42. Percakapan

Our dreams are young and we both know
They'll take us where we want to go
Hold me now, touch me now
I don't want to live without you
(George Benson - Nothing's Gonna Change My Love For You)

***

"Dulu ada empat kapling bersebelahan yang sudah bapak pesan kepada pengurus makam." Bu Miska mulai bercerita selepas mereka menyelesaikan membaca doa bersama di makam suaminya.

"Empat kapling untuk bapak, ibu, nenek, dan Salma. Bapak ingin kita berkumpul lagi di sini, sekalipun kita semua sudah nggak ada. Qodarullah, sebelum meninggal nenek minta dimakamkan di pemakaman terdekat dari tempatnya mengembuskan napas terakhir, jadi satu kapling ibu lepaskan.

"Dan Salma..., kami dulu sama sekali tak mengira kisahnya akan seperti sekarang ini. Melihat keadaan sekarang, Salma kemungkinan besar tak akan di sini kalau sudah selesai tugasnya di dunia nanti. Jadi..., tinggal ibu yang nanti akan menemani bapak lagi. Berdua di sini."

Bu Miska menaburkan kelopak-kelopak mawar berwarna merah muda dan putih ke atas rerumputan yang ada di tengah batu nisan. Salma memunguti kamboja yang berjatuhan di sekitar keramiknya, membuang bunga yang kering, dan menaruh yang segar bersama taburan kelopak mawar. Pada kedua mata istrinya, Andro melihat genangan yang tertahan.

Direngkuhnya bahu Salma, yang lantas menumpahkan tangis di dadanya. Bagi setiap anak perempuan, bapak adalah cinta pertamanya. Tapi Salma tak punya, dia tak pernah tahu siapa bapaknya. Meski demikian, Salma tak pernah kehilangan figur seorang ayah. Bapak, suami Bu Miska, menjadi sosok panutan yang selalu melindungi dan berusaha membahagiakan anak-anaknya di panti agar mereka tak kehilangan sosok kepala keluarga, termasuk Salma.

"Bapak yang sejak dulu tidak mau mengadopsi Salma secara resmi. Bapak yakin, suatu hari nanti Salma akan bertemu kembali dengan keluarganya. Maka, tak mengikat status Salma dalam sebuah akta adalah pilihan terbaik menurut beliau. Dan ternyata feeling bapak benar terjadi."

Bu Miska tersenyum, mengemasi buku Yasin dan barang bawaan lain. Lalu keempatnya beranjak, meninggalkan pemakaman milik keluarga besar suami Bu Miska.

Andro melajukan mobilnya meninggalkan area pemakaman. Sudah lama Bu Miska tidak nyekar ke makam suaminya. Begitu pula dengan Salma, sepanjang pernikahannya dengan Andro, belum sekali pun mengunjungi makam laki-laki yang sudah dia anggap ayahnya sendiri.

Masih tersisa sekira 20 kilometer untuk sampai di Surabaya. Keberadaan jembatan Suramadu membuat akses ke Madura jauh lebih cepat karena tak perlu menunggu antrian kapal penyeberangan.

Suasana di dalam Innova abu-abu tua itu lengang. Dari spion tengah Andro melirik ke deret belakang. Bu Dita asyik menatap pemandangan di luar, menikmati apa saja yang dilewati sepanjang Bangkalan hingga Surabaya. Bu Miska mulai terkantuk-kantuk, mungkin kecapaian setelah sejak bakda subuh menempuh perjalanan dari Semarang menuju Madura.

Di samping kirinya, Salma malah sudah tertidur dengan mulut menganga. Sesuatu yang hanya terjadi saat Salma tidur dalam keadaan lelah. Andro tersenyum sendiri, kalau saja tak ada dua ibu di belakangnya, rasanya ingin mengabadikan wajah Salma dengan mata terpejam dan mulut yang terbuka lebar.

Diraihnya tangan kanan Salma yang anteng di atas perut yang mulai terlihat membuncit. Andro mengelusnya sesaat, hatinya menghangat. Haru. Akan ada kehidupan baru yang menghuni bagian dalam situ. Kemudian ditatapnya Salma sekali lagi, senyum Andro mengembang, betapa ia teramat sayang pada perempuan cantik yang akhir-akhir ini mudah sekali meradang.

I love you, Salmaku, ujarnya dalam hati.

Hening terus bertahan sampai mobil berhenti di depan panti. Salma dan Andro turun sebentar, menaruh oleh-oleh yang mereka bawa dari Semarang untuk adik-adik Salma di panti. Bu Miska tampak sangat bahagia, memeluk satu per satu anak asuhnya, juga Mbak Yanti. Ini kali pertama beliau pergi agak lama meninggalkan panti.

Sebelum berpamitan, Andro menawari Bu Dita untuk pulang bersama mereka ke kediaman keluarga Antariksa, tapi Bu Dita tidak mau. Ditawari ke rumah eyangnya Andro, juga tidak mau.

"Ya sudah, hari ini Ibu di panti ya, insya Allah besok pagi kami jemput, kita main ke rumah eyangnya Mas Andro. Siapa tahu Ibu ingin menengok rumahnya Opa Johan." Salma mengambil keputusan sendiri, lalu berpamitan dan memeluk ibunya. Bu Dita mengiyakan saja, membalas pelukan Salma dengan kehangatan yang begitu terasa. Hubungan keduanya sudah jauh lebih akrab dari sebelumnya.

Sudah sore, Andro dan Salma segera mohon diri. Rasanya sudah tak sabar untuk segera merebahkan badan di kasur yang empuk.

"Capek banget, Mas. Sal pengen pijit. Badan rasanya remuk redam."

"Sal, nggak usah bikin aku kuatir, deh. Kamu baik-baik aja, kan?"

Andro tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Salma tak sendirian, ada bayi mereka di dalam rahimnya. Itu yang selalu Andro tekankan dalam hati dan pikirannya. Itu pula yang membuatnya selalu ingat untuk menjaga sikap di hadapan istrinya, agar jangan sampai menyakiti hati perempuan yang begitu dia cintai.

"Nggak pa-pa sih, Mas. Ya gitu, cuma capek aja. Seharian di jalan kan kita."

Tak berkomentar lagi, Andro segera menghubungi mamanya, meminta tolong untuk memanggilkan tukang pijat yang mengerti bagaimana memberi treatment yang aman untuk ibu hamil muda.

"Salma butuh refreshing lebih dari itu, Ndro. Kalian pulanglah dulu, biar Salma istirahat. Nanti bakda maghrib mama temani ke salon."

"Hah, ke salon? Buat apa, Ma?"

"Perawatan lah, Ndro. Kamu itu nggak pengertian. Istri dikerem terus di rumah, sekali-sekali kek disuruh nyalon. Spa, massage, menicure, pedicure, hairspa, dan semacamnya. Kan itu buat kamu juga."

Andro menepuk dahinya keras. Selama ini tak pernah terpikir sama sekali soal itu. Betapa malunya dia. Cuma menuntut ini itu pada Salma, tapi tak pernah memberi balasan yang sepadan. Bahkan yang remeh semacam nyalon saja dia tak pernah menawarkan.

Permintaan maaf berulang kali Andro sampaikan. Salma sampai tak enak hati. Sungguh, dia sendiri tak pernah berharap sejauh itu. Terlintas dalam benaknya untuk ke salon saja tak pernah. Salma sudah merasa bahagia di dekat Andro. Salma sudah merasa cukup dengan segala kemudahan yang dia dapatkan sejak mereka melangsungkan pernikahan. Saat ini Salma cuma merasa butuh istirahat saja, sedikit pijitan, dan mungkin susu hangat bikinan suaminya.

"Nggak perlu berlebihan, Mas. Maafin Sal kalau malah bikin Mas jadi khawatir. Sal cuma butuh istirahat. Sal cuma pengen deket sama Mas, dipijit sama Mas, ditemenin sama Mas. Tapi...."

"Tapi apa, Sal? Katakan!"

"Tapi Sal nggak tega. Sal nggak enak hati kalau mau manja-manja dalam kondisi seperti ini. Kayak Sal tuh nggak punya rasa kasihan dan pengertian gitu. Mas udah capek-capek nyetir dari Semarang ke Bangkalan, terus ke Surabaya. Eh, sampai di rumah yang harusnya Mas istirahat, malah harus mijitin Sal, ngurusin Sal,---"

"Berhenti bicara begitu, Sal. Aku nggak suka. Kamu bisa gantiin aku nyetir, mijitin aku, ngurusin aku, dan melakukan banyak hal buat aku, Sal. Tapi aku..., aku nggak bisa gantiin kamu gendong bayi kita, Sal. Aku nggak bisa gantiin kamu hamil, yang ke mana pun kamu bergerak, kamu harus membawa serta makhluk kecil hasil cinta kita, Sal. Aku nggak bisa gantiin peranmu yang itu. Aku cuma bisa bikin kamu hamil aja, tapi nggak bisa merasakan beratnya menjalani kehamilan.

"So..., seperti yang pernah kukatakan, izinkan aku untuk punya peran dalam menjalani kehamilanmu ya, Sal. Apapun itu. Lelahku nggak ada apa-apanya dibandingkan yang kamu rasa."

Salma tertawa kecil. Jika itu tentang dirinya, Andro kadang suka berlebihan begitu. Yang paling lucu adalah wajah suaminya, yang menunjukkan kombinasi dari berbagai macam ekspresi.

"Iya. Sal nggak usah ke salon. Sal mau sama Mas, aja."

"Eh, ya nggak gitu dong, Sal. Kamu tetep harus ke salon lah. Kan itu buat aku juga. Suami mana sih yang nggak mau punya istri yang cantik, segar, awet muda, manglingi dan seksi. Nanti malam tetap aku pijitin, deh. Plus plus. Tapi ke salon dulu, ya?"

"Ih, Mas tuh ada maunya yaaa. Tapi Sal malas. Maunya sama Mas aja."

"Iya, tapi ke salon dulu, sebentar aja."

"Mana ada perawatan full body kok cuma sebentar. Salonnya juga keburu tutup."

"Kalau ada yang mau pakai, asal mau bayar lebih, salonnya mau lah nunggu sampai selesai." Andro kukuh dengan maunya.

"Besok aja deh, Mas. Sal beneran capek, cuma pengen rebahan aja. Kalau Mas nggak mau mijitin Sal atau bantuin Sal, ya udah nggak apa-apa, nggak usah aj---"

"Oke oke..., kita nggak akan ke mana-mana. Kita di kamar aja, aku ada buat kamu, apapun itu."

Telat! Mood Salma keburu jatuh. Dia memilih diam. Yang ada di benaknya saat ini cuma mandi dan merebahkan badan, itu saja.

Sampai di rumah, Salma hanya bertukar sapa seperlunya dengan mama dan papa. Tak lupa meminta maaf, sebab merasa sangat kecapaian dan ingin segera istirahat. Mama memaklumi, sama sekali tak membahas tentang rencana pergi ke salon tadi.

Begitu Andro menutup pintu kamar, Salma langsung melepas dan menaruh jilbabnya sembarangan, lalu melepas kaus kaki dan meletakkannya asal saja. Rasanya lega sekali ketika kepalanya sudah menyentuh bantal nan empuk. Salma memejam, melepaskan semua penat yang menghunjam.

"Kamu marah, Sal? Gara-gara aku maksa ke salon?" Andro menyusul duduk di kasur, jari-jarinya meraih kaki Salma dan memijatnya pelan.

"Nggak, Mas, beneran Sal nggak marah. Sal cuma capek banget. Rasanya kayak habis digebukin orang se-RT."

Andro terkekeh. "Mana berani orang se-RT gebukin kamu? Aku udah maju duluan bawa excavator."

Salma ikut tertawa. "Iya iya, yang punya excavator mah bebasss."

Andro menjatuhkan badannya, berbaring di sisi Salma. Ditolehkannya kepala, menatap Salma yang masih memejam.

"Sal."

"Hemm."

"Kamu cantik."

"Kalau nggak cantik mana Mas mau nikah sama Sal."

"Kok gitu sih, Sal." Andro kesal. Salma tersenyum, mencari tangan Andro, dan menautkan jemarinya di sana.

"Kamu demam, Sal? Tanganmu agak panas."

"Kayaknya begitu, rasanya panas banget. Makanya Sal nggak jadi mandi, langsung rebahan aja." Salma masih tetap menutup matanya.

"Kamu pengen apa, Sal?"

"Pengen diceritain tentang ibu, Mas. Mas masih utang penjelasan sama Sal, bagaimana kisah hidup ibu sampai punya Sal dan setelah ninggalin Sal sampai ketemu Sal lagi."

Andro menarik napas, sejujurnya dia belum siap. Menurutnya kisah hidup Bu Dita terlalu kelam untuk diketahui Salma, yang bahkan tak jelas berasal dari benih laki-laki yang mana.

"Jangan sekarang, Sal, kamu lagi sakit. Panggil dokter, ya?"

"Nggak usah, Mas. Kayaknya Sal sembuhnya kalau udah dengar cerita tentang ibu."

"Ada ya ibu hamil sakit tapi bisa modusin suaminya," sindir Andro. Keduanya tertawa lagi.

"Dua minggu bareng ibu, apa kamu nggak minta diceritain sama beliau sendiri, Sal?"

"Ibu nggak mau cerita, Mas. Malah nangis dan minta maaf sama Sal. Begitu terus beberapa kali. Sal jadi nggak tega. Padahal Sal udah siapin hati untuk menerima apapun ceritanya."

"Allah lebih tahu sejauh mana kesiapanmu, Sal."

"Apa menurut Mas, Sal belum siap?"

"Aku nggak tahu, Sal. Tapi aku belum yakin kamu akan bisa menerima tanpa rasa sedih. Aku sendiri masih merasa terenyuh dan prihatin setiap mengingat cerita Bu Dita tentang masa lalunya, Sal. Aku nggak mau kamu sedih. Aku nggak mau kamu merasa yang gimana-gimana, gitu. Aku sayang kamu, Sal."

"Dan Mas masih tetap bisa menerima apapun keadaan Sal, kan?"

"Insya Allah begitu, Sal. Kamu udah jadi bagian dari hidupku. Sekarang, dan aku maunya selamanya."

"Kalau Mas yang orang lain saja bisa menerima keadaan Sal, insya Allah Sal sendiri juga siap menerima, bagaimanapun kisah ibu dan asal usul Sal sendiri."

Mereka masih bicara tanpa saling menatap satu sama lain. Salma tetap terpejam, Andro menatap lurus ke langit-langit kamar.

"Kalau Bu Dita sendiri nggak tahu siapa laki-laki yang menjadi bapak biologismu, apa kamu bisa menerima?"

"Hemm."

"Kalau Bu Dita dulu pernah hidup di dunia yang hitam, apa kamu tetap menerima?"

"Benar, ya? Ibu dulu pelac*r?"

"Kalau iya, apa yang mau kamu lakukan, Sal?"

"Nggak ada. Nggak ada yang akan Sal lakukan selain menerima. Toh Sal udah nggak bisa mengubah masa lalu, cuma bisa berusaha supaya masa depan nggak seburuk yang lalu. Itu saja, kan, Mas? Memangnya apa lagi yang bisa dilakukan kalau itu berkaitan dengan masa lalu."

"Ya sudah. Itu." Andro mengeratkan genggaman.

"Itu apa, Mas?"

"Itu masa lalu ibu. Sudah kusampaikan, walaupun cuma potongan-potongan."

Salma diam, ada nyeri yang menusuk hati. Tapi dia bisa apa selain menerima takdirnya? Dua bening mengalir turun, melewati pelipis, jatuh membasahi telinga kanan dan kiri. Tak ada keinginan untuk menghapusnya, meski bulir air yang turun semakin deras.

"Banyak hal terjadi dalam hidup ini, Sal. Banyak yang bisa kita tangisi. Banyak yang bisa kita sesali. Tapi jauh lebih banyak yang bisa kita pilih untuk kita syukuri. Aku misalnya.

"Aku inginnya keberadaanku menjadi sesuatu yang kamu syukuri, Sal, biarpun banyak kekuranganku yang mungkin menyulitkan hidupmu. Aku mencintaimu, Sal, seperti apapun kamu. I love you."

Mata Salma perlahan terbuka. Ia menoleh, memandangi Andro yang tetap khusyuk menatap langit-langit. Hening masih menyelimuti, seakan memberi waktu kepada Salma untuk memutuskan apa yang akan dia lakukan setelah mendengar kepingan kisah tentang asal usulnya. Yang hanya secuil, namun sudah cukup untuk menjawab pertanyaan tentang siapa dan bagaimana ibunya.

Adzan maghrib terdengar sayup. Salma menghapus air matanya, juga semua perasaan buruk yang baru saja menyapa. Suaminya benar, jauh lebih banyak yang bisa dia pilih untuk disyukuri. Andro salah satunya, Dan yang terutama, begitu kata hati Salma.

"Sudah maghrib, Mas. Sal mau jamaah sama Mas. Sal mau jadi makmumnya Mas, fidunya wal akhirat. Sal sayang sama Mas."

Mereka bertukar tatapan dan senyuman. Saling menggenggam dan menguatkan.

"Mas potong rambut ya?" ujar Salma tiba-tiba. Sama sekali tak ada hubungannya dengan pembicaraan mereka baru saja.

"Kamu ini merusak suasana deh, Sal." Andro cemberut. Sebal.

"Bukan merusak, Mas. Cuma memanfaatkan. Siapa tahu pas lagi sayang-sayangan gini terus Mas iyain aja permintaan Sal."

"Gitu, ya?" Salma mengangguk. Tersenyum penuh makna.

"Satu syarat, deh," kata Andro lagi.

"Ya?"

"Aku cuma mau kamu yang motong rambutku."

"My pleasure, Mas Andro sayang."

"Satu lagi, Sal."

"Hemm?"

"Malam ini kamu istirahat aja. Izinkan aku yang melayani semua keperluanmu. Ya?"

"Iya. Boleh."

"Ya udah, yuk." Andro bangkit dari baringnya.

"Yuk apa, Mas."

"Aku mandiin. Kamu kan perlu kesegaran."

"Iiih, Mas Androoo!"

***

For the first time, aku nulis tanpa diendapkan, dibaca lagi, diedit, dsb. Sepertiga kuketik pas di rumah ibuku kemarin. Sisanya kuketik tadi sebelum asar. Kulanjutkan lagi bakda maghrib sampai isya. Beneran nggak mikir, apa yang lewat itu yg kuketik.

Nggak apa-apa yaaa :)
Soalnya aku ngerasa gimana gitu kalau nggak update-update juga. Aku sendiri jd sedih, karena ada yg menunggu, tapi akunya -boleh dibilang- mengecewakan dg bolos update gitu.

Jujur, kemarin aku sempat kepikiran mau istirahat dulu, tapi masih galau juga. Entahlah, sempet kayak demotivasi, gitu. Mungkin karena banyak hal yg terjadi di circle-ku akhir-akhir ini, yg diam-diam ternyata mempengaruhi keadaanku. Hehe...

Kayak yang bingung mau apa, mau gimana, dsb. Tapi aku mencoba tetap enjoy dan menjalani dg happy.

Duh, aku ngomong apa sih ini? Udah macam Vicky Prasetyo aja. Hahaha...

Ya udah, pokoknya gitu. Terima kasih banyak utk apresiasi teman-teman semua. Dan mohon maaf kalau beberapa waktu terakhir ini sering nggak maksimal.

Terima kasih juga untuk yg baru nemu tulisan-tulisanku, terus rajin kasih vote dan komentar. Itu jadi moodbooster banget buat aku.

Btw, ternyata lagu Nothing's Gonna Change My Love for You ini ada versi Westlife juga yak. Aku baru tau masaaa, padahal udah dari taun 2006. Aku cuma tau versi George Benson sama versi Glen Medeiros (yg vidklip-nya bikin geli pas dia natap ceweknya di pinggir pantai. Wakakak).

Versi Benson tetep paling enak didenger sih. Baru intronya aja aku udah berasa di Manhattan. Jiahaha...
Eh, tapi aku dulu waktu SMP kalau denger lagu barat 80's yg model gini langsung suka ngehalu ttg Amerika. Soalnya dulu nontonnya Selasa Drama di RCTI. Dibelain tidur jam sebelas malam. Sampai hafal sama Julia Roberts, Richard Gere, Sandra Bullock, dsb. Hahaha, tuaaaa...

Lagunya entah ada hubungan sm part ini apa kagak. Tapi Sabtu kemarin pas anak-anak ngajakin susur pantai (lagi) anak sulungku sepanjang nyusurin pantai berkali-kali nyanyi lagu ini. Aku jg ngebatin, kok ngepasi banget. Zaman sekolah dulu aku paling sering lihat vidklip yg versi Medeiros di pantai itu. Lihatnya di ANTV tapi aku lupa judul acaranya. Lagu-lagu barat 80's gitu. Hehe..

Baiklah, sampai di sini dulu yaa.

See you :)

Semarang, 23082021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top