40. Kesadaran

I am here for you, always here for you
When you need a shoulder to cry on, someone to rely on
I am here for you
(Firehouse - Here For You)

***

Para penghuni panti sedang mengaji bersama ketika Andro dan Salma tiba. Wajah Salma terlihat bahagia, rasanya sudah lama sekali dia tak membersamai kegiatan adik-adiknya di panti. Maka ia memanfaatkan dengan baik kesempatannya kali ini.

Mata Andro tak berkedip, mengikuti apapun dan kemanapun gerakan Salma. Hatinya dipenuhi perasaan bangga memiliki Salma sebagai istrinya.

"Perempuanku memang istimewa. Coba malem itu aku nggak ketemu kamu, Sal, pasti aku nyesel banget seumur hidup," bisik Andro usai melaksanakan salat isya dengan dia sebagai imamnya.

"Halah, kalau kita nggak ketemu paling Mas masih terus ngarepin Mbak Zulfa, nggak peduli dia udah ada yang punya. Sekarang aja gitu." Salma merajuk.

Kena lagi deh, batin Andro. Memilih diam daripada memperpanjang urusan.

Bu Miska memanggil Salma ke kamarnya. Andro tak disebut, jadi dia tahu diri dan menunggu di depan kamar. Baru sebentar, Salma kembali muncul di hadapan.

"Mas, ikut masuk ya. Ikut dengerin apa yang mau Bu Miska bilang, siapa tahu Sal nggak sanggup dengerin sendiri, kalau mau nangis kan ada Mas." Andro mengangguk, mengekori langkah Salma memasuki kamar Bu Miska.

Bu Miska berdiri di depan lemari yang pintunya terbuka, mengambil sebuah bungkusan plastik berukuran sedang, dan meletakkannya di tempat tidur.

"Salma, ibu minta maaf ya, Nak. Sama sekali tak ada maksud untuk membuatmu sedih atas masa lalu dan asal usulmu, tapi menurut ibu, waktunya sudah tiba. Ibu sengaja menyimpan ini semua karena ibu yakin hari ini akan tiba. Ibu yakin kamu bukan dari keluarga sembarangan yang meninggalkan bayinya karena tak punya kemampuan untuk membesarkan.

"Ini barang-barang yang ada bersama bayimu dulu, Nak. Ibu cuci dan ibu simpan rapi, sudah belasan tahun ada di lemari ini. Tak ada satupun yang ibu buang, termasuk cincin mungil yang dulu tersemat di jari manismu."

Bungkusan plastik itu dibuka oleh Bu Miska. Selembar selimut lembut warna abu-abu, tiga pasang baju bayi lengkap dengan sarung tangan dan kaus kaki, topi rajut mungil, bantal bermotif bunga-bunga, juga sebuah kotak kecil berisi selembar kertas dan cincin.

Andro meminta izin pada Salma untuk membuka lembaran kertas itu, Salma mengangguk dengan mata dipenuhi genangan yang siap tumpah.

Semoga kita masih bisa bertemu. I love you.
Mama.

Air mata Salma mengalir tanpa suara, Andro meraih dan menggenggam jemarinya, memberi kekuatan atas hal sulit yang harus mereka hadapi.

"Bu Dita ada di mana, Bu? Boleh Salma bertemu?"

Bu Miska mengangguk. Didekatinya Salma, lalu menangkup kedua pipi anak asuhnya. "Terima kasih, Nak. Ibu menunggu kamu mengatakan ini. Bu Dita di kamarmu, temuilah dia. Bawa ini ke sana, dia punya yang sama." Bungkusan yang tadi dibuka disodorkan oleh Bu Miska kepada Salma.

Andro mendampingi Salma keluar dari kamar. Bu Miska tidak ikut serta, menangis sendirian di dalam kamarnya. Sedih dan haru menjadi satu. Salma sudah bukan lagi menjadi Salmanya.

Sampai di depan pintu kamar yang dahulu ditempati Salma, keduanya berhenti. Andro menahan tangan Salma. "Mau kutemani atau mau masuk sendiri, Sal?"

"Salma sendiri saja, Mas." Suaranya bergetar, tangannya gemetar, jantungnya berdebar.

Doa Nabi Musa diucapkannya, memohon kepada Rabb-nya agar dilapangkan dada, dimudahkan urusan, serta dilepaskan kekakuan dari lidahnya.

"I love you, Sal. Aku di depan pintu, kapanpun kamu butuh aku, i am here for you. Always here for you."

Ditariknya Salma mendekat, pada bibir kemerahan itu sebuah kecupan mendarat, membuat Salma merasa lebih kuat.

"Terima kasih sudah selalu ada buat Sal. Sal sayang sama Mas."

Salma mengetuk pintu pelan. Tak sampai ketukan kedua, pintu sudah terbuka. Salma menelan ludah. Diulurkannya tangan untuk bersalaman, Bu Dita menyambut dengan canggung. Salma mencium tangannya, mata Bu Dita menyorotkan bahagia.

"M-maaf, Bu. B-boleh saya masuk?" Salma tak kalah gugup. Diambilnya bungkusan dari tangan Andro sebelum masuk ke kamar.

Walaupun inginnya setengah mati, Andro menahan diri untuk tak ikut masuk. Lagipula..., tak ada yang mengajaknya, jadi dia harus puas berada di depan pintu saja.

Salma berhenti, menoleh sekali lagi pada Andro. Tak berkata apapun, hanya kilatan di mata yang mewakili 'i love you'-nya untuk Angkasa Andromeda. Selanjutnya dia melangkah ke kamar yang kini ditempati ibunya.

"Emm, Bu Miska menyuruh saya membawa ini, kata beliau Bu Dita punya yang sama." Salma memulai pembicaraan setelah hening selama beberapa saat. Bungkusan yang tadi diberikan Bu Miska ditaruhnya di atas kasur.

Bu Dita mengangguk, lalu mengambil kotak khusus yang sepertinya sudah berusia cukup lama. Dikeluarkan satu per satu isinya. Selimut, topi, sepasang baju bayi dengan sarung tangan dan kaus kaki yang semuanya sama persis dengan yang Salma terima dari Bu Miska.

Perempuan berusia pertengahan empat puluh itu membuka kotak kecil berisi cincin mungil pada bungkusan Salma, diserahkannya cincin itu pada si empunya, kemudian kedua tangannya masuk ke dalam kerudung lebar yang dikenakan. Dia melepas kalungnya, menunjukkan sebuah cincin yang digunakan sebagai liontin.

"Kita juga punya cincin yang sama," ujarnya pelan.

"Ini untuk Salma," katanya lagi, sambil menjejalkan kalung berliontin cincin itu ke genggaman Salma. Salma menerima, mengamati sejenak, lalu menaruh di kotak kecil tempat cincin mungilnya ditaruh.

"Dan saya punya beberapa foto Salma waktu masih bayi. Salma ingin melihat?" Salma mengangguk. Tangan Bu Dita terulur, mengangsurkan sebuah amplop cokelat yang dengan hati-hati dibuka oleh Salma. Beberapa lembar foto kini ada di tangan Salma, tampak lusuh, mungkin karena sering disentuh.

Cukup lama Salma memandangi lembar demi lembar yang memuat gambar seorang bayi mungil nan cantik dan menggemaskan. Helainya yang lusuh membuatnya yakin bahwa benar ibunya selalu menyayanginya.

"Bu Dita sering melihat-lihat foto ini, ya?"

"Begitulah. Saya selalu menyimpan harapan untuk bisa bertemu lagi dengan bayi cantik yang ada di dalam foto. Dan memang dia tumbuh besar menjadi cantik. Fisiknya, akhlaknya, kemampuannya, semua cantik. Mungkin tak akan begitu kalau ikut saya, dulu. Maafkan saya ya, Salma. Begini saja sudah cukup untuk saya. Terima kasih."

Hening kembali menyusup diantara keduanya. Mata Bu Dita sudahlah basah, hati Salma bergolak resah. Di satu sisi teramat ingin memeluk ibunya, tapi di sisi yang berbeda meneriakkan ketidaksiapannya.

"Saya yang berterima kasih, Bu. Bu Dita sudah berusaha mencarikan tempat terbaik untuk saya tumbuh besar. Maafkan saya. Insya Allah saya sudah menerima bahwa Bu Dita adalah ibu saya, tapi tidak apa-apa ya, Bu, jika saya masih butuh waktu untuk yang lain-lain?"

Bu Dita mengangguk, sangat bisa memaklumi apa yang ada di hati putri kandungnya. Dia tak memaksa, dan tak akan pernah memaksa. Bertemu dengan Salma sudah lebih dari cukup baginya.

"Emm..., apa Bu Dita ingin memeluk saya?" Sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari bibir Salma.

Mata ibunya berkaca-kaca, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu tetapi tak bisa keluar.

"B-bo-boleh?" Hanya itu yang akhirnya keluar dari lisan Nerudita.

Tak ada jawaban dari Salma, hanya mendekat, lalu memeluk ibunya.

Tangis Bu Dita pecah di bahu putrinya. Bayi yang pernah ditinggalkannya di depan rumah Bu Miska. Anak yang mungkin malu jika tahu bagaimana masa lalu ibunya hingga dirinya terlahir ke dunia. Seseorang yang selalu disebutnya dalam doa, dan cuma kepadanya rindu ditujukan.

Pelukan Salma semakin erat. Tak ada air mata, hanya jantungnya memompa darah lebih cepat. Ada hangat yang menjalar di dalam dada, perasaan yang entah apa, namun membuat Salma merasa menemukan sesuatu yang sejak lama dia nantikan.

Ruang kosong di hati Salma telah diketuk pintunya, sudah pula ia buka dan terima, hanya perlu waktu untuk mempersilakan si pengetuk pintu masuk ke dalamnya. Mungkin tidak sekarang, tapi ia yakin suatu hari nanti. Mungkin akan lama, tapi tak menutup kemungkinan akan terjadi pada hitungan jam berikutnya.

Mereka saling melepas pelukan. Bu Dita masih terisak, Salma hanya menyeka kedua bening yang tak sampai menganak sungai.

"Oh iya, tadi saya dari rumah eyang, beliau bercerita banyak tentang Opa Johan. Kami juga melihat sebentar ke dalam rumah Opa Johan. Ada foto Bu Dita di sana. Ada juga foto Bu Dita dengan papa yang bikin Mas Andro tertawa melihatnya. Kata Mas, wajah Bu Dita dan papa waktu muda mirip kami berdua."

Salma mencoba membangun keakraban, menceritakan hal-hal yang mungkin dirindukan oleh ibunya. Bu Dita tertawa kecil mendengar apa yang disampaikan Salma.

"Papa memang orangnya keras, sama seperti saya. Dengan papa saya seperti batu yang dilempar ke tembok, selalu mental, nggak pernah bisa ketemu, yang ada malah pecah karena selalu dilempar lagi dan lagi. Mungkin maksud mereka baik, siapa tahu batu itu bisa melubangi temboknya, lalu terjebak dan menjadi satu di sana. Sayangnya tidak.

"Dan Bang Iksa..., saya memang paling dekat dengan dia. Satu-satunya yang selalu bersabar menghadapi saya. Satu-satunya yang bisa selalu menjaga objektivitas ketika berhadapan dengan saya, begitupun dengan papa, atau keluarga saya.

"Sungguh, sebenarnya saya sudah akan pergi begitu tahu Salma jadi menantunya Bang Iksa. Tapi..., ya beginilah, kita nggak bisa lari dari kehendak Sang Maha Sutradara. Salma mungkin kecewa dengan saya, tapi dengan Salma mau bertemu dan bicara berdua seperti ini, saya merasa hidup saya sudah lengkap. Kalaupun harus mati sekarang pun saya ikhlas."

"Ibu jangan bilang begitu. Salma cuma butuh waktu, Bu."

Jika tadi Salma tak menangis, tidak untuk kali ini. Perkataan Bu Dita membuat Salma dilanda kekhawatiran, andai yang dikatakan ibunya benar-benar terjadi, sedangkan dia belum sempat berbakti. Bagaimanapun Nerudita adalah ibunya, perempuan yang mengandung serta melahirkannya.

Tangis Salma menembus pintu, membuat perasaan Andro tak menentu. Dia paling tidak bisa membiarkan Salma menangis tanpa memeluknya. Seperti yang sudah-sudah, pemuda itu nyelonong masuk tanpa permisi.

"Maaf, Bu, tapi Salma menangis, jadi saya masuk," katanya, lalu buru-buru merengkuh Salma ke dalam peluknya.

Senyum Bu Dita mengembang,bahagia melihat putrinya memiliki suami sebaik Angkasa Andromeda.

"Bu Dita, saya minta maaf. Kata eyang, Bu Dita belum berkomunikasi lagi dengan Oma Luci dan Tante Sara karena eyang menunggu saya, menunggu hubungan kita lebih dekat dari sebelumnya. Tapi kalau Bu Dita sudah ingin kembali kepada Oma Luci dan Tante Sara, sebenarnya juga tidak apa-apa. Bukankah ini sudah progress yang cukup baik untuk hubungan kita, Bu?" kata Salma setelah tenang kembali.

"Tidak apa-apa, Salma. Saya jauh lebih lama berpisah dengan mama, tidak masalah kalau saya harus menunggu lebih lama lagi. Yang paling penting buat saya saat ini adalah kamu dan..., c-cucu saya. Maaf kalau Salma nggak berkenan saya menyebutnya demikian."

Air mata Bu Dita kembali jatuh. Salma menggenggam tangan ibunya, mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan itu semua.

"Baiklah. Emm..., kalau begitu kami pulang dulu, Bu. Saya janji, insya Allah hubungan kita ke depannya akan lebih baik dari saat ini."

Keduanya bertukar nomor handphone. Salma kembali ke kamar Bu Miska, berpamitan cukup lama dengan ibu yang selalu tulus mengasuhnya.

***

Sabtu pagi, Salma makan banyak sekali. Andro sampai khawatir istrinya berubah body. Memang cintanya bukan hanya physically, tapi memeluk Salma dengan postur ideal tentu lebih dia sukai.

"Mas, kita pulang ke Semarangnya kapan?" tanya Salma, mereka baru saja kembali ke kamar.

"Terserah kamu sih, Sal. Tapi kita baru dateng kemarin, masih ada besok juga. Pulang besok nggak apa-apa kali, Sal?"

"Oh iya, Mas. Emm..., kayaknya Sal banyak dosa deh." Bahan pembicaraan beralih.

"Eh, kenapa gitu? Perasaan kamu masih tetap baik dan sholihah. Kalau sifatmu agak berubah, itu kan karena hormonal." Andro mengerenyit, merasa istrinya baik-baik saja dan sepertinya tidak ada perbuatannya yang menjurus pada dosa.

"Tapi, Mas..., Sal kok kalau dengan Bu Dita masih belum bisa tersentuh yang sampai mendalam gitu ya? Bukannya itu salah satu pertanda hatinya Sal keras? Dan hati yang keras salah satunya adalah karena banyak dosa karena banyak dilalaikan oleh urusan dunia."

"Ya nggak gitu juga kali, Sal. Setiap orang pasti bisa memaklumi kalau tahu posisimu, Sal. Itu bukan sesuatu yang mudah. Sebaik-baik orang ketika mengalami hal seperti yang kamu alami sekarang ini, mungkin akan bereaksi yang sama."

"Tapi kalau menurut Sal sendiri, harusnya nggak gitu, Mas. Apa mungkin karena sekarang ini di hatinya Sal ada benih-benih kebencian pada orang lain, ya? Dan itu membuat Sal jadi keras hati." Salma mengemukakan analisisnya.

"Apa sih, Sal? Perasaan kamu orang yang selalu husnuzon sama siapa aja deh. Kamu juga selalu baik sama orang lain. Memangnya kamu ada benih kebencian sama siapa? Bu Dita?"

"Bukan sih, Mas, tapi sama..., Mbak Zulfa. Iya, sama Mbak Zulfa. Sepertinya mengarah ke sana." Andro terdiam, mau menanggapi takut berakhir dengan salah paham dan memancing kegaduhan.

"Emm, bukan benci sih sebenernya, tapi..., Sal nggak suka. Sal cemburu. Gara-gara itu juga Sal jadi sering ada rasa nggak percaya sama Mas, suka curiga, suka kesel. Sal susah menerima. Yang dulu selalu ikhlas menerima keadaan, ini jadi kayak ada keluhan, ada beban. Mungkin ini juga yang bikin hatinya Sal jadi keras.

"Kalau nanti Mas ketemu Mbak Zulfa, sampaikan maaf dari Sal ya, Mas. Terus Mas juga harus doakan Sal, biar Allah melembutkan hatinya Sal. Sal mau jadi orang baik aja, nggak mau jadi orang yang punya rasa benci sama orang lain. Mas mau kan?" Salma berhenti bicara, menatap lurus pada Andro yang sedang kehabisan kata.

"Ehk, m-mau apa maksudnya, Sal?"

"Mau menyampaikan maafnya Sal ke Mbak Zulfa lah. Memangnya yang ada di pikiran Mas mau apa?" Ditahannya ekspresi agar tak terbaca kekesalannya.

"Eh, nggak gitu, Sal. Emm..., kalau kamu ketemu sendiri sama dia, kamu bersedia?" tanya Andro hati-hati.

"Maksudku nggak harus secepatnya, sampai kamu bener-bener lega dan yakin bisa menahan emosi di depannya. Biar kita sama-sama yakin kalau kamu memang sudah beneran ikhlas, beneran tulus. Karena memendam perasaan itu nggak enak, Sal. Aku nggak mau kamu memaksakan diri."

"Hemm, iya deh, kalau yang ngomong yang sudah fasih dan berpengalaman dalam urusan memendam perasaan, Sal nurut. Kalau harus ketemu dan minta maaf langsung juga Sal Insya Allah siap. Sal beneran udah rindu pengen bisa seperti anak dan ibu pengen berbaikti sama Bu Dita, karena bagaimanapun dia ibunya Sal. Sal pengen---"

"I love you, Sal."

Dibungkamnya Salma dengan ciuman. Andro tak butuh mendengar apa-apa lagi dari bibir Salma. Semua yang ditemukannya dalam diri Salma sudah lebih dari cukup bagi dirinya.

"Mas, udah." Salma mendorong Andro, wajahnya terlihat malu-malu. Andro jadi makin gemas, biasanya juga nggak begitu.

"Kenapa udahan Sal? Kan aku suka. Jangan udahan dulu ya, please." Andro memohon.

"Sal mau ketemu mama, Mas. Sal mau minta maaf karena udah menjauh dari mama beberapa waktu ini. Mungkin ini juga salah satu yang bikin hati Sal jadi keras." Salma tahu yang Andro mau, tapi saat ini ada yang menurutnya lebih penting untuk dilakukan.

"Hatimu nggak keras, Sal. Kamu masih tetap baik dan lembut hati seperti dulu."

"Tapi Sal nggak juga luluh di depan seseorang yang sudah mengandung dan melahirkan Sal, Mas."

"Soal itu, kamu cuma butuh waktu, Sal. Seperti yang aku bilang tadi, siapapun akan memaklumi kalau tahu apa yang sudah kamu alami. Sekarang aku tanya, apa aja sih yang jadi penyebab seseorang jadi keras hati?" Andro sok bertanya, padahal memang dia tak tahu.

"Meremehkan dosa kecil, banyak makan, banyak tertawa, banyak bicara, teman atau lingkungan yang kurang baik ---"

"Menurutku, kamu nggak semua, Sal."

"Tapi mungkin Sal meremehkan dosa kecil, Mas. Nggak suka sama seseorang misalnya. Malah mungkin Sal juga melakukan dosa besar karena suka diam-diam suuzon sama suami, terus juga menjauhi orang tua cuma gara-gara Sal nggak suka dengan apa yang sering diobrolin mama dan papa tentang Bu Dita."

Salma ingin sekali mencintai dan dekat dengan ibunya, bukan sekadar bisa menerima, tapi dia masih merasa kesulitan. Itu menjadikan keresahan baginya.

"It's okay, Sal. Kamu jauh lebih tahu kalau soal itu, apalagi ini menyangkut hatimu sendiri. Dalamnya tanah bisa diukur, dalamnya hatimu nggak ada yang tahu, sekalipun aku. So..., perlu kutemani ketemu mama?" Salma menggeleng, untuk saat ini dia merasa lebih nyaman bertemu mama sendiri saja.

Salma bersyukur sekali, Andro selalu mau mengerti dirinya, selalu mengalah dan menyetujui pendapatnya, walaupun kadang harus melalui perdebatan terlebih dulu.

Ditinggalkannya Andro sendirian, menemui mama yang ternyata sedang asyik merawat koleksi anggrek kesayangan.

Salma mendekati ibu mertuanya, melibatkan diri dengan aktif bertanya. Apalagi dia juga punya koleksi anggrek di halaman belakang, yang itupun semua dibeli oleh mama. Mama senang sekali, menjelaskan banyak hal tentang anggrek sampai tak terasa hampir satu jam keduanya berkegiatan bersama.

Mama mengajaknya duduk usai mereka mencuci tangan di keran yang terletak tersembunyi di sudut taman. Kudapan dan dua gelas jus strawberry sudah tersaji. Salma menyeruput sepertiga isi gelasnya, membasahi kerongkongan, juga membuat hatinya lebih nyaman.

"Ma, Salma minta maaf kalau beberapa waktu belakangan agak jauh dari mama. Sal---"

"Udah, nggak usah dipikirin. Kan Andro udah cerita, mama juga udah menyadari kesalahan mama. Papa juga begitu." Mamanya bahkan sudah meminta maaf saat Salma dan Andro tiba kemarin.

"Yang kemarin itu kan terbalik, Ma. Salma yang harusnya minta maaf sama mama dan papa, bukan malah sebaliknya. Semua yang mama dan papa katakan benar, memang sudah semestinya Sal mencoba untuk lebih dekat dengan ibunya Sal." Digesernya posisi mendekati mama mertua. Salma meraih tangan mama, mencium punggung tangannya sambil meneteskan air mata.

"Maafkan Salma ya, Ma. Doakan Salma. Nasehatin Sal terus. Sal janji akan manut sama mama papa, ikut apa kata mama papa. Salma sayang sama mama papa. Bantu Salma juga biar bisa dekat sama Bu Dita ya, Ma."

Mama gembira mendengar apa yang disampaikan menantunya. Tentu saja akan dengan senang hati membantu Salma untuk bisa lebih dekat dengan ibu kandungnya.

"Besok kalau kalian pulang ke Semarang, ajaklah Bu Miska, juga ibumu. Bu Miska kan belum pernah tahu kehidupanmu di sana. Dita juga perlu tahu. Insya Allah semuanya bisa jadi lebih dekat. Sekalian biar Bu Miska refreshing. Nggak harus lama, sepekan saja juga nggak apa-apa, biar Sabtu atau Ahad depan dijemput driver." Begitulah Utami, berpikirnya cepat, thas thes, dan solutif.

"Iya, Ma. Ini ide bagus, Alhamdulillah. Nanti Sal sampaikan ke Mas. Insya Allah Mas juga setuju. Terima kasih banyak ya, Ma. Salma sayang Mama. Salma senang sekali jadi bagian dari keluarga ini. Terima kasih ya, Ma. Terima kasih."

Keduanya berpelukan, kemudian Salma mohon diri untuk kembali ke kamar.

Pintu kamar masih sama posisinya seperti saat Salma tinggalkan tadi. Di atas tempat tidur, Andro sedang tersenyum-senyum sendiri dengan mata fokus pada gawai. Salma sekuat hati menahan prasangka, ingat pada apa yang dikatakannya tadi tentang ketidaksukaannya pada seseorang yang mungkin berpotensi menjadikannya keras hati. Tapi dia tak bisa. Senyuman suaminya seakan menunjukkan rasa gembira yang sangat, dan jujur, itu mengganggu hatinya.

"Chat sama siapa sih, bahagia banget? Sama dia ya?"

"Duh, ketahuan. Kan tadi katanya udah nggak apa-apa. Berarti aku chat sama dia nggak apa-apa juga, kan?" goda Andro.

"Y-ya ng-nggak gitu juga, Mas." Mata Salma berkaca-kaca.

Ya Allah, mau suuzon dan nggak cemburuan aja kok ya berat begini, keluh Salma dalam hati.

Andro tergelak. Dilemparnya gawai sembarangan dan berlari memeluk Salma. "Nggak, nggak. Aku bisa dipercaya kok."

"Tapi Sal nggak apa-apa kok kalau memang Mas mau begitu," ujar Salma lirih.

"Nanti nangiisss." Andro tak berhenti tertawa dan terus menggoda. Baru berhenti setelah Salma mencubit kecil perutnya.

"Eh, Sal, tapi kok aku deg-degan ya kamu cemburuin gini. Sampai perutku rasanya geli."

"Mas mau modusin Sal, ya? Habis perut geli terus ntar yang lain ikut geli nih ujung-ujungnya." Salma cemberut.

"Ngertinan ae arek ayu siji iki (Tau aja anak cantik satu ini). Yuk lah, gass." Semangat sekali Andro kalau urusan begini.

"Tapi..., Sal harus baca chatnya yang bikin Mas gembira banget tadi."

"Lah, baca aja. Paling kamu ketawa. Itu tuh si Yudi, curhat kena tikung anak departemen sebelah. Gebetannya udah jadian sama anak mesin." Andro buru-buru memungut HP yang nyungsep diantara bantal dan selimut, memberikannya kepada Salma yang tak menunda untuk membaca. Benar, suaminya memang sedang ngobrol via pesan instan dengan Wahyudi.

[Ndro, cah kae wis jadian karo cah mesin. Patah hati aku.]
*Ndro, anak itu udah jadian sama anak mesin. Patah hati aku.

[Halah, Yud. Kon iku tampan yo gak, mapan yo gurung, kuliah dibayari pemerintah, poso senin kemis gak mergo sunnah tp mergo ngirit jatah, kok yo jik isoe mikir pacaran.
Ancene curut tenan!]
*

Halah, Yud. Kamu itu tampan kagak, mapan juga belum, kuliah dibayarin sama pemerintah, puasa senin kamis bukan karena sunnah tapi karena ngirit jatah, kok ya masih bisanya mikir pacaran. Memang curut bener!

[Wis lah, kuliah ae sek bener, nek wis lulus meluo papaku, nepotisme yo gak masalah. Kon ki jane ganteng, cuma kurang terawat wae, gek kui urusane duit, dadi yooo...]
*

Udahlah, kuliah aja yang benar, kalau udah lulus ikut papaku, nepotisme juga nggak masalah. Kamu tuh sebenernya ganteng, cuma kurang terawat aja, tapi itu urusannya dengan duit, jadi yaaa....

[Asem! Raimu Ndro! Gak empati blas malah ngece. Rak bolo ah!]
*Sialan! Muke lu, Ndro! Nggak empati sama sekali malah ngejek. Nggak temen ah!

[Alhamdulillah. Sujud syukur.]

[Eh, gak ngono Ndro. Pernyataanku tak cabut. Gak sido entuk koneksi orang dalam mengko aku. Iso2 ketampananku yg terpendam gak ndang tergali. Eman!]
*Eh, nggak gitu, Ndro. Pernyataanku kucabut. Nggak jadi dapat koneksi orang dalam nanti aku. Bisa-bisa ketampananku yang terpendam nggak segera tergali. Kan sayang!

[Halah, lambemu Cuk!]
*Halah, mulutmu, Cuk!

Astaghfirullah obrolannya gini amat. Salma cuma bisa geleng kepala sambil mengelus dada.

***

Yeaiy, 3K words, passss (tanpa curhatan, translate, dan pembukaan).

Nggak pa-pa ya panjang, anggap aja bonus karena Senin kemarin Dek Galaksi bolos. Hehe...

Alhamdulillah, masih belum kembali seperti dulu, tapi udah mulai asyik lagi. InsyaAllah begitu.

Udah bisa nulis sambil nangis lagi pas bagian sedih-sedih. Wkwk... Semoga hasilnya lebih baik dari kemarin-kemarin yaa.

Tapi yg paling bikin aku mewek malah dengerin lagunya. Seneng memang ya kalau ada yg ngertiin kita banget dan selalu ada buat kita. Eaaakk.

Yang jomlo ngebatin, "Gini amat sih mbaknya!" Hahaha, mohon maaf lahir batin. Ketahuilah, ini playlist-ku zaman ngerjain skripsi. Aku dulu pas sering dengerin lagu ini juga masih jomlo kok, sampai dikasihani temen-temenku karena cuma aku yg 'nggak laku'. Pas udah lulus malah aku yg nikahnya paling dulu. Hahahaha....
*ketawanya puas banget :D

Baiklah, sampai di sini dulu yaaa. Terima kasih untuk selalu mendukungku. Mohon maaf kalau ada salah-salah kata dan kekurangan.

I love you all.

See you :)

Semarang, 05082021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top