57. Keberangkatan
Happy reading.
***
Tiga hari terakhir ini Salma sibuk sekali. Rencana kepergiannya bersama Andro dan ibunya —Dita— ke Spanyol cukup menguras tenaga dan pikiran. Apalagi awal tahun masih masanya musim dingin, tentu saja ada outfit khusus yang belum Salma punya. Meski begitu, Salma sama sekali tak mengeluh. Sebaliknya dia sangat bersemangat. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya ke luar negeri sekaligus pengalaman pertamanya memiliki paspor dan naik pesawat.
Satu lagi yang sangat menyenangkan bagi Salma. Untuk pertama kalinya dia merasa bebas saat berbelanja. Jika saat masih gadis dulu dia harus menahan segala keinginan karena tidak mampu secara finansial, lalu di awal menikah masih harus memendam keinginan-keinginan sebab rasa sungkan pada keluarga suaminya, sekarang ini dia punya uang tabungan sendiri.
Salma merasa sangat kaya, tapi bukan berarti dia lalu membeli segala sesuatu dengan menutup mata. Mama mertua dan Rea yang menemani belanja bahkan masih mengomentarinya dengan gemas. "Udah sih, beli aja! Nggak usah lihat pricetag segala."
Leticia juga menyarankan pada Salma untuk tak perlu membawa banyak baju. Dia berjanji untuk meminjamkan baju-bajunya kepada Salma. Baju hangat tentunya, sebab fashion sehari-hari Leticia bagai langit dan bumi dengan gaya berbusana Salma yang tertutup rapat.
Entah sudah berapa kali Salma mengecek koper yang isinya sudah rapi. "Ini yang terakhir," gumamnya.
Usai menutup koper, Salma naik ke tempat tidur hendak beristirahat. Masih ada sekitar dua jam sampai waktu berangkat ke airport. Mereka harus terbang ke Jakarta dulu dan melakukan penerbangan internasional dari Soekarno Hatta malam nanti.
"Udah siap semua, Sal?"
Suara Andro terdengar dua detik setelah pintu kamar terbuka. Dia baru saja pulang dari proyek tempat Wahyudi magang. Dihampirinya Salma, mengecup keningnya sekilas sembari mengelus lembut rambutnya.
"Insya Allah udah semua, Mas. Kopernya Mas yang hitam, punya Sal yang krem. Buat di kabin Sal bawa koper kecil, Mas pakai ransel sesuai request. Dokumen mau dijadiin satu atau dipegang sendiri-sendiri? Biasanya gimana, Mas? Sal belum pernah ke luar negeri. Deg-degan."
Salma tersenyum lebar. Andro jadi gemas. Direngkuhnya Salma ke pelukan, lalu mengecup kening Salma sekali lagi.
"Dipegang sendiri-sendiri aja, Sal, kan di imigrasi juga kita ke loketnya sendiri-sendiri. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari aku ya, nanti aku kangen."
"Hih, gombal." Salma mencibir. Bibirnya menyungging senyum bahagia.
Sebenarnya Andro sendiri agak deg-degan. Perjalanannya kali ini berbeda. Dia sudah berstatus suami. Ditambah lagi mendampingi lima orang yang semuanya perempuan, cantik pula. Tanggung jawab sudah pasti ada di pundaknya. Tapi Andro tetap semangat demi melihat binar bahagia di wajah istri tercinta.
"Ya udah, kamu istirahat ya, Sal. Perjalanan kita akan panjang. Aku nggak mau kamu kecapaian." Kali ini bibir Salma yang menjadi sasaran kecupan.
"I love you, Salmaku. Harus tidur. Nanti kubangunin sebelum waktu zuhur." Andro memasang selimut hingga ke pinggang Salma. Ditepuknya lembut pipi kiri sang istri, lantas siap beranjak lagi.
"Mas mau ke mana? Nggak istirahat juga?"
"Aku mau cek bawaan kabinku dan ngelengkapin yang belum, Sal. Sama mau cari-cari buku di perpus papa, siapa tahu butuh bacaan selama perjalanan. Tapi aku nemenin kamu aja deh. Aku cuci muka dulu ya."
"Nggak harus nemenin, ah. Nanti malah Sal nggak jadi tidur." Andro terkekeh mendengar respon Salma. Mereka melanjutkan aktivitas sesuai rencana semula.
Selepas zuhur Wahyudi datang. Dia yang akan mengantar Andro dan Salma ke bandara. Papa dan mama Andro sejak pagi ada urusan di luar, mereka akan langsung bertemu di bandara untuk melepas kepergian Andro dan Salma. Ibu Salma dan yang lain berangkat dari kediaman keluarga Johan.
Tiba di bandara, terlihat Utami dan Antariksa beserta Dimas dan Rea. Kedua eyang Andro dari pihak papa juga tampak di sana. Bu Dita datang lima menit kemudian bersama Oma Lucia, Tante Sara, dan Leticia. Mereka mengobrol penuh sukacita, meski rencana berlibur keluarga Antariksa terpaksa masih harus tertunda.
"Leticia mana?" tanya Andro pada yang lain.
Boarding time kurang dari satu jam lagi. Mereka akan cek in segera, tapi Leticia tak tampak sosoknya. Mata Andro berkeliling, tak ditemukan pula sahabatnya.
"Cuk, ojok nggowo mlayu anake uwong. (Jangan bawa lari anak orang)" Andro setengah berteriak dengan gawai menempel di telinga.
"Sorry, Ndro. Kami ke situ sekarang. Nggak jauh kok." Wahyudi langsung paham apa yang terjadi.
Tak sampai dua menit, sepasang muda mudi terlihat mendekat dengan langkah tergesa. Wahyudi meminta maaf. Leticia pasang badan, mengatakan bahwa dia yang mengajak Wahyudi melipir. Memang begitu adanya.
Waktu berpisah tiba. Andro dan rombongan menuju antrian cek in. Tak ada air mata pada sesi pamitan dan perpisahan. Semua gembira, kecuali....
"Kamu kok kelihatan sedih, Leti?" Pertanyaan Salma membuat Leticia tersipu.
"Aku, emm...."
"Cieee, sedih ya mau berpisah sama Mas Wahyudi?" Salma meraih tangan Leticia. Sejak menangkap basah Wahyudi usai berduaan dengan Leti, Salma makin intens mengamati kakak sepupunya itu.
Leticia membuang muka, malah tak sengaja bertemu mata dengan sosok yang sedang dibicarakan. Dia berdiri di balik kaca, melempar senyum tulus yang berhasil membuat hati Leti tertawan di pertemuan mereka yang pertama.
"Salma, aku...."
Leti mengibaskan genggaman Salma dan berlari menuju seseorang di balik kaca. Memeluknya tanpa ragu, juga tanpa memikirkan tanggapan sanak kerabat yang masih ada di sana.
"What's wrong with you, Leticia?" Wahyudi mengusap lembut punggung Leti. Tinggi mereka nyaris sama. Gadis itu membenamkan wajah di bahunya. Membasahi kemeja Wahyudi dengan air mata.
"I don't know. Tapi aku suka di dekatmu. Aku..., aku suka sama kamu, Yudi." Ucapan Leticia teredam di bahu Wahyudi. Gadis itu lalu merenggangkan pelukan. Ditatapnya mata Wahyudi dalam-dalam.
"Jemput aku di Madrid, ya. I'm waiting for you."
"Ssstt, kamu belum terbang Leti, masa iya sudah jet lag? Malu lho dilihat yang lain." Wahyudi menjauhkan Leti darinya. Betapa sungkan rasa hatinya, apalagi ada bos-bosnya di sana.
"Pergilah. Kasihan Andro kalau anggota grupnya nggak nurut sama dia." Yudi masih berusaha bercanda. Jangan tanya hatinya.
Bukannya pergi, Leticia justru memeluknya sekali lagi. Dan di detik berikutnya ada yang terasa hangat di bibir Wahyudi.
"Te amo, Yudi."
Leticia membelai satu pipi Wahyudi, kemudian berlari tanpa melihat kanan kiri. Tak pula memikirkan Wahyudi yang wajahnya sudah berubah mejikuhibiniu.
Dari baris antrian terdengar pekikan "Edan! Ngimpi opo arek siji iku!"
Secepat kilat Andro merogoh gawai dan menghubungi sahabatnya. Tak diangkat. Jelas saja. Dia melihat sendiri Wahyudi sedang sibuk berpamitan pada yang lain dengan gesture penuh kesungkanan.
Diulangnya lagi menghubungi Wahyudi saat mereka semua sudah duduk di ruang tunggu gate keberangkatan. Diangkat, tapi Andro tak bicara apapun, dia malah menanyai Leticia dan sengaja memosisikan gawainya agar yang di seberang telepon bisa ikut mendengarnya.
"Kamu dan Yudi sudah sejauh apa, Leti?" cecar Andro pada Leticia. Yang lain serempak menoleh pada si gadis keriting. Sama tidak sabarnya menunggu jawaban.
"Aku.... Eh, kami.... Aku..., aku fall in love with him, Andro. Dia baik. Dan apa adanya. Dia sopan. Aku comfort di dekatnya. Dan senyumnya..., senyumnya tulus sekali. Aku suka. Aku nggak bisa lupa. Aku---"
Andro memindahkan handphone ke telinganya. Sedikit berteriak pada si lawan bicara. "Cuuuk. Entuk dukun teko ngendi se? Nambahi pikiran ae. Jangkrik tenan kon!"
Andro memaki-maki dengan muka kesal. Salma dan yang lain tertawa terpingkal-pingkal. Leticia bengong, tak paham bahasa Jawa, tapi wajahnya masih tetap merona. Wahyudi yang masih di balik kemudi tersenyum-senyum sendiri.
"Piye, Bro? Hati aman?" goda Andro
"Tsunami, Ndro." Wahyudi di sana tersipu-sipu sendiri.
Dan sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Leticia habis dicengcengin oleh Andro.
***
Sebagai pengguna penerbangan kelas bisnis, mereka mendapat fasilitas lounge yang nyaman. Salma benar-benar menikmati perjalanan internasional perdananya. Andro juga sangat perhatian, membuat Salma lupa akan rasa lelahnya. Namun, menjelang boarding untuk penerbangan ke Madrid keadaan mendadak berubah oleh satu pesan di grup angkatan.
From Asya:
Assalamualaikum.
Teman-teman, mohon doanya utk sahabat kita Zulfa yg sedang menunggu masa persalinan. Saat ini sedang dirawat di RS. Kondisinya agak menurun.
Terima Kasih.
"Sal. Eh, emm, aku..., aku ke toilet dulu ya?" Andro gagal menyembunyikan raut mukanya yang berubah.
"Ada apa, Mas?"
"Eh, nggak kok. Nggak ada apa-apa. Aman. Kenapa? Mau ikut?"
"Apa sih?" Salma terkekeh. Perubahan raut wajah suaminya dia simpan dalam hati saja.
"Jangan lama-lama, nanti ketinggalan pesawat." Tante Sara berpesan. Andro mengiyakan.
Andro berlalu, Salma menatap punggungnya hingga menghilang. Di toilet, Andro mencoba menghubungi Asya.
"Assalamualaikum, Sya. Zulfa gimana keadaannya? Baik-baik aja kan, Sya?"
"Waalaikumussalam. Biasa sih, Ndro, orang mau melahirkan, beda-beda kekuatannya."
"Tapi aman kan, Sya?"
"Kalaupun nggak aman, memangnya kamu mau ngapain selain mendoakan? Udah punya Salma lho, Ndro."
"Iya, aku tahu betul, Sya. Aku cuma care sebagai sesama manusia. Sebagai teman yang membaca kabarmu tentang Zulfa di grup angkatan tadi. Itu aja."
"Kita udah sama-sama dewasa, Ndro. Nggak usah alesan macem-macem. Aku tahu ke mana arahmu. Please, kamu udah punya yang lebih segalanya dari Luli. Luli udah punya yang lebih segalanya dari kamu. Ngerti posisi masing-masing aja, Ndro. Sorry."
Sungguh, baru kali ini Asya menyesal berbagi informasi di grup angkatan. Tak akan dia lakukan kalau ternyata memancing respon semacam ini dari salah satu temannya. Dia kira Andro sudah benar-benar move on dari adik iparnya.
"Oke, Sya. Thanks udah ngingetin."
"Hemm."
"Ya udah, Sya. Maaf. Assalamualaikum."
"Aku yang minta maaf, Ndro. Waalaikumussalam."
"Salam buat---"
Tut tut tut. Asya sengaja mengakhiri panggilan. Tak mau menerima amanah yang dia sendiri tak bersedia menyampaikan.
Andro menggulir kembali layar gawainya. Kali ini nama Wahyudi yang dia pilih untuk dihubungi.
"Assalamualaikum, Yud. Ada kabar tentang Zulfa nggak?"
"Nggak, Ndro. Nggak ada update. Lagian kamu bisa nyimak sendiri di grup, kan? Ngapain nanya-nanya ke aku? Penting ya?" Wahyudi menjawab dengan malas.
"Kamu kenapa sih? Sensi banget habis di-kiss sama bule."
"Apa sih? Nggak jelas. Kamu juga kenapa nanya-nanya yang bukan urusanmu? Sorry, Ndro. Jadi informan buat anaknya big boss nggak ada dalam jobdeskku."
"Baru ditaksir bule aja udah selangit gini sama aku, Yud." Andro berusaha melucu.
"Nggak usah ke mana-mana, Ndro."
"Oke, Yud. Tentang Zulfa, aku kan cuma bertanya sebagai---"
"Umat manusia yang peduli pada keadaan sesamanya?"
Andro tersenyum miring, lalu mengakhiri obrolan sepihak. Kesal.
Di sana, Wahyudi lebih kesal lagi. Di matanya Andro mendadak terkesan sebagai laki-laki yang tak ada syukurnya sama sekali. Meski bersahabat dengan Andro dan Zulfa, dalam kasus ini Wahyudi memilih untuk berdiri di pihak Salma.
Andro mendesah. Dia mencintai Salma. Sangat cinta. Tapi, jujur, mendengar kabar Zulfa masuk rumah sakit karena akan melahirkan, ditambah informasi tentang kondisi Zulfa yang agak menurun, dia jadi khawatir. Khawatir berlebihan.
"Astaghfirullah hal adzim," gumamnya pelan dan berulang-ulang.
Dicucinya muka di wastafel. Andro tersenyum di depan cermin. Mencoba bersikap biasa saja agar tak mengundang perhatian Salma. Dia paham betul istrinya memiliki kepekaan di atas rata-rata.
"Mas dari tadi cek HP terus, memang di pesawat bisa online, ya?" Hampir dua jam mereka di udara, Andro berkali-kali mengecek handphone. Salma merasa sedikit terganggu.
"Ada wi-fi, Sal. Fasilitas. Tapi kamu nggak usah pakai deh, kamu istirahat aja. Perjalanan kita panjang banget, Sal. Masih pakai transit segala. Mama sengaja pilihin penerbangan malam dan business class biar menantu kesayangan bisa istirahat dengan nyaman. Kita udah salat juga, tinggal tidur aja. Yuk."
"Mas?"
"Ehk. Aku kenapa?"
"Mas nggak tidur?"
"Eh. Iya. Aku juga mau tidur kok. Nemenin kamu."
Andro memanggil salah satu awak kabin. Meminta bantuan untuk menyetel seat menjadi tempat tidur, seperti yang sudah dia lihat di review-review tentang maskapai yang dipilihnya itu.
Salma sendiri mulai merasa lelah. Dia memilih menikmati kenyamanan yang sudah diusahakan oleh kedua mertuanya. Ibu, oma, dan tantenya juga berkali-kali menanyakan keadaannya. Pun Leticia, yang sejak tadi semangat sekali membahas tentang Wahyudi.
Tak butuh waktu lama untuk Salma jatuh pulas. Andro buru-buru bangkit begitu pelukan Salma terlepas. Memeriksa pesan-pesan di gawainya, tapi tak ada info terbaru, hanya status whatsapp Iqbal Sya'bani yang membuatnya makin tak tenang.
TS Pak Iqbal Sya'bani
Mohon doa dari teman-teman semua utk istri saya yg akan melahirkan. Mohon dimaafkan dan diikhlaskan jika ada kesalahan dari kami. Dari saya maupun istri saya.
Terima kasih.
Ya Allah, Zulfa kenapa? Semoga baik-baik saja. Cuma bisa membatin dengan resah.
Andro mencoba mengirim pesan pada Asya. Centang satu. Tak biasanya. Apalagi dalam kondisi seperti ini, tentunya Asya harus selalu mengikuti update perkembangan adik iparnya. Tak ditemukan pula tulisan online atau last seen di bawah nama TS Asya Aiyanara.
"Diblokir nih," keluh Andro pelan.
Dia beralih pada sahabat yang lain. Mengirimkan pesan untuk Wahyudi bin Djamin.
To Wahyudi:
Yud, please. Info ttg Zulfa.
To Wahyudi:
Aku diblokir sm Asya.
Balasan datang secepat kilat.
From Wahyudi:
Memang harus gitu, Ndro. Kamu ngeyel. Padahal ada Salma lho di sebelahmu.
From Wahyudi:
Kamu nggak bisa bucin sm satu perempuan dan gagal move on sm perempuan lain dlm waktu bersamaan, Ndro. Kamu hrs pilih salah satu. Dan pilihanmu udah jelas!
From Wahyudi:
Zulfa bukan urusanmu lagi, Ndro.
From Wahyudi:
Matikan hp-mu. Fokus sj sm Salma. Hamil dan melakukan penerbangan jarak jauh itu nggak nyaman. Gmn kl ditambah tau suaminya kayak kamu gini, Ndro? Salma hamil anakmu lho. Zulfa hamil anaknya Pak Iqbal. Catat itu, Bung!!!
From Wahyudi:
Sorry. Sementara aku blokir kamu dulu. Silakan marah. Tapi aku berdiri di pihak Salma.
Andro menarik napas panjang. Berbagai pikiran dan perasaan campur aduk dalam dirinya. Dia mencoba mengirim pesan pada sahabatnya. Memastikan Wahyudi tak benar-benar melakukan apa yang disampaikannya baru saja.
To Wahyudi:
Yud.
Centang satu. Tak terlihat pula keterangan last seen atau online. Dia diblokir.
Dihelanya napas dalam-dalam, kemudian melepas perlahan. Mengulangi berkali-kali sambil memikirkan kata-kata Wahyudi.
Iya. Aku salah. Aku berdosa banget sama Salma. Tapi....
"Mas nggak tidur? Ada apa? Kayak gelisah, gitu?"
"Ehk. Nggak, Sal. Nggak ada apa-apa. Besok saja kalau udah sampai dan udah istirahat kita ngobrol lagi ya." Andro berniat untuk mengakui kesalahan dan memohon maaf dari istrinya setiba di rumah Tante Sara.
Dimatikan gawainya. Mengambil gawai milik Salma dan melakukan yang sama.
"Peluk aku ya, Sal. I need you."
Tak bertanya apa-apa, Salma segera melakukan apa yang Andro minta.
***
Layaknya bandara internasional di negara besar, kesibukan di bandara internasional Adolfo Suarez Barajas Madrid pun tak kenal waktu. Pagi dan musim dingin tak menghalangi ribuan penumpang dari penjuru dunia berlalu lalang di sana.
Andro dan Leticia mendorong troli berisi koper-koper mereka. Salma berjalan sembari mengedarkan pandang ke sekeliling. Atas, bawah, kanan, kiri, depan belakang..., Semua penjuru dipandangi dengan penuh kekaguman.
"Doakan aku bisa bangun bandara ya, Sal," celetuk Andro.
"Iya. Aamiin. Yang penting bisa membangun dan menjaga kepercayaan istri dulu ya, Mas Andro sayang," bisiknya pada Andro. Salma terkekeh. Andro menelan ludah. Sepertinya itu sebuah sindiran.
Dia tak tahu bahwa Salma sudah mengerti apa yang terjadi. Saat menunggu bagasi keluar tadi, Salma meminta wi-fi dari Leti. Begitu internetnya aktif, salah satu kabar yang dibacanya adalah status whatsapp Asya.
Mbak Asya Temannya Mas
Setelah drama nyaris 3x24 jam, finally.....
Welcome to the family keponakan baru. Congrats Pak Iqbal & Luli.
*emoji love*
"Mas nggak usah khawatir lagi. Mbak Zulfa udah melahirkan dengan selamat. Mau tahu nggak, anaknya laki-laki apa perempuan?"
Salma tertawa kecil, tapi Andro tahu, ada rasa sakit di balik tawa istrinya. Dia benar-benar tak berkutik mendengar pertanyaan terakhir Salma. Ingin sekali dia menangis dan berlutut di kaki istrinya. Dia pasti menyakiti hati Salma. Pasti!
"Itu papa dan Beni!" Teriakan Leticia membuyarkan ketegangan Andro. Telunjuk gadis keriting itu mengarah pada dua pria bule dengan senyum lebar penuh kegembiraan.
Leti berlari ke arah mereka dan melompat ke pelukan papanya. Tante Sara dan yang lain tertawa. Hanya Andro yang tersenyum, tipis saja.
Sara mengenalkan Dita pada suami dan anak laki-lakinya. Leticia mengenalkan Andro dan Salma. Menjelaskan pula pada papa dan kakaknya kalau Salma tidak bersalaman apalagi berpelukan dengan laki-laki selain suami dan papa mertuanya. Salma terharu, mengungkapkan terima kasihnya kepada Leticia.
Baltasar Gomez —papa Leticia— menyambut hangat kedatangan mereka. Begitu pula Benicio, kakak sulung Leticia. Dia dan mamanya sudah banyak bercerita tentang keluarga di Surabaya, juga kisah-kisah tentang Dita dan Salma.
"Sebastian can't be here. He has a job in Valencia." Benicio menjelaskan alasan Sebastian —kakak laki-laki Leticia yang kedua— tak ikut ke bandara.
Mereka lalu masuk ke dua mobil yang berbeda. Benicio membawa Leti, Andro, dan Salma. Baltasar membawa Sara, Oma Lucia, dan Dita.
Tak banyak interaksi sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Gomez. Benicio tahu mereka semua kelelahan. Dia sudah hafal kebiasaan ibu dan adiknya, mereka akan beristirahat dua hari penuh setiap pulang dari mengunjungi Indonesia. Dia pula menyimpulkan bahwa Andro dan Salma tak akan jauh berbeda.
Tiba di kediaman keluarga Gomez, mereka langsung sarapan dan berbincang secukupnya. Sara mempersilakan tamunya —Bu Dita, Andro, dan Salma— untuk beristirahat sepuasnya. Tak perlu sungkan atau merasa tidak sopan untuk berada di dalam kamar terlalu lama.
Leticia mengantar Andro dan Salma ke kamar mereka. Letaknya bersebelahan dengan kamar Leticia di lantai dua. Bu Dita tidur berdua di kamar Oma Lucia.
"Have a good rest, Andro Salma. Enjoy your days here, ya. Thank you sudah kenalkan aku sama Yudi. Dia manis sekali." Salma tergelak mendengar kalimat Leticia. Dipeluknya Leticia sekali lagi.
"Beruntung banget Mas Wahyudi dijatuhi cinta sama anak secantik dan sebaik kamu, Leti." Leticia tersipu. Salma tertawa lagi, kali ini sambil mencubit pipi Leti.
"Andro istirahat yang banyak. Kamu kelihatan pucat. Pusing kali ya bawa perempuan lima cerewet semua?"
Untuk kesekian kali Andro menelan ludahnya. Benarkah dia terlihat pucat? Bahkan sampai terbaca oleh Leticia.
"Pusing mikirin perasaan kamu sama Yudi." Andro mencoba bercanda. Tak lupa mengucap terima kasih kepada sepupu istrinya.
Sepeninggal Leti, Salma memutuskan untuk segera mandi. Dia butuh istirahat. Perjalanan panjang cukup mempengaruhi kondisi fisiknya. Kejadian di bandara tadi lebih melelahkan lagi. Pikiran dan hati.
"Sal," panggil Andro dari balik punggung Salma. Keduanya sudah di atas tempat tidur. Salma membelakanginya.
"Aku boleh peluk kamu?"
"Iya, boleh. Kan Sal istrinya Mas. Memangnya Mas mau peluk siapa kalau bukan Sal?"
Andro buru-buru memeluk Salma, takut istrinya berubah pikiran.
"Maafkan aku ya, Sal. Aku pasti bikin hati kamu sakit banget."
Salma diam, menikmati setiap embusan napas Andro di kepalanya. Beberapa kali dia merasakan guncangan pelan.
"Mas nangis?"
"Aku salah banget sama kamu, Sal. Aku dosa banget udah nyakitin kamu. Bukannya menjaga kamu biar nyaman, aku malah sibuk sendiri sama perasaan yang seharusnya nggak boleh ada. Maafkan aku."
Andro sesenggukan, Salma berbalik badan. Mereka berhadapan sekarang. Baru kali ini dia melihat wajah Andro dipenuhi rasa bersalah. Ekspresi memelas, ditambah air mata yang mengalir deras membuat ketampanan Andro sedikit luntur. Andro tak pernah sememprihatinkan itu di hadapan Salma. Salma jadi jatuh iba, tapi sekaligus geli. Suaminya seperti anak kecil yang baru saja memecahkan porselen kesayangan ibunya. Rasa takut, menyesal, dan merasa sangat berdosa tergurat jelas pada raut mukanya.
Salma kembali memunggungi Andro. Dibiarkannya tangan Andro melingkari pinggangnya.
"Mas tuh orangnya romantis dan bertanggung jawab banget, ya."
"Just say what you want to say, Sal. Aku terima."
"Aku bangga kok sama, Mas. Istri orang mau melahirkan aja Mas segitu khawatirnya, apalagi nanti kalau Sal yang mau melahirkan. Melahirkan anaknya Mas. Anaknya Mas Andro." Dua kalimat terakhir diucapkan penuh penekanan.
"Pasti khawatirnya Mas berkali-kali lipat, ya? Emm, buat Sal itu sesuatu yang sangat romantis. Itu tuh menunjukkan kalau Mas suami yang bertanggung jawab nggak sih? Makanya Sal bersyukur banget bisa nyicil tersanjung dari sekarang punya suami seperti Mas Andro."
"Sal. Ak-aku...."
Andro bingung. Menelan ludah dengan susah payah. Dia tak bisa mendefinisikan maksud perkataan Salma. Pun tak paham majas sindiran jenis apa yang sedang digunakan istrinya.
Salma jarang marah, tapi kalau sudah marah, Andro bisa kehilangan seluruh kekuatannya. Apalagi kalau wujud marahnya Salma seperti sekarang ini. Mulut Andro serasa terkunci, tak tahu hendak berkata apa lagi.
"Sal capek. Mas pasti jauh lebih capek. Lahir, batin, dan pikiran. Mengkhawatirkan istri orang dengan mendalam itu berat. Ditambah harus menyembunyikannya dari orang lain. Apalagi orang lain itu berstatus istri sendiri. Berat banget pasti. Mas pasti capek. Capek banget. Pasti!
"Sal juga capek sih, Mas. Baiknya sekarang kita istirahat dulu. Semoga bangun tidur nanti Mas udah nggak secapek saat ini dan Sal juga udah amnesia dengan drama perjalanan yang kita lalui dua hari ini.
"Assalamualaikum."
Salma menutup pembicaraan dengan kuap. Entah karena kantuk, atau kuap yang hanya dibuat-buat.
Andro menggigit kuat bibirnya. Sakit. Tapi dia tahu, hati Salma pasti jauh lebih sakit.
Andro merasa sangat berdosa. Pendapat Wahyudi terngiang-ngiang di benaknya.
Kamu nggak bisa bucin sama satu perempuan dan gagal move on sama perempuan lain dalam waktu bersamaan, Ndro. Kamu harus pilih salah satu.
"Dan pilihanmu sudah jelas, Angkasa Andromeda!" desisnya. Nyaris tanpa suara.
***
3345 words. Huwow.
Alhamdulillah. Masih dikasih kesempatan sama Allah untuk memyapa teman-teman semua lewat ceritanya Andro-Salma.
Gimana? Sehat-sehat semua kan ya?
Yang pertama, izinkan aku menyampaikan mohon maaf lahir dan batin. Taqabbalallahu minna wa minkum. Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita. Dan semoga masih Allah beri kesempatan utk bertemu ramadhan-ramadhan yang berikutnya. Aamiin.
Lama banget nggak nulis, sekalinya update 3,3K kata. Udah gitu... ngalor ngidul banget, gaje semua. Haha...
Aku tau, pasti ada yg ngebatin juga:
- ih, jadi penasaran ceritanya Luli melahirkan
- ih, jadi pengen tau ceritanya Yudi habis di-kiss Leti
Mohon maaf. Ceritanya belum ada. Wkwk...
Baiklah. Segini dulu aja ya. Maaf atas segala kekurangan.
See you :)
Semarang, 16052022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top