41. Hiburan
Salma senang sekali, sudah hampir sepekan kedua ibunya menemani. Ya, Bu Miska dan Bu Dita menerima ajakan Salma untuk ikut ke Semarang. Tentu saja ada peran mama dan papa mertua di sana.
Tak hanya Salma, Andro pun merasakan kegembiraan yang sama. Keberadaan kedua orang, yang semuanya boleh dia sebut sebagai ibu mertua, itu sungguh sangat membantu. Setidaknya Salma tak sendirian setiap kali dia sibuk di luaran.
Salma yang selalu bersemangat, beberapa hari terakhir ini semangatnya makin menjadi-jadi. Tak hanya pekerjaan sehari-hari yang dilakukan, tapi dia juga mulai memasak lagi, membantu pemasaran brand mama lagi, bahkan menjahit lagi. Andro jadi khawatir melihatnya.
"Sal," panggil Andro. Dia baru saja selesai mandi sepulang dari kampus bakda maghrib tadi.
"Iya, Mas, gimana?"
"Kamu jangan kecapaian. Dari sejak Bu Miska sama Bu Dita di sini, kegiatanmu kayak nggak ada berhentinya. Aku kuatir, Sal. Kamu sekarang nggak sendiri lho, ada---"
"Bayi kita di dalam rahimnya Sal." Andro mengangguk, tersenyum menerima selaan Salma.
"Kamu harus jaga kesehatan. Walaupun happy, tapi kalau fisik kamu forsir, ya tetep bisa ambruk, Sal. Maaf ya, aku nggak ngelarang kok, aku cuma kuatir aja karena aku sayang."
Salma yang sudah bersiap beradu pendapat pun mengurungkan niat. Suaminya manis begitu, mana tega dia mengajaknya padu?
*Padu: perang mulut/ berantem lewat omongan/ debat kusir.
"Banyakin ngobrol aja, Sal, terutama dengan Bu Dita, biar makin dekat hubunganmu dengan beliau, seperti yang kamu inginkan."
"Iya, Sal janji nggak akan capek-capek dan nggak akan kebanyakan aktivitas lagi. Sekarang Sal izin mau ke dapur, ini bau masakannya menggoda banget."
Hidung Salma yang sedang sensitif pada aroma mengendus-endus seperti kucing yang mencium bau ikan asin. Ia segera melepas mukena dan melipatnya, lalu meninggalkan Andro sendirian di kamar dengan pintu yang terbuka lebar.
"Hatsyi..., hatsyi." Sebaliknya dengan Andro, aroma yang masuk kamar dari celah pintu membuatnya bersin-bersin.
"Astaghfirullah, bau apa sih ini, kok gini banget? Bikin pusing. Cooker hood-nya nggak dinyalain apa gimana, sih?" gerutu Andro. Disusulnya Salma ke dapur sambil terus bersin-bersin.
Andro hampir mengurungkan niat begitu melihat Salma sedang tertawa riang bersama kedua ibunya, tapi ketiga perempuan itu telanjur mendengar suara bersin Andro. Mereka menoleh serempak.
"Mas kenapa? Kok mukanya merah gitu?" Salma buru-buru menghampiri suaminya.
"Nggak kok, nggak ap--- Hatsyi!"
"Mas sakit? Flu? Atau..., eh, tapi tadi baik-baik aja, deh? Mas---"
"Hatsyi! Ak-aku..., h-ha-hatsyi!"
"Mungkin Mas Andro nggak tahan bau ikan asin, Sal." Tebakan Bu Miska, sama sekali tak meleset.
Andro mengangguk, disambut Salma dengan menggoda. "Sombong sekali Tuan Muda Angkasa Andromeda ini? Bau enak dan sedap gini kok bisa-bisanya bikin Mas sampai payah gitu mukanya. Anak sultan sih beda ya sama rakyat jelata." Dicubitnya hidung Andro yang sudah kemerahan.
"Mas ke kamar aja, tutup pintunya rapat-rapat. Atau ke halaman belakang yang terbuka, jadi lebih segeran udaranya," saran Salma sambil mendorong suaminya, dan masih sambil tertawa.
"Sama kamu?" tanya Andro, masih sambil bersin-bersin.
"Nggak lah, kan Sal suka bau gorengan ikan asin gini. Sedap-sedap menyengat, hemmm." Salma mengendus-endus lagi, hidungnya bergerak-gerak lucu sekali. Andro gemas sekaligus kesal. Ingin bertahan bersama Salma tapi tak tahan pada aroma yang sedari tadi menusuk hidungnya.
"Sudah, Salma ikut Mas Andro saja. Ini masaknya juga sudah selesai kok, nanti kita makan berempat di teras belakang." Bu Dita menengahi usai melihat Bu Miska mematikan kompor.
"M-mak-makan i-ikan asin?!" Andro mendadak gugup.
Susah payah dia menelan ludah, perutnya mendadak mual. Seumur hidup dia sama sekali tak pernah mencicipi ikan asin. Melihat saja tak pernah, bahkan mencium aromanya saja ternyata bisa membuatnya bersin-bersin parah sampai wajah dan hidungnya memerah.
Bu Miska dan Bu Dita terpingkal-pingkal melihat wajah memelas Andro. Terlihat jelas pemuda itu shock berat.
"Nggak, Mas Andro. Ikan asin cuma buat kami bertiga. Khusus Mas Andro, Salma sudah bikinin nasi goreng spesial." Bu Miska menenangkan.
Alhamdulillah! Andro menjerit dalam hati. Wajahnya perlahan menjadi berseri.
"Nasi goreng spesial ikan asin," sahut Bu Dita.
Andro kembali terkejut. Bersinnya yang sempat terhenti muncul kembali. Salma terkikik geli, meraih tangan suaminya, dan menyeretnya ke teras belakang. Setengah berteriak dia berkata kepada kedua ibunya, "Mumpung anaknya belum lahir, Salma momong papanya dulu ya, Bu."
Kedua perempuan mendekati paruh baya itu kembali tertawa. Mereka sangat bahagia melihat kelucuan-kelucuan yang menggembirakan dari kedua anak muda itu.
Begitu tiba di teras, Andro mendekap Salma dari belakang. Sama sekali tak memberi kesempatan istrinya untuk bergerak. Dia yang kesal sekaligus gemas, menghujani tengkuk Salma dengan ciuman, dan baru berhenti setelah perempuannya itu berteriak-teriak kegelian.
"Mas, maaf ya kalau Sal dan ibu becandanya sama Mas kelewatan. Soalnya ekspresi Mas tadi beneran lucu banget. Kelihatan kaget. Shock banget gitu. Tenang aja, Mas, kami tahu kok Mas kemungkinan besar nggak doyan ikan asin."
"Bukan kemungkinan lagi, Sal, tapi memang nggak doyan. Dan aku nggak mau juga kalau disuruh nyobain. Baunya aja udah ngeri gitu." Andro bergidik. Salma tertawa sekali lagi. Memeluk suaminya erat sekali.
Suara deham mengacaukan pelukan. Bu Miska dan Bu Dita sudah berada di sana, mendorong troli saji yang selama ini cuma menjadi pajangan di dapur Salma. Keempatnya lalu makan malam dengan lahap. Andro sendiri sama sekali tak terganggu dengan bau ikan asin yang sama sekali berbeda dari saat digoreng tadi. Dia paling duluan menghabiskan nasi goreng seafood kesukaannya, lalu menuntaskan jus apel bikinan Salma.
"Bu Miska, Bu Dita, tadi mama telepon saya. Kata mama, kapanpun ibu berdua ingin pulang, tinggal bilang saja, insya Allah nanti driver yang jemput dari sana, atau diantar Andro sama Sal juga nggak apa-apa. Keadaan panti aman dan kondusif. Malah keadaan Salma yang sepertinya belum siap ditinggal ibu berdua." Andro mengawali obrolan.
Memang begitulah adanya, Salma masih senang ditemani oleh kedua ibunya. Dengan Bu Dita juga dia sudah lebih dekat dari sebelumnya. Kadang Andro melihat ibu dan anak itu sedang ngobrol berdua, sementara Bu Miska sudah pulas karena memang masih harus banyak beristirahat setelah sakit beberapa waktu lalu.
Mamanya tentu saja sudah menghubungi Bu Miska sendiri dan mengabarkan kondisi panti, tapi beliau tak mengetahui bagaimana keinginan Salma, sebab hanya pada Andro saja Salma mengatakan apa maunya.
"Sebenarnya masih pengen di sini, Mas Andro. Kami senang, kalian berdua pintar dan baik sekali sama orang tua. Cuma..., saya kan masih ada panti yang harus diurus ya. Kalau Bu Dita mungkin malah nggak apa-apa ditinggal di sini dulu dengan Salma."
"Nggak, Bu. Salma juga maunya Bu Miska di sini. Kan Bu Miska ibunya Salma, dan akan selamanya seperti itu." Salma menyahut cepat. Dipeluknya Bu Miska erat, seakan tak ingin ditinggalkan dalam waktu dekat. Bu Miska membalas pelukan dengan mengelus lembut punggung Salma.
"Oh iya, kemarin kami bertiga juga sudah sempat ngobrol tentang panti. Kata Salma, kalau nanti Mas Andro sudah selesai kuliahnya, kalian berdua mau kembali ke Surabaya. Nah, kalau waktu itu sudah tiba, Salma saya minta untuk bantu urus panti lagi, karena kalau nanti saya sudah nggak ada, Salma yang akan melanjutkan peran saya di panti.
"Bukan tanpa alasan saya menyampaikan seperti ini. Salma yang paling tahu tentang panti, Salma yang paling bisa dekat dengan Yanti, Salma juga dikelilingi oleh orang-orang baik yang selama ini banyak berperan untuk keberlangsungan panti. Pak Antariksa, Bu Utami, dan hampir semua keluarga besar beliau berdua. Begitu, Mas Andro.
"Salma sendiri sudah menyatakan bahwa dia insya Allah bersedia, tinggal Mas Andro bagaimana? Kalaupun Mas Andro keberatan, saya juga tidak apa-apa, karena Mas Andro memang yang paling berhak atas Salma dan setiap keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya." Bu Miska menutup penuturannya dengan lega.
Andro menghela napas sebelum menjawab Bu Miska. Rencana masa depannya juga mungkin tak akan langsung tinggal lama di Surabaya setelah lulus nanti. Ilmunya harus ditingkatkan lagi dan tak menutup kemungkinan untuk melakukannya di luar negeri. Tentu saja Salma menjadi salah satu bagian paling penting dari rencananya.
"Emm..., sebenarnya saya belum berpikir sampai sejauh itu, Bu. Tapi apapun itu, asal tujuannya baik, dan Salma melakukannya dengan kesadaran diri serta dengan senang hati, insya Allah saya mendukung penuh. Dan nggak harus langsung seketika begitu kami kembali ke Surabaya kan ya, Bu?"
Bu Miska terkekeh. Tentu saja tidak sekaku itu.
Setelah beberapa saat melanjutkan perbincangan, Bu Miska akhirnya setuju untuk memperpanjang keberadaannya di Semarang hingga sepekan ke depan. Salma senang sekali. Dipeluknya Bu Miska sekali lagi. Hendak memeluk Bu Dita juga, tapi dentang bel membuyarkan semuanya.
"Biar aku aja yang buka, Sal." Andro berdiri, melangkah menuju pintu utama. Tanpa diminta, Salma bergegas bangkit dan mengikuti suaminya.
"Assalamualaikum, Ndro. Sorry, aku ke sini. Kamu dihubungi berkali-kali nggak ada respon. Nova kecelakaan."
Sosok Wahyudi menyambut begitu pintu terbuka. Agak panik, mengabarkan salah seorang kawan seangkatan mereka mengalami kecelakaan.
"Astaghfirullah. Duduk dulu, Yud, jangan panik. Aku jadi nggak paham ceritamu. Tarik napas dulu lah." Tak ada bercanda seperti biasanya.
Andro menyuruh Salma membuatkan minuman hangat untuk sahabatnya. Salma segera melakukannya, dan kembali ke ruang tamu tak sampai lima menit berikutnya.
Nova, salah seorang teman mereka mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Salatiga. Dia hendak mengantar adik perempuannya pulang ke Sragen, berboncengan menaiki kendaraan roda dua.
"Oke, aku ganti baju dan pamitan dulu sama ibu mertuaku. Kamu kabarin di grup angkatan, kalau ada yang mau ikut, suruh nunggu sebelum jembatan tol, Yud. Maksimal lima curut."
Beruntung, dari Surabaya kemarin Andro membawa Innova yang biasa dipakai Bu Jani berbelanja. Jadi dalam keadaan seperti ini dia bisa mengajak lebih banyak orang untuk menemani.
Andro menarik Salma ke kamar, meminta bantuannya untuk mengemasi apa-apa yang sekiranya diperlukan. Dia sendiri bergegas mengganti sarung dengan celana panjang, menyambar jaket denim dari gantungan, lalu mengikat rambutnya asal saja. Setelahnya segera ke teras belakang, menjelaskan secukupnya dan berpamitan pada kedua ibu mertua.
Ketika kembali masuk rumah, semua yang dia perlukan telah Salma siapkan dalam satu ransel berukuran sedang. Di sampingnya, sebuah totebag besar berisi beberapa kaleng susu, beberapa botol air mineral, dua kotak cemilan, dan setoples permen siap menemani perjalanan.
"Terima kasih ya, Sal. Kamu selalu ngertiin aku. Kamu selalu sigap nyiapin keperluanku. Kamu selalu sempurna buat aku. I love you." Andro menempelkan hidungnya pada hidung mancung Salma. Merasa sangat beruntung memiliki Salma.
"Iya, Sal juga sayang sama Mas. Mas hati-hati, ya. Jangan lupa ngabarin Sal. Udah ah, sana, Mas buruan berangkat. Kasihan temannya yang kecelakaan kalau nunggunya kelamaan."
Andro mengecup Salma sekali lagi. Bergegas menyahut ransel dan kembali ke ruang tamu. Salma mengikuti, membawakan totebag berisi perbekalan untuk Andro dan teman-temannya. Bu Miska dan Bu Dita tak ketinggalan ingin melepas keberangkatan menantunya.
"Ayo, Yud. Cah-cah sido podo melu gak? (Anak-anak jadi pada ikut, nggak?"
"Sido, cah papat. (Jadi, empat orang.) Yudi menjawab singkat sambil beranjak. Menganggukkan kepala dengan santun pada dua ibu yang menyertai Salma.
Andro melempar tas punggungnya asal saja ke second row. Salma yang menaruh tas perbekalan cuma geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya, dengan cekatan membetulkan letaknya.
"Sal," panggil Andro dari balik kemudi. Salma mendekat, menempelkan tubuhnya pada pintu yang kaca jendelanya telah turun sepenuhnya. Disambutnya tangan Andro, lalu mencium punggung tangannya.
"Tidurnya jangan malam-malam ya, Sal. Ajak ibu tidur bertiga di kamar kita. Aku mungkin pulang besok pagi."
Salma mengangguk, lalu memberi jarak agar mobil bisa mundur dengan leluasa. Tapi mobil tak segera bergerak, malah pintunya kembali terbuka.
"Ada yang ketinggalan, Mas?"
"Nggak ada. Cuma pengen peluk kamu sekali lagi."
Salma tersipu sambil menoleh ke kanan kiri. Tak enak hati pada kedua ibunya, juga Wahyudi. Tapi Andro cuek saja, memeluk dan mengecup kening Salma, yang disambut cubitan kecil pada pinggangnya.
"I love you." Andro nyosor lagi. Cuma sekilas, tapi sudah cukup membuat saksi di sebelah bangku pengemudi jadi panas dingin.
"Asem! Rak nduwe perikejombloan, (Sial! Nggak punya perikejombloan)," omel Wahyudi begitu mobil bergerak menjauh dari rumah.
"Enak yo, Ndro?"
"Woo, yo gak enak meneh, Yud. Enak banget! Sik luwih enak seko kui jik onok meneh, surga dun---"
(Wah, ya bukan enak lagi, Yud. Enak banget! Yang lebih enak dari itu masih ada lagi, surga dun---)
"Rak sah kakean cangk*m ah, Ndro! Malah diterus-teruske."
(Nggak usah kebanyakan ngomong ah, Ndro! Malah diterus-terusin.)
Andro tergelak melihat wajah Wahyudi yang terlihat sangat kesal. Obrolannya terlalu menjurus untuk seorang Wahyudi, yang hilal jodohnya bahkan masih sekian tahun cahaya alias sama sekali belum terlihat.
Keempat temannya sudah bergabung, topik obrolan pun diganti. Berenam membahas tentang keadaan Nova sesuai informasi yang masing-masing ketahui. Tapi informasi paling lengkap dan update berasal dari Wahyudi.
"Lha jare Nova semaput, opo wis sadar? Kok iso wa-nan karo kowe lho, Yud."
(Lha katanya Nova pingsan, apa udah sadar? Kok bisa whatsapp-an sama kamu lho, Yud.)
Wahyudi tersenyum-senyum, padahal juga tak terlihat wong kondisi gelap.
"Aku nduwe nomere adike. Adike gak po-po. Novane ancen rodo parah."
(Aku punya nomer adiknya. Adiknya nggak apa-apa. Novanya memang agak parah.)
"Wah, as* tenan arek siji iki. Nek perkoro wedokan lak mesti ndhisik dewe. (Wah anj**ng anak satu ini. Kalau urusan perempuan mesti paling duluan.)" Dari belakang terdengar sahutan, lengkap dengan umpatan. Disusul percakapan-percakapan yang penuh kerusuhan sampai mereka tiba di salah satu rumah sakit di kota Salatiga. Keenamnya segera melaksanakan tugas sesuai yang sudah dibagi di mobil tadi.
Keadaan Nova tidak terlalu parah. Hanya luka-luka ringan di beberapa bagian tubuh, juga tulang pergelangan kaki kirinya patah. Sempat pingsan karena dadanya terkena benturan cukup keras, tetapi belum diketahui pasti kondisinya karena rontgen baru dilakukan besok pagi.
Tak butuh waktu lama, semua terselesaikan hingga Nova menempati salah satu bangsal kelas satu. Masalahnya, adik perempuan Nova tentu saja tidak mungkin menginap di situ bersama mereka. Selain perempuan sendiri, dia juga tentunya masih agak shock dan butuh beristirahat. Keluarga Nova sendiri baru bisa datang besok pagi. Ditambah lagi ada cecunguk bernama Wahyudi.
Andro berinisiatif menghubungi Asya yang asli Salatiga. Baru mengeluarkan gawai, yang akan dihubungi lebih dulu meneleponnya.
"Assalamualaikum. Gimana, Sya?"
"Waalaikumussalam. Adiknya Nova gimana, Ndro? Kalau butuh tempat nginap, biar tidur di rumahku aja. Ada adik perempuanku kok."
"Sip! Baru mau bilang, eh ibu dosen udah paham aja. Kasih alamatnya ya, Sya. Segera kuantar ke sana."
"Siap, Pal!"
*Pal: teman (biasa digunakan ke teman yang akrab/dekat)
"Thanks, Sya."
Andro ngotot menolak Wahyudi untuk menemaninya mengantar adik Nova ke rumah Asya. Dia mengajak satu teman lain, yang paling alim diantara mereka. Wahyudi tentu saja menunjukkan kekecewaannya. Andro cuek saja, tapi ternyata itu berlangsung sampai keesokan harinya.
Bakda subuh mereka pamit pulang, menitipkan Nova pada perawat yang berjaga. Keluarganya mungkin datang tak lama lagi. Keempat temannya turun di bawah jembatan tol Tirto Agung, hanya Wahyudi yang masih bersama Andro karena motor bututnya ada di Madina.
"Sorry, Yud. Semalam aku terpaksa. Ini bukan pembelaan diri, tapi menurutku memang nggak pada tempatnya yang kamu lakuin semalam. Waktunya nggak pas."Andro membahas soal mengantar adiknya Nova ke rumah Asya semalam.
"Aku mana pernah pas sih, Ndro? Yo wis ngene iki, nek wong kere mesti salah. (Ya begini ini, kalau orang miskin mesti salah)." Wahyudi jadi sensi.
"Yo gak ngono, Yud. Ojok emosi dhisik, dipikirlah nganggo logika. Keadane koyok ngono mosok yo jek mikir wedokan. Koyok ga onok wektu ae."
(Ya bukan begitu, Yud. Jangan emosi dulu, dipikirlah pakai logika. Keadaannya lagi kayak gitu, masa iya masih mikirin perempuan. Kayak nggak ada waktu aja.)
"Wektu mungkin jek akeh, Ndro. (Waktu mungkin masih banyak, Ndro) Tapi kesempatan belum tentu datang dua kali."
"Halah, alesanmu onok ae (Halah, alasanmu ada aja). Baru kemarin lho aku ngomongin, nggak digagas juga. Kon ki ancen angel dikandani (Kamu tuh memang susah dikasih tahu)."
"Kamu jadi sahabat gitu amat, Ndro?"
"Gitu amat, gimana? Aku justru berniat baik, Yud. Aku ngingetin kamu biar nggak salah fokus. Kon iku pinter. Percayalah, masa depanmu akan jauh lebih baik kalau kamu siapin dengan baik dari jauh-jauh hari. Nanti kalau udah mapan, sopan, tampan, kamu tinggal tunjuk aja mana yang mau kamu seriusin buat jadi istri, calon mertua juga pasti merestui."
"Kowe ngomong gampang, Ndro. Uripmu kabeh mulus. Kuliah mulus, pengen opo-opo dalane yo mulus, urusan finansial mulus, entuk bojo yo mulus, kurang---"
(Kamu ngomong sih gampang, Ndro. Hidupmu semuanya mulus. (Urusan) kuliah mulus, pengin apa-apa jalannya juga mulus, urusan finansial mulus, dapat istri juga mulus)
"Yud, kamu kalau ngomong dijaga ya! Nggak usah bawa-bawa Salma. Omonganmu tuh melecehkan istriku. Aku nggak terima!"
"Sing melecehkan ki yo sopo lho, Ndro? Maksudku---"
(Yang melecehkan tuh ya siapa lho, Ndro?)
"Diam! Aku nggak butuh penjelasanmu!"
Andro sensitif sekali kalau itu tentang Salma. Maksud Wahyudi yang mulus itu jalannya Andro mendapatkan Salma, bukan Salmanya.
"Yo wis, karepmu, Ndro. Aku ki opo to, nggone salah thok nek karo awakmu. Wis lah, aku langsung mulih ae."
(Ya udah, terserah kamu, Ndro. Aku ini apa sih? Tempatnya salah terus kalau sama kamu. Udah lah, aku langsung pulang aja.)
"That's better."
Mobil memasuki halaman. Pintu terbuka beberapa detik kemudian. Salma keluar dengan senyumnya yang menawan. Andro buru-buru turun dan berlari ke arah istrinya. Bukan memeluk, tapi langsung menghalau Salma agar kembali masuk ke rumah.
"Mas kenapa, sih?"
"Udah, masuk aja. Aku kan nggak nyuruh kamu keluar, Sal."
"Kunci motornya Mas Wahyudi masih di situ." Salma menunjuk pada kotak khusus tempat menaruh kunci.
"Nggak usah genit deh sama dia. Kamu masuk kamar. Biar kuncinya aku yang kasih. Aku juga malas lihat muka dia lama-lama."
"Mas kenapa, sih?" Tak menjawab, diseretnya Salma ke kamar.
"Ingat ya, Sal. Jangan keluar kamar sampai aku masuk!"
Andro kembali ke halaman, menyerahkan kunci pada Wahyudi, lalu tanpa basa-basi kembali masuk rumah dan menutup pintu. Meninggalkan sahabatnya begitu saja.
"Mas kenapa?" Sekali lagi Salma bertanya dan untuk kesekian kali Andro tak menjawab. Dia menyambar handuk, lalu masuk kamar mandi.
"Mas mau sarapannya Sal bawa ke sini?" tanya Salma lagi, begitu Andro selesai mandi. Andro menggeleng.
"Kamu aja yang ke sini." Andro memberi kode dengan tangannya. Salma mendekat, Andro langsung menarik ke pangkuannya. Salma pasrah saja.
"Maafin aku ya, Sal. Aku masih selalu emosi kalau ada laki-laki lain yang ngomongin kamu."
"Mas Wahyudi?"
"Nggak usah pakai Mas gitu bisa nggak, sih? Genit banget."
"Mas tahu nggak? Ngatain Sal genit gitu tuh udah merendahkan Sal, lho. Sal nggak suka. Sal kan genitnya cuma sama Mas aja."
Andro tersentak. Baru sadar kalau dia yang salah. Tak hanya pada Salma, tapi juga Wahyudi. Bukan sekali dua kali dia terlibat ketegangan dan hubungan yang renggang dengan sahabatnya itu, tapi kalau penyebabnya karena kecemburuan, rasanya baru kali ini terjadi.
"Astaghfirullah. Kayaknya aku kecapaian, Sal, jadi agak oleng. Maafin aku ya, Sal. Sungguh, sama sekali nggak ada niat merendahkan kamu. Aku juga harus minta maaf sama Yudi nih, tapi nanti lah, aku mau tidur dulu. Tolong bangunin aku jam sembilan ya, Sal."
Salma tak bertanya lebih lanjut. Nanti kalau Andro sudah lebih segar, pasti akan bercerita tanpa diminta.
"Sal temenin sampai Mas tidur, ya."
Andro menerima tawaran Salma dengan gembira. Ditanggalkannya kaus dan celana pendeknya, lalu....
"Mas, masa tidur pagi juga harus pakai kostum gitu, sih?"
"Arek ayu iki kakean protes, ya! (Anak cantik ini kebanyakan protes, ya!) Biasanya aku nggak pakai apa-apa juga kamu nggak protes, malah ethes."
*Ethes: cekatan
"Iiih..., Mas Androoo...."
***
Hai, ketemu lagi setelah bolos update dua kali. Maaf ya.
Dan maaf juga kalau part kali ini beneran nggak ada isinya, cuma haha hihi aja. Makanya kukasih judul hiburan.
Aku lagi mentok bikin satu part sebelum part yg agak gereget nanti. Emm..., apa ya..., semacam pengantarnya utk ke sana gitu. Beneran mentok.
Aku juga lagi di fase banyak yg pengen kukerjakan tapi bingung mulai dari mana. Ujung-ujungnya malah nggak ngapa-ngapain. Udah curhay kemarin di story IG, eh ternyata banyak temennya yg pernah ngalamin begitu. Senang aku tuh, jd nggak merasa sendirian. Haha...
Terus aku juga kemarin lagi banyak baca novel lagi. Dan hasilnya..., aku jadi rada insecure dg tulisanku yg selalu bertele-tele ngalor ngidul panjang lebar, gitu. Tapi mau mengubah gaya juga aku udah telanjur nyaman dg style-ku.
Ah, ya begitulah. Pokoknya lagi banyak hal yg bikin oleng.
Lho, malah curhat, gimana sih ini? Wakakak.
Lagunya nggak ada hubungannya. Itu ceritanya kemarin lagi ngobrolin lagu First Love sama anak sulungku karena aku dengar dia nyanyi lagi itu, aku ikut nyaut. Terus aku tanya, "Kok kamu tahu lagu itu?" Eh dia malah balik nanya, "Nah mama kok tahu lagu itu juga?" Lah... Hahaha...
Akhirnya bertukar info siapa penyanyi aslinya dan penyanyi yg anakku tahu versinya. Eh, Maudy Ayunda. Kan jadi inget gombalan failed-nya Andro. Wkwk..
Ya udah, pokoknya mohon maaf banget, khususnya buat part ini. Nggak usah dimasukin hati yaaa.
Terima kasih masih menyimak sampai sejauh ini. Semoga kita semua selalu sehat dan dalam lindungan-Nya.
See you :)
Semarang, 13082021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top