52. Persahabatan

Happy reading :)

***

MPV abu-abu tua berhenti di salah satu rumah di The Madina Residence 2. Salma baru akan turun, tapi Andro mencegahnya.

"Aku yang bukain pintu."

"Nggak usah lebay, Mas. Sal tuh bukan orang sakit. Bukan jompo juga. Cuma hamil. Ha-mil."

"Ya tapi kan kamu hamil anakku."

"Ssstt, Mas buka pintu bagasi aja, semua barang Sal serahkan sama Mas. Sal ngurus dalam rumah."

"Itu juga aku nggak boleh. Kamu cuma boleh mandi, terus istirahat. Aku yang bawa kamu ngecamp, Sal, jadi aku juga yang harus tanggung jawab dengan kondisimu. Kamu hamil. Kamu bawa anak kita ke mana-mana, jadi udah seharusnya aku nggak bikin kamu capek dan---"

Ceklek. Breg.

Salma keluar tanpa permisi. Suaminya kalau sudah kambuh lebaynya suka bikin malas. Salma tahu, itu karena saking cintanya Andro padanya, tapi dia tak terlalu suka kalau perlakuan semacam itu sering dia terima. Dia bukan perempuan manja.

"Asem!" umpat Andro pelan. Lalu bergegas turun dan mencegat Salma yang sudah sampai di teras.

"Nggak sopan, ya. Awas, nanti aku hukum." Dicubitnya pipi Salma. Salma mencebik. Dia sudah hafal di luar kepala. Yang dimaksud hukuman oleh Andro, kalau bukan itu, itu, ya pasti itu.

"Iya, maafkan hamba Tuan Muda Angkasa Andromeda. Hamba bersalah sudah berperilaku tidak sopan. Mohon jangan dihukum, hamba ngantuk." Kedua tangan Salma yang menangkup digoyang-goyangkan di depan hidungnya.

Tawa Andro tumpah. Mengacak pucuk kepala istrinya dengan gemas. "I love you, Salmaku. Kamu selalu bikin aku senang. Nanti sore kita langsung cabut ke Surabaya, ya."

"Ehk, gimana? Nanti sore? Kalau Sal capek gimana?"

"Sekalian aja istirahat di Surabaya. Aku nggak mau omamu sampai di sana sebelum kita. Kamu harus ada di sana dan jadi orang pertama yang ditemui Oma Lucia."

"Oma paling cepat besok sore baru sampai, Mas. Jadi kita nggak perlu buru-buru pulang."

"Aku tetap maunya pulang sore ini, Sal."

"Tapi, Mas...."

"Nggak usah kuatirin aku. Insya Allah aku nggak capek. Masih kuat kalau cuma nyetir sampai Surabaya. Janji deh, habis ini aku istirahat sampai asar. Aku juga udah ajakin si kunyuk buat ikut ke Surabaya. Liburan. Sekalian gantiin aku nyetir. Udah dapat izin dari mama papa, dari bapak ibunya juga."

"Siapa? Mas Wahyudi?"

"Mesra amat pakai mas segala." Andro sewot. Salma terkikik geli. Mesra di sebelah mananya, coba?

"Ya lagian, sahabat sendiri dibilang begitu. Nggak baik, ah. Sal nggak suka." Salma memutar anak kunci. Pintu terbuka bersamaan azan zuhur terdengar. Debat pun berakhir.

Mereka berdua membersihkan diri dan salat berjamaah di rumah. Setelahnya sama-sama rebah beristirahat. Tak sampai lima menit Andro sudah pulas. Masih dengan sarung dan baju koko menempel di badan. Salma tersenyum sendiri, lalu bangkit lagi. Dia tak bisa tidur, kepikiran baju kotor dan barang bawaan camping yang tadi cuma ditaruh sembarang saja oleh Andro. Pantang baginya meninggalkan rumah dengan benda-benda yang belum kembali pada tempat semestinya.

Sementara Andro asyik mendengkur, Salma sibuk di dapur. Box-box wadah kudapan yang kemarin dibawa sudah bersih dan rapi di rak. Baju-baju kotor sudah wangi dan berbaris di jemuran. Yang tertinggal hanya aroma harum daging panggang berpadu gurihnya keju menguar dari oven.

Salma mengeluarkan dua loyang lasagna, juga seloyang pizza berukuran besar dengan taburan daging asap, mozarella, serta paprika.

"Kamu nggak istirahat?" Suara Andro yang tiba-tiba mengagetkannya.

"Iya, maaf. Sal nggak bisa tidur."

"Kepikiran barang-barang?" Salma mengangguk pelan. Andro sudah hafal kebiasaan istrinya.

"Ya udah, nggak apa-apa. Ada makanan nggak? Aku lapar."

"Mau pizza apa lasagna?" tawar Salma.

"Lasagna."

Ting tong.

Suara bel terdengar. Andro menyuruh Salma untuk masuk ke kamar. Dia tahu betul, yang datang pasti Wahyudi.

"Diajak makan ya Mas Wahyudinya."

"Iya iya, care banget sih sama anak orang." Salma tertawa kecil dengan kecemburuan Andro yang tak beralasan.

"Jangan cemburuan, Mas, nanti cepat tua lho." Didekatinya suami kesayangan, menyodorkan bibirnya untuk disambut Angkasa Andromeda. Sepuluh detik kemudian Salma melesat, lalu hilang ditelan pintu kamar.

Bertiga meluncur ke Surabaya sepulang Andro dan Wahyudi salat asar di masjid. Perdebatan suami istri kembali dimulai begitu mobil memasuki jalur tol.

"Bawa tahu bakso banyak amat, Sal? Kapan belinya?" Andro yang memancing. Tadi di bagasi dia menemukan dua bungkusan plastik besar berisi —entah berapa belas pack— tahu bakso, salah satu oleh-oleh khas dari Kabupaten Semarang.

"Beli tadi, pakai kurir. Mas tidur lama, jadi nggak tahu."

"Segitu banyak buat siapa aja?"

"Yang kecil buat di rumah, buat Mbak Rea, eyang, dan buat oma besok, kalau doyan. Yang plastik besar buat adik-adik di panti. Sal beli pakai duit Sal sendiri, kok."

"Eh, kok gitu nanggepinnya. Bukan masalah duitnya, Sal. Tapi segitu banyak buat di panti tuh habisnya kapan?"

"Ya kan nggak harus habis dalam sehari juga, Mas. Mas sih nggak pernah ngerasain kehidupan kami di panti. Makan enak nggak mesti setiap hari. Kalau ada pun, nggak mesti satu orang bisa dapat satu, kadang harus dibagi. Apa salahnya kalau sesekali mereka bisa makan kudapan yang enak sepuas hati tanpa harus mikir yang lain udah dapat atau belum? Nggak setiap hari juga Sal bisa begini, Mas," jawab Salma dengan suara pelan. Tak enak pada Wahyudi. Lagipula Andro apa-apaan sih, hal begini saja dibahas.

"Tapi, Sal---"

Plak! Wahyudi yang memegang kemudi menepuk keras tangan Andro.

"Kowe ki nopo, to? Lanang kok sensian. PMS? (Kamu tuh kenapa sih? Cowok kok sensian. PMS?)" bisik Wahyudi.

"Cuma berusaha menggunakan logika, Yud, tapi tetap kalah sama argumen nyonya." Andro menjawab singkat, menyadari kesalahannya.

Yang dikatakan Salma benar, bahwa dia tak pernah tahu rasanya kekurangan. Tapi sekian belas kardus kali sepuluh buah tahu..., memangnya satu anak panti mau dikasih satu kardus begitu? Berlebihan sekali. Itu yang ada di benak Andro. Tapi ya sudahlah. Bukankah poin satu istri selalu benar, dan jika istri salah maka kembali ke poin satu?

"Iya, aku minta maaf. Kamu istirahat, ya. Apa perlu kutemani di belakang?" Diputarnya badan, menghadap Salma di baris kedua. Wajahnya menunjukkan permohonan maaf yang tulus, melelehkan hati Salma, meluluhkan kekesalannya.

"Iya, Sal tidur. Mas di situ aja. Sal juga minta maaf beli-beli nggak bilang Mas dulu."

"Ya nggak gitu juga maksudku. Aku tuh cuma---"

Plak! Sekali lagi tepukan keras diberikan oleh Wahyudi. Andro berhenti bicara. Merasa tak adil pada Salma.

Salma kemudian tidur, teramat pulas. Andro sampai tak tega membangunkan. Salat maghrib diniatkan untuk jamak takhir setelah sampai di Surabaya.

Sepanjang perjalanan kedua sahabat itu mengudap lasagna, pizza, dan tahu bakso sambil bercakap banyak hal, dari yang receh sampai rencana masa depan.

Keduanya karib sejak semester pertama. Andro merasa klik dengan Wahyudi yang —meski kondisi keuangannya pas-pasan— mempunyai wawasan luas, kecerdasan di atas rata-rata, dan kebal dengan segala jenis caci, maki, serta bully. Wahyudi merasa nyaman dengan Andro, si anak sultan yang tak pernah memandang derajat dalam berteman, justru sebaliknya, selalu berusaha membuat kawannya merasa nyaman.

Andro pula menjelaskan bahwa mereka —dia dan Salma— tergesa pulang karena akan ada omanya Salma yang datang dari Madrid. Kata eyang Andro, biasanya kalau Oma Lucia berkunjung ke Indonesia, beliau juga memyempatkan menyambangi keluarga besarnya di Sulawesi. Dan bila itu benar terjadi, ada kemungkinan Salma —dan tentu saja Andro— untuk ikut ke sana. Andro berjanji akan melobi papanya agar Wahyudi bisa turut serta.

"Kon gelem tah gak? (Kamu mau apa nggak?)"

"Aku?" Wahyudi tersipu-sipu, seperti gadis desa saat mendengar lamaran dari pujaan hatinya.

"Biasa wae, Yud. Muka tolong dikondisikan. Gak sah sok isin-isin ngono iku. Jijik!"

"Yo mesti gelem, Ndro. Hehe." Wahyudi meringis, antara bahagia dan harap-harap cemas yang baru dikatakan Andro gagal menjadi realita.

"Doamu aja diperbanyak, Yud. Tugasku cuma mengikhtiarkan nego-nego ke papa."

Salma mulai menggeliat saat mobil memasuki wilayah Mojokerto. Andro menyadari ketika mendengar suara tegukan air dari arah belakang.

"Udah cukup tidurnya, Sayang?" Sengaja memanggil mesra. Sebuah kebahagiaan bagi Andro melihat Wahyudi teraniaya.

"Cuk!" umpat Wahyudi pelan.

"Sengojo tak gawe teraniaya. Doa orang teraniaya ki lebih cepat dikabulkan. Lha kok malah sik metu pisuhan. Keimananmu lho dipertanyakan." Wahyudi menyahut dengan istighfar. Salma sampai hampir tersedak menyimak kelakuan dua orang itu.

"Sebentar lagi sampai kan, Mas? Mampir panti dulu, ya." Andro setuju.

"Dari tadi Mas Wahyudi yang nyetir?" tanya Salma lagi.

"Kamu kalau nggak usah perhatian sama yahudi gitu bisa nggak sih, Sal?" Andro sebal. Wahyudi menahan tawa.

"Mas Andro kalau nggak cemburu sembarangan sama nggak ngajak debat gitu bisa nggak sih, Mas?" balas Salma dengan nada yang sama.

Wahyudi semakin keras berusaha menahan tawa.

"Kamu mau ke toilet nggak, Sayang?" Andro menawarkan. Membelokkan topik pembicaraan. Salma mengiyakan.

Mobil berhenti di rest area terdekat. Andro mengantar Salma. Wahyudi ditelantarkan. Dibiarkan sendirian. Setelahnya Andro duduk di second row, membuat Wahyudi makin meradang dan meriang. Untung saja seat di baris kedua bertipe terpisah. Setidaknya tak perlu membuat kaum jomlo makin resah dan gelisah.

Wahyudi memilih untuk pura-pura buta dan tuli dengan segala sikap manis Andro kepada istrinya. Dia fokus pada jalanan di hadapannya, dengan gawai Andro menjadi penunjuk menuju panti sebagai destinasi pertama.

Keluarga besar panti begitu gembira menyambut kedatangan Salma, kakak tertua serta kebanggaan mereka semua. Empat balita, tiga usia sekolah dasar, enam usia sekolah menengah, dan satu yang kuliah sambil bekerja, seperti Salma dulu.

Andro turut bersyukur, keadaan panti tetap baik meski Bu Miska sudah tiada. Mbak Yanti yang mengurus, dibantu beberapa orang yang ditugaskan oleh mamanya. Salma selalu memantau walau dari jauh, sebab —sesuai pesan Bu Miska— kelak dia yang akan meneruskan perjuangan Bu Miska. Nanti, kalau mereka sudah kembali tinggal di Surabaya.

Mata Wahyudi berkaca-kaca, betapa dia merasa sangat beruntung masih memiliki kedua orang tua, yang meski sering kesulitan membiayai hidupnya, tapi tak pernah kurang-kurang memberi perhatian dan doa. Wahyudi menjadi agak pendiam setelahnya.

Di rumah keluarga Antariksa, ketiganya disambut penuh kehangatan. Wahyudi terutama. Kamar tamu sudah disiapkan, lengkap dengan kulkas kecil yang terisi penuh, juga ada cemilan, dan sekardus air mineral. Handuk dan perlengkapan mandi juga tersedia. Memberi kesan kalau keluarga Andro sudah siap menerima keberadaan Wahyudi berapapun lamanya.

Mereka berkumpul di meja makan sesudah membersihkan diri dan istirahat sejenak. Hidangan yang menggugah selera serta sambutan mama papa yang selalu menunjukkan wajah bahagia membuat para anak muda bersemangat menikmati makan malamnya. Salma terlihat begitu akrab dengan mama mertua. Pun Andro dengan papanya, nyaris tak ada kesan hubungan mereka pernah memburuk selama bertahun lamanya.
Dengan Wahyudi, mama dan papa Andro juga tak menjaga jarak. Apalagi keduanya tahu bahwa Wahyudilah yang banyak berjasa menemani Andro melewati masa-masa sulitnya di rantau. Bagi keduanya, Wahyudi sudah menjadi bagian dari keluarga.

"Sudah malam, Salma biar istirahat." Mama menghentikan perbincangan melihat jam dinding menunjukkan angka sepuluh.

"Iya, Ma. Mas kalau masih mau ngobrol ya nggak apa-apa, biar Sal tidur sendiri aja."

"Sama mama," kata Utami tegas.

Tak butuh jawaban Salma. Mama berdiri, memanggil salah satu asisten rumah tangga untuk membereskan meja makan, lalu menggandeng menantunya.

"Jangan lupa cuci tangan, cuci kaki, dan ganti piyama ya, Dek Salma," goda Andro sambil tertawa melihat mama memperlakukan Salma seperti anak balita.

Papanya menyusul meninggalkan meja makan, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Sempat mengingatkan Wahyudi untuk menganggap rumah sendiri.

"Ndro, ibu mertuamu kok nggak ada?" Wahyudi kepo, menanyakan keberadaan Bu Dita.

"Di rumah orang tuanya, nyiapin rumah buat menyambut omanya Salma besok itu. Nggak terlalu jauh sih dari sini. Tetanggaan sama eyangku dari sejak papa masih balita. Udah kayak saudara gitu."

"Oh." Wahyudi merespon singkat.

"By the way, Salma sama mamamu dekat banget ya, Ndro?"

"Iya. Malah kadang berasa dia yang anak mama, aku kayak anak tiri." Mereka tertawa.

"Sama eyang mamiku juga gitu, kalau kami ke sana mesti Salma dimonopoli."

"Berarti sebelum nikah sama kamu, Salma tinggal di panti asuhan tadi, Ndro?"

"He-em."

"Kuliah juga?"

"Iyo."

"Kerja?"

"Iyolah. Kan dia biayai kuliahnya sendiri."

Andro lalu sedikit bercerita tentang kehidupan Salma sebelum menikah dengannya. Salma yang selalu rajin mengikuti kursus-kursus gratis sebagai jatah untuk panti asuhannya, ilmu yang didapat digunakan untuk bekerja, dan upahnya dikumpulkan untuk membiayai kuliahnya. Salma pernah ikut kerja borongan di konveksi, catering, dan rias pengantin, tapi mengajar ngaji menjadi pekerjaan tetapnya sehari-hari. Itu juga yang menjadi sebab perjumpaan mereka.

Wajah Andro terlihat sangat bangga. Salmanya memang bukan perempuan biasa. Meski sekarang terbuka fakta bahwa Salma akan kecipratan warisan —yang tak sedikit— dari opanya, sikap dan sifat Salma tak sedikitpun berubah.

"Itu juga balasan baik buat kamu, Ndro. Yang udah selalu berusaha berbuat baik sama teman. Selalu ada saat dia membutuhkan. Selalu membantu menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan. Selalu siap saat dia butuh tempat buat nyampah dan berkeluh kesah. Selalu---"

"Lambemu! Ojok ngungkit-ungkit sik ngono iku. Aku udah sepakat sama Salma untuk nggak bahas Zulfa lagi, Yud. Dan aku berkomitmen sama diriku sendiri, kalau nggak ada kepentingan yang berkaitan dengan Zulfa, aku nggak akan bahas apapun tentang dia. Dengan siapapun, termasuk kamu."

"Iya. Sorry ya, Ndro."

"Hemm."

Mama melewati mereka. Menyapa seperlunya dan memberitahu Andro bahwa Salma sudah lelap di kamar. Andro berdiri, mengucapkan terima kasih, dan mencium kedua pipi mamanya. Kemudian dia kembali duduk di seberang sahabatnya.

"Eh, Ndro. Emm..., setelah ini aku mau lebih serius kuliah, Ndro. Kalau perlu, kalau masih ada sisa waktuku, aku mau kerja. Wis gak arep mikir wedokan meneh. Benar katamu, perempuan yang pas buat aku akan datang sendiri setelah aku memantaskan diri. Support me ya, Bro," ujar Wahyudi serius.

"Kon bar kesambet opo, Yud?"

"Kesambet hidayah, Ndro. Aku salut sama Salma, juga adik-adiknya di panti tadi. Aku masih punya orang tua, dapat juga beasiswa, bisa kuliah dengan lebih lega. Setidaknya dibandingkan Salma. Tapi aku....

"Aku terima kasih banyak sudah diajakin ke panti, Ndro. Aku jadi dapat masukan untuk melihat hidupku dari sudut pandang yang lain. Selama ini aku keasyikan melihat ke atas, sampai kadang merasa paling susah di angkatan. Dulu masih ada Asya yang senasib seperjuangan. Saiki dekne wis dadi Ibu Dosen, wis gak mumet meneh mikir duit. Jik entuk beasiswa pisan. Tinggal aku, yang paling pas-pasan."

Wahyudi pun sama, penerima beasiswa penuh dari jalur prestasi sekaligus kondisi —finansial. Dia beruntung karena dekat dengan Andro. Namun beberapa jam lalu merasa tertampar, sebab waktu dan pikirannya banyak teralihkan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Sok-sokan mendekati cewek-cewek misalnya, yang ujung-ujungnya tertolak dengan kurang terhormat. Mungkin 'playboy gagal' menjadi julukan yang patut tersemat.

"Alhamdulillah nek kon wis sadar. Kalau gitu penawaranku kemarin kurevisi aja, bukan lobi ke papa biar kamu bisa ikut ke mana-mana, tapi aku akan lobi ke papa biar kamu bisa magang di salah satu proyeknya. Mumpung liburan. Tapi ya kerjaan apa aja, wong yo jik nembe ucul semester limo, memange kate nyekel gawean opo? (Orang baru lepas dari semester lima, memangnya mau pegang kerjaan apa?)"

Kedua mata Wahyudi mendadak berbinar. Tentu saja dia tak akan melewatkan jika kesempatan itu benar-benar datang. Orang tuanya pun sudah pasti tak akan keberatan.

"Thanks, Ndro. Aku berharap banget untuk ini. Dan aku semangat banget. Siap kerja mulai besok pagi."

"Tenan?"

"Tenan, Ndro! Seratus persen! Dadi kuli sik yo gelem."

"Yo wis. Sesuk langsung kerjo yo. Nyupiri anak lanange bos. Gelem ta ora?"

"Raimu, Cuk!"

"Lha gelem ta ora?"

"Yo wis. Gelem."

"Deal?"

"Deal."

Tangan keduanya beradu pukulan, lalu tertawa bersama.

"Yo wis, aku turu sik yo. Mesakke bojoku turu dewe. Sebagai suami yang baik, sudah menjadi kewajibanku untuk memberinya kehangatan," ujar Andro sok iyes, sambil memasang tampang penuh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Wahyudi mempersilakan. Dalam hati menghujani sahabatnya dengan umpatan.

***

Kelar juga part ngawur iniii. Harusnya update kemarin, tapi kemarin aku ke rumah ibuku, nggak sempat edit-edit.

Tadinya part ini tuh udah pertemuan Salma sama omanya, tapi tiba-tiba jadinya begini. Mungkin karena aku lagi sayang sama Wahyudi. Hihi...

Ya udah, gitu dulu yaaa. Semoga bisa menghibur dan teman-teman tetap enjoy membacanya.

Mohon maaf untuk segala kesalahan dan kekurangan. Dan terima kasih banyak-banyak buat kalian semua.

See you :)

Semarang, 15022022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top