38. Perkenalan

Mother, how are you today?
Here is a note from your daughter
With me everything is OK
Mother, how are you today?
(Maywood - Mother How Are You Today)

***

[Dear teman-teman seangkatan.
Assalamualaikum wr. wb.
Dimohon nanti jangan pulang dulu setelah jadwal terakhir. Ada yang mau bagi-bagi makanan. Nggak ikut rugi!
Demikian pengumuman pagi ini.
Wassalamualaikum wr. wb.]

Sebuah pesan Andro kirimkan ke grup angkatan. Balasan datang beruntun macam petasan rentengan. Isinya tentu saja berbagai pertanyaan, mulai dari siapa yang mau bagi makanan, dalam rangka apa, sampai boleh bawa ke kost-an apa nggak.

Andro menjawab dengan satu pesan singkat.

[Gelem melok, rak gelem yo wis!]

Disusul rentetan pesan suara dari teman-temannya, isinya nyaris sama, kalau bukan "huu", ya umpatan-umpatan sebagai candaan khas mahasiswa.

Usai jadwal UTS terakhir, Andro menuju ke tempat parkir untuk mengambil makanan dan minuman yang akan dinikmati bersama teman-teman seangkatan. Wahyudi dan beberapa teman yang laki-laki membantunya. Tiga box pizza sepanjang meja dosen, sepuluh box bolu gulung, entah berapa kilo jeruk dan anggur yang sudah siap makan, juga dua box besar berisi paket lengkap jajan pasar. Tiga kardus minuman turut pula meramaikan, masing-masing berisi susu uht plain, sari kacang hijau, dan air mineral.

Andro mengucapkan terima kasih kepada Salma. Istri cantiknya itu sudah cukup mahir membawa mobil. Dialah yang membawakan semua makanan dan minuman ke kampus. Mereka belanja sejak dua hari sebelumnya. Bolu gulung juga Salma sendiri yang membuatnya, dibantu Andro tentu saja. Dia pula yang membeli pizza sesaat sebelum meluncur ke kampus suaminya, supaya pizza masih hangat ketika disajikan.

Beberapa teman yang membantu Andro kenalkan kepada Salma. Istriku, dan sedang hamil. Begitu Andro menjelaskan dengan nada bangga. Tak khawatir teman-temannya mengagumi kecantikan Salma, sebab si perempuan kesayangan Andromeda menutup sebagian wajahnya untuk menyembunyikan itu semua. Andro tak pernah menyuruh, semua atas inisiatif Salma, yang tahu persis bagaimana posesif dan cemburunya Andro kalau dia pergi-pergi sendiri, meski perginya atas permintaan Andro juga, seperti kali ini.

Salma sama sekali tak mau diajak turun dari mobil, apalagi turut serta ke kelas Andro. Malu, demikian alasannya. Andro terkekeh, menyentil hidung Salma dengan gemas. Ucapan terima kasih mengalir deras. Sayangnya, Andro mendapatkan penolakan saat hendak menutup dengan kecupan mesra pada bibir yang selalu membuat hatinya memanas.

"Iya deh, aku tetep love you, Sal. Nggak pa-pa wis nggak boleh cium, daripada kamu muntah-muntah di sini." Andro tertawa. Ditepuknya lembut pipi kiri Salma.

"Nanti aku pulang sama Yudi. Kamu langsung pulang, ya. Kalau butuh ke mana-mana, nanti aja sama aku." Keduanya saling berpamitan. Andro bergegas menyusul teman-temannya kembali ke kelas.

"Ini nggak dimarahin dosen, Ndro ngadain pesta di kelas?" Yeni bertanya.

"Tenang, Yen. Ketua angkatan udah izin ke prodi. Asal nggak ngeganggu kelas yang dekat saja. Kelas juga nggak ada yang pakai lagi setelah kita." Jawaban Andro melegakan teman-teman yang sudah tak sabar menyikat habis makanan.

"Dalam rangka apa, Ndro? Jelasin dulu deh, takutnya ini makanan dalam rangka money laundrying, ternyata sumbernya nggak halal, terus kita semua diare." Satu suara asal bicara.

"Bener tuh, Ndro. Jangan sampai deh kenikmatan sesaat bikin WC jadi overload." Yang lain menimpali tak kalah ngawurnya.

"Heh, kon pancen asem kabeh," umpat Andro disusul gulungan kertas melayang ke deretan bangku belakang.

"Lah, gur kertas. HP kek sing dibalangne (Lah, kok cuma kertas. HP kek yang dilempar)." Tawa terdengar bersahutan.

"Ya udah, duduk dulu deh, biar aku jelasin."

Andro maju ke depan kelas, bersiap memberi penjelasan setelah lebih dulu mengatur napas.

"Assalamualaikum, teman-teman." Sekelas menjawab serempak penuh antusiasme, lebih kepada antusias menyambut detik-detik pembagian makanan, sih.

"Yang pertama, aku mohon doanya dari kalian agar keluargaku selalu sakinah, mawaddah, warahmah."

Sorak sorai dan celetukan kembali terdengar. Apa lagi yang jadi bahan kalau bukan status Andro yang belum ketahuan.

"Ini aku serius, ya. Insya Allah nggak lama lagi aku akan jadi bapak." Sahutan demi sahutan semakin membuat gaduh keadaan.

"Tenang dulu lah, aku aja belum selesai bicara."

Kelas kembali lengang, kali ini benar-benar hening, menunggunya melanjutkan penjelasan.

"Aku udah nikah akhir liburan kemarin. Udah tiga bulan, dan istriku sekarang udah hamil jalan satu bulan. Kalau masih belum percaya, nanti foto nikahanku kukirim ke grup, kalau perlu akta nikah juga deh. Ada Yudi juga yang dulu jadi saksi di akad nikahku." Komentar-komentar asal bunyi yang mengandung aroma caci maki berpindah ke Wahyudi.

"Udah sih, gitu aja. Intinya aku memohon doa dari kalian untuk keluarga kecilku, juga untuk kesehatan istriku dan anak kami yang masih di kandungan. Itu aja sih. Thank you semuanya. Udah sana, silakan makan. Habisin yaa."

Thank you, matur nuwun, dan terima kasih terdengar bersahutan. Dan hanya butuh waktu sekejap bagi para omnivora untuk menghabiskan makanan dan minuman.

Kelas sudah kembali bersih dan rapi setengah jam berikutnya, para penghuninya pun bubar jalan, hendak mengambil jeda sejenak dari penatnya semester yang sudah terlalui separuhnya.

"Sya, nanti sore di rumah nggak? Aku sama Salma datang, boleh?" tanya Andro.

Belum bebas dari urusan kampus pastinya, tapi Andro juga ingin memanfaatkan sedikit waktu untuk mengajak Salma berkenalan dengan Asya. Menurutnya Salma akan senang kalau ada teman sebaya yang bisa diajak bertukar pikiran dan ditanyai soal kehamilan. Apalagi Asya jago dalam merekam kejadian, dia pula sudah punya pengalaman menjalani hampir sembilan bulan membawa janin dalam kandungan.

"Insya Allah di rumah, Ndro. Belum ada rencana ke mana-mana sih, tapi ibuku lagi di sini, kadang suami suka ngajakin keluar jalan-jalan. Nanti kukabari lagi aja, ya."

"Siap. Salma pasti senang kukenalkan sama kamu, Sya."

"Aku juga seneng banget kalau bisa kenalan sama Nyonya Angkasa Andromeda," jawab Asya sambil tertawa. Ketulusan terpancar dari matanya. Memang begitulah adanya, Salma menjadi salah satu orang yang ingin dia kenal lebih dalam.

Sampai di rumah Andro segera mandi dan berganti baju sebelum mendekat pada Salmanya. Keadaan masih belum berubah, Salma masih sering muntah-muntah kalau mencium bau Andro setiap kali dari luar rumah.

Mereka ngobrol berdua di teras belakang. Bunga matahari berjajar di sepanjang sisi kanan halaman. Di sisi kiri diramaikan oleh bunga anggrek yang menempel rapi pada tembok, juga Portulaca di sepanjang tepi bagian bawah. Pada sisi lebar tembok belakang, berbagai sayuran hidroponik berjajar rapi memenuhi separuh dinding. Hijau dan segarnya memanjakan mata.

Andro memberitahu Salma untuk bersiap nanti selepas asar, sambil menunggu aba-aba dari Asya, jam berapa bisa datang ke rumahnya. Salma menyambut ajakan tersebut dengan gembira. Sudah beberapa waktu dia penasaran dengan sosok Asya Aiyanara.

Tepat setelah asar, pesan dari Asya datang. Andro dan Salma bergegas meluncur ke daerah Mangunharjo. Mobil berhenti pada salah satu cluster di perumahan yang kesannya sejuk dan adem dengan banyak pepohonan rimbun. Rupanya sang nyonya rumah sudah menanti kedatangan mereka.

Asya menyambut ramah, bahkan sebelum Andro dan Salma turun dari Sierranya. Menggendong bayi tidak menghalangi kelincahannya. Dijabatnya tangan Salma penuh kehangatan. Salma menangkap kesan persahabatan yang begitu erat antara Asya dengan suaminya, pun dengannya sendiri, meski baru bertemu untuk pertama kali.

"Alhamdulillah, senang bisa kenal sama Mbak Salma. Penasaran saya, Andro kalau cerita mesti semangat empat lima, sih. Ternyata memang super istimewa, pantes aja. Yuk masuk, Mbak, Ndro."

"Panggil Salma aja, Sya, biar lebih akrab. Dia seumuran sama aku kok, lebih muda dari kamu," pinta Andro.

"Beneran nggak pa-pa, nih? Eh, tapi nggak enak dong, Ndro." Asya berusaha menolak, merasa tak enak. Baru juga kenal, sudah panggil nama saja.

"Nggap pa-pa kali, Sya. Aku itu Salma, Salma itu aku. Sahabatku juga sahabatnya Salma. So...."

"It's okay, kalau Salma nggak keberatan."

Tentu saja Salma sama sekali tak keberatan, tapi dia sendiri menolak kalau harus memanggil Asya tanpa embel-embel mbak, sebab tahu kalau usia Asya setahun di atasnya.

Keramahtamahan tak hanya ditunjukkan oleh Asya. Ibunya menunjukkan sambutan yang tak jauh berbeda, seperti kepada seseorang yang telah saling mengenal sejak lama. Hanya Zulfikar Aditya yang level keramahannya sedang, itupun tak mengganggu pikiran Salma, sebab Andro sudah memberi penjelasan singkat tentang karakter suami Asya. Sama sekali tak mengubah kesan pertama Salma terhadap keluarga Asya. Salma senang sekali, dia merasa diterima.

Andro membuka dengan basa-basi singkat, menyampaikan maksud kedatangannya. Yang pertama menjenguk bayi Nara yang usianya sudah lewat empat bulan, sebuah box hampers yang cukup besar dan dua box kue bikinan Salma menjadi buah tangan untuk tujuan pertama. Yang kedua memperkenalkan Salma kepada Asya, agar Salma punya teman ngobrol atau chat dalam kesehariannya. Yang terakhir meminta bantuan kepada Asya untuk mau berbagi dan menjadi tempat bertanya tentang kehamilan dan permasalahan di seputarnya.

"Tantenya cantik sekali. Ini Lila, Tante." Si gadis kecil chubby berambut curly mengulurkan tangan setelah sejak tadi tak berkedip memandangi Salma.

Papanya mengingatkan untuk berlaku sopan. Andro tersenyum, berkata tak apa-apa, sedangkan Salma tersipu, meminta Lila duduk di sebelahnya.

"Tantenya hafidz Qur'an lho, Lila. Tanya deh, gimana caranya biar bisa begitu," kata Asya.

Suasana mencair, obrolan pun mengalir. Lila yang meramaikan suasana dengan banyak melempar tanya kepada Salma. Neneknya ikut bergabung sekalian membawakan kudapan.

Kalau para perempuan sudah bertukar suara, rasanya laki-laki lebih baik memisahkan diri saja. Asya tahu keadaan, mengajak Salma untuk mengobrol di teras belakang.

"Tante, boleh Lila gandeng Tante sampai ke belakang?" tanya si gadis kecil dengan malu-malu. Seperti Celia, tampaknya Lila juga langsung jatuh cinta begitu berkenalan dengan Salma.

Kedua perempuan berbeda generasi itu bergandengan. Meninggalkan Andro bersama Zulfikar Aditya. Bertiga, sebab bapak-bapak satu itu sambil menggendong bayi laki-lakinya.

Sejak menikah, Asya yang dahulu agak kaku lama kelamaan pandai membawa suasana, membuat Salma nyaman berbincang akrab dengan keluarganya. Berbagai topik mereka bahas, dari pertemuan Salma dengan Andro, kegiatannya sehari-hari, kehamilan, sampai soal hobi. Sama-sama senang memasak membuat obrolan makin nyambung lagi, khususnya dengan ibunya Asya.

"Mbak Salma ini cantik banget, maaf, apa ada blasteran gitu, ya?" Saking akrabnya, ibunya Asya jadi kepo melihat kecantikan Salma yang menurutnya paripurna.

"Ehk, s-saya nggak tahu, Bu. Saya ini cuma anak yang dari bayi tinggal di panti. Selama dua puluh tahun nggak tahu siapa orang tua saya. Tiba-tiba beberapa minggu lalu seseorang datang dan mengaku bahwa dia adalah ibu saya. Saya kaget, dan malah nggak tahu harus bersikap bagaimana."

Mata Salma berkaca-kaca. Sesungguhnya sejak pertemuan itu dia selalu bingung bagaimana mengambil sikap. Ada pergulatan batin yang belum bisa dia sampaikan kepada suaminya. Andro terlalu sibuk, Salma tak tega mengganggunya. Andro sudah bersabar menerima omelan dan mood swing-nya setiap hari saja dia sudah sangat bersyukur.

Dengan mama mertua juga akhir-akhir ini dia agak jauh. Pembicaraan tentang ibunya selalu terselip dalam setiap obrolan mereka. Salma sedikit tak nyaman, seperti dikejar-kejar untuk bisa menerima seseorang yang punya hubungan dekat dengan keluarga mertuanya. Dia memilih menjaga jarak dulu untuk sementara.

Maka menerima pertanyaan serupa tadi dari ibu Asya, dia malah sekalian saja menumpahkan apa yang ada di hatinya.

"Maafkan jika pertanyaan ibu menyinggung perasaan atau membuat sedih Mbak Salma." Ibu Asya meraih tangan Salma dan menggenggamnya.

Asya memanggil Bu Nani, meminta bantuan untuk mengajak Lila jalan-jalan. Pembicaraan sudah menjurus ke urusan manusia dewasa.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya malah senang, karena sebenarnya sudah agak lama saya menyimpan sendiri kebingungan saya. Kesibukan Mas Andro membuat saya tidak tega untuk menambah beban pikirannya. Apalagi kondisi kehamilan ini mempengaruhi emosi saya. Saya sendiri merasa sikap saya berbeda dari sebelum-sebelumnya, kalau sama Mas Andro bawaannya ingin ngomel terus."

Asya tertawa, "Sebenarnya kapasitas otak si Andro turah-turah lho, Sal, kalau cuma untuk menampung kebingunganmu. Tapi kalau secara waktu, mungkin memang kurang ya? Dia sih selalu terobsesi buat nyelesein tugas dan dapat nilai dengan sempurna."

Tentu saja Asya tahu betul soal ini. Dia yang sering diajak diskusi kalau itu menyangkut urusan perkuliahan.

"Tapi Andro yang sekarang memang beda lho, Sal. Dia jauh lebih dewasa, lebih religius, lebih sabar mengelola emosi. Yang pasti dia kelihatan lebih berisi dan selalu happy. Katanya, kamu service-nya maksimal banget, Sal."

Salma tersipu. Andro ternyata dekat sekali dengan Asya. Tapi tak ada cemburu, sebab tahu tak ada hati yang --pernah-- terlibat pada hubungan keduanya.

"Saya pernah mengalami hal yang sama dengan Mbak Salma. Nggak bisa menerima keberadaan ibu." Ibu Nara membawa pembicaraan kembali pada topik semula.

"Yang saya maksud di sini adalah ibu tiri. Memang sedikit berbeda, tapi kengingungan yang kita alami bisa jadi sama. Bingung bagaimana bersikap. Saya dulu dekat sekali dengan neneknya Nara, jadi ketika beliau meninggal, lalu bapak menikah lagi tak lama kemudian, saya menjadi orang yang merasa paling dikecewakan.

"Saya sudah SMA waktu itu. Semua pekerjaan rumah saya kuasai. Saya merasa keberadaan saya sudah cukup untuk bisa merawat bapak seperti yang ibu lakukan. Memasak, mencuci, menyediakan semua keperluannya. Ego membuat saya sama sekali tak terpikir bahwa yang dibutuhkan bapak tidak cuma itu.

"Tapi saya juga bukan orang yang bisa mengungkapkan perasaan. Kepada ibu tiri saya, saya tetap bersikap baik dan hormat, seperti beliau yang selalu bersikap baik kepada saya. Hanya saja kami tidak pernah dekat. Saya nggak pernah sekalipun memeluknya, bicara banyak padanya, atau semacamnya. Kaku dan berjarak. Saya masih kesulitan menerima keberadaannya. Hubungan kami hambar sampai bertahun-tahun kemudian.

"Sampai akhirnya saya menikah dan menjalani sendiri kehidupan berumah tangga. Saya baru tahu, banyak hal yang mungkin berat jika kita tanggung sendirian, menjadi lebih ringan ketika ada seseorang yang kita ajak berbagi dan berdiskusi. Memberi kita pelukan, menghibur kita dengan pembicaraan ringan sebagai pengantar tidur, dan semacamnya.

"Saya baru sadar, itu yang dibutuhkan oleh bapak. Bukan sekadar ada yang mencuci dan memasak. Saya menyesal, seharusnya saya berpikir lebih jauh, bukan sekadar dikuasai emosi dan kecemburuan sebab merasa posisi ibu saya tergantikan.

"Kadangkala kita tidak tahu, apa yang mendasari orang tua kita melakukan sesuatu. Tapi percayalah, semua itu atas dasar cinta kepada kita, anak-anaknya."

Ibu Asya menatap Salma, ada kesejukan yang mengaliri hati Nyonya Andromeda. Kalimat terakhir yang diucapkan ibu Asya merasuk ke hati dan pikirannya.

"Memang tidak mudah, Mbak Salma. Tapi mencoba untuk selalu berpikir positif, insya Allah akan membantu. Bukankah kita harus selalu menjaga husnuzon kepada saudara sesama muslim? Apalagi kepada orang tua kita sendiri. Kita juga harus melihat dan menyukuri keadaan kita yang sekarang ini. Bisa jadi kita yang sekarang adalah karena keputusan orang tua kita di masa silam."

Pembicaraan dengan Andro pada dini hari pertama pernikahan mereka kembali terngiang. Saat Andro menanyakan padanya kenapa masih mau mendoakan ibunya, ibu yang telah tega membuangnya. Dan salah satu yang mendasarinya untuk mendoakan ibunya, adalah keadaannya sekarang ini. Jika dulu Bu Dita tak meninggalkannya di depan panti, mungkin saja hidupnya tidak sebaik saat ini.

"Terima kasih, Bu, sudah membuka hati saya. Saya akan mencoba bersikap lebih baik lagi, paling tidak memperbaiki penerimaan saya akan keberadaan ibu saya. Terima kasih banyak ya, Bu."

Ibu Asya memeluk Salma, mengusap lembut bahunya. Ada rasa dekat kepada perempuan muda yang baru saja berkenalan dengan anak perempuannya. Salma membalas pelukan ibu Asya, tangisnya tercurah di sana, di bahu seorang ibu. Meski bukan ibunya, tapi Salma lega.

Asya turut pula memeluk sesudah ibunya. Memberi kata-kata yang menyemangati Salma. Sama sekali tak kehilangan respek pada istri sahabatnya, sebab dia tahu, permasalahan dan penyikapan orang pada setiap masalah tentu saja berbeda-beda.

"Na, sudah kelamaan di belakangnya. Suaminya sudah kangen katanya."

Zulfikar sudah ada di pintu belakang. Pemberitahuannya membuat Asya tertawa.

"Suaminya Salma apa suamiku nih yang kangen?" Dicubitnya perut Zulfikar, lalu mengambil alih si bayi dari gendongan papanya.

Salma tersenyum melihat kemesraan pasangan itu. Membayangkan keluarga kecilnya nanti akan sama bahagianya dengan keluarga Asya.

Mereka kembali ke ruang tamu. Andro dan Salma kemudian berpamitan, mengucapkan banyak terima kasih atas kunjungan yang berkesan.

Di jalan, Andro bertanya, apa yang mereka obrolkan di belakang. Salma pun balik bertanya, apa yang diobrolkan para lelaki di depan. Kata Andro, suami Asya orangnya serius sekali. Sedangkan menurut Salma, keluarga Asya sangat ideal dan menyenangkan.

"Emm..., suaminya Asya itu kakaknya Zulfa lho, Sal." Hati-hati Andro memberitahu.

"Sal udah tahu. Mbak Asya tadi juga cerita. Dia juga minta maaf kalau keberadaan Mbak Zulfa sebagai masa lalu Mas kadang menyebabkan salah paham diantara kita. Mbak Asya kadang gemas, tapi memang sudah karakternya Mbak Zulfa begitu."

"Iya, dia memang begitu anaknya."

"Dia siapa, nih? Mas nggak usah mulai ya, mau ngebelain Mbak Zulfa lagi, kan? Mau nunjukin ke Sal kalau Mas dekat banget sama dia, kan? Mau---"

"Udah, Sal, cukup. Aku salah. Aku minta maaf."

"Gampang banget. Minta maaf terus diulang, minta maaf lagi, diulang lagi. Gitu aja terus sampai India pindah ke benua Afrika." Andro terkikik geli, Salma makin kesal.

"Mas kira Sal becanda? Masih sempatnya ketawa, ya. Sal jadi makin ngerasa nggak dicintai. Atau memang Mas nggak cinta sama Sal? Yang di hati Mas masih cuma dia, dia, dia, semuanya tentang dia? Udah, ah. Sal malas bicara lagi, percuma! Sal nggak dianggap."

Andro menyesal setengah mati. Harusnya tadi dia diam saja, tak perlu memberi komentar apa-apa, apalagi yang berkaitan dengan Zulfa.

Salma benar-benar melaksanakan ucapannya, dia diam seribu bahasa, dan tetap diam walaupun Andro membujuknya. Sampai kantuk menyerang keduanya, Andro masih belum berhasil melunakkan hati Salma.

***

Andro menggeliat, menatap jam digital di atas nakas. 03.28. Tangannya menggapai Salma, tapi hanya menepuk udara. Dibukanya mata lebar-lebar, mencari keberadaan Salma. Perempuannya ada di sudut yang biasa digunakan untuk salat, mukena bunga-bunga warna kuning muda membalut tubuhnya, wajahnya tertutup oleh kedua tangan. Bahu yang berguncang pelan, membuat Andro tahu kalau istrinya sedang menangis.

Dia diam saja, mengamati apa yang dilakukan Salma. Dugaannya Salma masih marah, sebab tak membangunkan di pukul tiga seperti biasanya.

Mata Andro masih tak lepas dari Salma yang sudah tak lagi menutup wajahnya. Salma beranjak, membuka lemarinya, dan mengambil sebuah buku dari sana. Dia kembali ke atas sajadah, menulis sesuatu masih sambil terisak-isak.

Tak tahan, Andro bangkit dan menghampiri. "Sal, ada aku. Jangan nangis sendirian, bagilah bebanmu denganku."

Salma terkesiap, bersegera menarik bukunya untuk disembunyikan. Tapi kalah cepat dengan gerakan Andro merebut buku itu.

"Kenapa harus disembunyikan bukunya? Ada rahasia apa yang aku nggak boleh tahu, Sal?"

Tangis Salma meledak, Andro merengkuhnya cepat-cepat. "Sal bingung, Mas. Sal nggak tahu harus bersikap gimana." Dan kalimat itu diulang-ulang sepanjang tangisnya.

Sambil mendekap, Andro diam-diam membaca tulisan Salma. Singkat, tetapi banyak, dan dengan tema yang sama. Kelihatannya ditulis setiap kali dia butuh meluapkan perasaannya.

Sabtu
Ibu, maafkan Salma, masih belum bisa menerima ibu.

Ahad
Ibu, maafkan Salma, masih belum bisa menerima ibu.

Ibu, maafkan Salma, masih belum bisa menerima ibu.

Senin
Ibu, Salma ingin tau lebih banyak ttg ibu, tp Salma belum siap.

Ibu, ibu apa kabar? Salma ingin tau kabar ibu, tp Salma malu.

Ibu, maafkan Salma masih denial. Mungkin Salma cuma butuh waktu yg agak panjang.

Selasa
Ibu, kapan ya Salma bisa menerima ibu?

Rabu
Ibu, maafkan Salma belum ingin dekat dengan ibu.

Kamis.
Ibu, tadi ada ibu yg tanya, apa Salma punya darah blasteran? Apa Salma punya, Bu?

Jum'at
Ibu, Salma ingin dipeluk ibu, tp Salma nggak tahu apa Salma sudah siap?

Belum semua dibaca, baru dua halaman terakhir saja, tapi Andro sudah tahu apa yang beberapa waktu terakhir dipendam sendiri oleh istrinya. Mata Andro menghangat, dipeluknya Salma semakin erat.

"Maafkan aku ya, Sal. Maaf kalau kesibukanku membuatmu menyimpan sendiri kegalauanmu. Aku janji, hari ini kita bicarakan semuanya, paling nggak kamu bisa menumpahkan semuanya ke aku. Nanti kita cari solusinya. Yang penting kamu lega dulu. Kamu harus bahagia sama aku, Sal. Karena itu yang jadi alasanku menikahi kamu.

"Kalau kamu mau, pagi ini kita ke Surabaya." Pelukan merenggang, kedua pasang mata saling beradu pandang.

Salma mengangguk, lalu buru-buru mendorong Andro begitu sadar suaminya masih mengenakan outfit tidur one piece favoritnya.

"Mas, ih! Sal kan pakai mukena, kenapa Mas peluk-peluknya cuma pakai baju kayak gitu aja. Nggak sopan!"

Lah, dari tadi juga aku gini, emang nggak sadar apa gimana? Andro cuma bisa membatin sambil mengacak rambutnya sendiri.

***

Maaf yaa updatenya telat terus. Aku sendiri merasa agak kurang fokus akhir-akhir ini. Nulisnya sih Alhamdulillah masih ngalir, tapi pas dibaca lagi kok rasanya feelnya kurang dapet, terus juga banyak scene nggak penting-penting gitu.

Tapi ya gimana, so far tulisanku memang banyak bagian nggak pentingnya, tapi mau dibuang sayang soalnya yg nggak penting-penting itu biasanya malah penuh keuwuan dan bikin baper. Eaaak...

Apapun itu, aku mohon maaf kalau kualitas tulisanku agak menurun. Maklum ya, namanya juga manusia, ada emosinya, ada naik turunnya.
*Dih, apologi baeee. Hehe...

Mohon doanya buat aku ya biar selalu sehat, lancar idenya, baik fokusnya, dan bagus nulisnya.

Terima kasih juga masih mengikuti sampai sejauh ini. Nggak kerasa udah part 38 aja. Semoga Move On bisa end nggak lama lagi ya.

Oh iya, lagunya aku kenal waktu SMP. Yg ngajarin guru bahasa inggris. Aku ingat banget lagu ini, karena:
1. Aku nggak bisa ikut nyelesein lagu ini, udah mewek duluan. Dasar mellow. Hihi...
2. Setelah diajari lagu ini dan terjemahannya sama bu guru, sejak itu aku belajar bahasa inggrisnya lewat lagu. Wkwk...
3. Pas di lirik "I found the man of my dreams, next time you will get to know him." Aku langsung ngebayanginnya aku yg merantau, terus ketemu someone yg aku pengen kenalin ke ibuku, gitu. Hahahahalunya udah dari SMP ternyataaa.

Ya udah, gitu dulu. Dan maafkan untuk 3,4K+ yg mungkin menyita waktu. Huhuhuu...

See you :)

Semarang, 27072021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top