44. Ditinggalkan

Pergilah kasih kejarlah keinginanmu
Selagi masih ada waktu
Jangan hiraukan diriku
Aku rela berpisah, demi untuk dirimu
(Chrisye - Pergilah Kasih)

***

Pukul dua lebih sedikit Andro terbangun. Yang pertama dilihat adalah Salma yang sedang duduk bersandar sambil memeluk lutut. Mengenakan baju untuk bepergian, lengkap dengan jilbab. Slingbag dan handphone tergeletak tak sampai satu meter di depannya. Matanya sayu, wajahnya sembap.

"Sal, kamu ngapain pakai baju kayak gitu? Mau ke mana? Kamu nggak tidur?" Salma menggeleng lemah, lalu air matanya kembali bercucuran.

Andro meraih sebotol air mineral dari atas nakas, meneguk hingga tinggal separuhnya. Ia lalu bangun, memeluk Salma yang kemudian tumpah tangisnya.

"Sal semalam mau ketemu ibu, tapi Mas udah tidur. Sal telpon ibu, tapi nggak tersambung."

"Ibu siapa?" Jangan bilang Bu Miska deh. Lanjut Andro dalam hati.

"Ibu Dita. Ibunya Sal kan tinggal Bu Dita. Yang sayang sama Sal tinggal Bu Dita. Sal udah nggak punya Bu Miska. Huhuhuu."

Andro merapikan rambut dan mengikatnya sembarang saja.

"Mas potong rambut mau ya?"

Andro bingung, kenapa topik yang Salma ajukan melenceng jauh sekali?

"S-Sal, kamu baik-baik aja, kan?"

"Maksudnya?" Salma ganti bingung menerima pertanyaan suaminya.

"Eh, emm..., kenapa pertanyaanmu geser jauh banget dari topik pembicaraan kita."

"Mas kira Sal gila karena kehilangan Bu Miska? Jahat banget sih. Sal masih waras, Mas. Sal cuma inget aja pengen Mas potong rambut gara-gara barusan Mas ribet dengan rambut Mas itu. Huh." Salma mendongkol, mulutnya mengerucut sambil tetap berlinangan air mata.

Andro lega sekali. Dia tersenyum geli, bisa-bisanya punya pikiran sebodoh itu atas istrinya.

"Maafkan aku, Sal. Jangan cemberut, ah, bikin gemes." Diraihnya kembali Salma ke dalam peluknya.

"Selama ada aku, jangan merasa nggak ada yang sayang sama kamu ya, Sal," bisik Andro lembut. Lalu pinggangnya terasa lebih ketat karena Salma balas memeluknya, sangat erat.

"Sekarang tidur ya, Sayang. Besok pagi kita ketemu ibu di panti. Aku janji."

Salma setuju. Dia segera mengganti baju dengan daster berlengan pendek. Setelah melaksanakan tiga rakaat sebagai penutup malamnya, dia terlelap di pelukan Angkasa Andromeda.

Tanpa sengetahuan istrinya, Andro meminta tolong mamanya mencarikan sesuatu yang bisa dibawa sebagai buah tangan untuk adik-adik Salma di panti besok pagi. Berharap memberi sedikit rasa senang pada anak-anak kurang beruntung yang baru kehilangan ibu asuhnya. Mamanya menyanggupi, bukan sesuatu yang sulit bagi Utami Wulandari.

Andro kembali memandangi Salma, membelai pipi mulusnya, lalu meraih ke pelukannya lagi. Dipejamkannya mata, menemani sang istri menyusuri alam mimpi.

***

Bakda subuh Salma merengek untuk diantar ke panti. Tentu saja Andro menolak, hari masih terlalu pagi. Salma hampir menangis, Andro jadi tak tega. Seharian kemarin Salma sudah banyak menangis, Andro tak mau hari ini dimulai lagi dengan tangis, bahkan saat hari masih begitu pagi.

"Oke, kita ke panti sekarang, tapi kamu janji nggak nangis lagi, ya?" Ditangkupnya kedua pipi Salma, lalu mengecup lembut keningnya.

"Makasih, Mas. Sal sayang sama Mas."

"Harus dong." Andro menyentil hidung Salma, kemudian keduanya bersiap pergi ke panti.

Andro memacu mobil dengan santai. Kaca jendela diturunkan sampai setengahnya, sengaja tak menyalakan pendingin udara, dia ingin menikmati hawa pagi Surabaya.

"Sal, gimana kalau Bu Dita kita ajak ke Semarang aja. Jadi ini kita sekalian jemput."

"Ehk, k-kenapa harus diajak ke Semarang, Mas?"

Salma mendadak terlihat gelisah. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Perkataan Andro tentang menjemput Bu Dita dan mengajaknya tinggal bersama membuat Salma gugup. Rasanya dia belum siap kalau harus tinggal dengan Bu Dita. Mereka berdua memang sudah lebih akrab, tapi kemarin itu ada Bu Miska, yang menjembatani kedekatan Salma dengan ibunya. Tapi..., kalau cuma berdua saja....

"Kamu kelihatan gelisah. Kenapa, Sayang?"

Salma menoleh, menatap mata Andro. Dia baru ngeh, dua hari ini suaminya yang ganteng itu agak sering memanggilnya dengan sebutan sayang.

"Mas sayang sama Sal, ya?"

"Istriku ini kecerdasannya agak degradasi apa gimana, sih? Masa kayak gitu pakai ditanyain."

"Ya habisnya Mas dari kemarin sering banget manggil sayang. Sal geli."

Andro terbahak mendengar jawaban Salma yang sangat jujur. "Aku sendiri sebenernya juga ngerasa geli sih, Sal. Tapi kulakukan, karena kupikir kamu akan seneng. Kan katanya perempuan seneng kalau diperlakukan berbeda. Dipanggil dengan panggilan sayang misalnya. Eh, istriku malah geli. Gagal deh mau romantis."

Keduanya lalu tergelak bersama. Salma lupa pada keresahannya baru saja.

"Tapi kenapa kelihatan gelisah? Belum kamu jawab lho, Sal." Andro mengingatkan.

"Oh, itu. Sal cuma ngerasa belum siap aja tinggal bareng ibu."

"Nah, bukannya dua minggu bareng udah bikin kamu makin dekat ya sama Bu Dita?" Begitu yang ditangkap oleh mata, sebab Andro tak bisa membaca hati.

"Iya, Mas. Tapi kemarin ada Bu Miska, jadi nggak cuma berdua. Kalau cuma Sal sama ibu, bener-bener cuma kami berdua, canggung itu masih ada. Sal suka bingung mau bicara apa, ibu juga sama. Mungkin ibu masih ada rasa bersalah, sedangkan Sal sendiri mungkin masih ada ego yang minta lebih dimengerti. Ah, entahlah, Sal juga bingung."

Sedan merah keluaran Jerman memasuki halaman panti. Pembicaraan pasangan muda itupun terhenti. Salma turun lebih dulu, Andro membuka pintu belakang dan meminta beberapa anak panti membantu menurunkan box berisi kudapan dan minuman.

"Gimana, Sal?" tanya Andro saat melihat Salma masih berdiri di ruang tamu dengan wajah kebingungan.

"Ibu pergi. Ditelpon nggak bisa." Salma membenamkan wajah ke dada Andro. Menangis tanpa suara, hanya isak saja.

"Gimana ceritanya, Mbak Yanti?"

"Tadi itu Bu Dita pamitan, Mas. Persis habis subuh. Saya lihat barang-barangnya dibawa semua. Saya tanya, mau ke mana? Kata Bu Dita mau pulang ke rumah orang tuanya. Alasannya karena di sini sudah tidak ada Bu Miska, padahal setahu saya Bu Miska malah pernah meminta beliau untuk tinggal di sini, menemani Bu Miska dan saya seperti Salma dulu. Saya kira sama Mas Andro dan Salma, tapi pas saya lihat di mobil cuma ada driver yang saya juga nggak kenal, baru saya tahu kalau itu taksi online."

Bahu Salma berguncang makin keras. Andro menenangkan. Menghiburnya dengan janji akan mencari Bu Dita bersama-sama.

"Kita mau istirahat di sini dulu apa mau cari Bu Dita sekarang, Sal?"

"Sekarang," sahut Salma, masih sambil terisak. Suaranya tenggelam di pelukan suaminya.

"Oke. Kita ke mobil dan jalan sekarang."

"Tapi ke mana, Mas?"

"Ke rumah eyang, siapa tahu Bu Dita pulang ke rumah Opa Johan."

Andro berterimakasih dan segera pamit pada Mbak Yanti dan yang lain. Memapah Salma sampai naik ke mobil. Ibu hamil muda itu terlihat lemas, dia kehilangan semangat.

"Bu Miska meninggal, sekarang ibu pergi. Apa gara-gara kemarin Sal seperti lupa kalau Sal masih punya ibu ya, Mas? Tapi kan Sal lagi berduka, harusnya ibu tahu kan ya, Mas? Bukan Sal yang salah kan, Mas?" Air matanya tak henti berlelehan, Andro sedih melihat Salma demikian.

Tak bosan-bosan Andro menghibur Salma sepanjang perjalanan menuju rumah eyangnya. Memberi pengertian bahwa perasaan dan sudut pandang setiap orang berbeda-beda. Meminta kepada Salma agar tak berburuk sangka dulu kepada ibunya, juga tak perlu menyalahkan dirinya sendiri.

"Nggak ada yang salah, Sal. Kamu dan ibumu mungkin hanya berbeda pemikiran, tapi aku yakin semuanya punya maksud yang baik. Sabar ya,  Sal. Insya Allah akan ada hikmah dan kebaikan. Biar aku yang berusaha mencari tahu, sementara ini tugasmu cuma tenang, husnuzon, dan berdoa. Itu aja. Dan satu lagi, kamu harus tahu kalau aku sayang kamu. Oke?"

Salma mengangguk. Dalam hati ia bersyukur masih memiliki Andro. Kalaupun ibunya tak bisa ditemukan nanti, setidaknya masih ada Andro yang Allah 'pinjamkan' untuk menemani kesendiriannya di dunia. Juga kelak di akhirat, begitu harapan Salma.

Rumah eyang Andro sepi. Hanya ada si mbok yang membantu di rumah itu sejak dulu. Andro menghubungi eyang mami, keduanya menginap di rumah tante bungsunya sejak kemarin sore setelah pulang dari takziah ke panti.

Itu berarti Bu Dita tidak ke rumah eyangnya. Kalaupun ke rumah orang tuanya, paling tidak dia datang ke rumah eyang untuk meminta kunci. Atau....

"Mbok punya nomor HP pak yang jaga rumah Opa Johan nggak?"

Beruntung, si mbok punya. Tapi saat Andro hubungi, pak penjaga rumah itu mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang datang meminta kunci rumah Opa Johan. Andro lantas berpamitan pada si mbok, melanjutkan pencarian bersama Salma.

Tangis Salma pecah lagi begitu pintu mobil ditutup. Kali ini lebih keras dari yang sebelumnya. Andro sampai putus asa menghiburnya. Maka dia membiarkan saja istrinya menangis, mungkin dengan begitu Salma bisa lebih lega.

Diraihnya benda pipih segiempat dari dashboard. Andro menelepon papanya, menyampaikan berita tentang kepergian Bu Dita.

"Jadi kamu mau cari Dita ke mana, Ndro?" Kesan tenang tertangkap dari cara bicara papa.

"Apa Papa tahu di mana Bu Dita?"

Dugaan papanya menyembunyikan atau minimal memfasilitasi kepergian Bu Dita melintas di benak Andro. Dia lupa, sebelumnya telah meminta Salma untuk menjaga prasangka, tapi dia sendiri berburuk sangka.

"Ya nggak tahu lah, Ndro. Kalau menurut kamu sendiri Dita ke mana kira-kira?"

"Emm..., Andro nggak tahu sih, Pa. Tapi..., eh!" Andro tersentak, satu dugaan mendadak mengisi otaknya.

"Banyuwangi, Pa! Mungkin Bu Dita balik ke Banyuwangi. Ya! Banyuwangi. Andro mau cari ke sana sekarang, Pa!"

"Nggak gitu, Ndro. Banyuwangi tuh jauh. Kita pergi bareng-bareng aja, papa cari tiket pesawat dulu."

"Kelamaan, Pa. Bu Dita juga nggak mungkin naik pesawat. Nanti di sana juga susah mobile-nya, Pa, kalau mau ke mana-mana."

"Oke, kita naik mobil, bawa driver. Sekarang kamu pulang dulu, papa sama mama siap-siap."

"Tapi, Pa---"

"Pulang!"

Tut tut tut.... Tak ada pilihan lain, Andro harus mengikuti papanya.

Antariksa tahu diri, tak membiarkan Andro apalagi Salma menunggu lama. Begitu keduanya tiba, mama dan papa Andro sudah siap berangkat. Bahkan perlengkapan untuk Andro dan Salma sudah siap pula. Mereka berdua hanya tinggal berpindah mobil saja.

"Papa sudah tahu alamatnya yang di sana?" Andro bertanya.

"Belum tahu pasti sih, Ndro. Dita dulu cuma pernah cerita tentang daerah dan ancer-ancer di mana dia tinggal. Mamamu udah nyuruh orang untuk cari tahu soal itu, insya Allah sebelum kita sampai di sana, info itu udah ada di kita. Kalian istirahat aja."

Tak berniat mendebat, Andro mengiyakan saja. Diraihnya kepala Salma agar bersandar pada bahunya. Meski terletak di provinsi yang sama, Banyuwangi bisa dibilang jauh dari Surabaya.

Suasana hening mendominasi perjalanan sepanjang hampir 300 kilometer. Salma masih banyak menangis. Dia benar-benar kalut. Bu Miska meninggal, ibunya malah pergi meninggalkannya, entah ke mana.

Antariksa berulang kali mencoba menghubungi Dita, tapi nihil. Handphone-nya dinonaktifkan. Kalimat-kalimat kekesalan entah berapa kali meluncur dari lisan Antariksa. Mama Andro sampai harus mengingatkan suaminya agar tetap bersabar.

Andro sendiri sedari tadi lebih banyak menatap layar gawainya. Browsing ini itu, lalu sesekali mengecek pesan, mengintip media sosial, kembali ke browser lagi. Begitu berulang-ulang.

"Pa, ini udah deket, kan? Gimana kalau kita nanti berpencar aja? Andro sama Sal nyegat di stasiun. Papa sama Mama nyegat di pool travel. Mas Wahyu nyegat di terminal. Andro udah cek jadwal bus, kereta, dan travel. Kemungkinan Bu Dita perginya nggak selisih jauh sama kita. Siapa tahu masih kecegat di salah satu itu."

Ternyata sibuknya Andro dengan gawainya adalah untuk mencari informasi dan menganalisa kira-kira cara apa yang bisa diusahakan untuk menemukan ibu mertuanya.

Papa dan mamanya menyetujui. Mamanya malah langsung menghubungi orang di Banyuwangi untuk mencarikan mobil rental yang akan digunakan Andro Salma dan Mas Wahyu, driver mereka.

Begitu tiba di kota yang terletak di ujung timur pulau Jawa, mereka segera berpisah sesuai skenario Andro.

"Mas." Salma memulai percakapan.

"Hemm."

"Mas marah?"

"Nggak. Kok mikirnya gitu, sih?"

"Karena Mas jarang banget jawab hemm aja."

"Nggak, Sal. Aku mana bisa sih marah sama kamu? Apalagi keadaannya lagi kayak gini. Aku cuma lagi fokus aja, berharap pencarian kita nggak harus panjang lagi."

"Kalau ibu nggak ketemu, apa besok kita tetap pulang ke Semarang?"

Andro menghela napas berat. Kemarin dia sudah meninggalkan kuliah, masa iya Senin harus membolos lagi? Titip absen jelas tak mungkin, semua dosen yang mengampu di semester lima kenal dan hafal pada Angkasa Andromeda.

"Maaf, Sal. Kamu boleh tinggal di Surabaya dulu sampai Bu Dita ketemu, tapi aku izin untuk tetap ke Semarang, Sal." Andro tak berani menatap wajah istrinya. Tak tega.

"Ya udah, kita nggak usah cari ibu. Sal ikut pulang aja ke Semarang, buat apa juga di Surabaya, toh Sal udah nggak punya siapa-siapa. Ibu aja tega ninggalin Sal lagi. Sal memang nggak pantas disayangi."

Lalu sunyi. Salma menatap pemandangan di sebelah kirinya, hatinya membeku. Andro pun diam saja, dia mengerti kenapa istrinya berkata seperti itu. Dia bisa memaklumi. Sangat bisa. Yang dilakukannya kemudian adalah menyelipkan jari-jarinya kepada jemari Salma. Salma hanya butuh ditemani dan dikuatkan, bukan nasihat, apalagi bantahan.

Dering handphone Andro memecah kesunyian. Mas Wahyu mengabarkan bahwa dia telah melihat keberadaan Bu Dita.

"Mas, jangan disamperin dulu. Awasin dan ikutin aja ke mana Bu Dita pergi. Jangan sampai lolos, ya. Kami mendekat ke arah Mas Wahyu. Tolong diinfo terus ke mananya ya," pesan Andro pada driver keluarganya.
Wahyu menyebutkan posisinya. Andro mengikuti, begitu pula Antariksa dan Utami.

"Ibu udah ketemu, Sal." Ditatapnya wajah sang istri, datar saja. Salma seperti sudah hilang ketertarikan.

"Iya, biar aja. Sal capek. Kalau memang ibu nggak menginginkan Sal, buat apa kita repot ngejar-ngejar? Kita pulang aja, Mas."

"Oke, kita pulang, tapi nanti..., setelah kamu sampaikan perasaanmu ke Bu Dita. Biar sekalian kamu lega. Aku nggak akan kecewa kalaupun harus lihat kamu marah-marah, bahkan mencaci maki ibumu. Nggak apa-apa sesekali jadi seseorang yang nggak baik, asalkan kamu yakin Allah masih kasih kamu umur sesudah melakukannya."

Tangis Salma pecah mendengar kalimat terakhir yang Andro ucapkan.

"Apa Sal salah kalau Sal kecewa? Kenapa Sal terus yang harus baik? Kenapa Sal terus yang harus kalah? Kenapa, Mas? Kenapa?! Sal capek. Mas malah nakut-nakutin Sal dengan ngomong kayak gitu. Sal udah selalu berusaha jadi orang baik, masa iya tiba-tiba Sal jadi durhaka karena Sal nggak suka dengan yang ibu lakukan?

"Ibu yang buang Sal, Mas! Sekarang, setelah ketemu, ibu juga yang ninggalin Sal. Hatinya Sal juga bisa sakit, Mas. Sal manusia biasa, bukan malaikat. Sal capek. Sal mau ikut Bu Miska aja. Nggak ada yang menginginkan Sal. Cuma Bu Miska yang sayang sama Sal."

Salma berteriak-teriak histeris. Baru kali ini Andro melihat istrinya sekacau itu. Pernah marah besar waktu kasus dengan Zulfa, tapi tak sampai seperti ini. Sedih, marah, lelah, merasa tidak berharga, ditambah sedang hamil muda, lengkap sudah emosi yang saat ini teraduk di hati Salma.

Andro bergegas menepi dan menghentikan laju mobilnya. Dipeluknya Salma, yang kali ini meronta dengan kekuatan di luar logika. Andro sampai kewalahan menghadapinya.

"Sal, istighfar, Sal. Jangan begini. Sebut nama Allah, Sal. Kita ini orang beriman. Jangan merasa sendiri. Kamu punya Allah, kita punya Allah, yang nggak pernah meninggalkan kita. Istighfar, Sayang. Please. Untuk aku, untuk bayi kita."

Salma langsung terdiam. Sempat melafalkan istighfar, kemudian pingsan.

***

Nggak asyik ah! Lama nggak update, sekalinya update masa endingnya ngegantung gini?

Hehe, maafkan.

Sebenernya yg di otakku tadi nggak begini, tapi pas ngetik kok jadinya begini. Hahaha...

Beginilah kalau nulis karena hobi, jadi ngalir aja. Nggak pakai outline, nggak pakai minimal maksimal jumlah kata, nggak pakai pakem kudu gimana ceritanya, pokoknya nulis aja. Hasilnya yaaa, jadi panjang-panjang banyak nggak pentingnya. Wkwk...

Mohon dibukakan pintu maaf Selebar-lebarnya yaaa.

Btw, sepekan kemarin aku sama sekali nggak sempat nulis. Anakku masuk asrama Sabtu kemarin, di Bogor. Makanya jatuh bangun nyiapinnya, soalnya jauh, susah nyusulinnya kalau ada yang ketinggalan.

Banyak yang musti dibawa tapi persiapan masih kurang banget. Bener-bener baru mulai Senin sebelum masuk. Belum bikin label nama (gaya sih, sok-sokan bikin sendiri, haha) terus dijahit ke baju, jilbab, dsb. Packing yg sok-sokan ideal dan memudahkan, dsb dll dst. Riweuh pokoknya, tapi seru. Aku suka.

Alhamdulillah anak sulung sudah masuk pondok. InsyaAllah di sana lebih banyak kesibukan yg bermanfaat, fidunya wal akhirat. Aamiin.

Emaknya bisa mulai fokus nulis lagi. InsyaAllah.

Baiklah, segitu dulu. Maaf utk segala kesalahan dan kekurangan. Terima kasih udah membaca, vote, komen, dll.

Oh iya, ceritaku yg berjudul Bin Fulanah akhirnya kubawa ke wattpad. Yuk ramaikan!!

Klik akunku fitrieamaliya terus cari di karyaku yg judulnya Bin Fulanah.

Oh iya, yg belum follow akun wattpadku, bolehlah follow sekarang. Biar kalau aku update, notifikasinya masuk ke akun kalian. Oke? Hehe...

See you :)

Semarang, 06092021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top