37. Menjauhkan
But I love the way you love me
Strong and wild, slow and easy
Heart and soul, soul completely
I love the way you love me
(Eric Martin - I Love The Way You Love Me)
***
Sudah mendekati tengah malam, tapi Salma belum juga tidur. Andro sampai lelah mengingatkan, begadang tidak baik untuk Salma yang sedang hamil.
"Mas juga tiap hari begadang ngurusin tugas." Salma masih ngeyel. Memang kantuknya juga belum datang.
"Itu beda, Sal. Kan aku begadang dalam rangka mengusahakan semuanya buat kita juga. Biar aku bisa lulus tepat waktu, balik ke Surabaya, kerja, nabung buat mewujudkan banyak impian masa depan kita. Kalau bisa milih, aku juga lebih suka tidur normal, Sal. Berdua sama kamu."
"Kalau itu sih ujung-ujungnya juga tidurnya malam. Mas betah banget kalau urusan satu itu." Andro terkekeh. Dicubitnya hidung Salma, gemas.
"Nah, kamu juga harus gitu dong, Sal. Kita sama-sama berusaha buat masa depan keluarga kita. Untuk sekarang ini, salah satu usahamu ya dengan menjaga kesehatan, karena kamu sekarang nggak cuma sendirian, ada anak kita yang tumbuh kembangnya sampai berbulan-bulan ke depan bergantung pada ibunya, kamu. So..., tidur ya?"
"Tapi Sal nggak ngantuk, Mas. Sal tuh...."
Sebenarnya Andro tahu, sejak tadi Salma terlihat tidak tenang dan kurang nyaman. Seperti ada gelisah yang coba dia sembunyikan.
"Apa yang bikin kamu nggak nyaman, Sal? Just say me. Kita akan cari jalan keluarnya bareng-bareng."
"Emm..., tadi siang waktu Sal tidur, Mas ke atas lagi?"
Persis dugaan Andro, Salma gelisah karena ingin tahu lebih banyak tentang ibunya. Dan sejujurnya, pertanyaan inilah yang dikhawatirkan Andro untuk saat ini. Dia belum siap menceritakan kepada Salma tentang kisah hidup ibunya. Pasti akan dia ceritakan, tapi bukan sekarang. Waktunya belum tepat, setidaknya menurut Andro.
"Iya, tadi aku ke atas lagi."
"Ngapain? Bu Dita cerita apa?"
"Kan ada eyang mami sama eyang papi datang, Sal." Salma masih sempat bertemu, sebelum kedua eyangnya pulang. Bertiga dengan ibunya.
Andro lalu menceritakan bagaimana hubungan ibu Salma dengan papanya. Juga hubungan keluarga Jaya Ahmada dengan keluarga Johan, kakek Salma.
"Jadi..., siapa bapaknya Sal?"
Diraihnya sang istri ke pelukan, banyak kecupan berpindah-pindah di seputar kepala Salma.
"Salmaku. Dari dulu waktu pertama kamu cerita tentang mendoakan ibumu, sosok bapak nggak pernah kamu sebutkan. So, apa masalahnya kalau kamu tetap nggak usah tahu siapa bapakmu, sampai kapanpun juga?"
Salma menatap Andro dengan sorot memelas.
"Apa ibunya Sal seorang pelacur?"
"Ibumu anaknya Opa Johan, udah seperti anaknya sendiri kalau dengan eyang mami dan eyang papi. Udah seperti adiknya sendiri kalau sama papa. Ibumu orang dekat kita, Sal. Opamu sama eyangku bersahabat, bahkan sudah melebihi saudara."
"Tapi pelacur?"
"Nggak penting ibumu siapa atau apa atau bagaimana, yang paling penting adalah kamu tetap mendoakannya, menghargai setiap keputusan yang dia ambil, dan tetap menjaga prasangka baikmu kepadanya. Seperti sebelum ibumu datang.
"Keberadaan ibumu di tengah-tengah kita sekarang, itu juga jawaban untuk doa-doa yang setiap hari kamu langitkan. Ini wujud sayang-Nya ke kamu, Sal, dengan mengabulkan doa-doamu, dan tentunya sudah membekali kamu juga dengan kemampuan untuk menerima apapun kondisi ibumu.
"Aku ngerti Sal, kadang kita mendadak jadi nggak siap, ketika sesuatu yang lama kita harapkan akhirnya benar-benar berada di hadapan. Yang kita bayangkan ternyata tak semudah yang terjadi dalam kenyataan. Tapi kita juga harus selalu ingat, bahwa waktu yang Allah tetapkan, itu sudah pula Dia tepatkan. Ibumu datang saat kamu sudah menikah sama aku, yang bisa memberimu pelukan jika yang kamu kira akan indah ternyata menyakitkan.
"Come on, Sal Kamu hanya harus bersyukur karena sudah tahu siapa ibumu. Allah sudah sangat baik, sebagai hamba nggak usahlah kita ngelunjak dengan minta yang lebih lagi. Harus tahu siapa bapakmu lah, apa pekerjaan ibumu lah, dan semacamnya. Kamu bahkan nggak harus bisa menyayangi dan dekat dengan ibumu saat ini juga. Kamu juga boleh untuk nggak langsung menerima keberadaannya. Kamu---"
"Kalau minta pulang ke Semarang besok pagi, juga boleh?"
Mata bening itu kembali menatap Andro. Kali ini ada kaca-kaca yang Andro temukan di sana. Andro mengangguk, mengiyakan.
"Menjauh sementara sampai kamu tenang dan bisa mencerna semua kejadian yang kita hadapi sekarang ini, itu juga pilihan. Dan aku membolehkan. Besok pagi kita ke panti untuk berpamitan sama Bu Miska, terus kita pulang ke Semarang."
"Terima kasih, Mas. Terima kasih sudah mau mengerti dan menerima Sal apa adanya. Sal sayang sama Mas."
"Sekarang mau tidur ya?" Salma mengangguk.
"Tapi Mas peluk Sal, ya?" Ganti Andro yang mengangguk.
***
Andro baru pulang dari masjid usai salat subuh bersama papanya. Dilihatnya Salma sudah cantik, rapi, dan wangi. Ransel yang dibawa waktu pulang sendirian dari Semarang sudah bersanding dengan koper berisi baju hamil dan lain-lain, hadiah dari mama dan Rea.
"Cantik bener, Sal, mau ke mana?"
"Kan mau ke panti terus bablas ke Semarang." Salma memberengut, merasa Andro lupa pada ucapannya semalam.
"Ya nggak sepagi ini juga kali, Sal. Santai. Lagian baru hari Sabtu, pulang besok juga sebenernya nggak apa-apa sih."
Mungkin mudah bagi Andro memperpanjang keberadaannya di Surabaya barang sehari lagi, tapi tidak demikian untuk Salma sekarang ini.
"Ya udah, kalau gitu Sal pulang ke Semarang sendiri aja nggak apa-apa. Silakan Mas pulang besok."
Andro lupa, istrinya sedang sensitif padanya. Salah bicara sedikit saja bisa panjang urusan.
"Eh, nggak gitu maksudku, Sal. Kita cuma nggak usah buru-buru aja. Ini masih pagi banget. Bu Miska mungkin belum siap kedatangan tamu, kita juga nggak sempet beli oleh-oleh buat dibawa ke Bu Miska. Masa iya dateng aja, nggak bawa sesuatu buat adik-adik kamu di sana."
"Alesan!" sahut Salma. Singkat, padat, ngegas.
Andro tersenyum, menghampiri Salma, dan berdiri tepat di belakangnya. Diciumnya kepala sang istri, tanpa memeluknya sedikit pun. "Jangan marah dong, Sal. Kan maksudku baik. Kita tetap akan ke Semarang hari ini kok. Cuma nggak sepagi ini juga, Cantik."
"Huh, gombal!" Salma masih sewot.
"Gombal gimana? Kamu memang cantik kok. Bidadari aja minder kalau sebelahan sama kamu." Satu cubitan diterima Andro. Kecil dan sakit.
"Eh, Sal. Emm...."
"Apa?"
"Eh, ng-nggak. Nggak jadi."
"Sal marah deh."
"Eh, jangan, Sal."
"Ya makanya Mas kalau nggak niat bicara sesuatu nggak usah mancing juga. Nggak enak tahu, Mas, digituin."
Andro meminta maaf. Pertama karena yang baru saja dikatakan Salma benar, bahwa yang dilakukannya itu tidak menyenangkan. Kedua karena apa yang akan dikatakannya bisa jadi membuat Salma tidak berkenan.
"Tadinya aku mau usul, gimana kalau Bu Dita ikut ke Semarang. Soalnya habis ini aku pasti akan sibuk ngejar ketinggalan kuliah dan tugas pekan ini, Sal. Terus sebentar lagi juga UTS. Kalau kamu ada yang nemenin, kan aku juga lebih tenang. Tapi kupikir-pikir lagi, kok aku kurang bijak kalau ngusulin seperti itu. Maaf ya, Sal."
"Iya. Nggak apa-apa. Ya udah, Sal mau sarapan, lapar."
Andro terkekeh. Hamil membuat sifat Salma sedikit bergeser. Dulu, boro-boro ngajak makan sebelum menu sarapan terhidang di meja, sudah dipanggil saja kadang masih suka pekewuh karena tak membantu menyiapkan apapun.
Diikutinya Salma keluar kamar, tujuannya cuma satu, dapur.
"M-maaf, Mbak Salma, m-masaknya belum selesai." Mbak yang bertugas memasak sampai gugup karena si tuan muda dan istrinya berkeliaran sampai ke area yang nyaris tak pernah disambangi.
"Nggak apa-apa, Mbak. Ada tahu putih nggak, ya?" tanya Salma.
Dibukanya pintu kulkas, memeriksa isinya, dan mengambil salah satu wadah bertuliskan tahu. Setelah memastikan isinya sesuai dengan yang dicarinya, dengan cekatan Salma memotong-motong dan memberi bumbu. Sambil menggoreng, tangannya lincah mengiris cabe, bawang merah, dan tomat, menaruhnya ke mangkuk, dan menuanginya dengan kecap manis.
"Kesuwun yo, Mbak," kata Salma pada mbak yang bertugas memasak, lantas meninggalkan dapur menuju meja makan. Andro kembali mengikuti.
"Gitu, ya. Masak ya yang aku nggak boleh ikut makan. Padahal aku kangen masakanmu lho, Sal. Bayangin deh, dari hari Selasa sampai ini hari Sabtu, aku sama sekali nggak makan masakanmu. Lidahku sampai pahit."
"Makanya, kita cepetan ke Semarang. Nanti Sal bikinin apa aja yang Mas pengen makan."
Andro tergelak, tak menyangka Salma bisa memanfaatkan keadaan untuk modus minta pulang ke Semarang. Walaupun dia sendiri juga tak yakin begitu, melihat Salma yang lahap sekali seperti berminggu-minggu tak makan sesuatu yang disukai.
"Enak, Sal? Boleh nyicipin nggak?"
Mata Salma membulat, disusul rentetan omelan perkara alergi yang Andro miliki. Andro tersenyum kecut, cuma bisa menelan ludah memandang Salma yang terlihat begitu menikmati menu sederhana, tapi terlarang baginya.
"Gimana keadaan Salma? Sehat, Nak?" Masih tersisa dua suapan, ketika suara mama hadir di meja makan, tentu saja bersama papa. Padahal waktu sarapan masih sekitar satu jam lagi.
"Alhamdulillah, Sal sehat, Ma, Pa." Dihentikan sejenak makannya. Salma berdiri menyambut kedua mertua, mencium tangan papa, dan menambahkan cium pada kedua pipi mama.
"Pagi betul makannya, memangnya sudah siap, ta, sarapannya?" tanya mama lagi.
"Belum, Ma. Tapi Sal udah lapar, terus pengennya makan tahu kecap, jadi Sal makan duluan. Tadi bikin sendiri. Soalnya habis ini mau pulang ke Semarang, Ma, Pa."
"Wait..., pulang ke Semarang? Ngapain buru-buru? Udah, biar Andro saja yang balik Semarang, Salma di sini saja. Nanti kalau di sana apa-apa sendiri malah kecapaian. Andro juga kan banyak kesibukan." Mama terlihat kurang setuju.
"Andro juga, kok tadi nggak bilang kalau mau ke Semarang hari ini. Mendadak kah?" Papa menimpali.
"Eh, y-ya nggak mendadak juga sih, Pa. Semalam udah kami bahas berdua, cuma Andro lupa bilang pas dari masjid tadi. Andro udah ninggalin kuliah tiga hari, Pa, kalau pulang hari ini setidaknya ada tambahan sehari besok buat ngejar yang Andro tinggalin kemarin."
Tak sedikitpun terucap bahwa Salma yang meminta ke Semarang hari ini, dan penyebabnya berkaitan dengan keberadaan ibu Salma. Andro berusaha menutupi dan menjaga nama baik serta perasaan istrinya.
"Jangan egois lah, Ndro. Biar Salma di sini dulu. Kalau di Semarang kan apa-apa semua Salma, nanti dia kecapaian. Kamu juga banyak di luar, kan? Lagipula kan ada ibunya, biar Salma mengenal Dita dulu lebih lanjut."
Mood Salma merosot saat itu juga, tapi mencoba bertahan demi kesopanan. Bahasan tentang ibu masih berlanjut, Andro salah tingkah dibuatnya. Mau menghentikan tak enak pada papa, tetap di sana tak tega pada Salma.
"H-hu-huek...."
Salma buru-buru bangkit dan berlari ke wastafel terdekat. Andro dan mama mengikuti, keduanya dengan telaten membantu Salma yang sedang memuntahkan isi perutnya.
"Tuh, kan. Apa kamu tega ngajakin Salma ke Semarang dalam kondisi kayak gini?" Papa berdiri di belakang mereka bertiga, mengemukakan pendapatnya.
Di luar dugaan, Andro tidak terima. "Pa, maaf. Tapi tolong jangan memaksakan kemauan Papa. Salma istri Andro. Andro yang dia ajak bicara, yang jadi tempat curhatnya, yang lebih ngerti apa yang Salma inginkan sekarang ini. Jadi tolong, hormati dan hargai keputusan kami. Terserah Papa mau sebut Andro egois atau apapun, tapi untuk saat ini, Andro yang paling tahu Salma. Bukan Papa, Mama, apalagi Bu Dita."
Andro berteriak, memanggil salah satu asisten rumah tangga, dan meminta tolong untuk membereskan sisa makanan Salma. Tak lupa mengucapkan terima kasih atas bantuan yang datang dengan segera.
"Kami permisi mau ke kamar dulu, Ma, Pa." Tak ingin mendengarkan pendapat apapun lagi, Andro memapah Salma ke kamar mereka.
Ditanyainya Salma, apakah akan istirahat dahulu, atau akan ke panti sekarang juga, dan bablas ke Semarang. Salma memilih opsi kedua. Andro menurut saja.
Kejadian di ruang makan tadi membuat perizinan dari mama papa keluar tanpa halangan yang berarti. Keduanya sudah berada di panti. Bu Miska yang sudah tampak sehat menyambut keduanya dengan wajah berseri-seri. Bertiga duduk di teras, sembari menikmati kudapan sederhana bikinan Mbak Yanti. Teh hangat dengan madu sebagai pemanisnya bersanding di meja bersama onde-onde dan tahu isi.
"Iya, pulanglah dulu ke Semarang. Ibu yakin, itu akan lebih baik buat kamu, Nak. Kamu butuh ruang dan waktu, dan Mas Andro yang paling baik untuk memberikan itu. Insya Allah ibu mengerti kondisimu saat ini. Bersyukur yang banyak, Allah memberimu suami yang bisa mengerti kamu.
"Pesan ibu, jangan kebanyakan bersikap yang nggak perlu, terutama sama Mas Andro. Jangan jadikan kehamilan sebagai pembelaan diri dan alasan untuk bersikap sembarangan kepada suami. Itu saja pesan ibu." Bu Miska mengakhiri pesannya, tangannya menggenggam erat jemari Salma.
Mata bening Salma kembali berkaca-kaca. "Terima kasih, Bu. Ibu tetap ibunya Salma, sekarang dan sampai kapanpun juga. Salma cuma mau Bu Miska saja, bukan yang lain."
"Kalau begitu, tambah satu lagi pesan ibu buat Salma." Bu Miska kembali bicara.
"Apa itu, Bu?"
"Ibu nggak suka kamu berbicara seperti itu. Ibu akan selamanya jadi ibumu, tapi Bu Dita juga tetap punya hak untuk mendapatkan rasa cinta dan kasih sayang dari kamu, Nak. Susah payahnya mempertahankan kamu dalam kandungannya, sampai melahirkan kamu ke dunia, tidak akan pernah bisa kamu bayar dengan apapun, kecuali penerimaan atas keberadaannya.
"Mungkin bukan sekarang, tapi sudah semestinya untuk kamu usahakan. Tak perlu terburu-buru, Nak. Ibu tahu, semua butuh waktu."
Andro merasa sangat lega. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Andro tahu sekali, cuma Bu Miska yang nasihat dan pendapatnya tentang Bu Dita diterima dan didengarkan oleh Salma. Andro menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.
Mereka berpamitan. Membelah jalanan menuju perantauan. Tak banyak kata mereka bagi, hanya perasaan, yang saling berbicara melalui bertautnya jemari.
***
Begitu tiba di Semarang, yang pertama Salma lakukan adalah mengecek seluruh isi rumah sampai ke sudut-sudutnya. Baju kotor Andro yang tak banyak, beberapa gelas dan piring menunggu dicuci, sisa makanan yang tak diurusi sejak hari di mana dia pulang ke Surabaya sendiri.
"Huek." Andro siaga, bergegas mengikuti ke mana arah gerakan Salma. Kamar mandi terdekat, menguras secukupnya apa yang sempat masuk ke perutnya.
"Udah Sal, makanan basinya langsung dibuang aja sepiring-piringnya. Aku nggak mau kamu muntah-muntah begitu, nanti kamu sakit." Usulan bodoh keluar dari lisan Angkasa Andromeda, sebab mengajukan diri untuk mengurus makanan basi, tentu saja dia jijik.
"Nggak usah, nanti biar Sal bersihin. Memangnya beli piring pakai daun apa?! Seenaknya aja suruh buang. Lagian cuma lauk kering, bukan sayur berkuah. Sal tuh udah memperkirakan kalau kejadian kayak gini bakal ada, kalau Mas pasti akan nyusulin Sal, dan yang ada di rumah ditinggalin gitu aja. Makanya Sal nggak masak yang kira-kira akan jadi menjijikkan kalau ditinggal kelamaan.
"Sal kan nikahnya sama tuan muda. Boro-boro beresin meja makan, cuci piring aja dilewatkan. Alhamdulillah Mas langsung nyusul ke Surabaya. Sal bersyukur banget. Kalau kelamaan di rumah sendiri, rumah bisa disewain tuh buat yang mau syuting uji nyali."
Salma merapal omelan seperti sedang membaca mantra. Andro tak berhenti nyengir di dekatnya. Sama sekali tak ada kesal atas perubahan kebiasaan istrinya, yang tadinya tak banyak bicara dan santun luar biasa, sekarang hobi banget ngomel ngalor ngidul. Baginya, omelan Salma terdengar bagai puisi romantis yang disyairkan khusus untuknya. Andro menerimanya dengan bahagia, sebagai bagian dari episode Andro Salma goes to parent's world.
"Teruskan omelanmu, Sal. Habiskan untuk aku. Biar nanti waktu anak kita lahir, kamu udah kehabisan stok omelan," goda Andro.
"Mana ada ibu-ibu kehabisan stok omelan? Kalau Mas nggak suka dan nggak mau denger Sal ngomel, Mas masuk kamar aja sana."
Tanpa sepatah kata Andro benar-benar meninggalkan Salma. Dia menuju ke kamar dan tak menoleh sedikit jua. Salma memandangi tanpa berkedip, tak menyangka suaminya melakukan hal yang tak biasanya. Betapa sedihnya hati Salma.
Mungkin aku kebanyakan ngomel, jadi Mas Andro kesal. Iya juga sih, tapi..., kenapa aku sekarang jadi suka ngomel ya? Astaghfirullah hal adzim. Audzubillahi minas syaithonirrojim, batin Salma memarahi dirinya sendiri. Pesan dari Bu Miska terngiang kembali.
Cepat-cepat Salma menyusul ke kamar, hendak meminta maaf pada Andro.
"Allahu Akbar." Salma mundur beberapa langkah. Tangan kanannya memegang dadanya yang kembang kempis. Kaget. Setelah nyaris bertabrakan dengan Andro yang akan keluar dari kamar.
Salma menubruk Andro, membenamkan wajah ke dada suaminya. Permintaan maaf disampaikannya. Tak ada malu, apalagi gengsi. Dia merasa bersalah atas tindakannya yang kurang tepat sebagai istri, juga sikapnya yang berubah akhir-akhir ini.
"Lah, apa sih, Sal? Aku beneran nggak mempermasalahkan sikap kamu yang ajaib, kok. Mungkin itu pengaruh hormon, kamu jadi sering bete, gampang capek, mudah goyah emosinya. Nggak masalah, Sal, aku tetap sayang kamu. Aku malah senang, karena aku bisa ambil peran dalam proses kehamilanmu. Bisaku kan cuma itu, melayani ibu hamilnya. Mau mengambil alih bayi kita ke perutku juga mau ditaruh di mana coba bayinya? Udah ah, nggak usah drama gitu."
"Tapi kenapa tadi waktu Sal suruh Mas ke kamar aja biar nggak usah dengerin omelan Sal, terus Mas beneran ke kamar?"
"Ya Allah, Sal, kamu lucu banget sih." Andro tertawa kecil, mengacak rambut hitam Salma yang selalu menguarkan aroma segar.
"Aku ambil ini buat kamu, Salmaku." Disodorkannya sehelai jilbab segiempat yang dia ambil asal saja dari lemari Salma.
Andro sama sekali tak tahu, itu jilbab kesayangan Salma. Jilbab pertama dan satu-satunya yang harganya menyentuh enam digit. Dia beli setelah beberapa waktu menabung, juga melewati berbagai pertimbangan dan kegalauan, sebab nominal yang baginya teramat besar cuma untuk selembar kain.
"Eh, buat apa itu, Mas?"
"Buat masker. Buat nutupin hidungmu biar nggak mual waktu ngurusin sisa-sisa makanan di dapur."
"Ya Allah, Mas Androoo. Jangan suka asal ambil! Itu tuh jilbab kesayangannya Sal. Mas nggak tahu gimana susah payahnya Sal buat bisa beli jilbab ini. Sal jaga biar awet terus, Sal eman-eman pakainya, kenapa malah disuruh pakai buat nutupin hidung. Huhuhu."
Agak berlebihan, tapi Salma tak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis. Sedangkan Andro cuma bisa meringis, menyadari niat baiknya yang tak berakhir dengan manis.
***
Curhat kali ini dibuka dengan, "Maaf, updatenya telat." Hehe...
Seharian kemarin beneran nggak istirahat. Setengah enam pagi udah pergi berdua sama suami naik motor, dari ujung selatan Semarang, ke ujung timur Semarang. Sampai rumah jam delapan lebih, langsung buru-buru siap-siap mau vaksin.
Kirain sesuai pembagian jadwal, RW-ku kebagian jam 09.00-10.00. Terus ada batasan kuota juga. Jadi kami udah husnuzon banget akan lancar jaya. Jam sembilan pas udah di lokasi. Pas anakku nanya, "Mama sampai jam berapa?" dengan santai kujawab sekitar 10.00-10.30 lah udah di rumah.
Ternyata eh ternyata, sama seperti di banyak tempat di negara kita tercinta. Jadwal dan kuota cuma di kertas aja. Prakteknya ya nggak ada pembagian RW, kuota, dan apalah itu semua. Fully random lah pokoknya. Mana KTP udah terlanjur dikumpulin, jadi mau nggak mau nunggu.
But it's okey, demi herd immunity, dan menjalankan peran sebagai warga negara yang baik. Isoku yo mung ngene iki. Hehe.
Jadilah jam dua lebih baru pulang. Total lima jam, dengan dua jam terakhir HP matik karena keabisan batere. Wkwk.
Sampai rumah langsung gercep lagi siap-siap, karena udah janji mau nengokin ibuku. Sehari sebelumnya udah WA, kapan anak-anak(ku) ke sana? Udah kangen rame-rame, di rumah kesepian, pengen nangis aja bawaannya. Pas di-vidcall juga ibuku nangis. So, habis asar langsung cuss. Menerjang PPKM (maafkan kami wahai pemerintah), melewati macet perbaikan jalan, muter-muter karena jalan masuk ditutup, akhirnya habis maghrib sampailah kami di rumah tempat aku menghabiskan masa kecil.
Disambut ibuku meluk anak-anakku sambil nangis. Anakku tiga-tiganya bingung, salting, dan malah takut dipeluk sambil nangis-nangis gitu. Wkwk... Mereka tuh aslinya hatinya lemah lembut, kalau ada yang nangis-nangis suka kebawa, tapi malu mau ikut nangisnya. Makanya salting. Haha...
Sebenernya inget harus update, tapi aku ngantuk berat. Mungkin efek vaksin juga ya.
*halah, padahal emang dasar ngantukan :p
Habis baca dzikir pagi, aku iseng coba nambahin part. Tadinya nggak ada 2,1K words. Ngetik aja lah ngalir. Jadilah scene nggak penting Andro Salma sampai di rumah Semarang itu. Bener-bener nggak penting. Udah gitu jadi nambah 700 kata pulak. Wakakak... Maafkan yaaa.
Jadi begitu ceritanya. Malah jadi lebih panjang curhatnya nih daripada cerita Andro Salmanya. Maaf lagi deh. Hihi...
Lagunya sebenernya yang hits tuh yg versinya Boyzone. Tapi aku lebih suka versinya Eric Martin, lebih ngerock gitu. Beatnya lebih asyik si Eric lah pokoknya. Dia nih vokalisnya Mr. Big, salah satu band (slow) rock 90'an dr USA sana. Zaman kuliah dulu pada nangkring di playlist winamp bareng Bon Jovi, White Lion, Scorpion, Fire House, dsb.
*winamp dong, haha...
Udah ah, gitu aja. Maafkan kalau curhatnya malah kepanjangan. Intinya aku minta maaf karena update telat. Gitu aja sih.
Terima kasih ya udah mau baca sampai sejauh ini. Sampai securhat-curhat gajeku segala dibaca. Haha.
Pokoknya terima kasih banyak dan i love you somat!
See you :)
Purwodadi, 23072021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top