45. Keinginan

Happy reading :)

Nggak pakai lagu-laguan, lagi nggak punya earphone/headset. Haha...

***

Tanpa pikir panjang Andro segera meluncur ke rumah sakit. Tangan kirinya menggosok-gosok paha dan tangan Salma bergantian, sesekali menggerakkan tuas persneling sambil menggumamkan kekesalan sebab di saat-saat genting begini masih harus menginjak kopling dan memainkan persneling.

Sampai di depan lobi rumah sakit Andro berteriak memanggil sekuriti, yang segera bertindak sesuai prosedur. Andro memberikan kunci pada petugas, tak peduli itu valet parking atau satpam atau apapun, Salma harus segera ditangani, dan dia harus berada di samping sang istri.

Begitu Salma tertangani, Andro sedikit lega. Dia hanya bisa memandangi karena tak sedikitpun paham soal medis. Penyesalannya datang saat mengingat Salma yang histeris setelah mendengar perkataannya tadi. Yang diteriakkan Salma tadi benar semua. Adakalanya seseorang butuh melepaskan emosinya, asalkan pada tempat atau orang yang benar, apa salahnya?

Jalan hidup yang Salma lalui tidak mudah, bisa menjadi seperti sekarang ini saja sudah sesuatu yang istimewa. Bisa selama itu sendirian memendam emosi, sudah menjadi sesuatu yang patut diapresiasi. Lagipula yang dilakukan Bu Dita memang kurang bijak, sangat wajar kalau Salma sampai pada titik mengambil sikap apatis akan ibunya.

"Astaghfirullah hal adzim."

Mata Andro terasa panas, lalu pandangannya memburam, disusul kedua pipinya yang basah. Andro menangisi kesedihan Salma. Menangisi kebodohannya. Menangisi penyesalannya.

Sal, kamu harus sehat. Kamu harus sembuh. Aku masih perlu kamu. Dan akan selalu memerlukanmu. I love you, Sal. I love you. Andro tergugu, menatap Salma yang masih tergolek tak berdaya dikelilingi tiga tenaga medis yang sedang memeriksa.

Gawai Andro berbunyi, panggilan dari mamanya. Dia bahkan lupa kalau tadi sedang dalam misi mengejar sang ibu mertua.

Tak menunggu mamanya bicara, Andro mendahului angkat suara. "Andro di rumah sakit, Ma. Salma pingsan. Kalau Bu Dita maunya pergi, ya sudah biarin aja, Ma. Salma masih punya Andro. Salma dari dulu juga nggak sama Bu Dita, besok-besok nggak sama Bu Dita juga insya Allah baik-baik aja."

Diakhirinya panggilan tanpa menunggu respon sang mama. Kemudian menonaktifkan handphone dan menyelipkannya ke dalam saku. Kalau saja bisa, dia ingin membanting saja gawainya agar tak perlu berurusan dengan apapun selain Salma.

"Mmas..., Mas Andro. Mas...."

Andro mendengar Salma menyebut namanya. Lirih, tapi sudah cukup membuat hati Andro meledak saking bahagianya. Dia masih menjadi yang pertama dicari istrinya. Hamdalah berkali-kali meluncur dari lisannya. Dihampirinya Salma secepat ia bisa.

"Ini aku, Sal. Kamu sehat ya, Sal. Kamu sembuh ya. Besok kita pulang, berdua saja, nggak usah ada orang lain kalau itu bikin kamu nggak bahagia. Aku sayang kamu, Sal. Aku cuma mau kamu bahagia," bisik Andro di kuping Salma. Suaranya bergetar.

Andro sendiri tak hendak menyembunyikan tangisnya di depan Salma. Dibiarkan saja air matanya berlelehan hingga membasahi jilbab Salma yang sebagian terbuka.

"Maafin Sal ya, Mas. Maafin Sal yang kekanakan. Maafin Sal yang---"

"Ssstt, nggak usah ngomong apa-apa dulu, Sayang. Suaramu lemah banget gitu, aku sedih dengarnya. Jadi kamu lebih baik diam dulu aja. Biar aku aja yang minta maaf sama kamu. Aku yang salah. Aku---"

"Mas, maaf. Bisa bicara sebentar? Ini tentang pasien." Salah satu petugas medis menepuk pundaknya. Andro mempersilakan, tetapi perempuan berjas putih itu mengajaknya menyingkir keluar.

Andro meminta izin pada Salma, sebuah anggukan lemah menjadi jawabannya. Salma ditinggalkan dengan seorang suster IGD berseragam hijau muda. Andro tak jauh-jauh, hanya terpisah tirai saja.

"Emm, jadi begini, Mas. Kondisi pasien insya Allah tidak berbahaya, hanya shock dan emosinya sedang kurang stabil saja. Cuma..., saat ini kondisi pasien sedang hamil muda, Mas." Dokter itu setengah berbisik.

"Lha memang, Dok. Salma lagi hamil, saya yang menghamili." Kalimat Andro sudah tak sesuai tatanan norma.

Dokter muda itu menahan tawa. "Maaf, maksudnya..., Mas suaminya pasien, kah? Mas dan mbaknya sudah menikah?"

Andro mengangguk. Sesungging senyum tergores di wajahnya. Kecut.

"Astaghfirullah hal adzim. Maafkan saya ya, Mas. Tadi sempat berprasangka saat mengetahui pasien sedang hamil muda."

"Eh, maksudnya..., saya sama Salma dikira masih pacaran, gitu? MBA dong?" Andro antara kesal dan ingin tertawa.

Dokter itu tersenyum. "Mas dan mbaknya masih kelihatan sangat muda. Maafkan kalau saya salah menilak. Emm..., kalau boleh tahu, memangnya menikah umur berapa?"

"Sembilan belas, Dok."

"Baiklah." Dokter itu mengangguk-angguk, masih sambil tersenyum.

"Tapi janinnya baik-baik saja kan, Dok?"

"Insya Allah demikian. Nah, kalau saya sarankan untuk rawat inap, apakah bersedia?" tanya Bu Dokter lagi.

"Apa saja, Dok, untuk kebaikan istri saya." Andro sengaja menekankan kata istri saya.

"Alhamdulillah. Biar Mbak..., Salma ya namanya?" Andro mengangguk.

"Biar Mbak Salma bisa istirahat total untuk sementara waktu. Terutama pikirannya. Kelihatannya sedang banyak yang mengganggu pikiran Mbak Salma."

"Iya, Dok. Ibunya baru meninggal kemarin pagi. Lagi sedih-sedihnya, ibu kandungnya malah pergi." Lah, kok aku ember gini, sih? Andro keceplosan, berharap dokter tidak bertanya lebih lanjut.

"It's okay, sangat bisa dimaklumi." Dokter itu tersenyum lagi. Rasa ingin tahu atas ucapan Andro barusan tentu saja ada, tapi kode etik dan profesionalisme harus tetap dijunjung tinggi.

"Baiklah, Mas bisa urus administrasi dulu. Setelah beres, pasien akan segera dipindahkan ke ruang rawat inap."

Andro mengiyakan, selanjutnya bergegas menyelesaikan urusan administrasi. Memilih kamar di kelas terbaik untuk Salma. Sekali lagi dia bertekad, Salma harus bahagia bersamanya.

"Mas," panggil Salma lemah. Dua orang suster baru saja keluar dari ruangan tempat Salma dirawat.

"Iya, Sal. Gimana?"

"Mama sama papa, gimana?"

Astaghfirullah, aku tadi belum kasih tahu rumah sakit mana. Bisa berabe nih kalau Sal tahu.

"Eh, udah sih, Sal. Tadi sih udah kukabari. Coba kukabari lagi ya."

Andro hendak menelepon di luar, tapi Salma mencegah. Dia ingin ikut mendengar. Andro terpaksa mengabulkan. Ditundanya sebentar dengan alasan mengecek pesan-pesan dahulu.

[Salma kenapa? Di RS mana?]

[Ndro, jangan dioffin hpnya!]

[Ndro, jawab mama!]

[Ndro?]

[Andro!!]

[ANGKASA ANDROMEDA!!!]

Rentetan pesan dari mamanya seperti teror yang datang bertubi-tubi. Andro membalas, memberitahu nama rumah sakit tempatnya berada saat ini, lengkap dengan nama dan nomor ruang tempat Salma dirawat. Juga mengemukakan alasan agar mama tak membuat Salma jadi cemas.

[Maaf, Ma. Lowbat tadi.]

Andro terpaksa berbohong.

[Sal harus dirawat di RS, Ma. Ini baru masuk ruang rawat. Andro telpon, tp mama jgn heboh ya. Kasian Salma kl makin down.]

Belum sampai menelepon, mamanya lebih dulu melakukan panggilan

"Kamu gimana sih ngejaga Salmanya? Kami ke sana!" Singkat, padat, jelas, dan tegas.

"Ibu..., udah ketemu, Mas?" Salma ingin tahu.

"Belum tahu, Sal. Tadi HP kumatikan. Nanti tunggu mama papa datang aja ya infonya." Salma mengangguk, masih lemah.

"Kamu pengen apa? Makan, minum, atau apa?" Salma menggeleng. Andro menyuruhnya beristirahat saja.

"Sal." Salma menoleh, memandang Andro yang memanggilnya.

Andro mendekat, menempelkan keningnya pada kening Salma. "Maafin aku ya, Sal. Aku baru menyadari kesalahanku pas kamu pingsan tadi. Yang kukatakan tadi memang kurang pas, kurang bijak. Kamu jangan bilang pengen ikut Bu Miska lagi ya, Sal. Kami, aku dan anak kita, masih membutuhkan keberadaanmu, Sal. Jangan bicara sembarangan lagi ya. Kalau kamu sedih atau marah, luapin ke aku aja, tapi jangan bicara sembarangan. Aku sayang kamu, Sal. Sayang banget."

Setetes hangat membasahi kulit wajah Salma. Suaminya menangis lagi. Dengan tangannya yang tidak terikat selang infus Salma mengelus pipi Andro. Menyampaikan maaf, juga terima kasih tak terhingga.

Pintu diketuk dari luar, lalu terbuka tanpa menunggu si pemilik kamar. Setengah berlari mama menghampiri menantunya, memeluk dan mencium kedua pipi Salma. Andro bergeser, mendekat pada papanya.

"Mama jangan marah-marah lho ya, nanti Sal sedih. Sal harus tenang hatinya. Kalau mau marahin Andro, nanti aja pas di luar atau pas nggak ada Sal," pesan Andro sebelum mamanya sempat mengeluarkan sepatah kata.

Mama mencebik. Dilepaskan peluknya dari menantu perempuan yang dia sayang seperti anak sendiri.

"Ibu?" tanya Salma pada mama mertua.

Mama tak menjawab. Papa merogoh handphone dari saku jeansnya.

"Yu, langsung samperin Dita aja. Bilang kalau anaknya masuk rumah sakit, terus kamu hubungi saya, biar saya yang ngomong sendiri sama dia," perintah Antariksa pada Wahyu.

Dari seberang terdengar jawaban, "Baik, Pak" Pembicaraan lantas diakhiri.

"Nggak usah terlalu mikirin ibumu dulu, Sayang. Insya Allah kalian bisa ketemu dan bareng lagi. Nanti biar papa marahin kalau udah di sini."

Salma terkekeh lemah. "Nggak usah, Pa. Mas Andro aja yang dimarahin kalau pergi nggak pamit, gitu."

Semua tertawa. Andro paling lega, karena Salma sudah bisa bercanda.

Suara dering handphone papa menyela tawa canda mereka. Dari Wahyu.

"Gimana, Yu?"

"Iya, Pak. Ini saya dengan Ibu Dita."

"Oke. Saya mau bicara sama dia."

Tak ada jawaban, hanya bisik-bisik terdengar dari seberang.

"Assalamualaikum, Bang. Anakku gimana, Bang? Bang Iksa sama Salma, kah?" Suara di seberang terdengar panik. Isak dan hela napas susul menyusul.

"Waalaikumussalam. Hemm..., anakmu, ya? Memangnya ibu macam apa yang meninggalkan anaknya di saat si anak membutuhkan pelukan ibunya? Dan kamu melakukannya dua kali, Nerudita!" Antariksa menahan geram.

"Iya, Bang. Aku salah. Apa Salma sudah nggak mau ketemu aku lagi, Bang? Aku mau ke situ, Bang. Aku mau minta maaf sama Salma, Bang. Tolong, Bang."

Salma memejam mendengar percakapan itu dari loudspeaker yang diaktifkan. Dengan sigap Andro mendekat, menguatkan istrinya lewat genggaman tangan.

"Nggak apa-apa, Pa. Biar ibu ke sini."

Salma tak tega mendengar ucapan papa mertua kepada ibunya. Bagaimanapun Bu Dita adalah ibunya. Kalaupun Bu Dita ingin pergi lagi darinya, setidaknya Salma bisa memeluknya untuk terakhir kali. Dengan pelukan sebagai seorang anak kepada ibunya. Yang tidak ada jarak, tidak ada canggung, juga tidak ada rasa asing.

"Jangan memaksakan diri kalau hatimu akan tidak baik-baik saja, Sal. Kamu nggak harus menerima ibumu untuk saat ini. Yang paling penting keadaanmu. Kamu harus sehat dulu, tenang dulu." Mama mengingatkan.

Salma menggeleng. "Nggak, Ma. Sal baik-baik saja. Sal ingin ketemu ibu."

Papa menatap Andro, meminta pertimbangan dari anak laki-lakinya yang kini telah menjadi seorang kepala keluarga. Andro mengangguk. Dia yakin Salma memang menginginkan bertemu ibunya. Antariksa lalu mempersilakan Dita untuk menyusul mereka bersama Wahyu.

Tak lama kemudian pintu kembali diketuk dari luar, hanya saja kali ini tak langsung terbuka. Si pendatang menunggu dipersilakan. Andro hendak melangkah ke pintu, tapi....

"Mas, itu pasti ibu. Biar Sal aja yang buka pintu."

Tentu saja Andro dan mama papanya tidak setuju. Mama bahkan langsung mengomel mendengar kemauan Salma.

"Nggak apa-apa, Ma. Insya Allah Sal kuat. Biar Mas bantuin Sal, tapi Sal mau jadi yang pertama kali ibu temui, siapa tahu setelah ini ibu pergi lagi. Sal mau peluk ibu dulu. Selama ini Sal belum pernah memeluk ibu seperti yang dilakukan seorang anak kepada ibunya. Kalau setelah itu ibu mau pergi lagi, Sal udah rela. Sal ikhlas." Air mata Salma mengalir deras.

Andro tak berkata apa-apa lagi, dia membantu Salma turun dari tempat tidur, lalu memapahnya menuju ke pintu. Andro juga yang membuka dan mempersilakan ibu mertuanya masuk.

Nerudita berdiri mematung di depan anak perempuannya. Tak berani bicara, hanya memandang dengan sorot mata yang seakan mengungkapkan permohonan maaf serta rasa bersalah yang luar biasa.

Mata itu sembap, masih tersisa genangannya di sana. Salma pula berkaca-kaca, kemudian luruh, menjatuhkan diri memeluk kaki ibunya.

"Maafkan Salma, Bu. Maafkan Salma."

Ibunya merunduk. Tangis keduanya pecah. Saling memeluk seakan pertemuan-pertemuan sebelumnya tak pernah ada. Sebuah pelukan, sebagai seorang anak kepada ibunya.

Yang terjadi di depan mata meleset jauh dari yang Andro bayangkan. Dia tak ingin lagi menduga mengenai itu dan ini. Manusia membayangkan, merencanakan, tapi hanya Allah saja yang punya kuasa untuk menentukan.

Sempat berpikir rumit, sempat merencanakan yang sulit, pada akhirnya semua berakhir tanpa sedikitpun rasa pahit. Salma berubah pikiran dan bahagia, itu lebih dari cukup bagi Andro. Dalam hati Andro berjanji, semua rentetan kejadian dan sikap Salma yang tadi tak akan lagi dia ungkit-ungkit.

Di rumah sakit mereka hanya beristirahat beberapa saat. Salma tak jadi rawat inap. Menurut papa, bukan itu yang Salma butuhkan. Salma cuma butuh dikelilingi orang-orang terdekatnya, menjauh sebentar dari hiruk pikuk dunia luar, dan..., piknik!

Urusan administrasi tetap diselesaikan sebagaimana mestinya. Sebuah hotel bergaya resor di tepian pantai menjadi tujuan berikutnya. Tak cuma Salma, rupanya mama dan papa Andro pun sedang butuh bertamasya.

"Pa, ibu biar tidur sama Salma aja. Ini room-nya terlalu besar, udah kayak rumah malah," pinta Salma saat melihat penampakan room yang dipesan papa.

"Eh, Sal. Emm..., anu, emm..., eh, itu...."

"Ndro, Salma belum fit betul. Jangan dieksploitasi lah. Tega bener kamu." Andro meringis. Papa tahu betul apa yang ada di pikiran anaknya.

"Nanti ibu tidur di sofa nggak apa-apa, Mas Andro," goda Bu Dita. Andro tersipu, sekaligus berharap keseriusan dari sang ibu mertua.

Ketiganya lalu masuk ke room. Dan begitu pintu tertutup, yang pertama dikatakan Salma adalah..., "Mas jadi mau potong rambut, kan?"

Andro tergelak, mengusap-usap kepala Salma, lalu memeluknya. "Iya, boleh. Yang penting ngidammu terpenuhi."

"Sal nggak ngidam, Mas. Sal cuma pengen lihat rambutnya Mas pendek aja, biar Mas juga nggak ribet ngiket-ngiket. Apalagi kalau udah punya anak nanti, biar bisa sat set."

"Iyo. Sak bahagiae Nyonya Andromeda ae pokoke."

Mata Salma berbinar-binar. Andro yang sebenarnya masih ragu dan sayang pada rambut gondrongnya berubah yakin seribu persen melihat binar di mata perempuannya.

"Memangnya kamu bawa guntingnya?"

"Ada nih, Sal bawa ke mana-mana. Jadi kapan pun Mas mau potong rambut, Sal siap." Andro berdecak. Istrinya memang terniat.

Salma meminta izin pada ibunya untuk berduaan saja di teras kamar. Ibunya mengiyakan, gantian meminta izin untuk beraktivitas di pantry.

Sambil bersiap mencukur rambut Andro, Salma mengungkapkan alasan kenapa dia ingin Andro memangkas pendek rambutnya. Salma ingin saat lahir nanti, anaknya punya papa yang penampilannya rapi.

Angin bertiup semilir. Hamparan rumput hijau dengan deretan pohon kelapa menyegarkan mata. Riak-riak dari perairan selat Bali menambah sejuk suasana.

"Ini beneran bukan ngidam kan, Sal? Sebenernya aku gondrong juga tetep rapi, sih?" Andro protes, lupa kalau tadi sudah menyerah sepenuhnya pada Salma.

"Jadi..., Mas mau dipotong rambutnya apa nggak? Kalau nggak ya just tell me. Biar Sal nggak usah repot-repot."

"Eh, iya iya, mau kok, Sal. Mau banget. Emm..., harus cukur cambang juga nggak, nih?"

"Kalau Mas mau sekalian ya lebih bagus, tapi Sal nggak punya alatnya." Andro kembali merasa lega. Sebenarnya dia tidak mau dan tidak ikhlas wajahnya mulus tanpa bulu. Dia dengan rambut pendek dan wajah mulus pasti kembali terlihat seperti adik-adik.

"Nanti mukaku jadi imut lagi, Sal. Kalau gendong anak dikira omnya. Lebih parah lagi, dikira kakaknya. Gimana?" Salma terkikik geli. Ucapan Andro membuatnya sedikit terhibur.

"Ya udah, rambutnya aja. Itunya nggak usah. Biar Mas nggak imut. Nanti kalau Sal gemes terus, gimana?"

"Itunya apa, Sal? Itunya jangan dipotong lagi lah, nanti kamu kebagian apa?"

"Mas Androoo...."

Andro tergelak, senang sekali melihat Salma cemberut sekaligus tertawa. Tangan Salma tak berhenti mencubiti pinggang Andro. Salma lalu berhenti, memeluk Andro dari belakang. Diucapkannya terima kasih dari hatinya yang paling dalam.

"Sal terima kasih banyak sama Mas. Mas mau menerima Sal dengan segara kekurangan dan keburukan Sal. Sal merasakan sekali kalau Mas sayang banget sama Sal. Sal terharu sekali Mas mau berkorban banyak buat Sal. Sal yang cuma begini, seharusnya nggak pantas dapat cinta yang begitu dalam dari Mas, Tapi Mas nggak pernah mempermasalahkan itu semua. Bahkan masa lalu Sal yang---"

"Jangan bilang begitu, Sal. Semuanya karena Allah. Aku nggak akan sanggup hidup seperti ini kalau bukan karena Allah yang memampukan. Kamu pun begitu, nggak akan kuat ngadepin aku kalau bukan karena Allah yang memampukan. Kita ada buat saling mendukung, saling melengkapi, saling menguatkan. Sekarang, dan aku maunya sama kamu sampai selamanya. Sampai salah satu dari kita mati."

Andro menyedekapkan tangannya di atas tangan Salma yang melingkari perutnya yang rata. Salma terisak-isak di punggung suaminya. Masih sedih karena kehilangan, ditambah Andro bicara pula tentang salah satu dari mereka mati.

"Udah ah, nggak nangis lagi. Jadi motongin rambutku, kan? Yuk, sekarang."

"Eh, Mas. Jadi mau ngajak ibu ke Semarang?"

"Aku terserah kamu aja, Sal. Kalau aku pribadi, maksudku mengajak ibu ke Semarang tuh karena aku nggak mau kamu sendirian pas aku ke kampus. Nanti kamu pasti ingat Bu Miska, terus banyak nangisnya. Aku mau kamu sehat, kamu bahagia. Tapi nggak harus kita bahas sekarang, Sal. Senyamanmu aja. "

"Tapi, Mas...."

"Ssstt, potong rambutku sekarang, terus kita mandi." Andro memutuskan. Menyodorkan gunting yang tadi dipegang Salma, dan duduk manis di kursi.

"Nggak jadi sekarang ah, susah. Anginnya terlalu kencang."

"Ya udah, kalau gitu kita potong rambutnya di dalam aja. Sebelum aku berubah pikiran." Andro menarik tangan istrinya.

Tak ada pilihan. Salma menurut saja. Dengan serius memangkas rambut suaminya sampai pendek dan rapi. Dalam hati tak berhenti mengagumi wajah tampan yang bayangannya terpantul di cermin.

"Ganteng banget," desis Salma.

"Apa, Sal?"

"Ehk, ng-nggak. Itu, Mas emm..., udah rapi."

Salma tersipu, kembali memeluk Andro dari belakang, menaruh dagu di bahu kanan suaminya. Satu kecupan menghangatkan telinga Angkasa Andromeda. Satu bisikan menyusul kemudian, "Sal sayang banget sama Mas ."

Kuduk Andro meremang, ditariknya Salma ke pangkuan, mereka berciuman, lupa kalau ada penghuni selain mereka berdua. Ditambah lagi dengan....

"Ndrooo, i'm comiiing! Bukain pintuuu!" Ketukan yang niradab ditambah teriakan khas Rea menembus gendang telinga.

***

Hai, sorry telat. Mau update semalam tapi pas ngedit udah ngantuk berat.

Gara-gara ditinggal tidur, part ini jadi membengkak sekian ratus kata deh. Padahal semalem cuma sampai di 'sak bahagiamu ae'. Tambahannya unfaedah pulak. Wakakak. Dasar penulisnya gaje.

Semoga tetap menghibur yaaa. Makin kesini makin ngeblur nih ceritanya. Burem. Hahaha...

InsyaAllah mau ngundang Rea lagi di part berikutnya.

Thank you for all.

See you :)

Semarang, 10092021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top