51. Berteman
Ketemu lagi kitaaa...
*Warning: Part ini panjang banget. Selamat mengcapek bacanya. Haha.
**Sorry kalau ada kata-kata yg kurang sopan. Salahkan Wahyudi, kenapa dia muncul di sini.
***
Sejak pagi Andro sudah sibuk. Lepas subuh mengantarkan Mas Wahyu —driver papanya— ke stasiun. Semalam Andro memaksakan diri untuk langsung ke Semarang lagi dengan Salma. Mama marah-marah, tak memberi izin anaknya untuk menempuh perjalanan AKAP malam itu juga. Papa memberi solusi, memanggil Mas Wahyu agar mengantar tuan mudanya.
Salma tak kalah sibuk. Tak ingin keberadaannya cuma menjadi 'pengganggu', dia membikin beberapa kudapan untuk dibawa dan dimakan bersama.
"Jangan kecapaian, Sal. Kamu lagi hamil lho." Andro mengingatkan. Dia baru pulang dari zuhur di masjid, menemukan sang istri sedang menata ransel dan bawaan mereka, juga tumpukan box berisi kudapan yang Andro sendiri tak tahu apa saja isinya.
"Ya kali, Sal lupa kalau lagi hamil. Lah Mas apa namanya kalau nggak bikin Sal kecapaian dengan ngajakin ngecamp?"
"Iya. Maksudku udah cukup kecapaiannya karena ngecamp aja nanti. Nggak usah ditambahin pakai masak apa segala macam. Malah belum acara udah capek duluan kan kalau gini."
"Mas, please..., nggak usah bikin Sal capek hati juga. Sal happy kok. Biar nggak canggung-canggung amat mau ganggu acaranya Mas sama teman-teman. Nggak ngerasa bersalah-bersalah juga kan kalau bawa jajanan gini."
"Maaf ya, Sal. Kamu malah jadi ngerasa kayak gitu." Andro jadi sedih, ternyata kemauannya menjadi beban tambahan buat Salma.
"Nggak pa-pa deh, Mas. Biasa aja. Yang penting nanti Mas jangan deket-deket Sal terus, ntar Sal malah makin ngerasa nggak enak. Pokoknya Mas biasa aja. Keberadaan Sal jangan bikin Mas jadi ngerasa nggak bebas mau ngapa-ngapain. Asal nggak ada acara yang melanggar norma, terutama agama, Sal nggak apa-apa."
"Misalnya?"
"Emm..., khamr. Atau zina. Atau...,yaa gitu-gitu deh."
"Kalau nyanyi-nyanyi? Gitaran, gitu?"
"Ya silakan aja. Itu masih ada beda pendapat, sih. Dan memang nggak disebutkan secara terang-terangan dalam Al Qur'an, seperti khamr atau zina. Lagian Sal kan nggak harus ada di situ juga. Hamil bisa dijadikan alasan buat tidur awal juga, kan?"
Andro tersenyum, mengacak rambut Salma dengan sayang. "Kamu memang bijaksana. Nggak kayak aku, cuma bijaksini aja. Sama sini. Sini juga. Dan sini," canda Andro. Tangannya berpindah-pindah dari satu titik sensitif Salma ke titik lain yang sama sensitifnya.
"Iih, Mas nih. Sempet-sempetnya ya cari kesempatan dalam kesempitan. Menyebalkan." Salma menghujani Andro dengan cubitan. Kesal sekaligus senang.
Andro lalu menyuruh Salma istirahat barang sejenak. Mereka akan berangkat jam satu siang dari rumah. Masih ada waktu hampir satu jam. Lagipula bawaan mereka sudah siap semua.
Salma sadar diri dengan kondisi tubuhnya. Dia memilih untuk mengikuti keinginan Andro, daripada nanti kecapaian atau kenapa-napa saat kegiatan, bisa-bisa malah merepotkan lebih banyak orang. Direbahkannya badan, sambil menunggu kantuk datang.
Di tepian tempat tidur, Andro sibuk berkoordinasi dengan teman-temannya via chat grup. Sebuah panggilan datang menyela. TS Zulfa Nurulita nama yang terbaca di layar gawainya.
Ditariknya napas panjang dan melepasnya perlahan. "Zulfa, Sal. Mau diangkat apa biarin aja? Eh, nggak usah diangkat deh." Andro salah tingkah. Bukan apa-apa, hanya masih khawatir menyakiti hati Salma. Kalau perasaan khusus untuk Zulfa, dia sendiri yakin sudah tak ada.
Salma mendekat, merebut handphone dari tangan suaminya, menekan tombol untuk menerima panggilan plus ikon loudspeadker, dan menempelkan handphone tersebut ke telinga Angkasa Andromeda.
"Angkat, Mas. Siapa tahu ada yang penting." Andro mengangguk saja.
"Assalamualaikum, Zul. Gimana?"
"Waalaikumussalam. Ndro, sorry. Aku nanti nebeng sampai kampus boleh nggak?"
"Ehk. Emm, memang Pak Iqbal ke mana, Zul?"
"Ke Pemalang, nganter abah sama uminya. Dadakan, Ndro. Tapi aku udah izin sih mau nebeng kamu. Itu juga kalau kamunya boleh."
"Asya?"
"Dia batal ikut, nggak diizinin sama masku. Padahal udah dibela-belain merah ASI segala lho. Posesif banget memang suaminya." Suara Zulfa terdengar sengit. Sebal pada kakak semata wayang.
"Loh, ASI bisa diperah, ya?"
"Mas, fokusnya lho!" Sebuah cubitan membuat nyeri pinggangnya. Dia juga sih, malah mengeluarkan pertanyaan yang melantur dari pembicaraan inti. Menyadari kekonyolannya itu, Andro jadi malu sendiri.
"Eh, sorry. T-tapi nanti aku perginya sama Salma, Zul."
"Iya, aku ngerti kok. Kan aku udah baca di grup. Makanya aku berani nebeng, karena ada Salma." Andro menelan ludah. Menatap Salma dengan ragu-ragu.
Salma baru akan mengangguk, ketika suara Zulfa kembali terdengar. "Kasihkan Salma deh HP-nya, biar aku yang minta izin sama Nyonya Andromeda."
Andro mengulurkan handphonenya kepada Salma. "Assalamualaikum, Mbak."
"Waalaikumussalam. Salma, ini Zulfa. Boleh nebeng nggak sampai meeting point? Nanti ke lokasinya aku bisa nebeng teman yang lain."
"Iya, Mbak. Nggak apa-apa. Malah kebetulan, saya jadi ada teman yang sudah kenal."
Percakapan tak berlangsung lama. Mereka bersepakat akan pergi bertiga ke titik kumpul di area SPBU dekat kampus. Salma tak jadi memejamkan mata setelahnya. Andro malah sudah mati gaya.
"Kamu bener nggak pa-pa, Sal?" Andro bertanya, lebih kepada berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
"Nggak kok. Sal malah seneng. Minimal ada yang Sal kenal. Kenapa memangnya? Mas yang grogi, ya? Cieee, ada yang mau semobil sama first love pas bareng istri," goda Salma sambil mencolek pinggang Andro dengan telunjuknya.
"Apa sih? Nggak jelas." Andro kesal.
"Tapi suka, kaaan? Udah, kalau mau senyum tuh ya senyum aja. Happy harus dibagi, jangan disimpan sendiri."
Sungguh, Andro kesal setengah mati. Salma ternyata bisa seusil ini.
"Sal, bisa diem nggak, sih? Nggak nyangka deh, punya istri bisa usil gini. Harus dihukum ini, sih."
Andro yang tadinya memang tak ada niat untuk senyum, akhirnya pecah juga tawanya. Ditarik dan didekapnya Salma dari belakang. Gantian dia yang mengusili Salma. Menggelitiki sampai Salma berteriak-teriak kegelian. Alih-alih tidur, keduanya malah jadi larut dalam canda tawa, sampai jam dinding menunjukkan waktu mereka berangkat tinggal tersisa lima belas menit saja.
Usai mandi, Andro menaruh barang bawaan mereka ke bagasi, Salma memastikan semua pintu dan jendela sudah terkunci. Sebelum mobil bergerak meninggalkan rumah, Andro meminta Salma untuk menelepon Zulfa, mengabarkan kalau mereka sudah akan berangkat dan menjemputnya.
"Nomornya berapa, Mas?"
"Pakai HP-ku aja deh."
"Pakai HP Sal aja, biar Sal punya nomornya."
"Cek sendiri di HP-ku deh."
"Malas, ah. Ribet. Mas tinggal sebut aja angka-angkanya bisa kali."
Andro tak mau terpancing. Dia tahu, Salma pasti hanya ingin menjebaknya, lalu membahas panjang lebar kalau dia masih hafal nomor Zulfa di luar kepala.
"Kenapa? Kamu pengen tahu, aku masih ingat nomornya apa nggak, gitu? Oke, kujawab. Aku masih ingat, tapi aku nggak mau sebutin. Buat apa sih? Kamu bukan tipe istri yang suka menyakiti diri sendiri, kok. Aku tahu kamu.
"Oke, kita nggak usah kabarin apa-apa ke Zulfa. Udah jamnya. Mestinya kalau mau nebeng juga udah siap menjelang waktu berangkat. Aku minta maaf. Nggak usah diperpanjang lagi ya soal ini. Aku percaya sama kesabaran kamu, Sal. And i love you. So much."
Diraihnya bahu Salma. Merangkul dan memberi satu kecupan pada keningnya. "Maafkan aku ya. Aku cuma sayang sama kamu."
Salma balas membelai pipi suaminya. "Ssstt, udah yuk, berangkat. Kasihan Mbak Zulfa nungguin kita. Mungkin teman-teman Mas yang lain juga."
"Tapi kamu sayang aku nggak, Sal?"
"Banget. Sayang banget."
Mobil perlahan melaju, kediaman seseorang yang pernah menghias masa lalu dituju.
Zulfa sudah menunggu di teras, begitu melihat Andro datang, dia buru-buru berdiri dan meraih bawaannya.
"Tinggalin aja bawaannya, Zul, nanti aku yang naikin ke mobil." Terdengar teriakan dari kaca mobil yang terbuka. Andro bergegas turun dan menghampiri teman yang pernah istimewa. Tak membiarkan Zulfa —dengan perut yang sudah terlihat berat— kerepotan.
Salma tersenyum saja. Ikut turun dan menyambut Zulfa. Mereka bersalaman, berpelukan, dan saling menanyakan kabar.
"Ibu-ibu arisannya dilanjut di mobil, ya," seru Andro setelah menutup pintu belakang mobil. Dia mendekat dan melingkarkan lengannya ke pinggang Salma. Memberitahu Zulfa untuk duduk di sebelah mana.
Zulfa tahu diri, berusaha untuk menjaga sikap agar tak kelepasan sok dekat dengan Angkasa Andromeda. Hubungan mereka sudah tak sama seperti dulu. Dia bukan lagi prioritas bagi si laki-laki baik hati.
Salma memilih duduk bersama Zulfa. Memulai perbincangan dengan menceritakan perasaannya saat ini, bahwa dia grogi dan tak enak hati karena menjadi satu-satunya peserta di luar kumpulan mereka. Juga meminta Zulfa untuk membantunya berkenalan dengan teman-teman perempuan selainnya.
Dari spion tengah, Andro beberapa kali mencuri tatap pada Salma, tanpa sekalipun mengarahkan pandang kepada Zulfa. Baginya, Zulfa sudah bukan siapa-siapa, ada atau tidak ada Salma di dekatnya.
***
Kesibukan mendirikan tenda dan semacamnya tidak berlaku untuk Salma dan Zulfa. Yeni, Rima, dan empat teman perempuan yang lain menghandle urusan logistik dan konsumsi, termasuk kudapan yang dibawa oleh Salma. Dua bumil yang bebas tugas mengisi waktu dengan berbincang sembari menikmati pemandangan kota dari kaki gunung Ungaran.
"Coklat panas, Sal. Enak lho. Bikinan Yeni." Andro menghampiri mereka. Sebuah cangkir dengan kepulan asap di tangan kanannya. Coklat panas untuk Salma.
"Buat aku mana, Ndro?" tanya Zulfa polos.
"Yud. Coklat panas. Tulung siji nggo Zulfa, (tolong satu buat Zulfa)," teriak Andro pada sahabatnya. Lalu menelan ludah, melirik istrinya dengan tak enak hati. Salma biasa saja, tak merespon apa-apa.
"Pakai jaketnya, Sal. Dingin lho. Aku nggak bisa meluk-meluk kamu soalnya, takut yang lain ngenes," canda Andro. Salma menggeleng. Memberinya senyum manis.
"Dia bucin ya, Sal?" Zulfa angkat bicara. Memandang sejoli yang duduk tanpa jarak di sisi kirinya sambil tertawa.
"Kayaknya nggak sebucin waktu Mas Andro nungguin Mbak Zulfa, sih." Salma ikut tertawa. Mencoba memupus kecanggungan yang menyelinap diantara dirinya dan Angkasa Andromeda, tapi malah menambah kikuk yang sudah ada.
"Sok tahu, deh. Bucinan sama kamu lah, Sal. Sama Zulfa mah aku cuma budak belian. Iya kan, Zul." Andro mencoba bersikap santai.
"Jangan gitu sih, Ndro. Aku dulu jahat banget, ya? Manfaatin kamu banget, ya? Tapi kan aku tahunya kamu tulus, bukan modus." Suara Zulfa terdengar agak sedih. Dia merasa berdosa pada apa yang dilakukannya terhadap orang sebaik Andro. Dulu.
"Enak aja, aku mana pernah modusin orang. Haram!" Andro membela diri. Tak terima dikatakan modus.
"Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja. Mas Andro memang tulus, kok. Mbak juga kan memang nggak ngerti perasaan Mas Andro waktu itu." Salma menengahi.
"Iya, Sal. Andro memang baik kok. Banget banget. Tulus. Dan ke siapapun dia gitu. Akunya yang bego dan nggak tahu diri, jadi kesannya manfaatin banget. Sorry ya, Ndro."
"Bahas apaan, sih? Aku nggak paham jalan pikiran ibu hamil. Udah ah, kalian ngobrol berdua aja gih. Aku kan nggak hamil, nggak nyambung sama obrolan yang mengandung hormon kehamilan gini. Absurd." Andro beranjak. Sedikit kesal, tapi sempat mengecup kepala istrinya. Zulfa terkekeh melihat mereka berdua.
"Maaf ya, Sal, buat kejadian di rumah sakit dulu itu."
"Nggak apa-apa, Mbak. Berarti memang waktu tersebut sudah jadi waktunya Mbak Zulfa tahu. Allah yang mengatur semuanya. Saya juga minta maaf kalau agak keras sama Mbak. Jahat gitu."
"Nggak sih, Sal. Menurutku kamu tegas aja, bukan keras. Akunya juga sih ya, nggak peka. Terus kalian berantem, ya?"
"Hehe, iya, Mbak. Kami berantem agak parah. Mas Andro niatnya mau kasih pengertian ke saya, tapi jatuhnya malah kayak ngebelain Mbak Zulfa. Tapi ya gimana ya, Mbak, namanya istri kalau suaminya bersikap begitu di depan kita saat kita lagi marah, kan sedih.
"Tapi dari situ juga terus kami jadi ngobrol banyak, Mbak, yang bikin saya lebih bisa menerima Mas Andro dengan segala masa lalu yang menyangkut hatinya. Mas Andro cerita tentang gimana ketemu sama Mbak Zulfa, terus dekat, dan..., ya gitu lah. Saya sudah nggak apa-apa, sih. Wong namanya masa lalu, sudah nggak bisa diubah, cuma bisa diterima saja."
Mata Salma tertuju ke bawah, pada jemarinya yang sibuk mencabuti rumput. Rasanya aneh, menyampaikan bahwa dia memahami perasaan dan masa lalu suaminya, pada seseorang yang menjadi masa lalu itu sendiri. Tak ada yang meminta, juga tak ada yang merencanakan. Semua terucap begitu saja. Tapi tak mengapa, sebab selain perasaan yang aneh, Salma pula merasa lega.
"Andro sayang banget sama kamu kok, Sal. Cinta banget juga. Aku bukan siapa-siapa lagi baginya."
"Alhamdulillah, memang sudah seharusnya seperti itu kan ya." Salma tertawa kecil. Dua bulir bening jatuh dari kedua sudut mata. Dia tahu betul Andro memang sangat menyayanginya. Mencintainya.
"Sikapnya tuh berubah banget lho, Sal. Andro yang tadinya semau gue, sekarang jadi lebih dewasa. Dia baik sih, sama siapa aja, kapan aja, di mana aja, tapi ya itu, semau gue. Anak sultan sih ya." Kali ini Zulfa yang tertawa.
"Tapi sejak semester kemarin, dia mulai kelihatan berubah. Salatnya lebih rajin, ngomongnya nggak ngasal, pakai duit juga udah nggak sembarangan lagi kayak dulu.... Eh, ini bukan aku masih care atau masih dekat sama dia lho ya. Nggak sama sekali, Sal. Semua teman, kakak tingkat, adik tingkat, semua yang kenal Andro juga kasih kesan begitu, kok.
"Kalau soal kedekatan diantara kami, Sal, semuanya bener-bener udah beda. Aku jadi satu-satunya teman yang dia jaga jarak dan hati-hati banget kalau mau bersinggungan soal apapun. Kalau kata Nara, Andro tuh bener-bener berusaha menjaga hati kamu, Sal, ada atau nggak ada kamu di dekatnya. Kenapa? Karena kamu udah jadi yang paling berarti buat hidupnya.
"Aku dulu nggak pernah tahu kalau Andro punya masa lalu yang kurang bagus soal keluarga, Sal. Aku malah tahunya dari Pak Iqbal, yang nggak sengaja ketemu sama Andro, terus Andro cerita gitu tentang masalah keluarganya. Itupun nggak detail, Sal. Dulu kan dia cemburu banget kalau sama Andro.
"Terus Yudi juga pernah cerita soal keluarga Andro itu. Sama aja nggak detail, tapi intinya, keberadaan kamu itu yang paling berpengaruh bikin Andro sedikit demi sedikit lepas dari..., dari apa ya? Emm..., dari trauma tentang masa lalu keluarganya gitu lah.
"Andro kan deket banget sama Wahyudi, Sal. Mereka sering ngobrol. Dan sejak semester kemarin kan Andro jarang ngumpul sama kita-kita, nggak kayak sebelum-sebelumnya. Awalnya sih pada bertanya-tanya, sampai akhirnya pasca insiden kita di rumah sakit dulu itu, kebuka deh semuanya."
Zulfa masih terus bicara. Tentang kemajuan-kemajuan Andro dalam bersikap, tentang semangat Andro yang makin berkobar jika itu menyangkut urusan cita-cita dan masa depan, tentang pemikiran Andro yang makin matang, dan banyak hal lagi yang membuat Salma makin yakin bahwa dia sangat berarti bagi hidup seorang Angkasa Andromeda.
"Andro tuh keren banget, Sal. Biasanya nih ya, laki-laki itu, berapapun mantannya pasti ada satu yang membekas banget di hati. Andro nggak punya mantan. Kalaupun pernah ada yang masuk ke hatinya, melihat dia yang sekarang juga kayaknya udah nggak ada bekasnya itu cewek di hidupnya dia." Zulfa tertawa keras, menertawakan dirinya sendiri yang dia sebut baru saja. Salma ikut tertawa, masih dengan mata berkaca-kaca.
"Langka banget Sal yang kayak gitu. Suamiku aja, Pak Iqbal, masih selalu menunjukkan perubahan ekspresi kalau bicara tentang mantan terindah. Bikin patah hati banget kan yak kalau pas dihadapkan pada kondisi kayak gitu. Mana mantannya selusin. Untung nggak dimasukin ke box, kayak donat ntar." Kebiasaan curcol terbawa. Merasakan kedekatan dengan Salma, Zulfa sampai lupa, kebablasan membuka aib suaminya.
"Donat mini, Mbak. Kalau donat biasa satu box biasanya isi setengah lusin aja," timpal Salma, disambut tawa terpingkal-pingkal dari Zulfa.
"Edan. Bisa becanda juga ya Nyonya Andromeda, nih." Dipukulnya pelan tangan Salma. Tawa keduanya berderai-derai. Gembira.
Usai tawa mereda, Zulfa meraih tangan kanan Salma, mengambil bagian telunjuk, dan mengaitkan dengan telunjuknya sendiri. "Mulai sekarang, kita berteman ya, Sal. Aku nggak mau tahu, pokoknya kita berteman," ucap Zulfa tanpa keraguan.
"Iya. Kita berteman. Insya Allah." Salma melempar senyum nan tulus. Hatinya menghangat.
Keheningan lalu menyusup. Masing-masing menikmati panorama di bawah sana. Kerlap kerlip mulai terlihat, menggantikan jingga senja yang perlahan ditelan gelap. Dari musala camp yang tak begitu jauh dari tempat mereka menggelar tenda, azan maghrib berkumandang. Salma dan Zulfa bertukar pandang, menyebut satu nama yang suaranya sama-sama mereka dengar. Lalu keduanya larut menghayati panggilan.
"Hebat kamu, Sal, sampai bisa bikin Andro mau jadi kang adzan," ujar Zulfa begitu azan usai. Dia terheran-heran. Andro yang dulu, jangankan azan, salat saja selalu "Nanti lah, kalau urusan sudah kelar."
Mereka baru akan beranjak untuk salat, ketika Andro tiba-tiba sudah berada di samping Salma.
"Kalian salat di sini aja, ya." Lebih terdengar senagai perintah.
"Kan mushola deket, Ndro." Zulfa ngeyel.
"Iya, tapi nanjak, Zul. Sebaiknya sih kalian jamaah berdua aja di sini, biar kuambilkan air buat wudhunya. Boleh kan, Sal, wudhu pakai botol gitu? Nanti aku yang pegangin botol dan alirin airnya buat kamu."
Salma mengangguk. "Iya, boleh."
Secepat kilat Andro berlari dan kembali membawa dua botol di tangan kanan kiri. Dituangkannya untuk berwudhu Salma, lalu menyodorkan yang satu lagi kepada Salma untuk berwudhu Zulfa, dan bergegas kembali ke musala setelah membisikkan i love you pada istrinya.
"Andro bisa romantis juga ya, Sal. Sehari berapa kali tuh i love you-nya?" Ternyata terdengar oleh Zulfa. Salma tak menjawab, lagi-lagi hanya tertawa.
Kegiatan malam itu berlangsung seru dan penuh keakraban. Salma bisa membaur dengan teman-teman Andro yang perempuan, terutama Zulfa, yang tak sekejap pun terlihat menjauh dari Salma.
Agak malam, Salma melempar kode kepada Andro. Dia ingin istirahat. Merasa cukup keikutsertaannya di kegiatan hari itu. Andro setuju, mengantarnya ke tenda. Zulfa menyusul, menawarkan diri menemani Salma. Hamil dan tak mau kecapaian menjadi alasan pendukung. Andro iya saja, lalu meninggalkan keduanya.
Belum ada lima belas menit, sosok dosen idola mendadak muncul di tengah-tengah canda tawa nan riuh rendah. Iqbal Sya'bani. Semua menyambut dengan sukacita, memintanya untuk turut bergabung bersama mereka.
Iqbal mengiyakan. "Sampai jam sebelas saja ya, setelahnya saya dan Zulfa pulang," ucapnya.
Yeni memanggil Zulfa untuk kembali ke tengah-tengah mereka. Andro melipir, menyewa satu tenda lagi untuk dia gunakan bersama Salma. Tak tega, sebab Salma baru kenal tadi siang dengan teman-teman perempuan Andro selain Zulfa.
"Sal, kamu pindah tenda ya. Sama aku." Andro memberitahu. Diambilnya ransel Salma dan meminta tolong Wahyudi memindahkan ke tenda mereka.
"Nggak usah, Mas. Sal di sini aja nggak apa-apa. Nggak enak sama yang lain, masa kita tidur berdua. Lagian kan Mas sendiri yang kemarin pengen banget ikut camping, masa sekarang malah menyendiri sama Sal. Kalau cuma berduaan sama Sal kan bisa sewaktu-waktu, kalau ngecamp ramai-ramai gini kan nggak mesti setahun sekali. Udah sih, kita tetap dengan rencana semula. Ada atau nggak ada Mbak Zulfa di sini, Sal tetap tidur di tenda ini aja."
"Ayolah, Sal. Nggak apa-apa, kan kita udah nikah. Yang lain udah dewasa, udah bisa mengerti dan memahami. Janji deh, aku nggak akan berbuat yang tidak senonoh." Salma tersenyum mencibir. Dicubitnya si suami yang kadang tak bermutu.
Setelah susah payah dibujuk, Salma pun akhirnya mengangguk. Andro tak ambil pusing dengan keseruan teman-temannya, Salma lebih penting baginya. Salma sudah pasti tak mau bergabung di keramaian yang penuh canda tawa, genjrang genjreng, juga nyanyian. Apalagi banyak laki-laki dalam jarak yang cukup berdekatan. Dia tak akan nyaman, sekalipun ada Andro di sisinya. Andro tahu persis soal itu.
Digandengnya Salma ke tenda mereka. Tak langsung masuk, Andro mengajak Salma duduk di depan tenda, memandangi kerlip lampu nun di kejauhan.
"Mas."
"Hemm."
"Bukan karena Mas cemburu, kan, Mbak Zulfa dijemput suaminya?"
"Ngomong apa sih, Sal? Nggak percaya banget sama aku. Kon jek ragu ta piye karo aku? (Kamu masih ragu apa gimana sama aku?)" Salma terkekeh. Andro jarang sekali menggunakan bahasa Jawa saat berbicara dengannya.
"Atau..., kamu yang cemburu?"
"Ih, Sal cemburu sama siapa coba?"
"Sama Yudi mungkin? Karena dia dekat sama aku."
"Ngawur!" Salma cekikikan. Mencubit pinggang Andro, yang dibalas dengan rangkulan di bahunya. Keduanya tak sadar, ada satu makhluk yang belum sempat keluar dari tenda di belakang mereka.
"Kami tadi ngobrol banyak. Mbak Zulfa cerita cukup banyak tentang Mas."
"Cerita baik apa jelek?" Andro meraih jemari Salma, menempelkan pada pipinya.
"Memang ada ya cerita yang jelek tentang Mas? Mas kan orangnya baik. Baik sama siapa aja. Makanya Mbak Zulfa sampai nggak ngeh kalau Mas suka sama dia."
"Dianya aja yang memang kurang peka. Lagian, buat apa juga dibahas. Udah sih, orang bukan jodoh juga."
"Tapi Sal bersyukur banget. Setidaknya Mas belajar bersabar sepanjang menunggu Mbak Zulfa. Sal juga yang menikmati hasilnya. Jadi nggak harus ngadepin Mas sebagai seorang anak mama. Mas udah 'jadi'. Udah selalu menunjukkan sikap yang baik dan bertanggung jawab sebagai seorang suami."
"Masa, sih?" Salma mengangguk. Menyandarkan kepala pada bahu suaminya.
"Nggak tahu lah, Sal. Yang pasti aku ngerasa hidupku berubah setelah kejadian di dekat penjual nasi goreng malam itu. Terus aku dengar obrolan kamu sama Bu Miska. Dan tiba-tiba aja aku galau. Semaleman kepikiran kamu terus. Jujur ya, itu untuk pertama kalinya aku sama sekali nggak ingat Zulfa. Biasanya kalau lagi sendiri suka kepikirannya dia."
Salma menarik tangannya dari pipi Andro. Kesal. Andro tertawa, merangkul bahu Salma makin dalam ke peluknya.
"Kesel, ya? Jealous?"
"Nggak. Sal kan jealous-nya sama Mas Wahyudi." Keduanya tertawa geli. Sedangkan makhluk di dalam tenda misuh-misuh dalam hati.
"Kejadian malam itu tuh kayak yang membukakan mataku tentang banyak hal, Sal. Bahwa hidup ini harusnya nggak cuma gitu-gitu aja. Banyak hal harus dijalani, banyak hal harus diterima, banyak hal harus diperjuangkan, banyak hal harus dimaklumi. Banyak banget. Bukan sekadar memikirkan itu-itu aja."
"Itu-itu aja tuh maksudnya Mbak Zulfa?"
"Bukan. Wahyudi." Mereka tertawa lagi. Makhluk yang terkungkung di tenda juga mengumpat lagi, masih dalam hati.
"Ada banyak orang yang harus kubahagiakan sebelum aku atau mereka mati, Sal. Papa, Mama, Mbak Rea. Kami pernah hancur. Hidup masing-masing. Tiap ketemu, yang itupun jarang, selalu kayak orang asing. Alhamdulillah bisa kembali jadi keluarga normal lagi.
"Lalu kejadian malam itu, bikin aku ngerasa bodoh. Kayak yang sadar gitu. Aku mati-matian pengen bahagiain seseorang, padahal ada orang lain yang ternyata lebih pantas untuk kubahagiain. Kamu orangnya. Dan aku bersyukur, kamu bisa nerima aku apa adanya.
"Kamu itu perfect banget buat aku. Cantik, baik, mandiri, kuat, tegar, baik agamanya, baik akhlaknya, berbakti sama orang tua, dan ternyata juga kaya raya. Aku nggak ada apa-apanya, tapi kamu tetap mau menerima."
"Ya gimana? Kan Sal ngertinya pas udah sah. Kalau tahu waktu akad Mas hampir salah sebut nama Sal, mungkin Sal juga---"
Sesuatu yang lembut menghangatkan bibir Salma. Membuatnya tak bisa melanjutkan kalimatnya. Makhluk pemunggu tenda tak berkutik oleh suguhan pemandangan dari celah pintu tenda.
Salma mendorong Andro kuat-kuat. Refleks saja. Bahkan bawah sadarnya pun masih bisa mengingat bahwa ada banyak orang di sekeliling mereka.
"Katanya tadi janji nggak akan berbuat tidak senonoh," sindir Salma.
"Iya, maaf. Makanya, udah cukup nggak usah bahas-bahas Zulfa lagi, aku nggak suka. Mau dikata kamu udah nggak cemburu, aku udah nggak mikirin, yang namanya kita manusia biasa pasti ujung-ujungnya tetep aja baper. Deal, ya? Nggak bahas Zulfa lagi, ya? Oke?" Salma melengos. Masih panik dengan ciuman Andro baru saja.
"Terus bahas apa?"
"Apa aja, selain Zulfa. Keluarga kecil kita, our baby, cita-cita, mama, papa, Mbak Rea, Bu Jani..., dan jangan lupa, masih ada Wahyudi." Tawa kembali berderai-derai.
"Wuas* tenaaan!" Terdengar suara dari dalam tenda, lengkap dengan makhluk yang muncul tiba-tiba.
Salma berteriak kaget. Merapal istighfar sambil membenamkan wajah di dada Angkasa Andromeda.
"Aku gak eruh opo-opo kok sebut-sebut sampek ping telu, Su."
(Aku nggak tahu apa-apa kamu sebut-sebut sampai tiga kali)
"Janc*k! Gak bener arek iki. Ngopo ik nak kono? Nguping? Wah, pelanggaran tenan. (Nggak bener orang ini. Ngapain di situ? Nguping? Wah pelanggaran banget)." Dua sahabat saling memaki. Hanya sama-sama kesal, tak ada kemarahan yang berarti.
"Hare mbok kon ndeleh ransel. Sisan nggonmu kae tak delehke wong aku pengertian. Durung ngasi metu tenda malah kowe njedul. Kudune ki awakmu langsung mlebu tenda, dadi ngerti aku nang kene. Njuk aku gak kudu ndelok adegan tidak senonoh ngono iku mau."
(Katamu suruh naruh ransel. Sekalian punyamu tuh kutaruh, aku kan pengertian. Belum sempat keluar tenda malah kamh muncul. Harusnta kamu tuh langsung masuk tenda, jadi tahu kalau aku di sini. Dan aku nggak harus lihat adegan tidak senonoh kayak itu tadi)
Salma buru-buru melepaskan diri dari pelukan Andro, memunggungi dua sahabat yang sedang saling memaki. Saking malunya, Salma sampai terisak-isak mendengar penuturan Wahyudi, si makhluk penunggu tenda yang melihat adegan mereka.
Dan sisa malam itu Andro habiskan untuk membujuk Salma agar mau memberi maaf padanya.
***
Derita elo, Ndro! Hahaha....
Gimana? Capek nggak bacanya? Ngos-ngosan pasti yaaa. 3,9K words tuh. Belum curhatnya. Haha... Maapkeun membuang waktu kalian :D
Harusnya mau update semalem, tapi nemenin bocah tidur ikut tidur pula. Bangun-bangun udah hari Jum'at aja. Lanjutin ngetik dikit. Yg tadinya udah 2,6K words pas kelar ngetik tambahan, lah kok jadi 3,9K words. Aku ngetik apa siiiihhh? Hahaha....
Btw, aku sudah memutuskan, Move On ini nggak aku targetin apa-apa (kayak biasanya pakai target aja, wkwk). Jadi aku berusaha menulis dg santai dan cuek gitu. Intinya ya buat hiburan aja. Ya aku, ya pembaca. Udah telanjur ke mana-mana soalnya, jadi ya udah terusin aja ke mana-mananya. Haha... Gpp yaaa.
Oh iya, part ini —ketemunya Salma dengan Zulfa— mengingatkan aku pd kejadian belasan tahun lalu. Mantan jadian sama temanku, lebih tepatnya departemenku di organisasi. Wkwk...
Iya, jadilah kami bertiga sering ada di tempat dan waktu yg sama. Malah pernah semobil bareng waktu mau kondangan ke senior organisasi, sama teman-teman lain sih. Teman-teman yg lain sampai heran, "Kok kamu kuat sih, Pit? Bisa tetep santai dan biasa aja."
Hiyaaa, klean nggak ngerti aku juga gugup dan ngerasa aneh kaleee. Cuma berhasil nyembunyiinnya aja. Haha..
That's why, lagunya Manusia Kuat. Karena salah satu definisi manusia kuat versi teman-temanku itu adalah. "bisa santai ngadepin mantan dengan yg baru." Mwahahaha....
Dari situ juga aku bangkit. Patah hati bikin aku ingin balas dendam. Bukan, bukan dg menyakiti mereka. Aku cuma berusaha untuk punya pencapaian lebih baik dari mereka. Lulus lebih cepat, nilai lebih baik, teman lebih banyak, dsb. Alhamdulillah, aku dapat semuanya. Relate sama Andro lah ya. Dapat Salma, yg perfect kecuali di finansial, tapi ternyata..., warisannya Salma dari opanya juga nggak main-main tuh. Banyaaakk. Hahaha...
Jadi cerita ttg masa lalu kaann kaaann... Maaf ya.
Begitulah. Masa mudaku dulu juga sama seperti kebanyakan anak muda (di zamannya). Alhamdulillah, ditunjukkan jalan utk ke jalan yg lebih baik. Semoga seterusnya. Istiqomah. Husnul khotimah. Aamiin.
Terima kasih udah mau baca sepanjang ini. Jangan lupa, hari Jum'at perbanyak salawat dan baca Al Kahfi.
I love you all.
See you :)
Semarang, 11022022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top