5. Pendekatan
Aku mengerti, perjalanan hidup yang kini kau lalui
Ku berharap, meski berat kau tak merasa sendiri
Kau telah berjuang, menaklukkan hari-harimu yang tak mudah
Biar ku menemanimu, membasuh lelahmu
(Budi Doremi - Melukis Senja)
***
Petang itu tak seperti sebelumnya. Kejadian kemarin malam sepertinya cukup banyak mengubah peta. Andro tak lagi pergi menjelang maghrib tiba. Ia salat maghrib di masjid bersama papa, lalu anteng di rumah sesudahnya. Ia bahkan menawarkan diri untuk membukakan pintu ketika tahu yang datang adalah Salma.
Ada yang berbeda dia rasakan saat berhadapan dengan guru ngaji mamanya. Apalagi mendengar suara merdunya mengucapkan salam. Kayak ada manis-manisnya gitu. Aish.
"Masuk dulu, Sal. Mau langsung ke belakang apa duduk dulu?" tanyanya sok akrab.
"Monggo, saya manut saja, Mas."
"Ya udah, kalau gitu langsung ke hatiku aja, gimana?" Andro mulai melancarkan serangannya.
Salma tersenyum geli. Dalam hati berkata, bisa-bisanya mase iki.
"Ya udah, langsung ke belakang aja ya, Sal. Mama sama Mbak Rea udah nunggu di mushola."
"Iya, Mas. Terima kasih banyak."
"Oh iya, kamu naik apa ke sininya?"
"Angkot, Mas."
"Terus dari gerbang perumahan, jalan?" Salma mengangguk.
"Nggak kapok udah kejadian kayak kemarin?"
"Eh, s-saya baik-baik saja kok, Mas."
"Boleh aku minta nomor HP kamu?"
"Eh, b-buat apa, Mas?"
"Mulai besok biar aku yang antar jemput kamu."
"Nggak usah, Mas. Nggak usah repot-repot."
"Ya udah, nanti aku minta ke mama aja. Silakan kalau mau langsung ke belakang. Udah ditunggu mama." Salma mengangguk, kemudian berlalu.
Usai salat isya di masjid bersama, lagi-lagi Andro tak ke mana-mana. Ia ngobrol berdua dengan papanya di teras samping, membahas rencana mengenai dia dan Salma. Mereka memang berencana untuk menyampaikan maksud baik kepada Salma. Nanti, setelah mamanya selesai belajar mengaji.
"Ustadzah, pulangnya biar kami antar ya, sekalian mau ketemu Bu Miska," kata mama Andro usai Salma menutup sesi belajar malam itu.
"Oh, nggih, Bu. Bu Miska sudah tahu?"
"Insya Allah sudah. Tadi saya sudah telepon. Ustadzah makan dulu ya."
"Nggak usah, Bu. Sudah malam."
Mama tak memaksa, hanya memanggil Bu Jani untuk membantu membawakan beberapa box berisi kudapan dan minuman yang sudah disiapkan. Andro dan papanya menunggu mobil.
Mama mempersilakan Salma untuk duduk di belakang bersamanya. Bertiga berupaya membangun kedekatan dengan si calon anggota keluarga. Itu juga kalau Salma menerima.
"Ustadzah sudah ada rencana menikah?" Mama meramaikan perjalanan dengan pertanyaan yang to the point.
"Eh, tidak ada, Bu. Saya tahu diri saja, Bu. Orang seperti saya mungkin akan sulit dapat jodohnya."
"Lho, kenapa begitu?"
"Y-ya karena asal usul saya yang tidak jelas. Orang tua saya saja tidak menginginkan saya. Bahkan cuma saya satu-satunya yang sejak bayi sampai sebesar ini masih tinggal di panti. Yang lain sudah berganti-ganti, ada yang dijemput orang tuanya, ada juga yang diadopsi." Salma menelan ludah, juga segala kepedihan hatinya.
"Kalau aku mau menikahi kamu, kamunya mau nggak, Sal?" tanya Andro, berusaha memancing respon Salma.
"Ehk." Salma gelagepan. Gelap di dalam mobil menyembunyikan pipinya yang mendadak merona.
"Ustadzah, Ndro. Sal Sal, sembarangan aja." Papanya mengingatkan.
"Salma udah ngizinin Andro buat manggil begitu, Pa. Iya kan, Sal?"
"Ehk, i-iya. Iya, Pak Antariksa. Tidak apa-apa Mas Andro panggil Salma saja."
"Alhamdulillah kalau Ustadzah sama Andro sudah mulai dekat. Jadi kalau Andro serius, kira-kira Ustadzah Salma mau menerima atau tidak?"
Salma makin salah tingkah mendengar pertanyaan mama Andro. Beruntung, mobil sudah memasuki halaman panti. Salma lega, sebentar lagi bisa lepas dari pertanyaan dan candaan yang entah kenapa menimbulkan desir-desir asing baginya.
"Sudah sudah. Jangan bikin Ustadzah Salma bingung. Kita turun dulu dan ketemu Bu Miska." Papa Andro menengahi.
Mereka bergegas turun dan menemui Bu Miska, sedangkan Salma langsung minta izin untuk masuk, merasa tidak sopan mengikuti pembicaraan yang tidak berhubungan dengan dirinya.
Papa dan mama Andro memberi prolog, kemudian menyampaikan maksud baik mereka kepada pada Bu Miska, yang lantas menyuruh salah satu anak memanggil Salma agar berada di tengah-tengah mereka.
Bu Miska memandang Salma dengan keharuan. Sedang yang dipandang belum menyadari apa yang sedang terjadi.
"Salma, kamu anak yang baik. Ibu sayang kamu seperti anak ibu sendiri. Kamu yang dari bayi merah sampai sebesar ini menemani ibu di sini. Yang lain silih berganti hadir dan pergi, tapi cuma kamu yang Allah kehendaki tetap di sini, karena Allah menyiapkan kebahagiaan yang lebih untuk kesabaranmu selama ini," ucap Bu Miska sembari menggenggam jemari Salma. Salma makin kebingungan.
"Emm, ada apa ya, Bu?"
"Salma, mungkin waktu untukmu sudah tiba, Nak. Keluarga Bapak Antariksa dan Ibu Utami menginginkan kamu untuk menjadi bagian dari keluarga beliau berdua."
"M-mak-maksudnya gimana, Bu? Apa Salma mau diadopsi?" tanya Salma pada Bu Miska.
Bu Miska tersenyum lebar, "Bukan, Salma. Kamu terlalu dewasa untuk diadopsi. Pak Antariksa dan Bu Utami menginginkan kamu untuk menjadi menantunya. Untuk menjadi istrinya Mas Andro."
"S-sa-saya?" Gugup Salam, tak yakin pada apa yang didengarnya.
"T-tapi..., saya nggak pantas, Bu." Salma mulai sesenggukan.
"Kebalik kali, Sal? Memang aku yang harusnya tahu diri, sih. Kamu terlalu berharga buat cowok yang pengetahuan agamanya masih cupu macam aku." Mama dan papa melotot padanya. Andro menyadari kesalahannya. Saking tegangnya, ia sampai kehilangan etika.
"B-bukan begitu maksud saya, Mas. T-tapi nasab saya nggak jelas. Bagaimana mungkin keluarga terhormat seperti keluarga Bu Tami menginginkan saya, sedangkan orang tua saya saja membuang saya ke tempat sampah. Saya...."
Salma tak kuasa melanjutkan bicara. Ia menggigit bibirnya, menahan air mata agar tak makin jatuh dengan deras. Yang terjadi malah bahunya berguncang semakin hebat. Andro paling nggak bisa berhadapan dengan seperti ini.
"Itu bukan masalah buat kami, Sal. Manusia nggak dilihat dari masa lalunya. Tapi bagaimana sekarang dan bagaimana dia mengupayakan hal baik untuk akhir hidup yang juga baik. Dan kamu punya itu.
"Menikahlah denganku, Sal. Aku janji akan bahagiain kamu, akan melindungi kamu, akan selalu ada buat kamu. Kalau aku belum baik, tolong bantu aku agar jadi lebih baik. Kalau aku masih bodoh, tolong bantu aku lepas dari kebodohanku. Dan kalau aku belum mampu, jadilah yang selalu mendukung agar aku terus berusaha hingga mampu."
Papa dan mamanya melongo. Tak tahu apa yang sebenarnya ada di hati Andro. Kenapa jadi dia yang lebih bersemangat dari mama papanya? Padahal sebelum kejadian yang menimpa Salma kemarin malam, Andro yang paling mati-matian menghindari Salma. Malah selalu menunjukkan kekesalan setiap kali keluarganya membahas tentang gadis itu.
Air mata Salma tak bisa lagi dihentikan. Semua terjadi begitu saja, ia sama sekali tak siap. Ia tak pernah menyangka akan ada seorang laki-laki yang mengatakan demikian kepadanya.
"Ndro, biar Ustadzah memikirkan dulu. Jangan dipaksa, jangan dikejar-kejar, jangan disudutkan. Kasihlah waktu satu dua hari. Ustadzah kan juga punya Bu Miska. Pasti ingin meminta petunjuk juga kepada Allah." Mamanya mengingatkan.
"Baik, Bu Miska, Ustadzah Salma. Jadi demikian tadi maksud kami datang malam ini. Monggo, Ustadzah Salma silakan memikirkan dan mempertimbangkan dahulu. Kalau ingin tahu lebih banyak tentang Andro, bisa tanya pada mamanya atau Rea. Kalau malu, bisa lewat Bu Miska. Atau mungkin Bu Miska yang ingin tahu tentang Andro, silakan nggih, Bu Miska. Tidak usah sungkan."
"Dan keputusan kami serahkan sepenuhnya pada Ustadzah Salma. Kami tidak akan memaksa, sekalipun kami inginnya Ustadzah menerima." Papanya menutup pembicaraan.
"B-baik, Bu, Pak, M-Mas A-An-Andro."
Susah payah Salma menyebut nama laki-laki yang tiba-tiba datang melamarnya. Yang kemarin malam menyelamatkan harga dirinya. Yang selalu memanggilnya Salma saja. Yang kalau berbicara seringkali lepas saja seolah mereka sudah kenal sejak lama. Satu-satunya laki-laki yang datang sepanjang umurnya. Yang menyatakan diri mau menjaganya, juga menerima apapun keadaannya.
Ingin bersu'uzon, tapi ia tak bisa. Ingin bersikap biasa, apa daya hatinya sudah berdesir-desir hebat sejak laki-laki itu menjawab kepedihan dan kerendahdiriannya dengan permintaan yang baginya tak sederhana.
Kalau bukan mengingat Sang Pencipta, Sang Maha Pembuat Rencana, tentu Salma ingin menjawab saat itu juga. Tapi tidak. Ia masih ingin bermunajat, memohon petunjuk Allah sebelum mengambil keputusan. Sebab jawabannya tak hanya akan mempengaruhi hidupnya saat ini, melainkan selamanya.
***
Esok paginya Salma melakukan aktivitas seperti biasa. Ia baru saja sampai di tempatnya bekerja. Ini pekerjaan keempat yang dia ambil sejak liburan semester tiba. Kali ini ikut borongan menjahit seragam untuk satu yayasan pendidikan besar di Surabaya. Salah satu donatur panti yang juga pemilik konveksi menawarinya untuk pekerjaan tersebut. Tak lama, hanya sekitar enam hari saja.
Baru mau menaruh tas di loker, gawainya bergetar. Salma mencoba mengingat deretan nomor yang tertera di layar, tapi sama sekali tak ada gambaran. Ia tak terbiasa mengangkat telepon dari nomor yang tak ia kenal.
Baru setelah panggilan ketiga, ia terpaksa mengangkatnya.
"Assalamualaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam. Sal, ini aku, Andro. Tolong internetmu diaktifin ya."
Tut tut tut.
Cuma begitu, tapi sudah membuat Salma belingsatan. Bukan apa-apa, ia masih bertahan untuk tak membeli pulsa. Uangnya belum memungkinkan, sebab masih ia simpan untuk kebutuhan yang lebih penting, salah satunya transportasi menuju tempatnya bekerja. Rasanya mau menangis saja.
Gawainya berbunyi lagi, kali ini SMS yang ia terima. Dua dari provider sim card, satu dari nomor yang baru saja meneleponnya. Ya, nomor handphone Andro.
[Assalamualaikum Sal. Ini Andro. Sorry, jgn mikir yg enggak2, suuzon, ngerasa gimana2, dsb. Tp pulsamu udah kuisi. Bukan gratifikasi. Aku cm pgn ngobrol dikit. Internetmu aktifin ya]
Ya Allah, sampai begini. Salma malu sekali. Andro sampai harus mengiriminya pulsa. Astaghfirullah.
Mau tak mau Salma mengaktifkan internet di gawainya. Sudah, itu saja. Tak mengabarkan juga pada Angkasa Andromeda setelahnya. Dan tak perlu juga, sebab begitu paket datanya aktif, pesan-pesan dari Andro meluncur bagai panah asmara. Halah.
[Pertama, Alhamdulillah krn pesanku terkirim juga]
[Kedua, kamu kerja sampe jam brp?]
[Ketiga, shareloc ya. Mulai hari ini aku yg antar jemput kamu]
[Tenang. Aku gak sendiri. Bs sm bu jani, mama, atau mb. rea]
[Aku bukan mau mempengaruhi keputusanmu ya. Tp kl kamu jd terpengaruh untuk bilang iya, that's better. *emoji tertawa jejer tiga]
[Keempat, kita gak sdg belajar berhitung. Jd udah ya, gak usah pakai 1,2,3,4 langsung aja terima lamaranku]
Salma tersenyum sendiri membaca satu demi satu pesan yang baginya lucu. Tak satupun ia balas. Sebaliknya, Salma buru-buru menyimpan handphone dan memulai pekerjaannya.
Sampai ia bersiap pulang, Salma tetap tak membalas, apalagi shareloc. Salma memilih berlalan kaki sampai jalan besar, lalu naik angkot dari sana. Dia tak mau menambah kerepotan bagi sang calon suami.
Calon suami? Hmm. Salma tersenyum sendiri. Blushing.
Din din. Suara klakson mobil terdengar, Salma yang sudah berjalan di pinggir makin menepikan langkahnya. Tapi mobil itu seperti sengaja membuatnya tak bisa bergerak. Malah berhenti, mengunci langkahnya yang terhalang pohon akasia.
Kaca mobil sebelah kiri turun perlahan, "Naik, Sal. Ada mama, kok."
Ragu-ragu. Salma terpaksa naik, karena mobil di belakang membunyikan klakson. Tapi ia tak menemukan mama Andro ada di dalam mobil. Salma jadi gelisah.
"Tenang, aku nggak akan nyulik kamu. Mama di indongarep depan situ, tadi tisu mobil habis. Aku lho diomelin panjang lebar," sambut Andro, berusaha menghapus kecanggungan dan kegelisahan Salma kepadanya.
Salma diam saja. Ia baru merasa lega setelah benar-benar bertemu Bu Tami. Senyumnya mengembang seketika, lalu memilih pindah duduk bersama calon ibu mertua.
"Maaf ya, Ustadzah, tadi saya kasih nomornya Ustadzah Salma ke Andro. Anaknya resah dan gelisah, sampai maksa saya kasih nomor HP, Ustadzah. Maaf ya, Ustadzah, terpaksa saya kasih. Andro itu ngeyelnya nggak ada lawan." Mama Andro berkali meminta maaf, merasa tak enak hati.
"Niat Andro kan baik, Ma." Selain juara ngeyel, dia juara ngeles juga rupanya.
"Termasuk maksa-maksa mama buat nemenin jemput Ustadzah Salma, kan?"
"Ya itu juga baik, kan, Ma. Daripada kejadian kayak kemarin, kan mending Andro yang antar jemput. Andro nggak rela calon istri Andro digodain cowok-cowok berandalan di luaran sana. Kalau sama Andro kan aman. Andro nggak nakal, nggak suka godain cewek. Kalaupun jemput Salma juga minimal ada Mama, Bu Jani, atau Mbak Rea." Ngeles aja.
Wajah Salma memerah, sudah macam kepiting rebus. Andro mencuri tatap dari rear view mirror. Sesungging senyum muncul di wajah gantengnya. Ia optimis, bisa mencintai Salma lebih dari perasaannya terhadap seorang Zulfa Nurulita. Tentunya jika Salma mau menerima maksud baiknya.
Maka ia tak malu-malu dan tak sungkan-sungkan menunjukkan maunya. Sudah tahu rasanya menyayangi tanpa bisa memiliki. Kali ini ada kesempatan di depan mata, ia tak mau melewatkannya begitu saja. Bukankah belajar mencintai setelah halal katanya jauh lebih menyenangkan?
Traffic light menyala merah. Mobil berhenti. Andro berbalik, menatap Salma tanpa aba-aba.
"Jadi, kira-kira kamu mau jawab lamaranku kapan, Sal?"
Salma geragapan. Menunduk dengan tangan gemetaran. Jangan tanya hatinya, penuh dengan dentum meriam, layaknya peperangan saat Konstantinopel ditaklukkan.
"S-saya. Emm..., in-insya Allah b-besok malam ya, B-Bu Tami."
Bahkan menyebut nama Andro saja Salma tak sanggup, saking malunya. Tapi Salma bahagia. Allah mengizinkannya merasakan sesuatu yang ia kira tak akan pernah ia rasakan. Sebab latar belakangnya. Sebab nasabnya. Juga nasibnya.
***
Ciee, Dek Galaksi udah one step closer niiih. Eaaak....
Sebenernya baru mau update besok. Tapi karena iseng bikin tebak-tebakan di story ig, yg kalau lebih banyak jawaban benar aku mau kasih bonus update Move On, dan ternyata jawabannya memang banyakan yg benar, jadilah....
Btw, aku sebenernya nggak gitu tau lagu-lagu zaman now. Tau lagu Budi Doremi itu dari anak sulungku. Aku malah tadinya ketawa waktu tau nama penyanyinya. Lucu. Terus pas coba simak liriknya, eh kok menyentuh banget. Pas bener sama Andro ke Salma. Kudengerin berulang-ulang, malah aku yg nangis. Kalau kata Dek Galaksi, "Wis tuo kok gembeng." Hahaha...
Ya sudah, pokoknya gitu. Terima kasih dan maafkan daku. InsyaAllah besok kita tetap ketemu (lagi) karena aku memang berencana update Senin dan Kamis.
See you :)
Jawa Timur, 04042021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top