54. Kenangan
Empat hari bersama memunculkan keakraban pada diri Salma dan Leticia. Keduanya menghabiskan hari-hari tanpa terpisahkan satu dengan lainnya. Tentu saja tak hanya berdua, ada ibunya Salma, mamanya Leti, juga Oma Lucia. Banyak hal mereka bincangkan, berbagai aktivitas mereka lakukan. Mengobrol sambil memasak berbagai menu khas Spanyol menjadi kegiatan rutin. Salma bahkan sudah pandai membuat paella, nasi goreng ala Spanyol.
Jika ada yang agak kesal dengan kedekatan keluarga yang baru dipertemukan tersebut, tak lain tak bukan Androlah orangnya. Liburan yang semestinya bisa dilalui dengan menghabiskan banyak waktu berduaan dengan Salma, terpaksa menjadi impian belaka.
Jangankan berduaan sepanjang hari, mau tidur saja mereka berdua harus berdebat dulu. Salma ingin tidur di rumah keluarganya, Andro maunya pulang ke rumah orang tuanya, tak ada yang mau mengalah. Akhirnya diambil jalan tengah. Keduanya tidur di rumah eyangnya Andro. Baru pagi ini mereka pulang ke kediaman keluarga Antariksa. Itu juga karena harus mengambil beberapa barang yang akan dibawa ke Banyuwangi.
Biarpun kesal, di satu sisi Andro juga sangat memahami. Dua puluh tahun hidup sebagai anak tak jelas asal usulnya, sangat wajar kiranya Salma dilanda euforia. Dari yang sebelumnya tak terpikir sama sekali memiliki keluarga, endingnya malah bisa bertemu dan berkumpul dalam sukacita.
Kalau bukan karena cinta, manalah mau Andro melakukan sesuatu yang menurutnya adalah sebuah pengorbanan besar. Menomorsekiankan keinginan pribadi, demi Salma dan keluarganya.
"Aku jum'atan dulu ya, Sal. Pulangnya bablas ke proyeknya Yudi," pamit Andro siang itu.
"Tapi nanti kita jadi ikut ke Banyuwangi kan, Mas?"
Oma dan tantenya Salma ingin tahu kehidupan Dita di Banyuwangi. Rumah yang dulu ditinggali Dita memang sudah dijual, tapi mereka tetap ingin tahu, sebab Dita banyak mengalami perubahan ke arah lebih baik semenjak memutuskan untuk menjadi mualaf dan hijrah ke kota di ujung timur pulau Jawa tersebut.
Papa Andro mendukung sekali keinginan oma dan tantenya Salma, malah dia mengajak serta anak, menantu, dan orang tuanya. Sekalian refreshing akhir pekan, begitu alasan Antariksa.
"Dih, pertanyaan macam apa itu, Sal? Ya jadi, lah. Mbak Rea sama Mas Dimas yang nggak ada sangkut paut langsung sama cerita ini aja ikut, masa kita nggak. Aku cuma mau ajak si Yudi, kasihan kalau weekend sendirian. Makanya habis jum'atan aku ke sana mau sekalian jemput dia. Kalau yang jemput anaknya bos kan lebih gampang pamitnya buat pulang gasik."
Salma mencebik. Suaminya memang masih suka memanfaatkan privilege sebagai anak bos. Andro malah tertawa, menarik mulut Salma yang di matanya sangat lucu dan menggemaskan.
"I love you, Sal. Kamu siap-siap ya." Andro beranjak menuju pintu, tapi jawaban Salma menghentikan langkahnya.
"Iya, Mas. Hati-hati, ya. Sal sayang sama Mas. Kangen."
"Cieee, ustadzahnya mama kangen sama anaknya muridnya. Memang ganteng dan mempesona sih, makanya dikangenin sama ustadzahnya mama," goda Andro. Salma tersipu-sipu. Semua perdebatan soal tidur di mana dan semacamnya kemarin melintas di benaknya. Ada penyesalan, kenapa harus ngeyel segala pada suami yang sudah begitu baik dan menerima dia apa adanya.
"Maafin Sal ya, Mas. Beberapa hari ini Sal malah fokus dan bela-belain keluarga Sal daripada Mas."
"Dih, nggak apa-apa kali, Sal. Aku udah pernah jadi anak hilang, pas kembali lagi ke keluarga, rasanya kayak yang bahagia banget, gitu. Pengennya dekat-dekat terus sama mama, papa, Mbak Rea.
"Aku masih mending, waktu itu belum punya istri, jadi bisa minta dikelonin mama terus tiap malem. Nah, kamu? Udah ada aku, sampai tidur berdua sama ibumu aja kamu belum pernah. Pengen tidur di rumah keluargamu aja aku nggak mau ngalah. Harusnya aku yang minta maaf, Sal."
Andro mendekat, dipeluknya Salma yang segera membenamkan wajah ke dada Angkasa Andromeda. Ucapan terima kasih mengalir tanpa jeda. Andro jadi merasa berdosa.
"Udah, Sal, jangan nangis. Aku yang harusnya terima kasih sama kamu. Sekarang cup ya, janji nggak nangis lagi. Kita nikmati waktu-waktu bersama keluargamu. Besok kalau udah pulang dari BWI, kita tidur di rumah Opa Johan. Oke?"
Pelukan Salma makin erat. Andro tertawa. Akhir-akhir ini Salma suka manja dan kekanakan, seperti....
Astaghfirullah hal adzim. Andro buru-buru beristighfar dalam hati. Memangnya apa lagi yang bisa dilakukan selain memohon ampunan? Nyatanya kenangan masa lalu kadang melintas begitu saja tanpa diminta.
"Ssstt, nangisnya udah ya, Sal. Nanti aku telat jum'atannya lho."
Salma melonggarkan pelukan. Mendongakkan kepala, menatap lembut mata suaminya. Lalu berjinjit, memberi satu kecupan, yang disambut Andro dengan penuh perasaan.
"Duh, aku harus wudhu lagi nih jadinya," seru Andro begitu sadar mereka berpotensi untuk kebablasan.
"Sorry, terpaksa harus di-cut. Aku berangkat dulu ya, Sal. Nanti habis jum'atan pulang ke sini dulu deh, ngelanjutin yang ini tadi."
Salma tersipu-sipu lagi. "Ih, sembarangan. Nggak nggak, Mas jemput Mas Wahyudi aja. Sal nggak mau kita telat berangkatnya."
"Nanti nyesel, lho." Sekali lagi Andro menggoda Salma. "Udah sih, iya aja. Yudi juga nggak ngerti aku bakalan jemput dia. Jadi telat juga nggak masalah."
Salma kukuh menjawab tidak. Ego untuk segera berkumpul dengan keluarganya kembali muncul, tanpa Salma sadari.
***
Selepas asar perjalanan menuju Banyuwangi dimulai. Andro menjadi satu-satunya laki-laki di dalam mobil sekaligus solo driver sebab keluarga Salma maunya berada dalam satu mobil. Wahyudi diminta menemani Mas Wahyu di mobil yang membawa papa dan mama Andro. Sedangkan Rea dan Dimas menyertai eyang mereka.
Ketiga kendaraan roda empat tersebut melaju santai. Andro sudah tak pernah ngebut jika ada Salma bersamanya, apalagi sang istri dalam kondisi terjaga, bisa berkali-kali mengingatkan sampai Andro bosan mendengarnya.
"Bagaimana ceritanya kamu bisa pindah keyakinan, Dit?" Suara Oma Lucia memecah keheningan.
Salma mendadak tegang. Hingga detik itu dia belum tahu detail mengenai kisah perjalanan hidup ibunya sampai melahirkan dirinya. Salma hanya tahu kalau ibunya dulu seorang perempuan yang memilih jalan hidup salah, bahkan siapa bapak biologisnya tidak diketahui. Sejak itu Salma selalu merasa cemas setiap kali sang ibu bicara tentang masa lalu. Entahlah, serasa ada ketakutan untuk mengetahui fakta yang sebenarnya tentang latar belakang dirinya.
"Awalnya karena anakku, Ma."
"Maksudnya Salma, Bu?" tanya Salma sambil menoleh ke belakang dan menatap ibunya.
"Iya. Anak ibu kan cuma kamu, Nak." Andro melirik istrinya. Tangannya terjulur, mengusap lembut paha Salma.
"Temanku yang mencarikan panti, Ma. Panti milik Bu Miska yang dipilihkannya buat anakku. Waktu itu panti masih belum lama berdiri, belum ada tiga tahun, anak-anak yang di sana masih sedikit. Jadi kata temanku, anakku tidak akan kekurangan perhatian dari pengurus panti. Tapi panti itu panti asuhan muslim, Dit, begitu kata temanku waktu itu. Aku mengiyakan saja. Pokoknya yang terbaik untuk anakku.
"Aku memutuskan untuk berhenti menjalani kehidupan yang salah setelah bertemu dengan seorang perempuan muda bersama seorang anak berkebutuhan khusus. Perempuan itu sabar sekali menghadapi anaknya, matanya menyorotkan rasa sayang yang luar biasa.
"Waktu itu aku sedang di perjalanan, mau menghabiskan akhir pekan ke tempat yang belum pernah kudatangi. Banyuwangi. Terus iseng kutanya, di mana bapaknya? Pikirku hari libur begitu, pergi bawa anak dengan special needs, naik kendaraan umum, hanya berdua pula. Pastinya repot sekali kan, Ma?" Lucia mengangguk menyetujui pendapat Dita.
"Dia jawab kalau dia nggak punya suami. Dia korban kekerasan seksual. Awalnya dia sempat menolak keberadaan anaknya, sampai suatu hari anak itu demam tinggi dan sistem syarafnya terganggu atau gimana, gitu. Terus anaknya jadi seperti yang kulihat waktu itu. Sejak melihat anaknya jadi nggak normal untuk seumur hidup, dia menyesal. Yang tadinya begitu membenci, berbalik jadi sangat mencintai dan rela berkorban apa saja untuk anaknya.
"Lalu kutanya lagi, berapa umur anaknya? Tujuh tahun, katanya. Seusia anakku waktu itu. Aku jadi ingat pada anakku. Anak yang terlahir cantik dan sempurna, tapi malah kutinggalkan begitu saja."
Di seat di samping driver, Salma mulai menitikkan air mata tanpa suara. Tangannya mengepal, jemarinya bergetar hebat. Rasanya ingin menghilang dari sana dan tak perlu mendengar apapun cerita ibunya. Andro menangkap kegelisahan sang istri, diraih dan dikecupnya tangan Salma. Mata keduanya saling beradu. Andro mengangguk, seolah berkata, kamu kuat, Sal.
"Perempuan itu bergamis lebar dan berjilbab besar, Ma, yang menurutku makin merepotkan gerakannya. Tapi dia terlihat enjoy dan menjalani semuanya seolah tanpa beban. Aku penasaran dan bertanya, kenapa bisa begitu? Dan jawabannya membuat aku kepikiran terus."
"Dia jawab apa?"
"Karena saya melakukannya lillahita'ala, begitu jawabnya. Aku diam saja, Ma, tapi sesudah berpisah dengannya aku kepikiran dan mencoba mencari tahu maksud dari perkataannya."
"Memangnya apa lillahila..., lillahilata..., apa tadi, Dit?"
"Lillahita'ala, Ma. Artinya karena Allah. Jadi dia melakukan sesuatu hanya karena Allah. Bukan karena anaknya, bukan karena terpaksa, bukan karena disuruh orang tuanya, dan semacamnya. Benar-benar ikhlas karena mencari ridho Allah saja."
Sejak saat itu Nerudita tak berhenti mencari tahu tentang lillahita'ala. Bagaimana caranya, apa yang harus dilakukan, apa saja balasan yang akan diterima, dan sebagainya. Setiap informasi yang dia peroleh sumbernya pasti dari muslim, maka dia memutuskan untuk menjadi seorang muslim.
"Pikirku waktu itu sederhana saja. Anakku pasti dibesarkan sebagai seorang muslim. Aku ingin ketemu anakku suatu hari nanti, Ma. Jadi kuputuskan untuk masuk Islam tak lama setelah pertemuan itu. Dan aku memutuskan untuk melakukannya di Banyuwangi. Aku ingin berubah total. Aku ingin ketika nanti ketemu anakku, aku adalah seorang ibu yang nggak membuatnya malu, walaupun juga nggak bikin bangga. Dan setidaknya..., agama kami sama."
Nerudita melakukannya total. Resign dari pekerjaan, memutuskan komunikasi dengan semua laki-laki yang berhubungan dengannya, menyelesaikan segala urusan tempat tinggal di kota sebelumnya, lalu pindah ke Banyuwangi, dan memulai kehidupan baru di sana.
"Aku merasa terlahir kembali, Ma. Aku bahagia, walaupun harus memulai kembali hidupku dari nol. Aku mendekat pada teman-teman yang bisa mengajariku tentang Islam. Aku bekerja apa saja yang penting halal. Aku belajar menutup aurat, aku belajar berhijab. Aku belajar banyak hal.
"Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya aku tak lagi memaksakan diri untuk harus bertemu anakku. Keinginan itu tentu saja masih ada, tapi aku ikhlas kalaupun Allah tidak berkehendak mempertemukan aku dengan anakku, Ma. Kalau tidak berjumpa di dunia, semoga Allah mempertemukan kami di surga-Nya.
"Aku menemukan arti lillahita'ala yang selama ini kucari, bahwa sudah semestinya segala sesuatu kita lakukan hanya karena Allah yang Maha Tinggi. Sejak itu, aku tak lagi risau dengan urusan dunia. Aku menjalani hidup hanya karena Allah saja."
Salma terisak-isak. Semua cerita masa lalunya menjadi tak penting lagi. Dia mencintai ibunya. Dia bangga pada ibunya, apapun masa lalu sang ibu.
Andro menepikan mobilnya dan berhenti di tempat yang aman. "Turunlah, Sal. Peluk ibumu," katanya sambil menekan tombol central lock.
Salma bergegas turun dan membuka pintu ibunya. Dipeluknya sang ibu erat. Lisannya tak henti menyampaikan perasaan sayang dan bangga atas ibunya. Suasana mobil menjadi haru biru. Keluarga Salma semua menangis bahagia.
SUV putih produksi Jerman berhenti di depan mobil Andro. Tiga orang turun dan menghampiri. Antariksa, Utami, dan Wahyudi.
"Ada apa, Ndro?" tanya Antariksa serius. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran
"Nggak ada apa-apa, Pa. Cuma ada drama keluarga. Telenovela." Andro malah bercanda. Wahyudi geleng-geleng mendengar jawaban sahabatnya.
Utami mendekati Salma, dengan heran bertanya, "Ada apa, Sayang? Kenapa nangis sampai kayak begini? Nanti sesak napas lho." Diusap-usapnya punggung menantu kesayanga.
Salma melepas pelukan pada ibunya, lalu memeluk sang mama mertua. "Sal sayang sama Mama. Terima kasih banyak ya, Ma. Maaf kalau Sal belum bisa jadi menantu yang baik, belum bisa jadi istri yang baik buat anaknya Mama." Masih sambil terisak-isak.
"Biasa, Ma, ibu hamil. Pengaruh hormonnya kadang suka bikin bingung. Tapi Andro tetap cinta, sih."
Mamanya mencibir. Wahyudi sekali lagi geleng-geleng. Dasar Angkasa Andromeda, suka salah tempat dan waktu kalau bercanda.
"Ya sudah, lanjut jalan dulu saja. Nggak jauh dari sini ada tempat makan yang enak dan nyaman. Nanti kita berhenti dulu di sana, sekalian istirahat." Antariksa memutuskan, yang lain menyetujui.
Salma pindah duduk di second row bersama ibu dan omanya. Andro meminta Wahyudi menemaninya di depan. Setelah meminta izin kepada Antariksa dan Utami, Wahyudi masuk ke mobil. Dia memberi salam pada keluarga Salma, menebar senyum tulus untuk semuanya.
Di baris paling belakang sebelah kanan, seorang gadis berwajah hispanik tersipu-sipu sendiri. Senyum yang terekam di benaknya sejak malam itu, kembali dia jumpai sore ini.
***
Horeee... Kurang dari 2K kata. Haha...
Maaf ya minggu kemarin aku absen update Move On. Lagi ikut riweuh nyiapin suami berangkat Umroh. Terus ikut dag dig dug nyimak segala sesuatu ttg umroh kali ini, karena memang pandemi mengubah kondisi untuk umroh juga.
Qodarullah per hari kemarin KSA sudah menghapuskan beberapa aturan berkaitan dengan protokol kesehatan. Sudah nggak perlu sertifikat negatif pcr, no masker kecuali di tempat tertutup, nggak ada jaga jarak lagi, salat juga sudah nggak selang seling berjarak lagi, dsb.
Alhamdulillah, aku yang nyimak aja terharu, apalagi yang di sana yaaa.
Semoga kita semua disegerakan untuk menjadi tamu-tamu Allah di Tanah Suci. Aamiin ya Rabb.
Baiklah. Terima kasih banyak masih mau baca dan bersabar sampai sejauh ini. Semoga tetap terhibur sama cerita si Andro yang super ngeselin yaaa.
Aku kalau punya ponakan kayak Andro udah tak pithes aja jejeli tempe. Hahaha...
See you :)
Semarang, 07032022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top