53. Kesan

Notes:
- banyak translate-an, semoga nggak bikin puyeng
- pas baca scene sepupunya Salma ngomong campur-campur Inggris-Indonesia, bayangin aja Cinta Laura. Hehe...

Happy reading

***

Usai sarapan bersama, obrolan dipindahkan ke teras samping yang berbatasan langsung dengan taman tempat mama menaruh anggrek-anggrek kesayangan mama, juga beberapa jenis burung yang tiap pagi meramaikan rumah besar itu dengan kicauan.

Di situ pula Andro menyampaikan maksudnya untuk mengajukan sang sahabat magang di salah satu proyek yang sedang ditangani papanya.

"Kamu nggak sekalian?" tanya mama pada Andro.

"Nggak lah. Andro pulang kan bukan mau nyari kerjaan, tapi mau maksimalin waktu pacaran sama Sal. Kalau di sini kan Sal nggak perlu mikir urusan rumah, jadi bisa full ngurus Andro aja."

"Muke lu, Boy," sahut papa sambil meraup wajah Andro dengan tangannya. Mereka semua tertawa.

"Soal magang buat Wahyudi, coba papa tanya Dimas dulu, ya."

Bukan basa-basi, Antariksa langsung meraih gawai dan menelepon menantu laki-lakinya. Bertukar sapa, menanyakan kabar Dimas dan Rea, lalu masuk pada poin utama.

"Wahyudi sudah siap kalau ke proyek hari ini?" Antariksa memastikan.

"Insya Allah siap, Om," ucap Wahyudi tanpa ragu. Antariksa kembali berbicara dengan menantunya di seberang sana.

"Oke. Setelah ini langsung siap-siap saja, nanti setengah delapan Dimas ke sini," sambung Antariksa kepada Wahyudi, setelah mengakhiri pembicaraan dengan Dimas.

"Proyek apa ini, Pa?"

"Rumah sakit. Tapi nggak besar sih, cuma empat lantai."

"Bagian apa nanti si Yudi?"

"Terserah Dimas. Nanti biar mereka ngobrol di mobil. Gitu ya, Mas Yudi." Papa beralih lagi pada Wahyudi.

"Siap, Om. Terima kasih banyak."

Wahyudi lalu mohon diri untuk bersiap. Merasa sangat bersyukur punya sahabat seperti Andro. Tak lupa dia mengabarkan pada orang tuanya, sekaligus meminta doa dan restu dari keduanya.

Di teras samping, dua pasangan suami istri masih berbincang. Kedatangan omanya Salma menjadi topik utama. Keluarga dari Spanyol baru akan tiba sekira jam empat sore. Penerbangan Madrid-Jakarta membutuhkan waktu hampir 18 jam. Ditambah beberapa jam transit di Dubai, plus penerbangan Jakarta-Surabaya. Bisa jadi keluarga Salma tersebut menempuh waktu 24 jam lebih untuk mereka saling bertemu.

Salma terharu sekaligus tak sabar. Dia yang dulu sebatang kara, tiba-tiba punya suami dan menjadi bagian dari keluarga Antariksa. Tak lama berselang, datanglah ibu kandungnya. Dan hari ini, dia akan bertemu oma, tante, dan mungkin juga om dan sepupu-sepupunya. Semua seperti mimpi. Dia yang selama hampir 20 tahun tak punya apa-apa, dalam waktu enam bulan jadi punya segalanya.

Masya Allahu laa quwwata illa billah,sebutnya berkali-kali dalam hati.

"Pagi ini Sal izin mau bantu ibu di rumah opa ya, Ma, Pa?"

Tentu saja kedua mertua mempersilakan. Mereka berjanji akan menyusul ke sana sore nanti setelah menyelesaikan pekerjaan hari itu. Urusan penjemputan juga diambil sepenuhnya oleh Antariksa. Hanya Andro yang akan menemani Salma, sebab hanya dia yang saat ini berstatus sebagai 'pengangguran'.

Pembicaraan terhenti ketika Dimas datang. Dia sendirian. Dan seperti yang sudah-sudah, papa langsung memonopoli si menantu laki-laki untuk bicara soal pekerjaan.

Hanya sepuluh menit saja, Dimas segera berpamitan. Meski namanya tercatat sebagai salah satu calon penerus perusahaan, pantang baginya untuk datang terlambat atau apapun itu yang berbau ketidakdisiplinan.

Kepada Wahyudi papa Andro berpesan, supaya memanfaatkan kesempatan ini untuk banyak belajar. Wahyudi mengangguk berkali-kali, juga mengucapkan terima kasih tak henti-henti, lalu berpamitan dan bergegas menjajari langkah Dimas. Mereka sudah akrab beberapa menit kemudian.

"Mas nggak pengen magang juga?" Salma mengulang pertanyaan mama. Keduanya di teras, melepas kepergian Wahyudi, juga Dimas.

"Ya pengen, tapi nggak sekarang. Tenang aja, Sal, rencana masa depan tetap jadi salah satu prioritas kok. Cuma untuk sekarang ini, prioritasku yang paling utama tuh cuma satu, kamu. Iya, kamu." Salma terkekeh. Andro selalu lucu kalau sedang begitu.

"Alhamdulillah. Terima kasih, Mas. Sal bahagia banget jadi istrinya Mas. Sekarang siap-siap ke rumah opa, ya."

"Nggak ada bonus satu sesi dulu, nih?" Andro mengedip-ngedipkan mata. Salma merespon dengan cubitan kecil yang membuat Andro mengaduh kesakitan.

Menjelang pukul sembilan keduanya pergi ke rumah opa Salma. Andro memarkirkan mobil di rumah eyangnya. Bersapa sejenak dengan kedua orang tua papanya, lalu keempatnya beranjak ke rumah sebelah.

Salma memeluk dan mencium kedua pipi ibunya. Sebuah kalimat dia bisikkan, "Salma sayang sama Ibu." Dan Bu Dita kembali menarik putri semata wayang ke pelukan.

Tak banyak yang perlu disiapkan sebab rumah selalu terjaga kebersihan dan kerapiannya meski tak ada pemilik yang berdiam di sana. Keluarga yang dulu membantu Opa Johan dan Oma Lucia masih digaji untuk merawat rumah tersebut.

"Sal bantu apa lagi, Bu?"

"Kamu istirahat saja, insya Allah sudah siap semua. Nanti yang datang cuma bertiga saja. Mama, Sara, dan Leticia, anak bungsunya Sara."

Ah, Salma tak sabar ingin berjumpa sepupunya. Saudara sedarah yang seumur hidup baru akan ditemuinya.

"Berapa umur Leticia, Bu?"

"Sebaya sama kamu. Leticia 19 tahun."

"Kenapa hanya Leticia yang ikut ke sini?" Sara punya tiga anak, dua laki-laki dan si bungsu Leticia.

"Karena hanya Leticia yang memilih ikut kewarganegaraan Sara. Makanya cuma dia yang bisa ikut dengan mudah tanpa repot mengurus dokumen ini itu anu untuk masuk ke Indonesia." Dita menjelaskan.

"Lagian, bagus dong yang lain nggak ikut. Anaknya yang dua kan cowok. Ibunya ada darah bule, bapaknya full bule. Nanti kalau mereka pada ikut juga, aku kalah ganteng," sahut Andro berkelakar. Bu Dita dan kedua eyangnya tertawa. Salma tidak, malah mukanya terlihat malas dan kesal.

Andro tak tahu kenapa, tapi dia menahan diri untuk tak bicara sembarangan lagi. Barulah setelah cuma berdua, ditanyakannya sebab perubahan wajah Salma pada yang bersangkutan.

"Mas kira Sal perempuan gampangan yang suka ngelihatin laki-laki lain sesuka hati, gitu? Kayak gitu tuh nggak diwariskan secara genetis, Mas. Bukan berarti kalau ibunya Sal dulu nggak bener, terus Sal juga punya bakat kayak gitu. Nggak sama sekali. Mas nggak percaya ya sama Sal? Terus Mas mau percayanya sama siapa? Sama Mbak Zul---"

"Cukup, Sal. Aku minta maaf. Dan kita udah sepakat untuk nggak bawa-bawa dia lagi dalam hidup kita. Aku yang salah. Aku minta maaf. Aku janji nggak akan asal bicara lagi, biarpun konteksnya cuma bercanda. Aku minta maaf." Tiga kali permintaan maaf terucap dalam satu kesempatan bicara.

"Sal tuh nggak seperti kebanyakan orang, Mas. Sal anak nggak jelas. Nasabnya nggak jelas. Punya rekam jejak kurang terhormat. Jadi wajar kalau Sal memang agak sensitif dengan bercandaan semacam itu. Sal sih berharapnya Mas bisa ngerti tanpa harus Sal bilang. Sal ni istri Mas lho."

Andro diam dan memaklumi. Hormon ibu hamil kadang suka mempengaruhi suasana hati. Padahal dia ingat betul, tadi tak sekecap pun menyebut nama Salma. Dia menjadikan dirinya sendiri sebagai objek candaan. Tapi ya sudahlah, namanya juga ibu hamil. Lebih baik mengalah dan minta maaf. Itu juga belum tentu urusan langsung kelar begitu saja.

"Iya, aku minta maaf. Kita istirahat dulu aja ya di rumah eyang." Diraihnya Salma ke dekapan. Membujuknya agar mau istirahat di rumah eyangnya saja. Salma menolak. Memilih untuk beristirahat di rumah tempat ibunya menghabiskan masa kecil. Andro terpaksa menerima, walau dia merasa asing di rumah yang —sejak Opa Johan meninggal— nyaris tak pernah dia sambangi.

Cukup lama keduanya menghabiskan waktu di sana, dengan Bu Dita dan ibu yang sehari-hari mengurus rumah itu. Selepas asar mereka semua bersiap menyambut tamu istimewa.

Hati Salma dag dig dug tak keruan. Pun Bu Dita. Keduanya resah dan gelisah, harap-harap cemas menanti kedatangan keluarga dari Madrid, tapi hingga menjelang pukul lima, yang ditunggu tak juga tiba.

Andro berkali-kali menelepon papanya, tak diangkat. Menghubungi mamanya juga sama saja. Mencoba menghubungi Mas Wahyu —driver papanya— pun tak ada bedanya.

Andro mulai gusar. Tadinya dia mengajukan diri menjemput di bandara, tapi papa melarang dan menyuruhnya untuk menemani Salma saja. Ini malah sudah kelewat waktu yang diperkirakan, tamunya belum juga tiba.

Tak kehabisan akal, diteleponnya Bu Jani.

"Barusan berangkat lima menit lalu, Mas Andro. Tadi jam empat baru sampai sini. Di sini juga bener-bener cuma mandi. Disuguhin apa-apa nggak dimakan. Nggak diminum juga. Maunya cepet-cepet ketemu anak cucunya."

Andro agak kesal. Mampir ke rumah keluarganya tidak ada dalam perencanaan. Tapi dia maklum. Maksud papanya pasti baik. Pertemuan keluarga dengan case khusus begini memang kurang elok kalau harus terpotong oleh rasa risih karena belum mandi. Apalagi setelah melewati perjalanan sekira satu hari satu malam, mandi tentu menjadi sesuatu yang menyegarkan.

"Baru jalan, Sal, Bu. Insya Allah nggak lama lagi sampai. Aku ke depan dulu nungguin. Sekalian panggil eyang." Bu Dita mengiyakan, Salma mengangguk saja. Wajahnya terlihat tegang. Bahkan untuk bicara dengan suaminya saja dia merasa gugup.

"Santai, Sal. Tegangnya kayak pas mau nerima lamaranku aja. Untung nggak pakai acara demam segala," goda Andro. Ditepuknya satu pipi Salma, lalu mengecup pipi yang satunya lagi. Bu Dita tersenyum lebar melihat perlakuan manis sang menantu kepada anak perempuannya.

Andro keluar. Dari dalam rumah terdengar teriakannya memanggil eyangnya. "Yaaang, ke siniii. Udah mau dateng nih tamunyaaa." Salma dan Bu Dita mengikik bersama.

"Mas tuh kalau sama keluarganya memang masih suka kayak bocah gitu, Bu." Salma memberitahu tanpa diminta. Nerudita memaklumi. Dia juga pernah jadi anak orang kaya yang merasa biasa saja bersikap semaunya.

Tak sampai sepuluh menit di luar, Andro berlari ke dalam rumah. Lalu sambil terengah-engah memberitahu bahwa tamu istimewa sudah tiba.

Kedua eyangnya menyambut di luar sana. Kemudian papa dan mama masuk, disusul tiga perempuan berbeda generasi yang ketiganya sungguh cantik sekali.

"Mama," gumam Bu Dita.

"Dita! Anakku!" pekik Oma Lucia.

Keduanya berlari saling mendekat, lalu berpelukan erat. Sara ikut serta, memeluk ibu dan adiknya yang menghilang nyaris tiga puluh tahun lamanya. Tangis ketiganya seakan mengiris gendang telinga. Ada kesedihan, tapi juga penuh rasa bahagia.

Salma yang berdiri di belakang ibunya tiba-tiba merasa asing dan aneh. Dia tak percaya diri. Perasaan bukan siapa-siapa menyelinap di hati. Perlahan ia menggeser tubuhnya, menjauh sedikit demi sedikit dari sang ibu.

"Mau ke mana, Sal?" Andro menghentikannya, merangkul pinggang Salma. Keduanya saling menatap, Andro menggelengkan kepala, menyampaikan ketidaksetujuannya atas apa yang dilakukan Salma.

"Sal malu, Mas. Sal merasa aneh. Sal bukan siapa-siapa. Sal merasa paling asing di sini," bisik Salma sembari mengusap matanya yang basah.

"Ada aku, Sal. Aku suamimu lho, bukan alien." Salma tersenyum. Tangannya menjulur mencubit perut suaminya.

"Salma." Namanya disebut. Salma mendongak ragu-ragu. Oma sudah berdiri di hadapannya.

"Salma, cucu oma. Ini oma, Sayang. Neneknya Salma. Boleh oma peluk Salma?" Bahkan mau memeluk pun omanya meminta izin lebih dahulu. Salma jadi merasa terenyuh.

Salma terisak. Tanpa menjawab ia menjatuhkan kepala di bahu omanya. Keduanya berpelukan erat. Salma menangis dengan kuat, melepaskan banyak hal yang selama ini tertahan. Rasa sendirian dan kesepian yang selama hampir 20 tahun ada seolah meluap tanpa bisa dibendung. Dia tidak sendiri sekarang. Dia tak hanya punya suami dan ibu, tapi juga nenek, tante, serta sepupu. Dia bukan cuma seorang perempuan yang beruntung diterima di keluarga kaya nan baik hati, tapi dia pun memiliki keluarga asal sendiri.

Salma merasa istimewa. Hari ini menjadi hari paling bahagia sepanjang umurnya.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan. Pesannya berulang-ulang pada dirinya sendiri.

Berikutnya Sara yang memeluk Salma. Menunjukkan kasih sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya. Sesudahnya, dikenalkannya Salma pada Leticia, sepupu perempuan satu-satunya.

"Hola, Salma. Aku Leti. Leticia Gomez. Kita saudara sepupu."  Tanpa canggung perempuan berwajah Hispanik berperawakan langsing tinggi itu menyapa dan memeluk hangat Salma. Meruntuhkan rasa tidak percaya diri Salma yang tadi sempat ada. Salma membalas pelukan Leti. Dalam sekejap keduanya langsung akrab, seolah sudah saling mengenal lama.

Sesudahnya Leti berkenalan dengan Andro. Sama seperti sebelumnya, dia spontan saja mengarahkan pipinya ke pipi Andro, tapi Andro bergerak lebih cepat. Dijauhkannya wajah dari Leticia sambil berucap maaf. Leti tertawa dan balik meminta maaf, lupa kalau mereka punya kebiasaan yang berbeda.

Melihat respon suaminya itu, Salma dilanda haru luar biasa. Refleks yang Andro tunjukkan membuatnya merasa sangat berarti.

Mereka semua lalu berbincang sampai lupa waktu. Bertukar cerita dan kondisi terkini masing-masing. Antariksa menyela saat jam dinding mendekati angka sembilan, mengingatkan yang lain untuk memberi waktu istirahat kepada Oma Lucia, Sara, dan Leticia.

"Leti, mama dan abuella mau bicara bertiga dengan Tia Dita. Malam ini kamu tidur sendiri tidak apa-apa, ya?"
*abuella= nenek; tia= tante/bibi

Ketiganya hendak melakukan pembicaraan orang dewasa. Tentu saja tentang ke mana saja, apa saja, serta bagaimana kehidupan yang sudah dilalui Nerudita saat menghilang sekian lama.

"Okay, Mama. Tapi aku belum mengantuk. Aku ingin keluar. Makan bola-bola kacang yang hangat, Mama. Yang ada ginger-nya." Sara bingung dengan apa yang dimaksud Leticia. Lagipula, baru melalui perjalanan sehari semalam, bukannya istirahat malah minta yang aneh-aneh.

"Apa itu bola-bola kacang yang ada ginger-nya? Istirahat dulu saja, besok lagi kita cari apa yang kamu maksud." Sudah mencoba berpikir keras, tapi Sara tetap tak menemukan jawabannya.

"Ayolah, Mama. Kata Mama dulu makan ini enak di hari malam-malam. Bikin hangat."

"Iya, tapi apa, Leti?"

"Bagaimana Tante Sara? Ada yang bisa Salma bantu?" Salma menawarkan bantuan melihat tantenya kebingungan.

"Ini lho, Leti pengen makan makanan yang Tante nggak paham maunya apa. Coba Salma tanya ya, siapa tahu Salma mengerti apa yang dimaksud Leti." Salma mengangguk. Sebentar kemudian sudah ngobrol dengan sepupunya. Sedangkan Tante Sara menyusul Bu Dita dan Oma Lucia masuk ke salah satu kamar.

"Bola-bola kacang, hangat, ada ginger-nya, Salma. Kata mama ada ginger-nya. Ini minuman, tapi dimakan."

Minuman tapi dimakan? Bola-bola kacang? Ada jahenya? Salma mencoba menganalisa.

"Kamu pernah makan itu di mana, Leti?"

"Di sini, di Surabaya. Tapi aku tak tahu tempatnya." Leticia berusaha mengingat. Terakhir keluarganya ke Surabaya adalah tiga tahun lalu.

"Aku cuma ingat pernah complain ke mama, ini title-nya minuman tapi kenapa dimakan? Dia ada di small bowl, air panas with rasa hangat ginger, dan ada kata tradisional di sign milik penjual."

Ingatan Salma terbawa pada malam dirinya menjawab permintaan Andro untuk menikahinya. Malam di mana dia demam saking tegangnya. Juga saat pertama kali dia berbicara berdua dengan Angkasa Andromeda dalam jarak yang teramat dekat. Salma tersenyum sendiri.

"Ronde? Apa maksud kamu wedang ronde, Leti?"

"Aha! You're right, Salma! Ronda! Iya, minuman ronda!" Leticia berteriak kegirangan, mirip anak kecil baru saja menemukan mainan kesayangan yang hilang.

"Mamaaa, Salma berhasil guessed it, Mama," teriak Leticia. "Namanya minuman ronda, Mama. Ronda."

"Ronde woiii, bukan ronda." Andro terpingkal-pingkal melihat kelakuan Leticia. Terlebih mendengar sebutan ronda.

"Tante silakan kalau mau bicara bertiga. Leti biar jalan-jalan dan beli ronde sama aku dan Salma aja." Andro menawarkan diri. Sara dan Leticia menyambut dengan senang hati.

"Terima kasih, Andro. Semoga kamu dan Salma menjadi pasangan yang selalu berbahagia. Titip Leti, ya." Sara menepuk bahu Andro, lalu membelai pipi Salma. Mengucapkan terima kasih sekali lagi. Dan pertemuan keluarga malam itu pun diakhiri.

Tak langsung ke tukang ronde langganan nan sarat akan kenangan, Andro menelepon Wahyudi, hendak mengajaknya untuk bergabung bersama mereka.

"Yud, wis nak omah? (Yud, sudah di rumah?)"

"Alhamdulillah, udah daei tadi sebelum isya. Gimana, Ndro?" respon Wahyudi terdengar lebih sopan dari biasanya. Ada rasa hutang budi menyelinap di dirinya.

"Metu yo. Ngeronde. (Keluar, yuk. Beli ronde)"

"Wedang ronde maksudmu?"

"Iyo lah. Lha kesel (capek) gak?"

"Aman, Bro."

"Ya udah, tunggu di depan rumah ya."

"Siap."

Mobil Andro berhenti di depan pos satpam rumahnya. Wahyudi yang sedang berbincang dengan Pak Surip langsung berdiri dan menghampiri pintu di sisi driver.

"Aku wae sing nyupir, Ndro."
(Aku saja yang nyetir, Ndro)

"Gak ah, kon mesti kesel bar kerja keras bagai quda."
(Nggak ah, kamu pasti capek habis kerja keras bagai quda.)

"Insya Allah aman. Aku seneng kok, Ndro. Gak kesel. Serius."

"Gak gak, Yud. Wis ndang munggah ae. (Udah buruan naik aja)"

"Nek gak oleh nyupiri yo aku gak sido melok ae wis. (Kalau nggak boleh nyetirin ya aku nggak jadi aja)"

"Asem, malah mutung. (Sial, malah ngambek)"

Andro misuh-misuh, tapi tetap saja dia turun dan berpindah ke seat sebelah kiri. Membiarkan Wahyudi memegang kemudi.

Obrolan berlangsung dengan seru. Salma bertukar cerita dengan Leticia, tentang diri mereka masing-masing. Wahyudi membagi pengalaman magang hari pertamanya kepada Andro, ucapan terima kasih berkali-kali tersemat di tengah ceritanya.

Seperti biasa, penjual ronde langganan keluarga Antariksa selalu penuh. Mereka terpaksa harus duduk terpisah. Andro dengan Wahyudi, Salma dengan Leti.

"Andro itu person yang mudah berteman ya, Salma. Aku lihat dia juga akrab sekali dengan drivernya. Not like a boss and pekerjanya." Leti mengemukakan pendapatnya.

"Eh, Mas Wahyudi bukan drivernya, Leti. Mereka itu sahabat. Best friend." Salma meluruskan. Ada sedikit tak enak hati atas kesan Leti pada Wahyudi.

"Really? Kukira dia driver kalian."

"Berarti kamu harus kenalan sama Mas Wahyudi, Leti. Orangnya baik dan lucu, lho."

Lalu sebuah colekan mampir di pundak Salma. "Pindah sana, yuk, Sal. Bisa duduk berempat tuh."

Salma menoleh pada arah yang ditunjuk suaminya, ada satu meja dengan lima kursi yang baru saja kosong. Wahyudi sudah duduk manis di sana, dengan senyum yang tak kalah manisnya. Salma dan Leti beringsut mengikuti langkah Andro.

"Mas Wahyudi, kenalin ini Leticia, sepupu saya yang dari Spanyol." Salma memenuhi ucapannya untuk mengenalkan Leti pada sahabat suaminya.

"Hi. Aku Leti. Leticia Gomez." Leti mengulurkan tangan, Wahyudi membalasnya.

"Hola, Leticia. Como estas? (Halo Leticia, apa kabar?)"

"Ah, muy bien (kabar baik)." Wajah Leticia berbinar mendengar Wahyudi bicara dalam bahasanya.

Wahyudi memang tak pernah canggung bicara bahasa asing, biarpun tak pernah belajar secara formal, dia cukup jago dan memiliki kepercayaan diri tinggi. Over confidence malah, sampai sok menyapa dengan bahasa Spanyol segala, mengetahui siapa yang sedang bicara dengannya.

"Me llamo Yudi. I griega-U-D-I. With i griega, not double elle." Wahyudi mengeja namanya, melengkapi pula dengan penjelasan yang menurutnya perlu untuk diketahui oleh Leticia.

Tawa lepas meluncur dari bibir Leticia. Matanya menatap Wahyudi dengan takjub. Merasa begitu dihargai mendengar seseorang berusaha berbicara dengannya menggunakan bahasa ibunya. Pengucapannya pun sempurna.

"Boso Indonesia ae, Yud. Leti iki areke pinter ngomong Indonesia. Kon gak usah keminggris ngono iku. Nggaya! (Bahasa Indonesia aja, Yud. Leti ini anaknya pintar bicara bahasa Indonesia. Kamu nggak usah sok Inggris gitu. Gaya!)" nyinyir Andro. Kedua sahabat lalu saling mencibir. Leti tertawa makin keras.

"Hola, Judi. Gracias (Terima kasih). Aku senang sekali bertemu kamu. Kamu mau try to bicara bahasaku, itu aku merasa terhormat sekali. But, iya, Andro benar. Aku Indonesian, not Española (bukan orang Spanyol). Passport aku Indonesia. Aku sering bicara Indonesia. Aku sering makan makanan Indonesia. Dan aku suka ronda."

"Ronde, Leti." Salma mengoreksi. Keempatnya tertawa lagi.

"Dan namaku Yudi, bukan Judi." Wahyudi turut pula mengoreksi pengucapan Leti atas namanya. Dia pula menjelaskan kepada Leti bahwa pelafalan huruf Y di Indonesia adalah dibaca sebagai Y.

Wahyudi tak gagap soal bahasa Spanyol. Dia penggemar sepakbola Eropa, salah satu klub favoritnya adalah klub raksasa asal Spanyol, Barcelona. Bertahun-tahun mengikuti La Liga juga memunculkan ketertarikannya pada Spanyol, termasuk soal bahasa.

"Oh. Jadi yang benar Yudi, seperti using double elle?" Leticia bertanya.

"Yes! You're right, Leti. Yudi." Dua jempol tangan Wahyudi berikan untuk Leticia. Ditambah senyum yang mengembang lebar penuh ketulusan.

"Wis gen ae, Cuk. Judi karo Yudi opo bedae se? Meleset sithik wong jenenge ilat Spanyol yo maklum ta, Yud. (Udah biar aja. Judi dengan Yudi apa bedanya, sih? Meleset sedikit, orang namanya lidah Spanyol ya maklum saja, Yud)." Andro menengahi. Perkara salah eja saja pakai diperpanjang segala.

"Yo gak iso ngono. Bapak ibuku njenengi aku mikir suwe, enak wae diganti Judi. Lha emang aku judul lagune Bang Haji po piye? (Ya nggak bisa gitu. Bapak ibuku kasih nama aku aja mikirnya lama, enak aja diganti Judi. Lha memangnya aku judul lagunya Bang Haji apa?)"

Wahyudi sewot. Tetap berusaha mempertahankan nama kebanggaannya. Menurutnya, orang yang tidak perhatian dalam menyebut atau mengeja nama seseorang adalah orang yang tidak perlu mendapatkan perhatian lebih darinya.

Kedua pemuda itu kembali berdebat yang tak perlu, sambil tertawa-tawa dan kadang bertukar jotos. Lalu kembali menikmati wedang ronde mereka sambil sesekali membicarakan topik kesukaan keduanya.

Leticia juga asyik berbincang dengan Salma. Beberapa kali Salma menangkap mata sepupunya sedang mencuri pandang ke arah Wahyudi. Leti sendiri tak menyadari kalau gerak-geriknya direkam oleh Salma. Dia cuma menyadari, bahwa senyum terakhir —nan penuh ketulusan— yang diberikan Wahyudi untuknya membuatnya ingin melihat senyum itu lagi. Lagi. Dan lagi.

***

Sedikit catatan:
- Huruf Y dalam alfabet Spanyol disebut i griega. Jika posisinya di depan biasanya dilafalkan sebagai J. Jika berada di tengah kata dilafalkan sebagai Y. Jika posisinya di belakang dan atau berdiri sendiri dilafalkan sebagai i.

- Double elle (dobel L) atau disebut juga sebagai eye dalam alfabet Spanyol dilafalkan sebagai i atau y.
Misal: Fernando Llorente dilafalkan Fernando iorente. Iker Casillas dilafalkan Iker Casias atau Iker Casiyas.

- La Liga adalah sebutan untuk liga sepakbola utama di Spanyol. Disebut juga Primera Division. Kalau di kita Liga 1 atau Divisi 1 (aku malah nggak gitu paham. Hehe)

- Leticia bilang kalau paspornya Indonesia, maksudnya adalah dia berkewarganegaraan Indonesia (WNI).
Dalam UU yang mengatur pernikahan campur (WNI dg WNA) anak yg dilahirkan memiliki kewarganegaraan ganda. Setelah berusia 18 tahun, anak tsb bisa memilih mengikuti salah satu kewarganegaraan orang tuanya.
Leticia di sini berusia 19 tahun, dan dia sudah menentukan pilihan untuk mengikuti kewarganegaraan ibunya.

InsyaAllah demikian. Kalau ada kesalahan, mohon koreksinya ya teman-teman.

***

Yeaiy, selesai juga part panjang nan tidak jelas ini. Hihi...

Udah kebaca kah, ada tanda-tanda apa gerangan nih? Hahaha...

Btw, Wahyudi adalah aku. Yang suka dan merasa akrab dg Spanyol lantaran sepakbola. Wkwk... Aku dulu kenal nama-nama kota di Spanyol juga gara-gara klub sepakbolanya, kayak Sevilla, Malaga, Levante, Gijon, Bilbao, Zaragoza, Almeria, dll.

Dulu suka sok-sok belajar bahasa Spanyol (dan Italia) juga gara-gara sepakbola. Sebelum tahu dan suka dg sejarah Islam. Setelah tahu kemudian jd suka dengan Spanyol karena Andalusia juga.

Tapi ngertinya bahasa sana ya cuma itu-itu aja. Minimal bisa melafalkan nama pemain dengan benar. Wkwk...

Pernah sekali nulis cerita bersetting Spanyol yaitu Selepas Hidayah. Udah pada baca kan, ya?
*Thank you :)

Selama menulis SH ini aku ngerasa enjoy banget (sekaligus mumet sih risetnya, haha) karena bisa tiap hari "piknik" ke Granada dan Alpujarra, biarpun cuma lewat gambar, video, dan google maps aja. Hehe

Ya udah gitu dulu aja. Mohon maaf untuk segala kesalahan dan kekurangan. Aku terima kasih sekali teman-teman masih mau baca cerita ini walaupun udah ngalor ngidul nggak keruan. Puyeng kayak yang nulis. Haha...

See you :)

Semarang, 24022022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top