49. Kerinduan
Ujian akhir semester menyita waktu, tenaga, dan pikiran seorang Angkasa Andromeda. Jelas saja, sebab urusan kuliah menjadi salah satu prioritas teratas bagi hidupnya.
"Mas perlu sesuatu?" Andro terkejut kehadiran Salma yang tiba-tiba. Salma terkikik geli melihat ekspresi suaminya.
"Maaf, lagi serius banget ya, Mas? Serius belajar apa serius ngelamun mbaknya?"
Salma sudah sejak beberapa belas menit lalu mengamati Andro. Laki-laki itu memang terlihat serius menatap buku —berisi latihan soal, dan memegang pensil, tapi tak ada gerakan sama sekali. Entah mengantuk atau melamun, yang jelas bukan sedang fokus pada apa yang dipelajari. Salma yakin itu.
"Bukan semua, Sal. Aku cuma capek." Hampir dua pekan Andro berkutat dengan ujian. Salma sendiri heran, Andro yang selalu serius soal kuliah dan tak pernah absen memenuhi tugas, masih mau-maunya belajar keras untuk UAS. Menurut Salma sendiri, seseorang dengan tipikal seperti suaminya harusnya sudah lebih santai menghadapi ujian. Bukan tetap menguras tenaga dan pikiran untuk belajar.
"Sal waktu masih kuliah dulu, kalau udah hari-hari ujian ya belajarnya secukupnya aja. Kan udah sehari-hari diulang-ulang. Ada praktikum, laporan, tugas, itu juga kan buat pendalaman."
"Iya sih, harusnya juga gitu. Dulu pun aku gitu. Cuma..., semester ini memang fokusku banyak terbagi. Aku agak banyak ninggalin kelas, pernah telat ngumpulin tugas, merasa jam belajarku berkurang juga. Banyak urusan lain yang harus aku pikirkan juga."
"Pasti gara-gara nikah sama Sal, ya?" Suara Salma menghilang bersama sinar wajahnya yang meredup.
"Ya nggak gitu, Sal. Jangan sensi, ah. Namanya udah menikah sama masih bujang ya beda yang dipikirkan. Aku juga udah balik ke papa mama kan, Sal, jadi apa-apa yang mesti didiskusikan papa mama sama aku dan mungkin Mbak Rea, aku juga mau nggak mau harus ikut terlibat. Nggak kayak dulu, jadi anak hilang yang nggak peduli keluarga.
"Tenang aja, Sal. Memang capek, tapi aku menikmati semua ini, kok. Sebenernya nggak mati-matian belajar gini juga aku bisa ngerjain. Ini cuma buat menambah keyakinan aja, memaksimalkan usaha, dan biar dicap rajin juga sama ibu mertua." Andro cekikikan, Salma tidak.
"Mas kan bisa minta Sal buat mijitin atau apa. Tiap hari juga Sal siap. Pengin makan atau minum apa, kalau Sal udah tidur juga tinggal bangunin Sal aja. Sal pasti dengan senang hati melayani Mas. Atau mungkin..., Mas masih menganggap ada jarak diantara kita?"
"Lebay, ah." Andro terkekeh. Mengetukkan telunjuk pada hidung mancung istrinya.
"Ya udah, kalau gitu aku mau susu ya, Sal," katanya lagi.
"Susu apa?"
"Hemm..., ustadzahnya mama mancing-mancing nih yaaa." Andro menjentikkan jarinya lagi, kali ini turun ke area dada.
Mata mereka saling beradu. Andro mengedip, menggoda Salma. Yang digoda cemberut, lalu merajuk dengan manja. "Maksud Sal tuh, susu coklat, susu madu, atau susu jahe, gituuu."
Andro tertawa. Diletakkannya pensil, kemudian menutup bukunya. Dia berdiri, merangkul pinggang Salma. Berdua menuju dapur, menemukan Bu Dita sedang duduk termenung di salah satu kursi yang letaknya memunggungi mereka. Kelihatannya sedang khusyuk, hingga kehadiran anak dan menantu tak disadari olehnya.
Salma berhenti tepat di belakang ibunya. Mengamati sejenak apa yang beliau lakukan. Dia menelan ludah, menahan keharuan. Ibunya sedang memandangi sebuah foto usang. Selembar foto keluarga yang pernah Salma lihat pada deretan frame foto di rumah Opa Johan. Salma langsung tahu tanpa perlu bertanya. Seperti dia yang pernah bertahun-tahun merindukan kehangatan keluarga, ibunya pun pasti merasakan hal yang sama.
"Ibu rindu oma, opa, dan Tante Sara?" Dengan hati-hati Salma menyentuh bahu ibunya. Begitu Bu Dita sadar akan keberadaannya, Salma merengkuh sang ibu dalam dekapnya. Keduanya menangis bersama.
Andro diam saja. Hanya tangannya yang terulur, mengusap lembut punggung istrinya. Setelah peluk dan tangis anak beranak itu mereda, Andro mengambilkan dua gelas air hangat untuk istri dan ibu mertua.
"Salma," panggil Bu Dita.
"Iya, Bu."
"Maafkan ibu, ya."
"Sal udah maafkan Ibu dari dulu. Ibu rindu, ya?" Bu Dita mengangguk. Disusutnya kembali bening yang kembali menggenangi netra.
"Maafkan ibu, pernah membuatmu merasakan sakitnya menahan rindu. Ibu yang pernah punya masa-masa bahagia bersama mereka saja rasanya sesak sekali ketika kerinduan itu hadir tiba-tiba. Apalagi kamu, Nak, yang sejak bayi tidak pernah merasakan kehangatan keluarga. Maafkan ibu ya, Nak. Maafkan ibu."
Nerudita kembali memeluk Salma. Tangisnya tumpah, isaknya tak lagi bisa ditahan. Ada nyeri yang menusuk-nusuk ulu hati, membayangkan masa kecil bahagia yang tak pernah dicecap oleh Salma.
"Sal nggak apa-apa, Bu. Allah yang Maha mengatur semuanya. Kalau sejak kecil Sal punya segalanya, mungkin saat dikasih keluarga yang baik dan kisah hidup seperti sekarang ini, Sal nggak akan merasa sebahagia ini saat menerimanya.
"Kalau dulu Ibu nggak tinggalkan Sal pada Bu Miska, mungkin Sal nggak pernah kenal Allah, nggak pernah ikutin ajaran Rasulullah, nggak kenal Al Qur'an, nggak kenal keluarga Bu Utami, dan nggak kenal sama Mas Andro. Sal terima kasih banyak sama Ibu, sudah mau mempertahankan Sal, dan melahirkan Sal ke dunia ini. Sal bahagia, Bu. Sangat bahagia. Jadi, Sal nggak mau lihat Ibu sedih lagi. Sal nggak mau lihat Ibu nangis lagi."
Salma menciumi kepala ibunya. Memandangi helai-helai rambut keperakan yang mulai tersebar di sana. Berjuta syukur memenuhi hatinya. Dia bahagia.
"Udah ya, Bu, kasihan Mas Andro. Dia pasti pengin ikut nangis, tapi malu. Masa calon papa ikut mengharu biru. Ya kan, Mas?" Andro terkekeh. Dipandanginya mata bening Salma yang dulu begitu dihindarinya.
Makin hari mata bening itu makin jauh lebih indah dari mata si anak kucing lucu. Yang ini beda. Beningnya seperti intan permata. Keras, tegas, dan sangat berharga. Beningnya seperti mata air surga. Sejuk dan menghilangkan dahaga. Andro tersenyum sendiri dengan apa yang ada di dalam hatinya. Salma memelototi, curiga dengan senyum suaminya.
"Mas Andro." Bu Dita memanggil.
"Iya, Bu, gimana?"
"Mas Andro kan hari ini selesai ujian, ya?" Andro mengangguk. "Ibu minta izin ya, nanti sore atau besok pagi ibu mau pulang dulu ke Surabaya. Ada yang mau ibu sampaikan ke Bang Iksa dan Mbak Tami."
"Ini tentang keluarga opa kah, Bu?" tanya Salma. Ibunya mengangguk.
"Bang Iksa dan keluarga Om Jaya —eyangnya Andro, kan pernah bilang, baru akan memberi tahu mama dan Sara setelah hubungan ibu dan Salma sudah cukup dekat, karena ketika menyampaikan kabar tentang ibu, harus sekalian juga menyampaikan kabar bahwa ibu punya putri cantik yang jadi menantu Bang Iksa. Dalam hal ini Bang Iksa dan Om Jaya benar, karena memang kisah ibu dan Salma ini nggak bisa dipisah menyampaikannya.
"Ibu rindu sama mama, sama Sara. Papa juga, tapi sudah nggak bisa." Mata Bu Dita kembali basah. Teringat pertengkaran demi pertengkarannya dengan sang papa. Dua orang berikatan darah, dengan sifat keras yang sebelas dua belas.
"Iya, Bu. Sal sangat setuju. Sal juga ingin kenal sama oma, sama Tante Sara, sama saudara-saudara sepupu yang ternyata Sal punya." Wajah Salma terlihat begitu ceria membayangkan pertemuannya dengan oma, tante, paman, juga anak-anak dari kakak kandung mamanya.
"Andro juga setuju kalau Ibu mau pulang ke Surabaya, tapi nanti lihat dulu gimana urusan Andro di kampus ya, Bu."
"Mas kok gitu, sih?" desis Salma sambil menatap tajam suaminya.
"Iya. Memang ini hari terakhir, tapi sebagai ketua angkatan kadang masih diminta bantuan dosen atau teman-teman soal tugas yang belum lunas, cek-cek absen, dan semacamnya."
"Ya itu juga kan nggak harus ada ibu di sini, Mas. Sal sendiri di rumah juga nggak apa-apa, kok."
"Nggak apa-apa, Salma. Ibu juga nggak buru-buru kok. Besok-besok juga nggak apa. Kalaupun Mas Andro ada urusan semacam itu, paling kan nggak lama. Satu dua hari juga selesai." Bu Dita menengahi.
"Maksudku juga bukan begitu, Sal. Aku pastikan dulu udah nggak ada tanggungan apa-apa. Kalau udah fix aku bener-bener free, kita bertiga pulang ke Surabaya."
Ternyata niat Andro baik. Salma jadi malu sudah salah paham dan berprasangka buruk pada suaminya.
"Sal sekarang suka sensi kalau sama Andro, Bu. Andro minta susu aja dia mikirnya langsung ke mana-mana." Andro dan Bu Dita kompak tergelak. Wajah Salma sontak memerah. Malu sekaligus kesal. Sebuah tutup gelas melayang ke arah Andro, disusul alasnya, dan diakhiri dengan sendok yang mendarat di dekat sikutnya.
Andro bangkit dan mendekati Salma, mendekap si istri cantik yang lantas terisak-isak di dadanya. "Mas Andro jahat, bikin Sal malu di depan ibu. Huhuhuu."
***
Andro, Salma, dan Bu Dita tiba di Surabaya menjelang tengah malam. Antariksa yang menyambut mereka. Utami sendiri belum tidur, sedang sibuk di dapur. Berlima kemudian menikmati sup kepiting jagung buatan mama Andro.
"Capek, Ndro?" tanya mamanya.
"Dikit, Ma. Aman kok, ada Sal yang siap mijitin plus plus."
Salma menghentikan suapan, menoleh dan menatap nyalang pada Angkasa Andromeda. Dia tak pernah suka Andro bercanda yang agak dewasa di depan orang lain. Malu.
"Iya. Maaf," bisik Andro sambil menepuk-nepuk pelan paha Salma.
Mama, papa, dan Bu Dita berpura-pura tak terjadi apa-apa. Papa memilih untuk langsung masuk ke topik pembicaraan saja.
"Besok lagi lah, Ik. Udah tengah malam gini. Kasihan anakmu, nyetir sendiri lho dia. Salma juga lagi hamil. Dita juga, udah setua kita, pasti lebih capek dari yang anak-anak muda." Mama Andro mengingatkan. Yang dibantah oleh Andro, Salma, dan Bu Dita.
Semua bersepakat melanjutkan obrolan malam itu juga. Tidak panjang lebar, sebab pokok bahasannya juga sudah jelas. Nerudita ingin berhubungan kembali dengan ibu dan kakaknya. Jika keduanya berkenan, Dita yang akan terbang ke Madrid. Dia juga butuh piknik setelah berpuluh tahun menjalani kehidupan yang keras dan memprihatinkan.
"Ibu mau ke sana sama siapa? Spanyol jauh lho, Bu." Sejujurnya Salma tidak setuju ibunya bepergian jauh sendirian. Tapi kalau omanya yang harus ke sini, rasanya lebih kasihan lagi.
"Ibu sudah pernah menjalani kehidupan yang keras, Nak. Kalau hanya duduk manis di dalam pesawat, ibu masih lebih dari mampu, insya Allah. Ada Mas Andro yang pasti mau mengantar ibu sampai bandara di Jakarta. Ada Sara yang ibu yakin akan dengan senang hati menjemput ibu di Madrid sana. Salma tenang saja, Nak. Insya Allah ibu aman. Ibu janji akan cepat pulang. Ibu kan mau nungguin cucu ibu lahir."
Sampai detik ini, Salma masih belum tahu detail tentang kisah hidup ibunya. Dia juga tak ingin tahu, seperti yang Andro bilang bahwa sebaiknya dia tak usah tahu saja. Tapi Salma yakin seratus persen, terlepas bagaimanapun masa lalunya, ibunya adalah seorang perempuan tangguh yang memiliki keberanian luar biasa.
"Perlu bantuan buat tiketnya, Dit?" Tak pakai basa-basi. Tak ada yang berubah dari kebiasaan Antariksa dan Nerudita, bahkan setelah terpisah sekian lama.
"Insya Allah ada, Bang. Belum pasti juga kapan perginya, kan. Aku masih ada tabungan kok, memang nggak banyak, tapi semua kudapat dengan cara halal, Bang. Rumahku yang di Banyuwangi juga kemarin udah laku. Alhamdulillah. Nanti aku ambil secukupnya buat aku. selebihnya untuk Salma." Bu Dita menoleh kepada anak perempuannya.
"Tolong jangan ditolak ya, Nak. Ibu nggak pernah kasih apa-apa buat kamu, bahkan nama pun tidak. Maafkan ibu." Belum 24 jam, Bu Dita sudah menangis untuk kesekian kali. Andro sampai capek sendiri. Dia tak terlalu suka berada di posisi mengharu biru begini.
"Udah sih, nggak usah melow-melow begini. Terserah Salma saja mau terima atau nggak, Dit. Kamu juga nggak perlu memaksa." Antariksa berpendapat.
"Tapi semua itu udah nggak berarti buat aku, Bang. Yang paling penting, Salma menerima aku sebagai ibunya. Bahkan semua yang kudapatkan ini melebihi harapanku. Salma malah mengajakku tinggal sama dia. Mas Andro juga nggak keberatan untuk itu. Jadi..., apalagi yang harus aku gondelin, Bang? Nggak ada. Aku secukupnya saja."
"Udah udah, nggak usah bahas itu dulu, lah. Intinya kita semua udah sepakat untuk menyampaikan ke Tante Luci dan Mbak Sara kalau Dita udah kembali. Juga ngasih tahu tentang Salma, hubungannya dengan Dita, dengan Andro, dengan kita. Soal siapa yang mau ke sana atau dari sana yang mau ke sini, itu besok lagi kalau udah clear, udah ketemu dan ngobrol dengan pihak Tante Luci dan Mbak Sara."
Utami menengahi. Kadang dia merasa terganggu kalau suami dan besannya sudah mulai berdebat. Mereka suka lupa kalau sekarang sudah sama-sama menua, bukan lagi anak muda yang masih wajar jika ingin menang mempertontonkan kemauan masing-masing.
"Okay, Tam. Sorry. Aku tanya begitu tadi maksudku baik, bahwa aku siap bantu Dita. Kalau perlu kita---" Antariksa mengajukan pembelaan diri.
"Nggak semua orang suka, mau, dan butuh dibantu, Ik. Kamu mana tahu kalau---"
"Udah malem, nih. Andro tadi nggak capek, tapi sekarang jadi capek. Sorry. Kalau Mama, Papa, sama Ibu mau melanjutkan perdebatan nggak penting ini, silahkan. Andro sama Salma izin istirahat dulu."
Utami memotong pembicaraan Antariksa. Andro balas memotong pembicaraan mamanya. Kemudian hening. Semua diam, kecuali Andro. Dia berdiri, menarik tangan Salma, dan mengajaknya pergi.
"Kami permisi. Assalamualaikum."
"Tunggu, Ndro." Andro berhenti, tanpa menoleh sedikitpun. Tidak dengan Salma, yang merasa berdosa seakan tidak pernah diajarkan bagaimana adab kepada orang tua.
"Papa minta maaf, tapi tadi papa belum selesai bicara. Biar papa lanjutkan, sedikit lagi saja. Bahwa papa siap bantu Dita, kalau perlu..., kita bareng-bareng ke sana."
"Ehk." Andro refleks membalik badan. "K-ke sana mana maksudnya, Pa?"
"Ke Madrid. Kalau perlu keliling Spanyol, atau malah Eropa. Kita ajak Rea dan Dimas. Sudah empat tahun lebih kita sekeluarga nggak pernah liburan, apalagi ke luar negeri. Papa yang tanggung semuanya. Anggaplah sebagai tebusan atas segala kesalahan papa pada kalian. Gimana? Tam?" Antariksa mencari persetujuan istrinya. "Deal?"
Andro mendadak terpaku. Ingatannya terseret pada masa-masa bahagia sebelum papanya "gila". Minimal setahun sekali, jalan-jalan ke luar negeri menjadi agenda tahunan keluarga Antariksa. Empat tahun ternyata waktu yang lama. Andro sudah lupa rasanya.
"Andro." Papa dan mama bersamaan menyebut namanya.
"Mas." Salma meremas jemari yang masih menggenggam erat tangan kanannya. "Mas kenapa?"
"Eh, ng-nggak. Aku nggak apa-apa, Sal."
"Gimana, Ndro?" Papanya mendekat, mencengkeram bahu anak laki-lakinya dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf, Pa. Andro cuma berusaha mengingat tentang liburan keluarga. Andro sudah lupa rasanya."
***
Nah, kan. Udah lama nggak update, eh endingnya nanggung gini. Hihi...
Menurut kalian, Andro ini senang, sedih, apa udah mati rasa, nih?
Btw, mohon maaf banget karena Move On absen lama sekali. Sudah pernah kubilang kan, aku kehilangan arah. Haha... Mohon dimaklumi yaaa.
Terima kasih banyak utk yg masih setia menanti. Semoga update kali ini bisa sedikit mengobati kerinduan sama si pasangan 'baik-baik saja' ini.
Kuusahakan untuk nggak bolos-bolos update lagi. InsyaAllah.
See you :)
Semarang, 09122021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top