, eh malah dijudge ini itu.

Nggak mudah memang, tapi Salma yakin kok kalau Andro bisa.
Harus bisa lah ya!

Btw, gimana? Udahan apa mau lanjut lagi nih ceritanya Andro Salma?

Kayaknya part ini udah cocok juga buat ending. Lagian, udah makin ngalor ngidul ke mana-mana nggak sih ceritanya? Hahaha...

Say me yaaa. Akan kita lanjutkan dengan suka-suka atau kita cukupkan sampai di sini saja?

Baiklah. Terima kasih banyak dan mohon maaf utk segala kesalahan & kekurangan.

See you :)

Semarang, 19052022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top