4. Kejadian
I'll be there for you when you need somebody
I'll be there for you when you want someone who cares
When you're down and feelin' blue, I'll be there
When you call me, I'll be there
(The Moffats - I'll Be There For You)
***
Empat hari berlalu dari sejak lamaran Dimas pada Rea. Akad nikah dan resepsi akan dilaksanakan sepuluh hari ke depan. Empat hari pula mama, papa, dan Rea tak putus asa mengajak Andro bertukar pikiran. Apa lagi kalau bukan tentang Salma.
Andro tak berkenan. Ia memang merasa suka. Siapa sih yang tak kagum dengan profil seorang Salma? Tapi untuk menikah, ia merasa itu masih jauh dari pikirannya. Dan ia konsisten dengan sikapnya.
Sudah empat hari pula Andro sengaja pergi sebelum maghrib tiba. Ia baru akan pulang setelah jarum pendek mulai meninggalkan angka sembilan. Tujuannya cuma satu, menghindari pertemuan dengan Salma. Biar begitu, ia tetap memilih hal positif sebagai pelariannya. Mencari masjid yang nyaman, dan menghabiskan waktu untuk mengulang-ulang hafalan. Lalu beranjak setengah jam setelah rampung isya. Ngafe, main game di dalam mobil, atau sekadar makan di warung-warung tenda seperti yang sering ia lakukan di Semarang.
Lambungnya telah terisi nasi goreng udang. Kenyang. Diseruput habis gelas kedua es tehnya, lalu segera membayar. Ia baru akan masuk ke mobil, ketika telinganya menangkap *catcalling dari beberapa laki-laki yang bergerombol di seberang penjual nasi goreng.
"Ukhti cantik kok jalan sendirian."
"Sini duduk dulu, nanti kita antar pulang."
Andro merasa risih, ia tahu persis itu termasuk kategori pelecehan. Dan darahnya langsung mendidih begitu melihat perempuan yang menjadi objek kata-kata tak pantas serta siulan. Bahkan satu yang berdiri di tepi trotoar sempat menarik sikut si perempuan.
Secepat kilat ia menghampiri dan menarik perempuan itu menjauh dari sana.
"Jangan ganggu! Dia calon istriku!" hardik Andro tanpa rasa takut sedikitpun.
Satu dua makian dan ejekan mampir di telinganya. Andro tak peduli. Ia mendorong si "calon istri" masuk ke mobilnya.
"Kenapa jalan kaki sendiri, sih, Sal?! Ini udah malam. Kamu perempuan, nggak baik pergi sendirian malam-malam Kamu juga ngerti itu, kan? Kalau ada apa-apa sama kamu, gimana? Apa mama tadi nggak nawarin buat nganterin kamu? Atau naik ojek online, kan jauh lebih aman daripada jalan. Gimana sih?" Andro ngegas.
Sebenarnya Andro bukan berniat membentak Salma. Ia sendiri panik dan merasa khawatir. Bukan pada keselamatannya, tapi pada keadaan Salma andai ia tak sedang berada di sana.
Andro membuang napas kasar. Mencoba mengenyahkan bayangan-bayangan buruk, yang untungnya bisa dihindarkan terjadi pada Salma. Memang kecil kemungkinan akan terjadi hal yang mengerikan, tapi tetap saja itu membuatnya merasa marah pada pelakunya.
Andro juga tahu, Salma tak punya pilihan dan terpaksa lewat trotoar sebelah situ. Sebab sisi seberang sudah dihabiskan oleh para pedagang kaki lima.
"Sorry, Sal. Aku nggak marah. Aku cuma takut ada apa-apa sama kamu. Kalaupun bukan kamu yang diperlakukan seperti itu, aku juga akan tetap melakukan hal yang sama kok. Maaf kalau aku bentak-bentak kamu. Kita pulang ke rumahku, nanti kuantar pulang. Sama mama, Mbak Rea, atau Bu Jani." Andro menurunkan intonasi. Merasa berdosa melihat Salma yang sesenggukan. Gadis itu sedang ketakutan, eh, dia malah memberinya bentakan.
"Sorry juga kalau aku ngaku-ngaku kamu calon istri. Itu cuma buat gertak aja kok. Jangan dimasukin hati. Aku cukup tahu diri, laki-laki seperti apa yang pantas untuk jadi suami kamu nanti."
Lah, ngapain juga dibahas, batin Andro setelahnya.
"Please, jangan nangis ya, Sal. Aku minta maaf. Yang penting kamu udah aman, kan?"
Andro menyodorkan kotak tisu pada gadis di sebelahnya. Salma menarik satu lembar, menghapus basah di kedua pipinya yang putih mulus.
"Terima kasih." Cuma itu yang keluar dari lisannya.
Andro membiarkan Salma yang enggan turun setelah sampai di rumahnya. Ia mengalah, memarkir mobilnya di dalam pagar, meski tak lama akan keluar lagi untuk mengantar Salma ke panti.
Ia menjelaskan dengan singkat pada mamanya tentang apa yang terjadi baru saja. Mamanya langsung berlari keluar menuju mobil Andro. Dibukanya pintu di mana Salma duduk, kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Salma menumpahkan tangisnya pada dekapan mama Andro. Cukup lama, sampai dia merasa lega.
"Duduk belakang aja sama mama, Sal. Biar Mbak Rea yang di depan."
Salma menurut saja. Mama Andro menghibur dan menenangkan sepanjang perjalanan sampai ke panti.
Pada Bu Miska sang pemilik panti, mama Andro menjelaskan panjang lebar sesuai yang diceritakan anaknya. Mama Andro tahu kalau Salma sangat menjaga diri sehingga Salma cukup terpukul atas kejadian tadi.
Salma sendiri langsung masuk ke kamarnya. Mungkin kembali menumpahkan tangis di sana. Bu Miska menyusul tak lama setelahnya. Andro ikut masuk, bukan ke kamar Salma, tapi menumpang ke kamar mandi.
"Salma takut, Bu. Iya, Salma yang salah. Paket internetnya habis, Bu, sudah empat hari. Uang Salma juga sudah menipis, harus diirit-irit. Tabungan kemarin sudah buat bayar SPP semester baru. Salma nggak berani minta Bu Tami majukan gaji. Makanya tadi terpaksa pilih jalan kaki."
Andro tercekat. Susah payah ia menelan ludah atas apa yang tak sengaja ia dengar. Ia akan kembali ke ruang tamu saat melewati kamar yang ditempati Salma di panti.
Dadanya terasa nyeri. Dia sejak kecil hidup dalam kemewahan, tak pernah merasakan kekurangan. Maka mendengar kesah Salma pada ibu panti, lagi-lagi terasa begitu menyesakkan hati.
Andro jadi banyak diam. Sampai mereka pamit, bahkan sampai tiba kembali di rumah.
Bagi Andro, apa yang tadi didengarnya membuat hatinya jadi tak menentu. Ia mempertimbangkan ulang apa yang sering menjadi bahan ledekan keluarganya. Ya, apalagi kalau bukan tentang hubungan dengan Salma.
Dia dilanda bingung. Seperti masih ragu, tapi sekaligus merasa yakin. Ia ingin membawa bahagia ke dalam hidup Salma, tapi juga khawatir justru akan mengecewakannya. Satu sisi merasa takut ini cuma akan jadi pelarian, sedang sisi yang lain menguatkan bahwa dia akan bisa mencintai Salma sebagai seorang suami kepada istrinya.
Ehk, suami istri ya? Ah, dia bahkan masih geli membayangkan statusnya berubah semuda ini. Tapi.... Aaarrrgh. Andro didera galau yang tak terkira.
"Adek kesayangan kenapa galau sih?" tanya Rea yang langsung nyelonong masuk ke kamar adiknya.
Rea tak sengaja melihat Andro yang pintu kamarnya tak tertutup sepenuhnya. Adik semata wayang sedang rebahan, terlihat jelas dia menyimpan gundah dan gelisah. Polahnya sudah macam ibu hamil tua, yang tetap tak nyaman tidur meski berbagai posisi sudah dicoba.
"Iya nih, Mbak. Galau."
"Ini tentang apa? Si itu?" Andro menggeleng.
"Tentang Ustadzah Salma?" Andro mengangguk.
"Heh, serius? Galau kenapa?" Rea naik ke tempat tidur, memasangkan selimut agar badan adiknya yang macam Tarzan tertutup sebagian.
Andro memulai cerita, tentang apa yang dia dengar dari pembicaraan Salma dengan ibu panti.
"Kalau nikahin Salma, kayaknya aku masih terlalu muda, Mbak. Tapi kalau nggak nikahin, terus cara apa yang bisa aku lakukan buat mengentaskan kesusahannya. Dia layak bahagia, Mbak. Tapi aku takut malah nggak bisa bahagiain dia. Aku takut ngecewain. Dan aku takut kalau aku nggak berhasil mencintai dia."
"Apa karena si itu masih mengganggu?"
"Nggak sih, Mbak. Eh, emm, ya masih sih, Mbak. Tapi cuma dikit banget kok. Dikiiit banget."
"Mbak kasih tahu ya, Ndro. Move on itu cuma butuh niat kok. Kalau kamu memang udah berniat untuk melupakan si itu, ya sudah. Cari hal-hal yang membuat kamu bisa berpikir logis kenapa kamu harus ngelupain dia. Nggak usah pakai perasaan. Anggaplah ini berhubungan dengan pekerjaanmu nanti sebagai anak teknik. Nggak pakai perasaan kan kerjanya? Harus pakai logika dan perhitungan, kan?
"Nah, itu. Pakai logika dan perhitunganmu, kenapa harus lupain si itu. Walaupun kalau Mbak nih ya, lihat case kamu gini aja udah langsung pengen 'hih', gitu aja kok pakai susah. Dia lho, udah happy---"
"Oke, Mbak. Aku udah paham. Nggak usah dibahas terus yang itu." Rea terkekeh sembari mengacak rambut adiknya.
"Eh, Ndro, tapi sebenernya maksud kami juga bukan nyuruh nikah sekarang sih. Ya diiket dulu gitu. Dilamar. Nikahnya nanti kalau udah lulus misalnya, atau beberapa bulan ke depan kalau udah siap. Minimal mama papa udah ada harapan dulu karena udah satu step lebih maju untuk jadiin Ustadzah Salma menantu. Tapi kalau kamu mau secepatnya, that's better."
"Hah, semacam tunangan gitu maksudnya? Nggak, Mbak. Kalau mau ngikat ya nikah. Kalau cuma gitu, terus nanti di perjalanan aku ketemu cewek lain dan ngerasa klik, terus aku batalin ikatannya, gitu? Nggak kan, Mbak? Yang bener aja deh, ngegantung anak orang lama-lama."
"Ya kalau bisa gitu lebih bagus, Ndro."
"Gitu gimana maksudnya, Mbak?"
"Ya itu, nikahin secepatnya."
Andro diam. Rea tahu adiknya masih menyimpan banyak keraguan, terutama pada dirinya sendiri.
"Untuk sekarang kamu pikirkan baik-baik aja dulu. Kamu kan pasti punya pemikiran, pertanyaan, bayangan gimana nanti kalau udah married sama Ustadzah Salma. Nah, itu aja kamu catat plus minusnya. Nanti setelah sah, kamu bisa sampaikan ke Ustadzah untuk didiskusikan bersama.
"Dari minusnya, sampaikan bahwa kamu berharap dia bisa mengerti, memahami, syukur-syukur bisa membantu memperbaiki. Dari plusnya, bisa menjadi bekal untuk dikembangkan, sehingga kalian berdua bisa lebih mudah untuk sama-sama menumbuhkan cinta."
Semua yang dikatakan Rea perlahan merasuk ke hati. Andro berniat untuk memikirkannya setelah ini.
"Cieee, yang udah gonta ganti pacar terus ujung-ujungnya dijodohin. Udah macam narsum seminar how to move on aja." Respon yang keluar dari Andro tak sinkron dengan apa yang ada dalam benaknya. Kelakuannya memang seringkali di luar dugaan.
"Dibilangin serius malah ngeledek. Dasar adek durhaka!" Satu jitakan mampir ke kepala Andro. Bocah itu tertawa.
"Udah, bilang papa mama aja sana, minta dilamarin. Makin cepat tersampaikan ke Ustadzah Salma, makin baik."
"Okay, I'll think about it."
Andro sedikit ragu. Tapi tetap memikirkan kata-kata kakaknya. Juga kejadian-kejadian yang melibatkan dirinya dengan Salma, satu per satu melintas di kepala.
Dan menit-menit menjelang Cinderella harus pulang ke rumahnya, tangannya tergerak begitu saja mengetik sesuatu pada mesin pencari di gawainya.
Cara melakukan salat tahajud. Ia lalu tahu bahwa tahajud harus dilakukan sesudah sempat tertidur barang sejenak. Ia beralih pada cara melakukan salat hajat, lantas sibuk membaca beberapa artikel terkait. Setelah merasa cukup paham, ia kembali mengetikkan keyword yang lain. Cara melakukan salat istikharah.
Andro sadar dia bukan orang yang religius. Selama ini dia melaksanakan hanya salat lima waktu, salat Jum'at, puasa Ramadhan, berusaha berbuat baik, tidak berkata buruk, dan banyak mengucap kalimat thayyibah. Sebatas itu saja dia menjalankan perintah agama.
Tapi apa yang meresahkannya kali ini sepertinya tak main-main, sampai ia terketuk dan merasa perlu melakukan sesuatu yang sama sekali belum pernah dilakukannya. Salat malam. Memohon petunjuk kepada Sang Maha.
***
Keesokan paginya bakda subuhan di masjid, setelah menaruh sajadah dan mengganti outfit, Andro mengetuk pintu kamar utama. Tempat tidur mama dan papanya. Mama yang membuka pintu.
"Emm, nggak tidur lagi, Ma?" Tiba-tiba keraguan menyapa. Hendak mengurungkan niatnya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia masuk tanpa menunggu mama mempersilakan.
"Nggak, Nak. Mama masih kepikiran kejadian yang menimpa Ustadzah Salma semalam. Alhamdulillah ketemu kamu ya," jawab mamanya sambil melepas mukena, sedang papanya terdengar sedang membaca Al Qur'an.
"Emm, Ma, Andro mau bicara. Eh, ini, emm, tentang..., Salma."
Mamanya menyuruh Andro duduk di tepian tempat tidur. Ia memanggil suaminya, yang segera mengakhiri tilawah Qur'annya.
"Gimana, Sayang?" Mama meraih dan menggenggam tangan si bungsu.
"Kalau Andro nikah muda, bener Mama sama Papa mau bantu sampai Andro mampu?" To the point.
"Tergantung siapa calon istrimu," kata papanya datar, mengundang keraguan kembali datang.
"Emm, kalau..., Salma?"
"Asal kamu bukan menjadikannya pelarian saja."
"Insya Allah bukan, Pa. Andro...."
Obrolan Salma dengan ibu panti terngiang lagi. Juga obrolan dengan kakaknya. Kegalauannya, keraguan sekaligus keyakinannya. Dan apa yang ia lakukan tadi malam. Ia ceritakan semua pada mama dan papanya. Lengkap. Tanpa ada satupun yang berusaha ia sembunyikan.
"Andro nggak tega, Ma. Salma anak baik, Andro nggak mau kejadian buruk menimpa dia lagi. Dia bahkan rela jalan kaki, mempertaruhkan keselamatan cuma demi berhemat. Tapi Andro tahu, Andro belum mampu kalau sendiri, Andro belum bisa kalau tanpa bantuan Mama sama Papa."
Mamanya memeluk Andro erat. Merasa bangga dengan kepedulian yang dimiliki anaknya. Sebenarnya ia dan suaminya juga tak memaksa Andro untuk menikah secepat itu. Tapi juga tak memungkiri, jika keduanya menginginkan Salma untuk menjadi bagian dari keluarga mereka.
***
Notes:
*catcalling: perlakuan verbal (kata-kata, siulan, 'pujian', dsb) yang menyebabkan ketidaknyamanan. Biasanya dilakukan oleh orang tak dikenal dan di jalanan. Termasuk kategori pelecehan
***
Harusnya update dari tadi pagi, tapi aku kok kambuh kurang pe-denya, jadi aku baca lagi berulang-ulang. Terus aku mau kasih visual/cast-nya Andro juga, tapi (lagi-lagi) aku takut merusak imajinasi teman-teman. Jadi ya sudahlah, nggak jadi aja. Mungkin besok-besok. Hehe...
Semoga nggak ada yang tanya, "The Moffats apaan sih?" yaaa. Karena bikin aku sadar kl aku udah tua. Hahaha....
Oke deh. Terima kasih sudah membaca dan meramaikan lapakku yg ini. Maafkan utk segala kesalahan & kekurangan.
See you :)
Semarang, 01042021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top