35. Jantungan
Ada saat kutenggelam
Di lumpur-lumpur
Kupastikan hempaskan diriku di jalanan lurus
Semua itu harus tertelan pahit dan manis
(Dewa 19 - Hitam Putih)
***
Seharian itu Andro menemani Salma di rumah sakit. Bu Miska senang sekali mendengar Salma hamil. Perempuan baik hati itu berkali memeluk Salma, juga mengusap perut anak asuhnya. Kondisinya yang sudah membaik terlihat makin baik, bahkan sudah seperti orang yang sehat saja.
"Salma," panggil Bu Miska. Salma baru selesai mandi sore, bergantian dengan Andro.
"Iya, Bu?"
"Kamu dari kemarin belum ke panti sama sekali, ya?"
"Iya, Bu. Kan Salma dari pagi sampai sore di sini. Gimana, Bu?"
"Nanti kalian pulang habis maghrib saja, tapi mampir panti dulu ya. Tengoklah adik-adikmu barang sebentar," pinta Bu Miska.
"Lha nanti Ibu sama siapa?" Salma tidak keberatan dengan permintaan Bu Miska, namun merasa perlu memastikan Bu Miska ada yang menemani.
"Nanti Bu Tami ke sini."
"Bu Tami? Maksudnya mama?" Salma mendadak agak ogeb. Bu Miska tertawa mendengar pertanyaan Salma.
"Iya, Bu Tami mama mertuamu. Ada yang perlu ibu bicarakan dengan beliau. Ibu juga mau menyampaikan terima kasih, Bu Tami baiknya Masya Allah, ibu sampai nggak tahu lagi bagaimana membalas kebaikan beliau."
"Iya, Bu, mama baiknya luar biasa. Sama Salma juga nggak pernah membeda-bedakan, malah Mas Andro yang sering kesal karena merasa mama lebih sayang sama Sal daripada sama Mas." Andro tertawa, membenarkan ucapan istrinya.
Mama datang tak lama kemudian, diantar oleh Rea dan Dimas yang baru sempat membesuk Bu Miska. Sekalian mau ke dokter kandungan katanya. Rea panik, karena Salma sudah hamil, sedangkan dirinya belum menunjukkan tanda-tanda.
Keduanya tak lama di sana, hanya setengah jam, dan segera berpamitan ketika maghrib menjelang. Andro dan Salma menyusul kemudian, setelah melaksanakan salat maghrib berjamaah di ruang tempat Bu Miska dirawat.
"Mama udah pesan makanan buat dibawa ke panti, Ndro. Nanti kalian ambil dulu ya." Teman mama yang punya katering rumahan tinggal di dekat panti. Mama sering memesan makanan, kudapan, dan minuman untuk dikirim ke panti. Kali ini Andro disuruh mama untuk mengambilnya sendiri. Membawanya sebagai buah tangan kunjungan Salma ke rumah tempat dia dibesarkan.
Salma memeluk mama, mengucapkan terima kasih berkali-kali. Lalu memeluk Bu Miska, sekaligus pamit untuk bertemu lagi keesokan hari.
Di panti, adik-adiknya menyambut Salma dengan suka cita. Pizza homemade yang aromanya menggugah selera, marble cake kesukaan semua, juga puding jeruk yang terlihat segar dan menggoda. Tapi yang akan dinikmati lebih dulu adalah ayam bakar madu sebagai menu makan malam bersama.
Salma meminta Mbak Yanti membantunya menyiapkan semuanya, tapi Mbak Yanti menolak. Maunya dia sendiri saja yang mengerjakannya, agar Salma bisa istirahat. Rupanya kabar kehamilan Salma sudah terdengar sampai ke panti. Mbak Yanti memberinya selamat, memeluk adik angkatnya dengan hangat. Salma lalu meminta izin untuk ke kamarnya. Meski Salma sudah tak tinggal di sana, Bu Miska tetap mengosongkannya, sebab panti masih menjadi rumah bagi Salma.
"Ehk, ib-ibu siapa?" Salma kaget melihat seorang perempuan berjilbab lebar sedang membaca juz amma di kamarnya. Andro yang ikut masuk kamar juga tak kalah kagetnya.
Ibu itu buru-buru bangkit dari duduknya dan mendekati Salma. "S-saya Dita, t-temannya Bu Miska. Eh, emm..., iya, s-saya temannya Bu Miska," sapanya dengan gugup.
"Oh, maaf ya, Bu, saya nggak ketuk pintu dulu. Saya kira nggak ada orang. Bu Miska nggak cerita apa-apa," jawab Salma sopan, sambil mencoba mengingat, siapa tahu ada info dari Bu Miska yang lolos dari ingatannya. Tapi memang tak ada, Bu Miska sama sekali tak pernah membahas soal ini.
"Saya dulu juga tinggal di panti sini, Bu. Yang paling lama. Nama saya Salma, dan ini Mas Andro, suami saya." Salma mengulurkan tangannya. Ibu itu menyambutnya dengan ragu-ragu, lalu menggenggamnya erat, sangat erat. Salma sampai merasa tak nyaman.
Di samping Salma, Andro melihat bibir ibu itu bergerak-gerak, mengulang nama Salma tanpa suara. Lalu ketika ibu bernama Dita itu menoleh dan mata mereka saling bertemu, jantung Andro berdegup tak menentu.
Ya Rabb, matanya..., mirip sekali dengan milik Salma. Andro menelan ludah, menelan pula segala dugaan yang tiba-tiba memenuhi benaknya.
"S-saya, emm..., saya Andro, Bu," ujarnya pelan.
Salma melihat kegugupan pada diri suaminya, Mungkin Mas Andro kaget dan nggak enak karena ikut masuk kamar dan ternyata ada orang di dalamnya, begitu pikir Salma.
Ibu itu menaruh juz amma ke atas meja, lalu membetulkan jilbab coklat tua yang dikenakannya. Setelahnya dia meminta maaf sekali lagi pada Salma dan Andro, dan memohon diri untuk membantu Mbak Yanti.
Salma ikut keluar, merasa tak enak beraktivitas di kamar yang seharusnya bukan lagi menjadi haknya. Apalagi sudah ada orang lain yang menempati, walau mungkin hanya untuk sementara.
Malam itu penghuni panti bersukacita. Banyak hidangan istimewa, juga ada Salma, kakak yang menjadi kebanggaan mereka semua. Mbak Yanti membagi kabar bahwa besok Bu Miska mungkin sudah bisa pulang, kemudian melanjutkan berita gembira mengenai kehamilan Salma. Semua mendoakan untuk kesehatan Bu Miska, Salma dan janin dalam kandungannya, juga untuk mereka semua.
Di salah satu sudut, Andro mengamati Bu Dita, yang sedari tadi sering sekali mencuri pandang ke arah Salma. Lalu matanya berkaca-kaca saat mendengar bahwa Salma sedang mengandung anak mereka. Andro menarik napas dalam-dalam, mereka-reka banyak kemungkinan, tetap saja berujung hanya pada satu dugaan.
Begitu makan malam usai, Andro bergegas mengajak Salma pulang.
"Sal, langsung istirahat ya. Kupeluk kamu sampai tidur. Kamu nggak boleh capek lho. Ingat, ada anak kita di sini." Andro menunduk, mengecup perut Salma dengan penuh cinta.
Mereka baru tiba di rumah keluarga Antariksa. Langsung masuk ke kamar, sebab hari sudah cukup malam.
Salma mengiyakan. Segera membersihkan badan dan mengganti baju dengan homedress yang nyaman. Andro berikutnya, keluar dari kamar mandi sudah dengan kostum tidur ala Tarzan. Siap memeluk Salmanya, mengantarkan sampai di batas lelapnya.
Salma merasa bahagia. Entahlah, rasanya pelukan Andro menjadi ruang ternyaman yang ingin selalu ditempatinya.
"Terima kasih ya, Sal. Hari ini kamu jarang ngajak aku berantem. Padahal aku udah ikhlas kamu ajak ribut setiap saat. Udah ikhlas kamu marahin dan kamu salahin untuk sesuatu yang aku nggak tahu letak salahnya di mana. Pokoknya aku ikhlas menerima semua keanehanmu selama hamil, Sal."
"Berarti kalau Sal nggak hamil, Mas nggak ikhlas nerima keanehannya Sal?" Agak ngegas. Andro malah terkikik.
"Aku baru ngomong, kamu langsung ngegas aja ya, Sal."
"Ya habisnya Mas gitu, sih. Sal kan---"
"Ssstt, udah, ngajak berantemnya besok lagi. Sekarang kamu harus istirahat, nggak boleh capek, nggak boleh ngeyelan. Aku suamimu, boleh memaksamu untuk hal-hal yang baik."
Andro menarik Salma untuk tidur beralaskan lengannya. Salma menikmati kebersamaan mereka, menempelkan pipi mulusnya ke dada Angkasa Andromeda, menghidu dalam-dalam aroma tubuh yang begitu disukainya, sampai jatuh terlelap dengan senyum bahagia.
[Ndro, Salma udah tidur? Kl udah mama mau bicara. Mama tunggu di perpus papa. Skrg.]
Baru juga melepas Salma dari pelukan, satu pesan dari mama dia terima. Waktu datangnya pesan menunjukkan sepuluh menit lalu. Andro bergegas memenuhi panggilan mamanya. Sepertinya dia tahu, pembicaraan ini tentang apa.
"Gimana, Ma? Ada info apa?" Andro menyalami mama, juga mencium pipi kanan kirinya.
"Papa nggak, Ndro? Pilih kasih banget." Papa yang di sebelah mama protes karena hanya dapat cium tangan saja.
"Apa sih Papa, nih? Kayak bocah aja dikit-dikit iri dengki." Andro mencibir, menghampiri papanya lagi, dan mendaratkan tinju di lengan kirinya. Ketiganya tertawa bersama.
"Tadi mama ngobrol cukup banyak sama Bu Miska, Ndro. Papa jemput mama ke sana, jadi di jalan mama sudah cerita juga ke papa." Mama mulai pembicaraan, mengambil jeda sejenak untuk menarik napas.
"Jadi gini, Ndro. Sekitar sepekan sebelum Bu Miska masuk rumah sakit, ada seorang perempuan yang datang ke panti. Usianya kurang lebih sepantaran dengan mama. Dia cerita panjang lebar tentang jalan hidupnya, lalu bercerita juga kalau dulu pernah meninggalkan seorang bayi di depan panti yang---"
"Salma?!"
"Sabar dulu, Bung! Biarkan mama menyelesaikan bicaranya," tegur papa. Andro kembali ke posisi duduknya semula, mencoba fokus pada apa yang diceritakan mamanya.
"Kalau yang dulu mengaku-aku sebagai ibu Salma karena mau mencari keuntungan semata, kalau yang ini, kata Bu Miska nggak demikian. Dia nggak terlihat seperti orang yang mau mencari keuntungan. Malah lebih terlihat sebagai orang yang berasal dari kalangan middle up, meskipun gaya hidupnya mungkin didapatkan dari jalan yang kurang benar. Kata Bu Miska, dia bercerita apa adanya, terlihat jujur dan tidak ada yang disembunyikan.
"Dia bisa menceritakan dengan detail tentang bayi yang pernah dia tinggalkan. Merk baju, warna tutup kepalanya, warna selimutnya, gambar di botol susunya. Dia bahkan punya foto-foto bayi itu, yang sengaja dia abadikan di rumah sebelum dia tinggalkan di depan panti. Dia juga masih menyimpan baju dan selimut yang sama persis dengan yang dipakaikan pada bayi itu.
"Bu Miska masih ingat betul, sebab semua yang dipakai Salma saat ditemukan masih beliau simpan dengan baik sampai sekarang. Dan yang paling meyakinkan, perempuan itu bisa menyebutkan tanda lahir yang dimiliki bayi itu."
"Apa itu, Ma?! Tanda lahir apa?! Apa garis merah memanjang di pinggang sebelah kanan?!"
Mama tersentak. Yang Andro katakan persis seperti yang dia dengar dari Bu Miska. Mama berdiri dan menghampiri Andro. Memeluknya sambil terisak-isak.
"Andro sudah menyangka begitu, Ma. Tadi kami ketemu di panti. Waktu melihat mata ibu itu, Andro langsung deg-degan. Matanya, Ma, persis banget matanya Salma. Dan gelagatnya ke Salma, seperti orang yang menyimpan sesuatu." Andro bicara cepat dan keras. Terlihat sangat emosional.
"Astaghfirullah hal adzim. Kenapa datangnya pas Salma lagi hamil muda gini ya, Ma? Andro nggak mau Sal jadi shock, Ma. Andro takut nanti akan ngaruh ke anaknya Andro, Ma. Jangan kasih tahu Salma ya, Ma. Please." Tanpa sadar pipi Andro sudah basah. Dia cemas, memikirkan Salmanya, memikirkan anaknya, semua terasa menyesakkan.
Papa memeluk kedua orang yang dicintainya, menenangkan mereka dengan begitu rupa.
"Sudah malam, kita istirahat dulu saja. Besok biar papa sama mama bicarakan lagi soal ini dengan Bu Miska. Insya Allah besok siang Bu Miska sudah boleh pulang. Kalian nyusul ke rumah sakitnya menjelang Bu Miska pulang saja. Sementara kita keep dulu kabar ini dari Salma.
"Andro bersikap biasa saja ya, Nak. Salma juga anak kami, janin dalam kandungan Salma juga cucu kami, tentunya papa dan mama nggak akan diam saja. Kita bertiga akan mencari cara bagaimana menyampaikannya kepada Salma." Mama menyetujui usulan papa.
"Mama istirahat dulu aja. Andro mau bicara sama Papa. Boleh?" pinta Andro. Mamanya mengangguk, lalu meninggalkan dua laki-laki yang paling berarti dalam hidupnya. Tak ingin tahu pembicaraan keduanya. Utami paham, dalam keadaan seperti ini Andro lebih klik untuk sharing dengan papanya.
Sebenarnya tak ada hal besar yang menjadi pembahasan Angkasa dengan Antariksa. Hanya obrolan ringan, yang membuat hati Andro lebih lega setelah mengungkapkan. Dari urusan kampus, urusan rumah, sampai kecemburuan Salma pada perempuan dari masa lalu Andro. Papa tak memberi solusi, tapi tanggapan dan pendapatnya sudah menjadi pelajaran terbaik bagi si anak laki-laki.
***
Pagi-pagi Andro sudah memberi kabar baik untuk sang istri, bahwa Bu Miska bisa pulang hari ini.
"Pagi ini mama sama papa dulu yang ke sana, Sal. Sekalian beresin administrasi. Kamu ngga boleh kecapaian. Nanti kita ke sana pas Bu Miska sudah siap keluar dari rumah sakit. Kita bawa mobil papa, nanti Bu Miska ikut kita. Duduk sama kamu di second row, ya."
Dipeluknya Salma, mengecup lembut keningnya. Lama.
"Sal suka banget dipeluk sama Mas. Sal bisa begini terus kan, Mas?" Andro tak menjawab, hanya memeluk semakin erat.
"Kemarin Sal takut, Mas nggak benar-benar siap untuk punya anak. Tapi sekarang Sal senang. Anak kita nanti akan dikelilingi orang-orang yang sayang sama dia. Nggak kayak ibunya, yang lahir nggak disayangi dan diharapkan."
Dada Andro kembali berdebar-debar, Salma menyadari betul hal itu. Dia pun bertanya, kenapa?
"Aku nggak suka kamu bicara begitu, Sal. Jangan membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain, karena setiap orang terlahir dengan jatah rizkinya masing-masing, termasuk jalan hidup yang harus dilalui, sebenarnya semua itu adalah juga bagian dari rizki.
"Aku masih ingat betul, pagi pertama setelah kita menikah, waktu aku sadar kalau aku menikahi bidadari yang suci. Prasangka baikmu tentang ibumu, berhasil bikin aku jatuh cinta setengah mati ke kamu, Sal.
"So..., doa yang selalu kamu tujukan untuk ibumu, apakah masih kamu langitkan sampai detik ini?" Rupanya anak bapak Antariksa sudah mulai pandai memanfaatkan celah untuk menyisipkan pesan.
Salma mengangguk, lalu mengangkat kepalanya. Kedua pasang mata beradu, saling mengungkapkan cinta tanpa perlu bersuara.
"Masih, Mas. Tapi harapan Sal untuk tahu dan bertemu nggak lagi sebesar dulu. Sal udah punya Mas. Punya Bu Miska. Punya mama, papa, Mbak Rea. Punya keluarga yang selalu perhatian sama Sal. Dan sebentar lagi, ada bayi yang akan meramaikan rumah kita. Sal nggak lagi berharap soal keberadaan ibu. Dua puluh tahun nggak ada ibu, Alhamdulillah Sal bisa melaluinya dengan baik-baik saja."
"Kalau ada ibumu, apakah menurutmu hidupmu akan semakin baik, Sal?"
"Sal nggak tahu, Mas. Sal udah pasrah. Bisa ketemu Alhamdulillah, nggak bisa ketemu juga Alhamdulillah. Pokoknya Sal ikut maunya Allah aja, karena itu sudah pasti yang terbaik untuk hamba-Nya."
"I love you, Sal." Dua sejoli kembali saling mendekap, dengan rasa cinta yang meluap-luap.
Andro mengajak Salma berputar-putar kota Surabaya sambil menunggu panggilan dari mama dan papa yang ada di rumah sakit. Tentunya cuma di area antara rumah mereka dengan rumah sakit saja. Obrolan ringan mewarnai kebersamaan. Sesekali perdebatan muncul, siapa lagi yang memulai kalau bukan Salma dengan emosi ajaibnya. Andro hanya menanggapi dengan tertawa-tawa, sama sekali tak ada kesal dan semacamnya.
Pukul sepuluh mama menelepon, mereka berdua diminta ke rumah sakit. Andro memacu X5 papanya dengan kecepatan cukup tinggi, hingga tak butuh waktu lama untuk tiba di tujuan.
Bu Miska dan mama duduk di sofa, memanggil Salma untuk duduk diantara keduanya. Tapi Salma menolak, feeling-nya agak tak enak, dia memilih untuk duduk di sebelah Andro saja.
Kali ini papa yang menjadi juru bicara. Membuka dengan memuji hubungan Salma dengan Bu Miska, yang meski tak ada hubungan darah, tapi kasih sayang diantara keduanya bahkan melebihi banyak dari mereka yang dalam dirinya mengalir darah yang sama.
Hubungan Andro dengan mamanya diangkat sebagai topik berikutnya. Pernah renggang, namun pada hati keduanya sesungguhnya tetap saling berkasih sayang.
"Papa yakin, Salma pun demikian. Sekalipun tak pernah bertemu, rasa sayang dan keinginan untuk tahu tentang sosok ibu pasti ada. Sebab bagaimanapun keadaannya, apapun alasan yang mendasari perbuatannya, kepayahan seorang ibu dalam mengandung dan melahirkan tidak bisa dibayar dengan apapun juga oleh kita sebagai anaknya." Salma mengangguk-angguk, hatinya mulai menduga-duga arah pembicaraan ketiga orang tua di hadapannya.
"Jadi begini, Salma." Bu Miska ganti berbicara. "Beberapa waktu lalu datang menemui ibu, seseorang yang mengaku sebagai ibumu."
Andro meraih bahu Salma dengan tangan kirinya. Tangan yang lain mengambil jemari Salma hingga jari-jari mereka saling terpaut dalam genggam. Wajah Salma begitu tenang, emosinya terlihat datar.
"Jika Salma sudah siap untuk bertemu, ibu akan memanggilnya untuk menemuimu. Jika belum---"
"Insya Allah Salma siap, Bu." Salma menyela Bu Miska. Tak sopan memang, tapi dia sedang tak ingin berpanjang lebar. Siap atau tidak siap harus dihadapi, sekarang atau entah kapan sama saja. Salma hanya ingin cepat selesai. Jika dia nyaman, dia akan mencoba menjalin hubungan yang lebih baik dengan sang ibu. Jika sebaliknya, setidaknya dia sudah tahu seperti apa sosok ibunya.
Jawaban Salma di luar dugaan semua orang, bahkan Andro.
"Kamu nggak perlu memaksakan dirimu kalau kamu belum siap, Sayang," bisik Andro. Pertama sebab tak ingin Salma melakukannya karena terpaksa. Kedua, Andro masih mencemaskan kondisi Salma saat mengetahui sosok ibunya nanti. Khawatir akan berpengaruh pada kandungannya yang masih sangat muda.
"Nggak, Mas. Buat Sal, lebih cepat lebih baik. Yang penting jangan paksa Sal untuk langsung bisa menerima ibu. Sal ingin tahu dulu, belum memikirkan apa yang akan Sal lakukan setelahnya. Allah yang berkehendak atas hari yang pernah Sal tunggu, jika hari ini harus bertemu, berarti atas kehendak-Nya pula harinya telah tiba."
Semua bersepakat, pertemuan diadakan di kediaman keluarga Antariksa. Ada ruang meeting tertutup yang nyaman di lantai atas. Biasa digunakan papa dan mama untuk menerima kerabat atau untuk pembicaraan yang sifatnya agak pribadi. Ruangannya didesain santai, jauh dari suasana tegang layaknya meeting perusahaan.
Selepas Andro dan papa menunaikan salat Jum'at, dua mobil beriringan menuju ke rumah. Andro bertiga dengan Salma dan Bu Miska, mengendarai SUV putih milik papa. Mama dan papa di atas sedan merah kesayangan mama.
Pada Bu Jani mama meminta bantuan untuk bersama driver menjemput seseorang, yang tak disebutkannya sebagai ibu Salma. Salma sendiri masih belum tahu, bahwa dia sudah permah lebih dulu bertemu dengan sang ibu.
Tubuh Salma mulai menegang saat mama turun untuk menyambut ibunya. Sebentar lagi Salma akan berada di ruangan yang sama dengan ibunya. Andro merangkul Salma, menyandarkan kepala sang istri pada bahunya. Kecupan berkali mendarat di kening atau kepala Salma. Pun bisikan-bisikan yang menguatkan, meluncur berulang dari lisannya. Salma merasa lebih nyaman, ditahannya posisi Andro supaya dirinya bisa tetap tenang.
Mama masuk, diikuti seseorang di belakangnya. Salma menunduk, mendadak tak siap dengan peristiwa bersejarah yang dalam hitungan detik lagi akan menyapa hidupnya.
Perempuan itu --Bu Dita-- duduk di samping Bu Miska. Salma masih belum mau mengangkat kepala, sejak tadi meremas-remas tangan Andro untuk menyalurkan gelisahnya.
"Ibumu sudah di sini, Sal. Tak perlu tahu dulu bagaimana cerita lengkapnya, kamu hanya perlu tahu tentang sosoknya, yang selama ini selalu kamu sebut dalam doa," bisik Andro.
Harusnya papa yang bicara, tapi papa mendadak menyerahkan pada Andro. Maka Andro dan Bu Miska yang mempersilakan ibu Salma untuk berbicara. Bu Dita sudah tak mampu lagi berbasa-basi. Hatinya sudah penuh sesak oleh rasa bahagia. Tak peduli bagaimana nanti respon anak yang dulu ditinggalkannya saat bayi, punya kesempatan untuk menyampaikan tentang siapa dirinya saja sudah lebih cukup bagi hidupnya.
"N-nama saya D-Dita."
Salma merasa pernah mendengar suara itu sebelumnya. Dia mengangkat kepala, dan dalam sekejap matanya dipenuhi genangan yang siap tumpah membasahi wajah cantiknya.
"N-nama panjang saya, N-ne...."
"NERUDITA?!" teriakan Antariksa mengalihkan fokus yang lainnya.
"I-iya, Bang Iksa. Ini aku, Dita." Tangis perempuan itu pecah tanpa bisa dicegah. Antariksa segera bangkit dan berlari memeluknya.
Belum reda kekagetan Salma, satu fakta yang turut terbuka sungguh menyesakkan dada. Salma pingsan. Jantung Andro seperti mau lepas. Mama dan Bu Miska sama-sama lemas.
***
Aaaarrghhh... Apa iniiii?! Kenapa beginiii?!
Maafkan. Jangan kezel sama aku yaaa. Memang ceritanya harus melewati liku-liku begini sih.
Lagunya juga langsung kepikirannya lagunya Dewa yg ini. Kayaknya tuh pas banget. Karena yg namanya hidup itu ya pasti ada hitam putih, pahit manis, tawa tangis. Kalau manis terus namanya es cendol kebanyakan gula jawa. Hihi...
Ya udah, sabar dulu nunggu part selanjutnya ya :)
Terima kasih sudah baca sampai sejauh ini. Terima kasih untuk sudah dibaca sampai 60K+ views.
Maafkan juga kalau part kemarin kayaknya aku belum sempat balas-balas komentar. Tapi selalu kubaca kok. Thank you yaaa. Please, tetap ramaikan komentarnya yaaa :)
Oh iya, Bin Fulanah harusnya hari ini (15 Juli) udah 30 part. Apa daya, aku cuma sanggup 20 part. Rencananya akan tetap kuselesaikan dulu di KBM, kalau udah kelar insyaAllah kupindah ke sini, karena aku optimis nggak ada kans. Hahaha...
See you :)
Semarang, 15072021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top