50. Dipertemukan
Hai...
Ada yang kangen Dek Galaksi dkk nggak nih?
Ya udah, yuk baca dulu. Curhatnya nanti aja di bawah. Haha...
***
Halaman rumah eyang Andro yang luas tampak lengang. Dua mobil terparkir di garasi yang pintunya terbuka, menandakan pemilik rumah tidak sedang ke mana-mana.
SUV putih milik Antariksa memasuki area carport rumah yang ditinggalinya semasa kecil hingga beranjak dewasa. Dua laki-laki dan tiga perempuan keluar dari dalam mobil. Andro menggandeng Salma, Utami dan Nerudita berjalan bersisian sambil melanjutkan perbincangan yang mereka lakukan sejak dalam perjalanan. Antariksa mengucap salam, kemudian langsung masuk melalui pintu utama yang terbuka lebar.
Eyang papi dan eyang mami menyambut kedatangan anak, menantu, dan cucunya. Juga dua orang dekat yang baru mereka ketahui keberadaannya, Dita dan Salma. Ruang tengah yang cukup luas menjadi tujuan mereka semua. Sebuah televisi berlayar lebar sudah terhubung dengan peralatan untuk melakukan panggilan video.
Siang itu keluarga mereka akan melakukan video call dengan mama dan kakak perempuan Dita di Madrid. Jika biasanya kedua eyang Andro cukup menggunakan smartphone saja, kali ini semuanya dibuat spesial. Eyang papinya ingin momentum pertemuan ibu, anak, dan cucu yang telah terpisah puluhan tahun menjadi peristiwa yang layak untuk dikenang.
"Siapa yang bikin, Yang?" tanya Andro. Ia takjub dengan persiapan yang bisa dibilang dadakan. Dalam hati tak yakin eyangnya yang mengurus semua sendiri.
"Yudha." Eyang papi menyebut nama salah satu omnya. Adik ipar papanya yang tinggal tak jauh dari rumah eyang.
"Lah, mana Om Yudhanya?"
"Eyang suruh pulang. Selain keluarga papamu, eyang nggak ngebolehin anak eyang yang lain datang hari ini." Andro tertawa, mengucapkan terima kasih pada kakeknya. Hari ini mungkin akan menjadi salah satu hari bersejarah dalam hidup Salma.
Ah, Salma. Membatinkan namanya saja sudah membuat wajah Andro berseri-seri dan hatinya dipenuhi rasa bahagia. Ditolehkannya kepala mencari sang istri, tapi tak ada.
"Lho, Salma mana, Pa?"
"Tuh, diculik mami ke dapur. Ngelihat Salma udah kayak nemu temen segeng perdapuran aja eyang mamimu itu." Andro tertawa lagi. Cintanya untuk Salma makin menjadi-jadi.
Disusulnya Salma ke dapur, yang rupanya sudah jadi venue untuk ajang berkumpul kaum hawa, dari yang masih muda sampai yang sudah kedaluwarsa.
"Eyang mami, besok lagi kalau mau culik Salma tuh bilang-bilang dulu sama Andro. Dua detik nggak lihat Salma tuh udah berasa kosong separuh hati Andro."
Sehelai serbet melayang dan jatuh tepat di wajah Andro. "Dasar bucin!" seru mamanya, disambut gelak tawa yang lainnya.
"Andro bisa bantu apa, nih?"
"Nggak ada. Mas di depan aja sana. Laki-laki ngumpulnya sama laki-laki, bukan di sini." Salma mendekat. Mendorong-dorong suaminya supaya berlalu dari kumpulan ibu-ibu. Andro menurut saja. Meninggalkan dapur setelah lebih dulu mencuri kecup pada kepala Salma.
Salma dan para seniornya asyik ngobrol urusan dapur, sedangkan tiga pria dari tiga generasi berbeda terlibat perbincangan khas laki-laki di ruang keluarga.
Keasyikan masing-masing kelompok terhenti ketika jam kayu kuno di sudut bawah tangga berdentang nyaring dua kali.
"Ina, sudah jamnya." Suara lembut eyang papi memanggil eyang mami menghentikan obrolan di dapur. Salma tersenyum sendiri. Yang dilakukan eyang mertuanya memang sederhana, tapi baginya itu sesuatu yang sangat romantis dan menyentuh hati.
Semua berkumpul di ruang keluarga. Pada wajah Dita dan Salma terlukis ketegangan yang berusaha disembunyikan. Ketegangan itu makin kentara ketika nada panggil mulai terdengar dari gawai yang dipegang eyang papi.
Komunikasi antara kedua eyang Andro dengan Lucia —nenek kandung Salma— masih terjalin dengan baik. Paling tidak sebulan sekali selalu menanyakan kabar dan berbincang bertiga. Maka ketika panggilan video terhubung, Lucia menerima dengan keriangan seperti biasa.
"Lucia, kami punya kejutan yang mungkin akan sangat membahagiakan buat kamu," kata eyang mami setelah saling bertukar kabar dan menceritakan beberapa kejadian sebulan terakhir ini.
"Kabar apa itu? Kamu hamil lagi, Ina?" Terdengar tawa dari seberang sana. Kedua orang tua Antariksa membalas dengan senyum saja.
"Apa kamu masih kenal dengan anak perempuan ini, Lucia?"
Kamera mengarah pada Nerudita. Derai tawa perlahan menghilang. Lalu hening.
Perempuan berwajah blasteran Indonesia-Hispanic itu terdiam. Menatap lama pada wajah yang tampil di layarnya. Tak terlihat sedang mengingat, lebih seperti sedang meyakinkan diri.
Masih tak ada suara hingga beberapa belas detik berikutnya.
Nerudita menghela napas, lalu menelan ludahnya. Di sampingnya, Salma menggenggam erat tangan ibunya.
"Dita. Nerudita," gumam Lucia lirih, disusul raungan tangis dan derasnya air mata pada detik berikutnya.
"Iya, Mama. Ini aku." Lantang jawaban Dita, sambil terisak-isak dengan perasaan yang penuh sesak.
"Oh, Dios mio! Dita! Nerudita! Oh, Dios mio!" Wajah di layar berubah disusul teriakan histeris. Sara, kakak Dita satu-satunya mengambil alih.
"Ke mana saja kamu selama ini, Ditaaa? Kukira kami sudah tak ada lagi dalam hidupmu."
Sara merangkul mamanya dan bertangisan. Begitu pula Dita dan Salma. Antariksa dan Utami, juga eyang papi dan eyang mami, semua melakukan hal yang sama. Andro yang tadinya terharu jadi tersenyum kecut. Dia sendirian, tak ada partner untuk berpelukan.
"Ya Tuhan, papamu di surga pasti gembira sekali melihat ini. Dia yang paling menyesal dan merindukan kehadiranmu, Dita. Oh mi niña, te extraño, siempre te amo. Te amo, mi niña (Oh anakku, aku merindukanmu, aku selalu mencintaimu. Aku mencintaimu anakku)." Tangis perlahan mereda, menyisakan isak yang juga tak seberapa. Semuanya mulai tenang. Hati telah tertata.
"Dita, kamu cantik sekali memakai kerudung. Seperti Amina," kata Lucia lagi.
"Iya, Mama. Aku seorang muslim sekarang. Dan aku jadi keluarga yang sebenar-benarnya dengan Bang Iksa sekarang."
"Maksudmu apa? Mana Iksa?"
"Hola, Tia Lucia." Papa Andro mendekat, terkekeh sambil sok-sokan memberi salam dalam bahasa Spanyol, lalu terlibat pembicaraan dengan Lucia dan Sara di seberang benua.
"Tenang saja, Tante. Dita bukan jadi istriku, kok. Aku mana mau nikah sama anak Tante yang satu ini. Si kepala batu." Mereka tertawa berderai-derai. Terlihat sekali keakraban diantara keluarga tersebut.
"Apa Mama ingin aku cerita, ke mana saja aku selama puluhan tahun menghilang?" Dita kembali ke topik tentang dirinya.
"No, Dita. Itu tidak penting buat mama, yang penting kamu sudah kembali dan masih mengingat kami. Mama cuma ingin tahu, siapa gadis cantik di sampingmu? Ella es muy hermosa (Dia cantik sekali). Apakah kamu menikah dan memiliki anak, Dita? Ella es tu hija? Dia putrimu?"
"Iya, Mama. Ini putriku, Salma.---"
"Dan dia menantuku, Tante," sahut Antariksa dengan cepat.
"Apa yang kamu bilang, Iksa?" pekik Lucia.
"Jadi, Salma ini---"
"Stop! Jangan cerita apapun kecuali aku sudah berada di situ," seru Lucia lantang. Lalu buru-buru menyuruh Sara untuk mengecek jadwal penerbangan ke Indonesia.
"Nggak berubah itu mamamu. Masih suka memerintah semau-maunya." Eyang mami tertawa, memeluk Dita dan Salma dengan gembira.
Wah, batal nih jalan-jalan ke Spanyol, batin Andro yang masih merasa jomlo di tengah kebahagiaan keluarganya. Euforia yang melanda membuat Salma seperti lupa kalau ada dia. Andro kesal sekali, tapi cuma bisa bersabar, plus misuh-misuh dalam hati.
Daripada bosan, Andro merogoh gawai di saku jeansnya, dan membaca pesan-pesan baru yang ada. Dari grup angkatan ada 167 notifikasi chat. Tak biasanya dia tertinggal obrolan di grup tersebut sampai sejauh itu.
Andro terpaksa membaca satu per satu dari gelembung percakapan paling atas. Beberapa teman mengusulkan untuk mengadakan camping sebelum sebagian besar dari mereka pulang ke kampung halaman. Chat grup masih ramai. Andro mulai mengetik untuk nimbrung dalam obrolan.
[Diem dulu gih, ketua lagi typing]
[Tak kiro gek mantap2, kok awit mau meneng ae]
[Nesu mbuh lho]
[Woiii, basa indonesia woiii!! Menjalin persatuan dan kesatuan!]
[Lo ke mana aja sih, dua taun lebih di semarang ga bs basa jawa]
[Kayak lo bisa aja, batak!]
[Wah, pelanggaran nih betawi! *emoji tertawa plus bogem]
[Ojok rasis, dikick Andro ntar]
Andro cekikikan sendiri sambil menghapus apa yang sudah diketik dan mengganti dengan kalimat,
[Mohon para anggota diam dulu ya, pimpinan mau bicara]
[Menyimak dengan sopan]
Zulfa yang sedari tadi hanya membaca, kali ini ikut angkat suara.
[Andro njedul, Zulfa melu njedul. Wah, gak penak aku]
Wahyudi.
Andro menunda menyampaikan pendapatnya. Dijaprinya Wahyudi untuk tidak memperkeruh suasana. Sahabatnya itu meminta maaf.
[Sorry, Ndro. Aku tuh kdg msh suka kesel sm Zulfa. Tapi... Yoweslah]
Andro tak memperpanjang urusan. Hanya menyampaikan di grup bahwa dia setuju dengan usulan itu, selebihnya dia serahkan kepada suara terbanyak, lengkap dengan pemberitahuan jika dirinya sedang mengikuti acara keluarga dan tak enak jika membagi fokus dengan terlibat dalam obrolan grup angkatan.
"Serius banget, Mas. Kalau Sal boleh tahu, ada apa?"
"Ehk, ng-nggak kok. Nggak ada apa-apa. Cuma anak-anak mau ngajakin kemping," jawab Andro. Ekspresinya menunjukkan kalau dia kaget setengah mati. Entah sejak kapan Salma berada di sebelahnya. Buru-buru dimasukkannya handphone ke saku jeans, lalu merangkul istrinya.
"Teman-teman kuliah?"
Andro mengangguk. "Iya, angkatan."
"Kapan?"
"Belum fix, sih. Ini tadi aku cuma izin nggak ikut pembahasan di grup karena lagi ada acara ini, tapi intinya aku setuju. Gitu aja, sih, Sal."
Salma diam, kepalanya mengangguk-angguk.
"Emm, atau mau baca sendiri? Ini nggak ada hubungannya sama si itu kok." Dengan sedikit tegang Andro merogoh gawainya, tapi Salma segera menghentikan, menahan tangan Andro yang masih berada di dalam saku celana.
"Nggak usah, Mas. Mas nggak percaya ya kalau Sal udah nggak ada masalah sama Mbak Zulfa? Sampai Sal harus baca chat grupnya segala."
"Ya nggak gitu, Sal. Tapi tanganmu...."
"Ehk, tangan Sal kenapa?"
"Jangan berhenti lama-lama di situ. Fokusku terganggu."
Salma cepat-cepat menarik tangannya. Dipukulnya pelan paha Andro sambil menggumamkan omelan. Andro terkikik.
"Dunia milik berdua ya, Ndro!" Papa menggoda anak laki-lakinya.
"Ya gini kalau istri cukup satu. Pasti selalu jadi ratu." Mata Salma mendelik tajam, menikam tepat di manik mata Angkasa Andromeda.
"Move on, Mas. Jangan-jangan begini juga sama yang itu. Gagal move on." Cuma bisikan, tapi berasa senjata makan tuan buat Andro.
Acara inti siang itu sudah terlewati. Oma Lucia —nenek kandung Salma— lusa akan terbang dari Madrid ke Jakarta, lanjut ke Surabaya. Untuk sementara rencana perjalanan keluarga Antariksa ke Spanyol akan ditunda.
Andro membuka kembali percakapan di grup angkatan yang sudah menghasilkan sebuah keputusan. Besok —Minggu— sore sampai Senin siang camping akan diadakan. Sore ini juga, beberapa perwakilan akan survey lokasi dan beberapa yang lain akan mengurus segala persiapan. Andro yang masih berada di Surabaya jadi panik.
"Sal, kalau sore ini aku ke Semarang, gimana?"
"Acaranya kapan memangnya, Mas?"
"Besok siang. Kalau kamu bolehin, kita pulang ke Pakuwon sekarang, terus aku langsung cabut ke Semarang."
"Mas tanya papa sama mama aja, ya. Sal nggak bisa kasih keputusan."
Ini hanya cara Salma untuk menghindar dari mengambil keputusan. Dia sendiri galau. Mau melarang, dia tak tega kalau Andro melewatkan keseruan bersama teman-temannya. Tapi mengizinkan, dia suka tak tega kalau suaminya sendirian di Semarang, sedangkan ikut ke Semarang, untuk saat ini menurutnya ini belum memungkinkan. Salma ingin ada saat omanya datang.
Tanpa pikir panjang Andro segera menghampiri dan bernegosiasi dengan kedua orang tuanya. Izin nyaris tidak turun, tapi Andro ngeyel sehingga papa mamanya terpaksa berkata ya.
"Kamu nggak usah ikut pulang ke Pakuwon nggak apa-apa, Sal, daripada nanti nggak ada temannya. Di sini aja rame-rame. Mama papa juga belum ada tanda-tanda mau pulang."
"Bajunya Mas, siapa yang siapin?"
"Aku siapin sendiri bisa kali, Sal. Pokoknya kamu nggak boleh repot. Ini acaraku. Aku sendiri yang maksa untuk ke Semarang sekarang juga, jadi udah risikoku untuk siapin apa-apa sendiri. Kamu istirahat, ya. Siapin fisik dan hati buat ketemu oma nanti."
Dikecupnya bibir Salma sebagai tanda dia tak menerima sanggahan jenis apapun. Salma mengikuti saja kemauan suaminya. Memandang sosok kesayangan yang melangkah menuju pintu utama.
Langkah Andro berhenti mendadak, kemudian berbalik badan, dan berlari menghampiri Salma. Dia berjongkok, mencium perut istrinya. "Papa pergi dulu ya, Sayang. Jaga mama baik-baik." Diusapnya perut Salma. Gemas.
Salma tersipu. Tak berani menatap mata-mata lain yang ada di sekeliling mereka. Andro terkekeh, menarik Salma untuk menjauh dari yang lainnya.
"Hati-hati ya, Mas. Jaga diri baik-baik. Jaga hati juga," bisik Salma lagi.
"Kamu masih nggak percaya sama aku?"
Salma menggeleng. "Sal percaya penuh sama Mas. Udah sana, berangkat. Sal nggak mau Mas kemalaman sampai Semarang. Jangan lupa, buruan kabari kalau udah sampai ya. Sal sayang sama Mas."
"Aku kalau diginiin jadi galau mau ninggalin kamu, Sal." Dipeluknya Salma sekali lagi. Salma menolak. Mendorong Andro supaya lekas beranjak.
Andro meninggalkan Surabaya tepat pukul empat sore. Sepanjang perjalanan dia merasa gelisah teringat Salma. Ada rasa bersalah karena akan ada Zulfa di acara bersama teman-temannya nanti. Sebelumnya Andro pikir Zulfa tidak akan ikut sebab kandungannya sudah besar. Ternyata dia salah duga. Ada nama Zulfa Nurulita di deretan daftar peserta. Andro sendiri heran, Gimana ceritanya sampai Pak Iqbal ngasih izin? Tumben banget, batinnya.
Ruas tol Mojokerto-Kertosono hampir seluruhnya terlalui, tapi rasa bersalah masih saja mengikuti. Andro berubah pikiran. Begitu terlihat pintu tol terdekat, dia keluar dan putar balik, masuk kembali ke pintu tol arah Surabaya. Tanpa keberadaan Salma di sampingnya, Andro merasa bebas memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Mobil yang dikendarai Andro berhenti di depan kediaman Antariksa bertepatan dengan mama, papa, dan Salma yang baru pulang dari rumah eyang. Dengan gegas Andro menghampiri ketiganya.
"Lho, kok balik lagi, Ndro? Ada yang ketinggalan?" seru mamanya.
"Iya, Ma. Salma yang ketinggalan."
"Kon iku piye, ta? Gak bener! Udah bagus-bagus Salma di sini malah mau diajak ke Semarang. Gak gak gak. Gak oleh."
"Iya. Gimana nanti deh. Andro ngobrol dulu sama Sal, Ma. Tapi kalau Sal nggak keberatan, Mama juga jangan ngelarang. Andro bisa kok jagain Sal."
"Bukan masalah itu, Ndro, tapi---"
"Udah, Ik, biarin. Terserah maunya dia aja." Mama memotong ucapan papa secepat kilat. Lalu berjalan menuju pintu utama tanpa menoleh lagi.
Andro tak ambil pusing. Diajaknya Salma masuk ke kamar dan menyampaikan kebenaran yang dia sendiri baru ngeh setelah di jalan.
"Sal, ikut ke Semarang mau, ya? Please. Ikut camping sama kita-kita."
"Mas putar balik cuma mau minta begini? Ngapain sih, Mas? Kan tadi Sal udah izinin. Udah ikhlasin Mas pergi sendiri. Sal nggak apa-apa. Serius. Tapi kalau Mas maunya Sal ikut ke Semarang, nggak apa-apa, Sal temenin. Tapi nggak kalau suruh ikut camping, Sal nggak mau. Sal kan bukan bagian dari teman-temannya Mas, nanti malah jadi canggung kalau ada Sal. Yang niatnya mau senang-senang, mau happy-happy, haha hihi, akhirnya jadi nggak lepas karena ada Sal.
"Kalaupun di sana nanti ada Mbak Zulfa, Sal juga nggak ada cemburu, curiga, atau semacamnya, kok. Mas harus percaya sama Sal soal ini. Sal nggak apa-apa. Beneran nggak apa-apa. Seratus persen nggak apa-apa."
Andro menelan ludah. Entah Salma yang memang peka, atau gelagatnya yang terlihat aneh.
"Iya, Sal. Ada Zulfa. Tadinya kupikir dia nggak ikut karena udah besar kan hamilnya. Aku yang nggak teliti baca daftar peserta. Serius, Sal, nggak bohong. Aku baru nyadar pas udah di jalan, dan setelahnya aku jadi merasa bersalah sama kamu. Kayak yang..., aku ngebohongin kamu gitu. Tapi sumpah, aku beneran baru tahu pas udah di jalan, Sal. Makanya aku buru-buru putar balik.
"Please, Sal. Ikut ya? Mau ya? Aku pengen tetep join sama mereka, tapi aku merasa berdosa sama kamu karena di sana ada Zulfa. Dan perasaan berdosa itu cuma bisa hilang kalau kamu ada di sana sama aku."
Salma kesal. Bukan..., bukan karena cemburu pada Zulfa, tapi karena merasa Andro tak mempercayai bahwa dia sudah tidak menyimpan rasa dan prasangka buruk soal Zulfa. Salma sudah benar-benar ikhlas soal masa lalu suaminya. Eh, malah Andro seolah meragukan kepercayaan yang sudah Salma usahakan mati-matian.
"Iya, aku minta maaf. Aku percaya kamu, Sal. Dan aku terserah gimanapun keputusanmu." Andro makin merasa berdosa. Dia jadi serba salah. Apapun keputusan Salma, dia berserah. Kalaupun tak bisa bergabung bersama teman-temannya pun Andro sudah pasrah.
"So, kamu jadinya mau ikut apa di sini aja? Kalau kamu di sini, aku juga nggak akan ke mana-mana."
"Sal nggak."
Andro lemas. Kalau anak balita, mungkin dia sudah menangis saking sedihnya akan kehilangan momentum bersama teman-teman seangkatan. Tapi kan dia sudah dewasa, sudah mau jadi bapak malah.
"Sal nggak tega kalau Mas nggak ikut acara. Jadi Sal nggak akan di sini. Sal ikut maunya Mas."
Andro memekik kesenangan. Lupa pada rasa malu, dipeluknya Salma sambil meluapkan tangis yang tadi dia tahan.
Sebuah cubitan Andro rasakan, disusul suara Salma yang membuatnya sadar akan kekonyolan yang dilakukan.
"Cieee, seneng ya bisa ngecamp bareng mantan. Sampai nangis segala."
***
Alhamdulillah. 2,6K words setelah sekitar dua bulan ngilang.
Ke mana aja sih?
Hehe, nggak ke mana-mana. Lagi rehat aja.
Jadi, beberapa waktu kemarin aku ngerasa tulisanku kok nggak berkembang, gitu. Apa ya? Emm, pokoknya gitu-gitu aja lah. Nggak ada gregetnya. Mungkin aku kurang membaca? Begitu pikirku. Akhirnya aku putuskan untuk istirahat menulis dulu dan memperbanyak baca-baca buku.
Eh, sesudahnya malah aku jadi insecure karena buku-buku yang kubaca tuh bagus-bagus ceritanya. Penulisnya jago-jago dan keren-keren banget. Huhuhuu...
Lalu tahun berganti. Ada banyak hal yang aku diskusikan dan putuskan bersama suami. Sementara prioritas kugeser. Mungkin aku sedang butuh penyegaran dg kegiatan yang lain.
Dan seminggu lalu aku jatuh dari motor. Ngerem mendadak di bawah rinai hujan demi menyelamatkan ayam betina yang lagi kejar-kejaran sama ayam jantan. Mengsedih nggak tuh. Haha....
*sedih tapi hahaha :D
Alhamdulillah keadaanku nggak parah. Cuma, malam setelah jatuh aku nyaris nggak bisa jalan. Dari siang sampai besok dini hari aku cuma turun dari kasur 3x buat wudhu asar, maghrib, isya. Saking sakitnya, jalan aja aku sampai menggigil. Dan pas nggak ada orang (suami & anak2 ke mushola), aku akhirnya ngesot. Wkwk.
Alhamdulillah lagi, pas bangun dini harinya sakitnya udah jauh berkurang. Aku udah bisa jalan sendiri walaupun masih terpincang-pincang.
Jadi seminggu ini aku banyakan istirahat. Duduk, selonjoran, rebahan. Hikmahnya... finally aku ngetik lagi. Dan karena udah terlalu lama istirahat, aku jadi ngerasanya kayak lagi belajar dari awal. Anggap aja pemanasan sebelum kembali menulis lagi yaaa. Hihi...
Dan di Move On ini aku akhirnya memutuskan untuk nggak membawa beban. Ya udah lah, nulis aja gitu. Nggak perlu ribet mikir mau dibawa ke mana, dsb. Suka-suka aku aja. Dengan tetap berharap yang baca juga suka. Mau sepanjang apa juga hayuk aja. Atau tiba-tiba part besok ending ya nggak masalah juga. Mau satu part 3K words ya oke aja, cuma 1,5K words juga why not lah ya.
Kuharap teman-teman bisa mengerti dan memaklumi. Dan mendoakan juga dong tentunya :)
Sekian "Curhat dong, Maaah" kali ini.
Thank you. And love you all, banyak-banyak.
See you :)
Semarang, 07022022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top