55. Tambahan
Andro menoleh ke kanan dan kiri sambil mengucap salam. Usai berdzikir dan berdoa, diraih dan diciumnya tangan Bu Dita. Tak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah melahirkan seorang Salma.
Bu Dita terharu atas sikap manis sang menantu. Diusapnya bahu Andro sembari menyampaikan terima kasih telah mencintai dan memperlakukan anak perempuannya dengan sangat baik.
Sesudahnya Bu Dita beralih ke Salma. Keduanya saling mengungkapkan rasa sayang lewat pelukan. Tidak ada air mata, hanya ada bahagia.
"Giliranku kapan, nih, Sal?" Kalimat Andro menghentikan pelukan anak beranak tersebut.
"Ckck, senengane lho merusak suasana." Wahyudi mendesis. Heran pada kelakuan sahabatnya.
"Halah, omong wae kon gak sanggup nontok aku karo Salma salaman, terus cium tangan, terus berpelukan." Kedua pria muda itu cekikikan. Salma dan ibunya ikut terkekeh. Dasar Andro!
"Izin nyegat sunrise ya, Ndro," kata Wahyudi. Dalam benaknya, lokasi mereka saat ini pasti menyuguhkan panorama yang sayang untuk dilewatkan.
"Hayok, lah. Aku melu."
Andro menanggalkan sarung dan baju kokonya, menyisakan celana sepanjang lutut dan kaus putih polos. Penampilan sederhana yang selalu disukai Salma.
Salma lalu mendekat, meminta sarung dan baju koko Andro untuk dilipat dan dirapikan. Dia raih pula jemari suaminya, mencium punggung tangannya. "Maafkan Sal ya, Mas, kalau masih banyak kurangnya jadi istri. Semoga Mas selalu ridho sama Sal," ujarnya lembut.
"Insya Allah." Andro menjawab singkat. Dengan segera membawa kepala Salma mendekat pada wajahnya. Dikecupnya sekilas kening istrinya, lalu mengacak puncak kepalanya. Wahyudi memalingkan muka, tak kuat dengan romantisme yang sedang berlangsung di depan mata.
"Aku jalan-jalan dulu sama Yudi, ya. Kamu sama ibu mau ikut nggak?"
"Nggak usah, Mas. Nanti Sal sama ibu di teras aja. Terasnya menghadap ke timur, insya Allah sunrisenya kelihatan dari sana."
"Ya udah. Kalau gitu tolong ambilkan kamera, ya, Sayang." Salma tersipu. Beranjak menuju kamar sembari melirik dua manusia yang lain dengan malu-malu.
Begitu menerima kamera dari tangan Salma, Andro dan Wahyudi beriringan menuju pintu keluar. Salma dan ibunya merapikan piranti salat yang baru saja digunakan. Pada dua kamar yang masih tertutup, Oma Lucia, Tante Sara, serta Leticia masih tenggelam dalam mimpi mereka.
Tempat mereka menginap adalah sebuah beachfront villa. Antariksa menyewa dua bangunan villa yang letaknya berdekatan. Satu villa ditempati Antariksa dan Utami bersama kedua eyang Andro, juga Rea dan Dimas. Satu villa lagi untuk Andro dan Salma beserta keluarga Salma. Dan Wahyudi tentu saja.
Villa mereka terletak di tepi pantai. Tak persis berbatasan dengan pasirnya, masih ada hamparan rumput hijau nan terpangkas rapi, juga barisan pohon kelapa yang letaknya sudah diatur sedemikian rupa saat penanamannya. Jalan setapak selebar dua meter berkelok-kelok, warnanya yang kontras dengan rerumputan menambah elok pemandangan. Nun di hadapan, pasir putih berpadu apik dengan birunya air laut, sungguh memanjakan mata.
"Alhamdulillah. Banyak kebahagiaan setelah semua kesulitan yang kita lalui ya, Nak." Bu Dita membuka percakapan. Matanya menatap jauh ke depan, pada pendar jingga di ufuk timur yang menyuguhkan keindahan.
"Fainna ma'al 'usri yusro, inna ma'al 'usri yusro. Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh, Allah Maha Adil. Dialah yang mengatur segala pergerakan di alam semesta. Ada waktu matahari terbit, di lain waktu ia tenggelam. Ada masa bumi terang benderang, lalu menjadi gelap agar manusia beristirahat. Begitupun hidup yang kita jalani.
"Sejatinya gelap tak selalu identik dengan keburukan, sebab gelap pulalah cahaya gemintang menjadi indah dipandang. Kita pun sama. Gelap yang pernah kita lalui, menjadikan masa terang ini menjadi jauh lebih berarti."
Salma menoleh, memandang ibunya yang masih menatap lurus pada bola api raksasa yang mulai kehilangan jingganya. Dita tersadar sedang dipandangi, dia balas memandang putrinya.
"Maafkan ibu ya, Nak. Maafkan masa lalu gelap yang pernah ibu torehkan. Di wajahmu, juga di wajah ibu."
"Kalau ibu tidak menorehkan kegelapan, mungkin terang yang sekarang menyapa hidup kita tidak menjadikan kita makin dekat pada Sang Maha Kuasa. Terima kasih sudah mempertahankan Salma waktu itu, Bu. Salma bangga dilahirkan oleh Ibu."
Suara Salma mengalir tenang. Diselipkannya tangan pada siku ibunya, lalu menyandarkan kepala di tempat yang sungguh nyaman, ialah bahu sang bunda.
Keduanya saling diam. Cukup lukisan alam yang mewakili indahnya perasaan mereka. Seorang ibu yang menemukan kembali anaknya, seorang anak yang akhirnya mengenal ibunya.
Dua orang petugas villa datang menyapa. Sebuah troli saji besar terlihat di depan mereka. Sarapan chapter satu sudah tersedia. Utami sengaja memesankan untuk dua sesi, sebab tahu tamu-tamu dari Negeri Matador punya jam biologis yang berbeda dengan mereka. Apalagi tak ada kewajiban yang menyebabkan ketiganya harus bangun sebelum matahari menyapa.
Salma mempersilakan kedua petugas villa untuk menata hidangan di meja makan. Menyampaikan terima kasih dan memberikan seulas senyum terbaik untuk orang-orang yang telah membantunya.
Andro dan Wahyudi tiba tepat saat kedua petugas villa berpamitan. Tanpa menunggu Oma Lucia, Sara, dan Leticia yang belum juga terjaga, mereka makan dalam suasana penuh keakraban.
Tepat pukul delapan terdengar lantunan salam dari pintu villa yang dibiarkan terbuka. Utami dan eyang maminya Andro yang datang, memastikan anak, mantu, dan besan sudah kenyang dan merasa senang.
"Mantai sana. Dimas sama Rea udah siap tuh." Utami setengah memerintah kepada anak laki-laki dan menantu kesayangannya.
"Mbak pakai bikini nggak, Ma?"
Andro masih ingat betul, pada masa jahiliyahnya dulu, Rea hampir selalu pakai baju yang kurang bahan. Apalagi kalau main ke pantai saat di luar negeri, Rea nyaman saja melenggang dengan bikini two pieces yang cuma diamankan dengan tali selebar setengah centi.
"Hush, ngawur. Mbakmu udah insyaf. Udah pakai hijab juga, masa mau pakai bikini. Ditalak sama Dimas bisa nangis sebulan penuh dia nanti. Rea kan bucin." Andro tertawa keras mendengar jawaban mamanya, ditambah kata bucin yang mengakhiri kalimat Utami. Yang lain ikut cekikikan. Ketahuan, dari siapa Andro mewarisi gen suka bicara asal.
"Mbak udah hamil belum, Ma?" tanya Andro lagi.
"Belum, Mas. Mas sih sibuk UAS sampai nggak pernah telpon mbak. Terakhir pekan kemarin Sal telpon, mbak bilang belum hamil."
"Saranku dulu nggak dipakai, sih. Harusnya dicobain, bukan malah dibaperin."
Salma mencubit paha suaminya. Ingatannya yang kuat membuat Salma langsung klik dengan saran Andro untuk kakaknya, supaya Rea jangan terlalu agresif menggoda Dimas, biar Dimas saja yang menggoda Rea sehingga Dimas juga merasa lebih nyaman karena menjadi pemimpin dalam urusan perkasuran.
"Saran apa memangnya?" Utami bertanya, dahinya berkerut tanda keingintahuan yang besar.
"Rahasia, Ma. Onok wong jomlo nak kene, ndak tambah ngenes wonge. (Ada yang jomlo di sini, nanti tambah merana dia)" Andro menyindir Wahyudi. Yang disindir pasrah saja. Mau balas mengumpat tak enak ada orang-orang tua. Terpaksa memaki sahabatnya dalam hati saja.
"Ya udah. Kalau udah turun itu makanan, nyusul aja ke sana. Nanti kami juga ke sana, kok. Pantainya indah banget lho." Sekali lagi Utami menyarankan.
"Pantainya kayak Salma bagi aku ya, Ma."
"Apa itu, Ndro?"
"Indah. Terlalu sayang untuk dilewatkan." Andro menyahut cepat.
"Halah. Rupamu, Ndro!" Mama meraup wajah Andro, mendorongnya telak tanpa basa-basi. Eyang mami dan Dita terpingkal-pingkal. Salma lagi-lagi tersipu. Dan si jomlo yang makin ngenes cuma bisa membatinkan jeritan hati penuh iri dengki. Asem! Beruk siji iki lebayne nemen. (Sial! Monyet satu ini lebay banget)
Bertiga mengikuti saran Utami. Sebuah pesan disampaikan Salma untuk Andro, tak boleh berenang mengenakan swimsuit. Salma tak rela Andro mengekspose body selain di hadapannya.
"Ustadzahnya mama bisa pocecip juga ya, ternyata." Andro mengucapkannya dengan nada bahagia. Dia senang setiap kali Salma menunjukkan sikap bahwa Andro cuma miliknya saja.
Setelah Salma mengganti gamisnya dengan homedress yang lebih ringan dan nyaman, mereka bertiga -dengan Wahyudi- menuju ke pantai. Andro masih mengenakan outfit yang sama dengan sebelumnya. Wahyudi malah masih mengenakan sarung sejak salat subuh tadi.
Di pantai, tak ada yang berniat untuk berenang. Salma mengobrol dengan Rea. Andro, Dimas, Wahyudi, dan Antariksa -yang sudah duluan tiba di pantai karena sengaja hendak mengganggu kebersamaan Rea dan Dimas- seru bermain bola.
Keasyikan mereka terhenti karena kedatangan Leticia dengan outfit yang terlalu terbuka. Suasana kikuk mendadak hadir. Andro dan papanya yang dulu menganggap hal semacam itu biasa, sekarang tak lagi sama. Dimas apalagi, sejak kecil pandangannya selalu terjaga.
"Mbak Salma, tolong kasihkan ke Leticia," bisik Wahyudi sambil menyerahkan sarungnya pada Andro, yang kemudian memberikan kepada Salma.
Salma yang memang peka segera tanggap. Didekati dan diajaknya Leticia untuk menjauh dari yang lainnya.
"Maaf ya, Leti, tapi ada baiknya kamu pakai ini? Kamu mau, kan?" Salma menunjukkan sebuah kain bermotif batik. Agak tak enak hati, tapi Salma tetap melakukan saran Wahyudi.
"Apa itu, Salma?"
"Ini sarung. Semacam kain."
"What for?"
"For covering your body, Leti. So sorry, tapi ini Indonesia. Ada banyak yang tak nyaman melihat outfit yang kamu kenakan sekarang ini, Leti."
"Tapi, Salma---"
"Ssstt..., i beg you, Leti. So, please...."
"Okay, Salma, okay. I will."
"Thank you, Leti. Aku bantu boleh, ya?" Leticia mengangguk. Salma dengan cekatan membantu memakaikan sarung milik Wahyudi menjadi model kemben. Setidaknya aurat Leticia cukup terlindungi dan yang lain jadi lebih nyaman dengan keberadaannya.
Leticia memandangi penampilannya sendiri. Dia merasa lucu sekaligus unik. Baru kali ini dia memakai kain yang oleh Salma disebut sebagai....
"Karung ini unik juga ya dipakai sama aku."
"Sarung Leti, bukan karung. It's different. Sarung dan karung itu ada bendanya sendiri-sendiri." Salma menahan tawa.
"Apa? Sa-rung?"
"Yes. That's right. Sarung. Not karung."
"Ini punya kamu, Salma?"
"Bukan. Punya Mas Wahyudi."
"Wahyudi? Do you mean Yudi?" Leticia mencoba menjaga intonasi, padahal deburan ombak di dalam dadanya sudah mengalahkan deburan ombak di pantai yang mereka pijak.
"Iya. Mas Yudi, temannya Mas Andro."
"Oh, it's okay. Aku akan say thanks sama dia. Aku juga akan minta maaf buat yang lain kalau aku make them not comfort." Salma terharu mendengar niat sepupunya. Leticia mau mengerti tanpa banyak bertanya.
Keduanya kembali bergabung dengan yang lain. Leticia menepati perkataannya. Dia mengutarakan permintaan maaf atas kejadian baru saja. Sesudahnya dia menghampiri Wahyudi tanpa basa-basi.
"Hola, Yudi. Gracias por esta karung. (Halo, Yudi. Terima kasih untuk karungnya) Aku merasa unik memakai ini." Leticia mengangkat sedikit kain yang menutupi tubuhnya, menunjukkan pada si empunya kain bahwa dia suka mengenakannya. Wahyudi jadi mengerti apa yang dimaksud karung oleh Leticia.
"El nombre es sarung, no karung. (Namanya sarung, bukan karung)" terang Wahyudi.
Leticia tertawa renyah, menertawakan kesalahan penyebutan yang dia lakukan. "Whatever. Sarung, karung, garung, marung."
Warung, tarung, murung, burung..., sak karepmu ae lah, Mbak Bule, batin Wahyudi.
"Thank you for this sarung, Yudi. But..., kenapa kamu kasih ini buat aku?"
"Seperti yang Salma bilang pada kamu tadi." Padahal Wahyudi sendiri tak tahu apa yang dikatakan Salma. Dia hanya yakin, seorang dengan kualitas seperti Salma pasti sudah menyampaikan dengan baik tujuannya meminjamkan sarung untuk Leticia.
"Karena ini Indonesia. Maybe banyak yang not comfort if i wear bikini. Itu?"
"Yeps. That's the point, Leticia."
"Tapi kan aku punya hak dan bebas memakai baju sesukaku? Kenapa orang lain tidak nyaman?"
"Apa kamu mau kutemani jalan-jalan, Leticia?" Bukan modus, Wahyudi hanya tak nyaman mereka membahas ini di depan banyak orang. Biarpun suara mereka pelan dan yang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing, tapi dia yang merasa diri bukan orang alim agak malu menyampaikan sesuatu yang sedikit bersinggungan dengan pendapatnya.
"Tentu saja!" sahut Leticia secepat kilat disertai harapan untuk melihat lagi senyum tulus yang diam-diam tersimpan rapi dalam memorinya.
"Biar aku yang izin ke mereka," kata Leticia lagi sambil tergesa berdiri dan menghampiri Andro.
"Andro, aku boleh minta ditemani Yudi untuk jalan-jalan along the beach? Karena cuma dia yang kelihatannya tidak ada masalah buat temani aku. Kamu dan Dimas ada istri. Mau dengan Om Iksa aku takut dapat marah dari Tante Tami."
Sama seperti Salma, kepekaan Leticia rupanya cukup tinggi juga. Dia yang merasa senang bisa bersama Yudi tidak menyebutkan bahwa Yudi yang menawarinya, tapi sebaliknya. Pun alasan yang diajukan, menunjukkan bahwa gadis itu juga cerdas membaca keadaan.
Antariksa tergelak. Didukungnya keinginan Leticia untuk jalan-jalan dengan Wahyudi. Leticia benar, tidak mungkin mengajak Andro, Dimas, atau dirinya untuk berjalan berdua-duaan. Yang paling memungkinkan ya hanya Wahyudi, dan Antariksa yakin sahabat anaknya itu dapat dipercaya.
"Hati-hati, Leti. Yudi suka modus," celetuk Andro.
Jangkrik tenan menungso siji iki! maki Wahyudi. Masih istiqomah dalam hati saja.
"Apa itu modus?" Tentu saja Leticia tak tahu.
"Nggak. Bukan apa-apa, Leti. Mas Andro cuma bercanda. Pergilah dengan Mas Yudi, tapi jangan jauh-jauh dari pandangan kami."
Salma menengahi. Andro kalau tidak di-cut suka sembarangan saja bercandanya. Salma yakin Wahyudi tidak berniat modus atau apapun. Salma bahkan bisa merasai kalau Wahyudi justru merasa sedikit sungkan dengan keberadaan Leticia yang sempat menciptakan awkward moment di tengah-tengah mereka tadi.
"Tenang saja, Salma. Pantai ini lurus saja. Aku bahkan bisa melihat Mister Krabs sedang mengejar dollar dua kilometer di depan sana." Leticia berkelakar, telunjuknya menghunus jauh ke depan. Wahyudi tertawa mendengar jawaban Leticia. Sepupu Salma itu ternyata lucu juga.
Leticia dan Wahyudi pun berpamitan pada yang lain. Ada riang terpancar di wajah Leticia, sedangkan canggung mendominasi diri Wahyudi. Tentu saja. Ada bos-bosnya di sana, dan Andro si tuan muda malah mengatainya modus di depan atasan-atasannya.
Ngene iki gak dipecat ae wis kudu sujud syukur, batinnya sedikit lebay.
"So, Yudi. Kenapa aku nggak boleh menggunakan kebebasanku untuk memakai baju apa saja?" Baru lima langkah, Leticia langsung menagih jawaban.
"Karena, Leti, yang namanya kebebasan mutlak itu tidak ada. Bebas bukan berarti kamu boleh berlaku sesukamu kapan saja, di mana saja. Termasuk soal baju apa yang ingin kamu pakai.
"Di sini, di Indonesia, ada satu quote yang menyebutkan bahwa di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Where the earth is stepped on, there the sky is upheld. Artinya, di tempat di mana kamu berada, sudah semestinya kamu menghargai peraturan atau kebiasaan yang berlaku di tempat itu.
"Ada juga quote lain yang artinya hampir sama, yaitu lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Different fields different grasshoppers, different depths different fish. Artinya, setiap tempat memiliki hal-hal yang berbeda dengan tempat yang lain. Hal-hal yang berbeda itu banyak macamnya, ada perbedaan bahasa, culture, habits, law, value, dan banyak lagi.
"Nah, itu juga yang semestinya kamu ingat, Leticia. Ini Indonesia, bukan Spain. Kamu mungkin bebas jalan-jalan di Ibiza dengan memakai bikini, tapi di sini berbeda. Apalagi kamu dikelilingi orang-orang yang kamu kenal. Kamu juga tahu mereka memiliki prinsip yang berbeda denganmu, maka sudah seharusnya kamu meyesuaikan dengan tempat di mana kamu sedang berada, Leticia."
Wahyudi menghentikan langkahnya. Detik berikutnya dia berlari meninggalkan Leticia. Leticia tak terima. Dikejarnya Wahyudi secepat dia bisa. Keduanya berkejaran layaknya sepasang protagonis dalam sinema Hindustan.
Seperti permulaan yang tiba-tiba, Wahyudi berhenti pula dengan tiba-tiba, tapi tetap menjaga diri agar tak terjadi kontak fisik dengan si gadis hispanik.
"Kenapa kamu lari tinggalkan aku? Kan kamu yang tadi mengajakku." ujar Leticia dengan nada kesal. Sama sekali tak terlihat lelah atau tersengal-sengal.
Wahyudi cuma tertawa dan berkata sorry, kemudian duduk di sembarang saja. Matanya memandang jauh ke ujung samudra yang mampu dijangkaunya.
"Bukankah aku bebas saja mau berlari ke mana saja dan meninggalkan kamu, Leticia? Aku punya hak untuk itu."
"Tapi, Yudi...." Leticia menggantung kalimatnya di udara. Pembicaraan Wahyudi tentang kebebasan seperti sedang menyindir dirinya.
"Nah, itulah. Ketika aku yang mengajakmu lebih dulu, maka ada semacam harapan darimu agar aku menjadi seseorang yang menyenangkan dan bertanggungjawab ketika bersamamu, kan?" Leticia mengangguk ragu.
"Itu menjadi semacam batasan untukku, Leticia, yaitu adanya kewajiban untuk menjagamu, untuk tidak meninggalkanmu. Meski aku bebas untuk melakukannya, di saat yang sama aku juga terikat sesuatu yang menghalangi kebebasanku.
"Begitulah. Kamu nggak bisa menjadikan kebebasan sebagai alasan. Bagaimana kalau tadi yang lain benar-benar merasa tak nyaman, lalu mereka meninggalkan kamu sendirian? Pasti kamu merasa kesal, kan? Padahal mereka juga punya kebebasan mengambil sikap seperti halnya kamu merasa bebas berpakaian apa saja, kan? Tapi tidak seperti itu, Leticia. Sebenarnya tak sulit, kita hanya harus saling menghormati.
"Tadi itu mereka sebenarnya tak nyaman dengan keberadaanmu yang berpakaian terbuka, mereka hanya berusaha menahan ketidaknyamanan demi menghormati kamu. So, sudah seharusnya kamu juga melakukan hal yang sama. Hormati mereka. Minimal memakai baju yang lebih tertutup, dan hanya saat kamu di sini saja."
Leticia mengangguk-angguk, berusaha mencerna pendapat Wahyudi yang baru saja didengarnya.
"Maaf kalau aku banyak bicara, Leticia. Semoga kamu mengerti maksudku."
Penjelasan Wahyudi memang panjang lebar, namun tetap pelan-pelan. Dia sadar betul lawan bicaranya bukan native speaker bahasa Indonesia, meski berstatus kewarganegaraan yang sama dengannya.
"It's okay. Nggak apa-apa, Yudi. Kamu sudah pelan-pelan to tell me about your opinion, jadi sedikit dan banyak-banyak aku bisa memahami. Tapi..., benarkah tidak ada soal faith or religion yang membuat kalian not comfort melihat aku pakai baju terbuka seperti tadi?"
Gadis berambut keriting sebatas punggung itu seakan memancing. Wahyudi merasa harus hati-hati menjawabnya. Meski tak banyak, tapi dia mengerti bahwa di negaranya Leticia, ada sejarah tak mengenakkan yang melibatkan perbedaan keyakinan diantara mereka berdua.
Wahyudi tahu diri dia bukan orang yang alim, meski bapaknya adalah seorang imam di mushola kampungnya. Sebab iman dan ilmu tidak diwariskan, tapi harus diperjuangkan agar diri tak pernah terlepas dari keduanya.
"Ehem." Sepertinya berdehem bisa sedikit menambah ketenangan pada diri Wahyudi.
"Alasan itu tentu saja ada, Leticia. Dalam keyakinan kami, menjaga pandangan pada yang tidak semestinya kami pandang adalah sebuah keharusan. Kita orang bertuhan, sudah seharusnya aturan dari Tuhan menjadi sesuatu yang selalu kita genggam kuat-kuat."
"Aku juga bertuhan, Yudi."
"That's good. Tapi keimanan kita berbeda, Leticia. So, bisa jadi aturan dalam agama kita pun tidak sama. Aku hanya tahu apa yang menjadi nilai-nilai dalam keyakinanku, tidak dalam keyakinanmu. Sekali lagi, kita hanya harus saling menghargai."
Leticia terdiam. Semua pendapat Yudi bisa diterima oleh hati dan akalnya.Benaknya dipenuhi berbagai pikiran, tentang dirinya, yang selama ini hanya menjalankan keyakinan dengan seadanya.
"Apa kamu selalu menjalankan perintah Tuhanmu dengan baik, Yudi?"
Wahyudi menoleh ke arah Leticia. Keduanya saling beradu tatap. Hanya sekilas, lalu pandangan Wahyudi kembali lepas pada samudra nan luas.
"Belum. Aku masih sangat jauh dari predikat hamba yang baik jika dibandingkan dengan semua kenikmatan yang sudah Tuhanku berikan untukku. Hanya saja, aku selalu berusaha menggenggam erat apa yang harus kugenggam, dan melakukan apa yang wajib kulakukan."
Wahyudi kembali menoleh kepada Leticia, yang sejak tadi masih betah memandanginya. Tatapan keduanya kembali berserobok. Sebuah senyum dia berikan, yang membuat hati Leticia makin tertawan.
"Aku...." Leticia tak melanjutkan bicaranya.
Aku suka sama kamu, Yudi.
Dia memilih untuk melanjutkannya dalam hati saja.
***
Ecieee, Wahyudi bin Djamin sudah officially ditaksir mbak bule nih. Wkwk...
Btw, sengaja kuberi judul Tambahan. Karena part ini memang mestinya masuk extra part sih ya, karena lebih menceritakan tokoh selain tokoh utama. Eh, bener gitu kan yak? Hihi...
But it's okay. Karena aku melanjutkan Move On ini dengan sesenang hatiku saat menulisnya dan membiarkan cerita yang dihasilkan semengalirnya aja. Buatku, rasa happy saat menuliskannya itu jauh lebih penting. Sebab menulis dengan tekanan batin (harus begini, begitu, ini, itu, anu) itu lebih menyedihkan dari ngelihat mantan jalan sama yg baru. Eaaakk... Terekdungcess.
Maaf ya telat sehari. Kemarin habis salat maghrib kepalaku rasanya pusing banget, jadi aku istirahat sebentar. Jam 9 ayahnya telpon, eh anak-anak pada laporan, "Tadi kita nggak salat isya ke mushola, gara-gara mama alesannya pusing, padahal sih kayaknya mama tuh ngantuk."
Lah, gue dituduh modus sama anak-anak. Hahaha...
Tapi begitulah, di mata anak-anakku mungkin mama=superhero. Jadi kalau aku kelihatan sakit dikit, mereka pd menyangsikan. Walaupun kalau lihat aku bener-bener kepayahan, mereka juga berlomba-lomba memberi pelayanan terbaik. Bikinin susu, bawain makan, dsb.
Baiklah. Udah panjang. Ceritanya sendiri hampir 3K kata. Masih ditambah curhatanku segala. Haha...
Terima kasih banyak untuk yang masih senang mengikuti ceritanya Andro dan Salma. Semoga menghibur yaaa.
See you :)
Semarang, 11032020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top