56. Mendoakan
Menghabiskan malam di tepi pantai dengan panorama nan indah dan kebahagiaan membuncah memang sungguh sebuah anugerah. Salma menikmati malam itu dengan syukur yang melimpah ruah.
Beberapa waktu lalu mereka pernah berada di tempat yang sama. Dia, ibunya, juga suaminya. Hanya saja waktu itu dalam keadaan berduka. Bu Miska baru saja berpulang, lalu Bu Dita menghilang karena merasa tidak berharga di mata Salma. Keindahan yang terhampar jadi terasa hambar.
Sekali lagi Salma bersyukur. Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
"Nangis lagi? Aku belum jadi suami yang baik, ya?"
Andro memeluknya dari belakang. Entah sejak kapan suaminya ada di sana, Salma sampai tak menyadari. Dia tadi izin masuk lebih dulu ke kamar karena perutnya mulas. Setelahnya duduk di dekat jendela, membalur perutnya dengan minyak kayu putih, lalu melanjutkan aktivitasnya dengan menatap kilauan ombak nun di kejauhan sambil merangkai rasa syukur. Dia bahkan tak sadar kalau menangis.
"Nggak. Mas suami yang paling baik di dunia. Sal bersyukur sekali jadi istrinya Mas. Ini Sal nangis karena bahagia. Semoga semua hal baik ini menjadikan kita semakin dekat kepada Allah, bukan malah melalaikan kita dari-Nya."
Kalau Salma selalu meleleh dengan perlakuan manis Angkasa Andromeda, sebaliknya dengan Andro, dia selalu meluluh dengan harapan dan rasa syukur Salma yang selalu sarat akan nasihat.
"Dicariin ibu, Sal. Katanya ada yang mau dibahas sama kita. Sama oma dan Tante Sara juga."
"Mas ikut, kan?"
"Iyalah. Kan kita. Memangnya ada kita selain aku dan kamu, ya?"
"Hih. Mas, kali, yang punya kita selain Mas sama Sal. Tanya deh hatinya Mas."
"Sensi sekali ibu hamil ini." Dicubitnya pipi Salma. Andro tahu ke mana arah pembicaraan istrinya.
"Ya udah, yuk. Ditunggu yang lain di luar."
"Leti?"
"Leti nggak, tapi dia udah minta ditemani Yudi."
"Ditemani ke mana memangnya, Mas?"
"Jalan-jalan."
"Iya, jalan-jalan ke mana?"
"Di sekitaran sini aja katanya. Tapi udah kukasih kunci mobil sih, mana tahu Leti pengen cari suasana lain."
"Mas kok ngebiarin Mas Wahyudi berdua-duaan sama Leti, sih?"
"Ya Allah, Sal. Suudzon bener sama Yudi. Tenang aja, dia bisa dipercaya, kok. Baru beberapa hari yang lalu dia berikrar kalau nggak mau lagi mikirin yang nggak penting-penting sebelum hidup mapan, termasuk urusan perempuan. Dan aku kenal Yudi. Dia kalau udah begitu ya insya Allah teguh pendirian.
"Aku ngamatin juga gerak geriknya sepanjang ada Leti. Dia biasa aja, malah cenderung bikin jarak. Lagian, sama warga lokal aja dia ditolak mulu, gimana sama warga global, internasional, universal." Tawa Andro berderai
"Tapi ini perginya sama Leti, Mas. Bukan gimana-gimana, Sal justru kuatir kalau Leti ngajakin yang macam-macam. Dia kan orang barat, pergaulannya beda sama kita."
"Ngajakin yang macam-macam tuh, gimana maksudnya?"
"Yaa..., kayak yang disko-disko gitu, atau minum alkohol, atau...."
"Dugem maksudnya?" Salma mengangguk. Andro tertawa. Wahyudi minum Koka Kola dan Semprit saja oleng, bagaimana mau minum khamr?
"Aku kenal Yudi, Sal. Kenal baik. Biarpun bukan orang alim, tapi dia punya prinsip yang selalu dia pegang kuat. Insya Allah Yudi aman. Leti juga aman sama Yudi.
"Udah, ah. Kamu sekarang makin sensian. Jangan banyak mikir yang nggak-nggak, Sal, nanti our baby capek diajakin mikir mulu. Mending mikirin papanya aja, gimana biar---"
"Nggak mikirin temannya yang itu terus. Gitu, ya?" sahut Salma cepat. Lagi-lagi soal Zulfa. Rupanya masih saja membekas dan mempengaruhi hatinya.
"Hemm..., kamu kayaknya lebih percaya kalau Bruno Mars dan Didi Kempot bersaudara daripada percaya aku udah ngelupain dia, ya?" Sekali lagi dicubitnya pipi Salma. Gemas.
"Bruno Mars itu siapa?" Salma mana tahu beginian. Artis dalam negeri saja dia tak kenal, apa lagi yang level internasional.
"Alien dari planet Mars, Nyonyaaa." Andro kesal.
"Udah udah, mending kita ke luar aja, udah ditungguin ibu dan yang lain." Digandengnya Salma keluar dari kamar. Benar yang Andro katakan, ibu, oma, dan tantenya Salma sudah menunggu mereka di living room yang terletak di tengah villa.
Salma bergegas duduk di samping ibunya di sofa panjang. Andro menyusul duduk di sebelahnya. Setelah menyampaikan permintaan maaf, Andro membuka percakapan, dan mempersilakan para sesepuh untuk memulai pembicaraan. Sesungguhnya dia sendiri tak tahu apa yang menjadi topik malam itu.
"Salma," panggil omanya. Salma menoleh, beradu pandang dengan perempuan lanjut usia yang masih terlihat cantik dengan wajah perpaduan nusantara dan hispanik.
"Rumah ini buat kamu ya, Nak. Dan oma minta nomor rekening Salma. Ada hak milik kamu yang masih oma pegang. Dari opamu, juga dari ibumu. Sara sudah, anak-anaknya juga sudah." Sungguh tak ada basa-basi sama sekali. Lucia sudah terbiasa bicara langsung pada intinya.
Salma menggeleng pelan. Ini semua tak pernah dia harapkan. Yang dia miliki sekarang ini sudah lebih dari cukup. Bahkan dulu pun dia tak pernah merasa kekurangan. Kesulitan iya, pas-pasan iya, tapi rasa syukurnya tak pernah membuatnya merasa hidupnya sengsara. Tidak.
"Tidak, Oma. Itu haknya ibu. Biar untuk ibu saja."
"Ibumu sudah. Sara dan anak-anaknya sudah. Tinggal kamu." Sekali lagi Lucia memberi penegasan.
"Sebelum Johan pergi, dia sudah tunjuk apa-apa saja untuk diberikan kepada anak-anak dan cucu-cucu kami. Sara dan ketiga anaknya mendengar dan menyaksikan sendiri waktu itu terjadi. Satu yang jadi penyesalan terbesarnya adalah kepergian Dita, yang sampai Johan pergi tak ada kesempatan untuk bertemu lagi.
"Tapi Dita tak pernah tergantikan. Dia yang paling mirip dengan papanya. Sifatnya, wajahnya, perilakunya. Lagipula, sampai kapanpun Dita tetap anak kami, ketemu ataupun tidak. Maka tetap ada bagian untuk Dita dan..., anak-anaknya.
"Opamu itu orang yang suka praktisnya saja. Karena anak Sara tiga, dia anggap pula anak Dita tiga, ternyata anak Dita cuma satu. Oma dan tantemu sudah memberi saran kepada Dita untuk membagi dua bagian anak yang lain dengan kamu, tapi ibumu tidak mau. Dia maunya memberikan semuanya untuk kamu. Bahkan rumah ini, yang oleh Johan diberikan untuk Dita.
"Terimalah, Sayang. Ini bukan dari oma, bukan dari Sara, bukan dari Dita. Ini dari opamu, yang pergi dengan menyimpan kerinduan untuk ibumu, dan tak pernah sekalipun bertemu dengan kamu. Terimalah, Salma. Oma memohon kepadamu."
Salma tetap menggeleng. Dilakukannya berkali-kali. Air matanya mengalir tanpa suara.
"Terimalah, Salma. Itu jika kamu menyebut dan menganggap oma dan Sara sebagai keluarga. Jika tidak...." Seperti yang pernah dikatakan eyang maminya Andro, Lucia memang suka mengatur dan memerintah, apapun caranya.
"Kenapa harus begitu, Oma? Salma bisa bertemu dengan ibu, dengan Oma, dengan Tante Sara dan Leti, itu sudah lebih dari cukup untuk Salma. Salma tidak kekurangan apa-apa, Oma. Salma bahkan punya banyak cinta dari orang-orang baik di sekeliling Salma. Salma tidak memerlukan itu semua," ujar Salma tersengguk-sengguk.
Sara mendekat pada Salma, berlutut, dan meraih jemari keponakan satu-satunya.
"Ini bukan tentang kekurangan atau tidak kekurangan, Salma anakku. Ini tentang pemberian, sebagai rasa sayang seorang papa kepada anaknya, seorang mama kepada anaknya, juga seorang ibu kepada putrinya. Opamj tidak akan memberi kalau tidak ada yang bisa diberikan.
"Ini juga tentang amanat, yang harus dilaksanakan agar tidak menjadi beban bagi kami yang masih diberi kehidupan. Terimalah, Salma. Biar omamu bahagia, biar opamu yang di surga bahagia."
"Salma, nggak tahu, Tante. Salma nggak ingin ini semua. Salma sudah bahagia dengan kehidupan Salma. Salma ikut Mas Andro saja. Salma terserah Mas Andro."
Tadinya Andro sama sekali tak menyangka bahwa pembicaraan ini adalah tentang warisan atau apapun sebutannya. Yang dia tahu, tidak ada sedikitpun haknya di situ. Jadi, dia mungkin juga tidak akan mengeluarkan pendapat apapun. Dia tak akan turut campur. Cukup tahu saja sebagai suami Salma. Eh, malah Salma menunjuknya dan menyatakan kalau ikut pada keputusannya.
"Andro nggak harus tanya Iksa dan Om Jaya dulu, kan?" goda Sara. Andro tertawa. Sedikit kesal karena merasa dianggap anak kemarin sore. Egonya tak terima, merasa harus unjuk diri sebagai pria dewasa.
"Nggak lah, Tante. Andro laki-laki dewasa. Andro seorang suami, malah sebentar lagi jadi papa. Mengambil keputusan untuk istri tercinta nggak harus tanya dulu ke orang lain. Tante tenang saja. Bisa diselesaikan sekarang juga."
Kening Salma mengerenyit, bertanya-tanya atas maksud perkataan suaminya.
"Insya Allah Salma menerima apapun yang jadi keinginan dan keputusan Oma, Tante Sara, dan Ibu. Mohon maaf, memang sama sekali tidak ada hak Andro di sana, tapi karena Salma menyerahkan pada Andro, jadi Andro ambil jalan tengah saja. Andro pikir nggak ada salahnya untuk Salma menerima."
Andro menatap lembut mata istrinya. "Kalaupun kamu nggak membutuhkan itu semua, kamu bisa menggunakannya untuk hal-hal lain yang bermanfaat, Sal. Untuk panti misalnya. Atau untuk apapun yang menurutmu baik. Kamu juga boleh menyimpannya, sewaktu-waktu kamu ingin sesuatu yang aku belum bisa memenuhinya, kamu bisa pakai itu dulu. Aku janji, kalau aku udah mampu nanti, aku akan ganti semuanya. Karena bahagiamu itu kewajibanku."
Andro lalu mengembalikan fokusnya bukan hanya pada Salma. "Andro memang masih kuliah, Oma, Tante, Ibu. Belum kerja, belum bisa maksimal membahagiakan Salma. Tapi bukan karena itu juga Andro menyarankan Salma untuk menerima.
"Soal membahagiakan Salma sebagai istri dan mama dari anak-anak Andro nanti, Andro akan mengusahakan dengan tangan Andro sendiri. Memang belum sekarang, karena saat ini Sal masih harus rela hidup seadanya sama Andro. Tapi percayalah, Andro nggak akan mengganggu hak Salma sedikitpun. Andro---"
"Sudah, Mas, cukup. Sal ikut keputusan, Mas. Sal menerima semuanya kecuali rumah ini. Sal terima pemberian opa, Oma, dan Ibu. Tapi Mas nggak usah bicara seperti itu. Sal bahagia sama Mas, apapun keadaannya. Mas udah memberi lebih dari yang Sal pernah miliki."
Tangis Salma pecah. Dibenamkan wajahnya di dada Angkasa Andromeda. Ibu, oma, dan tantenya turut terharu. Ketiganya bersyukur mengenal keluarga Jaya Ahmada dan Antariksa, yang akhirnya menurunkan generasi laki-laki baik berikutnya.
"Duh, kok nangis terus sih, Sal. Malu dong sama oma dan tante. Mana jam segini nggak ada tukang balon lewat." Andro sempat-sempatnya bercanda.
"Kalau Johan masih ada, dia pasti sangat bahagia," kata Lucia. Andro memberi kode pada Salma untuk melepaskan pelukan mereka.
"Dia pernah berkata, Andai Jaya dan Amina benar-benar jadi saudara dengan kita, ya. Bukan hanya sahabat dan saudara sesama manusia. Dan sekarang oma menyaksikan dengan mata sendiri, cucunya Johan dan cucunya Jaya berpelukan sebagai sepasang suami istri.
"Terima kasih, Andro. Terima kasih sudah mencintai cucu oma. Terima kasih sudah menerima Salma apa adanya."
"Kebalik, Oma. Salma yang menerima Andro apa adanya. Salma udah sangat perfect buat Andro yang masih banyak kekurangan ini, Oma."
"Mas, please." Salma merengek. Dia tak suka Andro merendah begitu. Mereka sama-sama beruntung. Mereka saling mengisi dan saling melengkapi.
"Jadi begitu, Oma, Tante Sara, Ibu. Salma Insya Allah menerima, tapi tidak untuk rumah ini. Rumah ini biar tetap jadi milik Ibu saja, sebab ini adalah rumah peninggalan opa, tempat Oma dan opa membesarkan ibu dan Tante Sara. Pasti banyak sekali kenangan yang tertinggal di sini. Jadi, biarlah rumah ini jadi rumah kita bersama. Kepemilikan biar tetap pada ibu saja, bukan Salma.
"Lagipula, Mas Andro kalau pulang ke Surabaya maunya tinggal di rumah mama papa. Kalau ada rumah ini, bisa-bisa kami berantem terus setiap mau memutuskan tidur di mana."
"Hemm, gitu ya? Nuduh aku anak mama, nih?" Andro mencebik. Merasa Salma sungguh menyebalkan karena membuka aibnya.
"Nggak gitu, Mas. Tapi memang bener juga kan yang Sal bilang?"
"Ya tapi aku kan malu, Sal."
Omanya tertawa melihat kedua cucunya saling beradu argumen. Lucia pula merasa lega, keinginan dan pemberian suaminya sudah disetujui oleh Salma, kecuali rumah. Dan dia bisa menerima keputusan serta pertimbangan cucu-cucunya.
"Oma lega. Amanat Johan sudah terlaksana. Salma juga sudah punya suami yang baik, anaknya Iksa, cucunya Jaya dan Amina. Oma sudah tenang, siap mati kapan saja, di mana saja."
"Oma jangan bilang begitu, Salma masih mau punya Oma lebih lama lagi. Salma masih ingin ditemani Oma. Salma ingin Oma lebih lama di Surabaya. Bisa menemani Salma melahirkan. Bisa gendong anaknya Salma dan Mas Andro. Oma panjang umur, insya Allah."
Lucia memeluk cucunya. Semua mengaminkan ucapan Salma. Memang baru Salma cucu Lucia yang baru menikah. Salma pula yang tak lama lagi akan melahirkan keturunan generasi keempat dari keluarga Johan.
Ketiga anak Sara masih single, meski yang pertama dan kedua sudah memiliki kekasih yang kadang suka dibawa pulang dan menginap di rumah mereka di Madrid. Budayanya memang beda. Sara sudah tahu risikonya sejak memutuskan untuk menikah dengan seorang pria yang berasal dari negeri yang sama dengan leluhurnya.
Sara sudah cukup senang karena Leticia tak pernah melakukan hal yang sama dengan kakak-kakaknya. Mungkin pilihan kewarganegaraan Leticia sedikit banyak mempengaruhi hal itu juga. Leticia memang beda, Sara bahkan belum bisa menerka, seperti apa tipe laki-laki yang disukai oleh si anak gadis satu-satunya.
"Leti ke mana ya, Tante?" Pertanyaan Salma seolah bisa menerjemahkan pikiran tantenya.
"Nggak tahu, deh. Tadi izin mau jalan-jalan karena memang dia nggak harus ada di sini. Tapi dia sudah tahu apa yang mau kita bicarakan, kok. Makanya tante izinkan dia pergi dengan temannya Andro. Judi," jawab Sara dengan senyum mengembang lebar di wajah cantiknya.
"Yudi, Tante. Wahyudi namanya. Info aja sih, Tante, karena dia nggak suka kalau ada yang salah menyebut namanya." Andro meluruskan.
Sara tertawa. Memuji prinsip Wahyudi yang menurutnya patut diacungi jempol.
"Tante juga begitu, Andro, hanya saja nama tante memang gampang dieja dan nggak ada spelling khusus. Di mana pun dan dalam bahasa apa pun, Sara ya tetap Sara. Kalau Yudi memang di Spanyol bisa dibaca sebagai Judi.
"Terima kasih sudah kasih tahu tante, jadi nanti kalau ketemu Yudi, tante ingat-ingat betul untuk tidak memanggilnya sebagai judi. Karena judi itu sesuatu yang haram. Betul, kan?"
"Betul, Tante," sahut Andro. "Bang Haji juga bilang begitu."
Salma tergelak-gelak mendengar jokes suaminya yang sangat standar. Salma bahagia Andro bisa dekat dan bercanda dengan keluarga, mengingat bagaimana Andro dulu saat masih 'bermusuhan' dengan papanya. Andro menjauh dan menghindar dari segala sesuatu yang berbau keluarga. Tak hanya keluarga papanya, tapi juga keluarga mamanya. Tapi sekarang Andro sudah berubah. Sifat asli Andro sebenarnya hangat dan mudah dekat dengan siapa saja.
"Ya udah yuk, Sal, kita cari Yudi dan Leti. Udah malem nih, bahaya kalau cowok sama cewek single dibiarin kelamaan berdua."
Ganti Sara yang tertawa, menyetujui ucapan Andro, dan segera menyuruh keduanya mencari Wahyudi dan Leticia. Bukan mengkhawatirkan anak gadisnya, lebih kepada mendukung kebiasaan di tempatnya saat ini berada. Bagaimanapun dia juga lahir dan besar di Indonesia. Melewati masa remaja dengan penjagaan diri yang cukup ketat dari orang tuanya.
Kejadian yang menimpa Dita saat muda sudah cukup menjadi pelajaran baginya. Dia tak terlalu mengekang anak-anak lelakinya, tapi pada Leticia, meski tak khawatir berlebihan, Sara merasa perlu untuk tetap menjaganya.
Sementara di tepian pantai yang mulai pasang, dua manusia berlainan jenis sedang berbincang riang. Tak ada pembicaraan berarti, hanya bertukar pendapat tentang hal-hal yang berbeda di negara mereka.
"Kamu bisa ngomong bahasa España, belajar dari mana, Yudi?" Leticia ingin tahu.
"Cuma sedikit. Karena aku suka La Liga, jadi aku mengikuti sedikit tentang negaramu."
"Wow. Real Madrid?" Leticia memekik gembira. Matanya membelalak menambah kecantikannya yang memang sudah unik.
"So sorry, i'm Barcelonista."
"Huh." Leticia memberengut. Hatinya langsung dipenuhi kekesalan. Sebagai penduduk ibu kota, tentu saja dia berdiri sebagai seorang Madridista. Tapi sebagai seorang yang diam-diam menyukai Wahyudi, tentu saja ada rasa tak terima kalau laki-laki itu justru mendukung klub yang berseteru dengan klub yang didukungnya.
Wahyudi terbahak. Ekspresi Leticia terlihat lucu. Sejenak matanya tertahan pada wajah hispanik di hadapan. Kulit coklatnya yang eksotik makin menawan ketika tertimpa cahaya rembulan. Wahyudi menelan ludah. Desir-desir berdatangan tanpa permisi, memunculkan keresahan di sudut hati.
"Kenapa harus mereka -Barca?" keluh Leticia, masih belum bisa menerima.
"Emm..., karena kalau tidak ada mereka, maka tidak ada El Clasico. La Liga jadi nggak ramai, Leticia." Wahyudi tertawa lagi. Berusaha tak memandang wajah cantik di depannya.
"Hemm..., okay. That's a good reason, Yudi. Gracias. Huh."
Untuk kesekian kali Wahyudi tertawa. Sungguh, berada bersama gadis asing itu menjadi hiburan tersendiri baginya. Sejak tadi sudah banyak sekali pendapat mereka yang berseberangan, lalu topik berakhir tanpa jelas juntrungannya. Dan keduanya enjoy saja, tak ada beban untuk menyelesaikan obrolan.
"Why did you choose to become an Indonesian citizen?" Wahyudi mengganti topik obrolan, mengeluarkan sebuah pertanyaan yang sudah disimpan sejak pertemuan pertama di warung ronde.
"Karena aku mencintai mamaku, Yudi." Leticia menjawab singkat. Bukan jawaban yang memuaskan.
"Jadi kamu nggak mencintai papamu?" Leticia terkekeh. Menyikut pelan pemuda yang sedang duduk memeluk lutut sambil menatap kemilau air laut.
"Tentu saja aku mencintai papaku. Amo a mi hermanos (Aku menyayangi saudara-saudara laki-lakiku). Tapi mamaku hampir mati saat melahirkan aku, Yudi, tapi papaku tidak. So, i choose to follow her citizenship. If something happens to mama someday, aku nggak sulit untuk menemani mamaku."
"Sesuatu seperti apa maksudmu?"
"Seperti, emm..., perpisahan misalnya. Karena mamaku tetap memilih to be an Indonesian citizen. Kalau suatu hari nanti seandainya mama berpisah dengan papa, pasti mama akan kembali ke sini, ke Indonesia. Abuella juga."
Ada kesedihan terdengar dalam iramanya. Leticia tak suka membicarakan tentang pikiran yang semacam itu. Dia mencintai mamanya, sama besar seperti dia mencintai papanya. Namun jika harus memilih salah satu dari keduanya, dia tidak butuh berpikir dua kali untuk menjatuhkan pilihan pada sang mama.
"Aku bisa memahami pilihanmu, Leticia. Maaf jika membuat perasaanmu tak nyaman, tapi menurutku, tak perlu membicarakan sesuatu yang kamu sendiri tak ingin itu terjadi. Harus husnudzon, begitu kalau dalam keyakinanku. Positive thinking, positive feeling."
"Sesuatu yang aku sendiri tak ingin terjadi? What do you mean, Yudi?"
"Perpisahan papa dan mamamu misalnya. Jika kamu tak ingin itu terjadi, maka tak perlu berandai-andai itu terjadi, Leticia. Lebih baik diam, cukup simpan dalam hatimu, dan mendoakan kebaikan."
Leticia terdiam. Hatinya berkata, Benar juga. Buat apa aku mengatakan hal-hal yang aku sendiri tidak ingin terjadi.
"I agree with you, Yudi. Aku nggak pernah pikir seperti itu. Sering aku bilang apa yang ada di pikiranku. My imagination, my worries, and many more. Padahal kalau aku katakan, nanti orang jadi pikir hal yang sama, dan makin banyak orang yang pikir hal yang sama, akan makin menarik kejadian itu benar-benar terjadi. People say, law of attraction."
Wahyudi tertawa. Law of attraction atau apapun itu dia tak peduli. Yang sejak kecil diajarkan oleh bapak ibunya adalah untuk menjaga prasangka baik kepada Allah. Itu saja. Buktinya sejauh ini hidupnya selalu baik-baik saja. Banyak kekurangan dan keterbatasan, tapi banyak juga hal yang bisa dia capai meski secara perhitungan semestinya tak akan sampai.
Gusti Allah selalu punya cara, kita cuma harus menjaga prasangka baik kepada-Nya. Begitu yang sering dikatakan bapak dan ibunya kepada dia dan ketiga saudara kandungnya.
"It's okay, Yudi. Apapun itu, i gracias muchas (aku terima kasih banyak) buat kamu. Aku jadi punya a new point of view. Dan aku harap aku bisa dapat banyak point of view yang lain lagi dari kebiasaan kamu."
Tawa Wahyudi kembali terdengar. Heran. Dia merasa semua yang dikatakan hanya sekadar kebiasaan yang telah tertanam. Dia bukan manusia sempurna. Beribadah saja masih sering seadanya. Banyak hal yang tak disukai Allah dan Rasul-Nya tapi masih sering dilakukannya.
Seperti sekarang ini misalnya, berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahramnya. Mana wajahnya cantik, kulitnya eksotik, setiap kali tertawa ekspresinya unik. Dia laki-laki normal, tentu sulit untuk tidak tertarik.
"Jangan berharap apa-apa dariku, Leticia."
"Tapi aku---"
"Woiii, udah malem woiii. Nggak baik berdua-duaan di tempat gelap gini wahai anak gadis dan anak kudis." Suara Andro terdengar tiba-tiba, menghentikan ucapan Leticia.
"Hati-hati. Jangan kebawa rayuan Yudi ya, Leti," ujar Andro lagi. Wahyudi cuma nyengir, memaklumi anggapan sahabatnya. Memang cuma Andro yang selama ini paling tahu sepak terjangnya.
"Cari ronde yuk, Mas." Salma menengahi. Memberi usulan yang disambut Leticia dengan semangat.
Dua perempuan cantik yang di tubuhnya mengalir darah yang sama itu berjalan di depan. Andro dan Wahyudi mengekor di belakang.
"Gurung seminggu entuk hidayah, mosok wis modusin cah wedok meneh. Ckck. Hidayah ki dijogo ben gak ucul."
(Belum seminggu dapat hidayah, masa udah modusin cewek lagi. Ckck. Hidayah itu dijaga biar nggak lepas.)
"Lambemu, Ndro. Sing modusi anake uwong yo sopo, lho? (Yang modusin anak orang tuh siapa?) Aku insya Allah konsisten dengan pernyataanku setelah dari panti waktu itu, Ndro. Lagian, Leticia bukan lawanku. Ketinggian. Ambek sing lokal wae gagal, kok nekat temen arep go internasional. (Sama yang lokal aja gagal, kok nekat amat mau go internasional)."
Keduanya tertawa. Andro percaya pada sahabatnya. Gesture Wahyudi saat bersama Leticia memang tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Tembok yang menjadi penghalang bagi keduanya pun Andro tahu terlampau tinggi untuk dilompati.
"Doaku buatmu, Bro."
"Lah, tumben kowe apikan, Cuk? (Tumben kamu baik hati?)"
"Doa opo sek ta? (Doa apa dulu deh)." kata Andro dengan nada yang sungguh menyebalkan.
"Sudah kuduga." Wahyudi sok kalem, padahal kezel.
"Doaku, semoga keinginanmu terwujud wahai saudara Wahyudi bin Djamin."
"Sip, Ndro. Jadi orang sukses sejak muda, yo."
Andro menghentikan langkahnya, lalu menoleh kepada si teman terbaik. "Jadi saudaraku."
Krik krik krik....
***
Jawaban Andro sungguh di luar dugaan yess. Wkwk....
Maafkan kemarin Senin nggak update. Ada kesibukan lain, salah satunya beresin rumah karena suami mau pulang umroh Selasanya. Alhamdulillah, sudah kembali ke rumah dg selamat dan bahagia.
Aku juga lagi belajar ngeblog. Agak keteteran menulis karena yg di sana non fiksi, sedangkan aku udah lama banget nggak nulis non fiksi yang agak panjang gitu. Aku sampai masih hutang tugas nih. Hehe...
Terus kudu belajar SEO juga, jadi lebih ribet gitu karena nulisnya harus mempertimbangkan ini itu anu juga,. Hehe... Tapi senang sih, soalnya ini sesuatu yang bisa dibilang baru buat aku.
Besok-besok baca blogku juga yaaa. Nanti deh aku share alamatnya. Haha, nggayaaa....
Baiklah, udah tiga koma sekian ribu kata nih. Capek ya bacanya. Hihi...
Terima kasih banyak sudah baca, vote, dan ninggalin komentar. Maafkan kalau akhir-akhir ini jarang balas komentar. Tapi percayalah, aku baca semua komentar kalian dan aku senang. Meniru kata Leti, "Muchas gracias."
See you :)
Semarang, 17032022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top