33. Tersadarkan

Maafkan kata yang tlah terucap
Akan kuhapus jika ku mampu
Andai ku dapat meyakinkanmu
Ku hapus hitamku
(Andra and The Backbone - Hitamku)

***

[Sal, tolong angkat telponku!]

Tetap tak ada jawaban, hanya ada satu pesan gambar dikirimkan. Sebuah screenshoot percakapan Salma dengan Mbak Yanti --yang membantu Bu Miska di panti-- mengabarkan bahwa Bu Miska mendadak pingsan dan dibawa ke rumah sakit pagi tadi. Diagnosa sementara adalah stroke ringan, tapi penyebab pastinya masih dalam pemeriksaan.

[Tp saya udah minta izin mama papa, Mas. Alhamdulillah boleh. Kata mama kl mama papa mengizinkan, Mas jg pasti mengizinkan.]

Bagaimanapun Salma tahu, kepergiannya harus seizin suaminya. Dia bukan tak berusaha, hanya saja sedari tadi tak ada respon saat menghubungi Andro. Dia tak habis akal, meminta izin pada mama dan papa, sebab Salma mengetahui dengan baik, Andro yang sekarang tak pernah berkata tidak pada kedua orang tuanya. Lagipula mamanya tahu apa yang terjadi pada Bu Miska.

Andro jengkel bukan kepalang. Ini baru hari Selasa, masih ada tiga hari perkuliahan tersisa. Ditambah tugas-tugas yang belum terselesaikan sepenuhnya. Menyusul ke Surabaya sekarang jelas bukan opsi bagi dirinya sendiri.

Buru-buru memasukkan handphone ke saku celana, mencegah tangannya yang sudah gatal membanting HP agar tak kebablasan, dan menyebabkan kerugian lebih banyak lagi bagi dirinya sendiri. Sebagai gantinya, Andro meninju keras tembok yang terdekat dengannya. Teriakannya menarik perhatian seseorang yang sedang berjalan di dekatnya. Zulfa.

"Kamu kenapa, Ndro? Tumben marah sampai segitunya."

"Bukan urusan kamu!" seru Andro sambil berlalu. Zulfa sedih, merasa bersalah atas kejadian tadi malam.

Gawai Andro kembali berdering, kali ini panggilan video dari mama.

"Ndro, ini Bu Miska masuk rumah sakit. Salma izin pulang, tadi hubungi kamu nggak bisa-bisa, terus minta izin ke mama sama papa. Nanti mama yang jemput di Pasar Turi. Kamu tenang aja," kata mamanya dari seberang sana.

"Besok lagi jangan kasih izin sembarangan, Ma. Andro sebenernya nggak mau lepasin Salma, tapi ya gimana, udah terlanjur juga." Andro tak berusaha menyembunyikan kekesalan dari wajahnya.

"Heh, memangnya kalau suruh nungguin kamu, terus kamu mau anterin Salma ke Surabaya, gitu?"

"Y-ya nggak sih, Ma. Tapi kan bisa nunggu dua tiga hari sampai Jum'at, nanti pulang ke Surabaya sama Andro."

"Ndro, Bu Miska itu satu-satunya yang Salma punya. Mama bisa memaklumi kalau Salma sangat khawatir. Kalau sampai ada apa-apa dengan Bu Miska, Salma pasti akan bawa penyesalan seumur hidupnya. Kamu jangan egois lah. Salma juga anaknya ngerti kok, bagaimana menjaga diri. Sama istri sendiri nggak percaya, sama perempuan lain percaya." Kalimat terakhir mama ada karetnya dua. Pedas!

"Kok Mama jadi mojokin Andro gitu, sih? Sal ngadu apa sama Mama?"

"Ngadu apa lagi, sih, Ndro? Kalian lagi ada masalah?" Salma benar-benar tak membahas apapun kecuali soal Bu Miska. Itulah yang menyebabkan mama curiga dan melemparkan pertanyaan semacam itu.

Andro tersadar, dia yang keceplosan. Salma tak mungkin bicara banyak pada mamanya, apalagi kondisi sedang seperti ini. Sebenarnya rasa bersalahnya sendiri yang membuatnya bicara seperti tadi.

"Ya udah, Ma. Andro titip Salma ya, Ma. Kalaupun dia mau nemenin Bu Miska di rumah sakit, malamnya dia tetap harus pulang dan tidur di Pakuwon, nggak boleh tidur di rumah sakit atau di panti."

"Kalian berantem?"

"Udah ya, Ma. Nanti Andro telpon lagi. Maaf, masih ada urusan kampus. Salam buat Salma kalau jemput nanti. I love you, Mama. Bye." Andro mengakhiri panggilan secara sepihak.

***

Sampai malam Salma masih belum mengangkat telepon dari Andro. Bahkan puluhan pesan pun diabaikan. Andro sampai putus asa menunggu jawaban dari istrinya.

"Ma, siapa yang mau jemput Salma ke rumah sakit malam ini?" Dia menelepon mamanya. Tak pakai salam atau sambutan, to the point saja.

"Rencananya tadi mama sama papa yang ke sana, tapi Salma berkali-kali bilang kalau dia nggak mau pulang, mau nemenin Bu Miska aja di rumah sakit."

"Nggak bisa gitu, dong, Ma. Kan Andro udah bilang kalau Sal nggak boleh tidur di rumah sakit atau di panti. Sal kudu pulang ke rumah, Andro nggak peduli apapun alasannya."

"Kok kamu maksa gitu, sih? Kalian kenapa? Berantem? Jangan kayak bocah lah, Ndro, kamu itu udah dewasa, udah jadi suami, kenapa memaksakan kehendak begitu? Salma pasti punya alasan tersendiri bertahan di rumah sakit. Jangan egois, orang kamu juga nggak bisa nemenin dia."

"Mama kok ngebelain Salma gitu, sih? Yang anaknya Mama kan Andro."

"Astaghfirullah hal adzim. Kamu kalau udah kumat bocahnya memang nyebelin ya, Ndro. Oke deh, mama sama papa ke rumah sakit sekarang." Mamanya geregetan, tapi tetap saja memenuhi kemauan anak laki-lakinya.

Di rumah sakit, mama dan dan papa tak berhasil membujuk Salma, bahkan untuk sekadar membalas pesan-pesan dari Andro.

Di Semarang, otak Andro rasanya buntu. Memaksakan diri untuk menyelesaikan tugas juga fokusnya entah ke mana. Sejak tadi dia kalut memikirkan Salma.

Dihubungi kembali mamanya, memaksa Salma agar mau bicara dengan dirinya. Pada akhirnya, Salma terpaksa menerima.

"Sal, aku suamimu, dan akan selamanya begitu. Please, pulanglah ke rumah, jangan bikin aku nggak tenang. Aku masih suamimu, kalau aku nggak ridho sama kamu, maka Allah dan para malaikat pun begitu. Maafkan aku, aku memang salah, but please, pulanglah ke rumah. Tunggu aku di sana."

"Tunggu di mana maksudnya?" Salma tak paham.

"Tunggu di rumah mama papa, aku pulang sekarang." Andro mengambil keputusan dengan spontan. Persetan dengan segala urusan perkuliahan, dia masih bisa mengulang. Tapi kalau kehilangan Salma? Ia takut tak akan pernah ada kesempatan kedua.

"Nggak. Kalau Mas pulang sekarang, saya memilih untuk tetap di rumah sakit. Mas nggak boleh pulang sekarang, besok Jum'at aja, selesaikan semua urusan kuliah Mas dulu untuk pekan ini. Sal udah siapin semua baju Mas buat besok sampai Jum'at. Sal juga udah siapin bahan makanan yang gampang buat Mas bikin, tinggal dimasukin microwave aja, nanti Sal kasih tahu caranya via WA. Mas janji jangan pulang sekarang ya. Sal udah maafin Mas, tapi ya itu, Mas nggak boleh pulang kecuali kalau udah hari Jum'at nanti."

Salma melunak. Dia selalu terngiang keinginan Andro. Lulus tepat waktu dengan nilai memuaskan, lalu segera pulang ke Surabaya. Sejujurnya Salma lebih nyaman berada di kota di mana hampir seluruh hidupnya dia habiskan di sana. Maka motivasi bagi Andro adalah juga motivasi bagi dirinya sendiri. Cita-cita suaminya harus tercapai, sebab itu berarti keinginannya untuk kembali hidup di Surabaya juga akan terwujud.

"Iya, aku nggak pulang, tapi kamu beneran maafin aku, kan?"

"Iya. Biar Sal yang pulang ke rumah, tapi besok pagi sampai malam Sal ke sini lagi."

"Iya iya, begitu boleh. Maafkan aku ya, Sal. Aku sayang banget sama kamu. Kalau nggak ada kamu, hidupku jadi nggak ada rasanya, Sal. Anyep."

"Tapi kan ada yang selalu siap nemenin Mas lewat telepon," sindir Salma. Dia tak suka gombalan yang tidak pada waktunya. Cuma terasa seperti basa basi agar dia tak marah saja.

"Iya, aku minta maaf soal itu. Kita bahas besok lagi waktu kita ketemu ya. Terima kasih banyak, Sal, pulang pun kamu masih sempat mikirin dan siapin semua keperluanku. I love you, Sal."

"Hemm," jawab Salma singkat, biarpun dia tahu jawaban apa yang diharapkan laki-laki ngeyelan di seberang sana.

"Kok cuma hemm, sih, Sayang?" Rayuan kembali diluncurkan.

"Assalamualaikum." Tapi gagal mencapai sasaran.

Salma bahkan langsung menutup telepon tanpa persetujuan. Tak masalah bagi Andro yang paling penting malam ini Salmanya pulang ke rumah keluarga Antariksa. Ada mama papa yang bisa menjadi penggantinya menjaga Salma.

Malam itu mama di kamar Andro, menemani Salma yang terlihat kecapaian. Memijat kaki Salma walaupun si menantu sudah menolak mati-matian. Mama tahu ada sesuatu yang terjadi antara anak dan menantu kesayangan. Dicobanya untuk mencari tahu, meski juga tak memaksa Salma untuk menceritakan.

"Iya, Ma. Sal sama Mas lagi ada sedikit masalah, tapi Sal ke sini bener-bener karena alasan Bu Miska, Ma. Bukan kabur atau menjauh dari Mas, Sal tahu itu salah besar, dan Sal nggak akan melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak disukai oleh Allah.

"Tapi Sal minta maaf, Ma. Sal belum mau cerita. Ini aibnya Mas, dan itu berarti aib kami berdua. Nggak apa-apa ya, Ma?"

Mamanya mengangguk, meyakinkan Salma bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang sudah sangat tepat.

Mama menghentikan pijatannya, menarik selimut sampai menutupi bagian dada Salma, lalu mengecup kening dan kedua pipi menantunya dengan rasa sayang yang begitu besar.

"Mama tidur di kamar mama ya. Kalau ada sesuatu, panggil aja, atau misscall."

Salma berterima kasih atas perhatian dan kasih sayang dari mama mertua. Dia langsung tidur begitu mama menutup pintu dari luar. Akhir-akhir ini dia merasa badannya mudah kecapaian, ditambah hari ini banyak kejadian serta kesibukan yang cukup melelahkan.

***

Usai subuh dan memuroja'ah hafalannya, Salma sudah cantik dan rapi, siap menuju ke rumah sakit untuk merawat Bu Miska. Slingbag sudah terselempang, melingkari bahu kanan hingga pinggang kiri. Ransel berisi baju ganti, mukena, alat mandi, buku, dan keperluannya selama sehari juga sudah siap, hanya tinggal mengisi makanan, kudapan, dan minuman yang banyak tersedia di dapur rumah mama. Tinggal pilih atau tunjuk saja, sebab dia sedang tidak ada mood untuk memasak sendiri.

Gawainya berdering-dering. Satu panggilan video, dari siapa lagi kalau bukan Angkasa Andromeda.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikumussalam. Kok pagi-pagi udah cantik gitu, Sal? Mau ke mana?"

"Mas, masih pagi nggak usah ngajak debat, deh. Apa biasanya Sal nggak cantik kalau pagi? Mas mau bilang kan, kalau Sal jauh dari Mas malah pagi-pagi udah cantik, kalau lagi sama Mas pagi-pagi kucel, gitu kan?" Salma seperti mobil zaman now, tak perlu dipanaskan mesinnya, langsung tancap gas saja.

"Aku sama sekali nggak kepikiran seperti itu, Sal. Aku vidcall karena aku kangen. Sendirian tuh sepi, nggak enak banget."

"Bukannya malah bisa bebas telpon-telponan sampai pagi sama istri orang? Mas nggak ada saya kan nggak enaknya karena apa-apa harus sendiri, nggak ada yang nyiapin ini itu anu, semuanya sendiri. Mas nggak mau repot, ya kan?"

Di seberang sana Andro menghela napas panjang, lalu melepasnya perlahan. Dia sendiri bingung, kenapa Salma jadi terkesan ngajak gelut, padahal dia merasa tak ada satupun kalimatnya yang mengarah ke sana.

"Kamu mau ke rumah sakit pagi-pagi, Sal? Jangan lupa makan dulu ya. Bawa cemilan buat di sana nanti. Bawa buku buat mengisi waktumu. Aku---"

"Iya, Sal udah ngerti, sih. Memangnya Sal anak TK, yang apa-apa kudu dikasih instruksi."

"Kamu kenapa sensi begitu, Sal? Kan aku udah minta maaf berkali-kali. Aku udah mengakui kesalahanku. Aku---"

"Udah dulu ya, Mas. Sal malas bahas itu terus, kayak nggak ada bahasan lain aja. Assalamualaikum."

Panggilan diakhiri begitu saja. Di sana Andro bengong menghadapi kelakuan Salma yang menurutnya ajaib. Jauh berbeda dari Salma yang dia kenal tiga bulan terakhir ini. Masa iya Salma berubah begitu hanya gara-gara dia ke-gep telepon dengan Zulfa? Itupun Salma mengaku mendengar nyaris semua obrolan Andro dengan temannya yang pernah istimewa.

Handphone di tangan Andro melayang. Beruntung, meski tak dibekali fitur autopilot, benda itu memilih sudut sofa sebagai tempat berhentinya. Andro meneriakkan istighfar, disusul hamdalah. Kalau handphone-nya jatuh di lantai dan pecah, Salma bisa ngamuk makin parah.

Pagi itu Andro hendak mengerjakan apa-apa sendiri. Melongok kulkas, ada banyak bahan makanan. Beberapa bisa diproses secara instan, caranya pun sudah Salma beritahu lewat pesan-pesan. Tapi Andro malas, dia tetap merasa bingung kalau harus turun ke dapur, apalagi sendirian. Bagaimana nanti cucian piring yang dia hasilkan? Iya kalau dapur tetap kinclong, lha kalau malah berantakan? Belum hasil masakan yang mungkin tak sesuai harapan. Satu-satunya yang terlintas di pikirannya adalah..., berangkat lebih pagi dan sarapan di kantin jurusan.

Di kantin, si perempuan dengan otak brilian sudah lebih dulu duduk di sana. Asya.

"Pagi bener, Sya? Bayimu gimana?" sapa Andro.

"Iya nih, Ndro, papanya mau nguji skripsi pagi-pagi. Mana perpus belum buka, lagi. Dia tuh suka bawel kalau aku berangkat sendiri, mending istrinya jamuran di kantin daripada berangkat ke kampus sendiri. Punya suami perfectionist bin overprotective tuh ya, gini. Kadang ngeselin."

Andro terkekeh mendengar curhatan teman baiknya. Ditariknya kursi dan duduk di hadapan Asya.

"Nggak ada yang cemburu kan, aku duduk di sini?"

"Nyemburuin suami orang apa asyiknya, sih? Suami orangnya bucin, pula." Keduanya tertawa. Andro lalu meneriakkan pesanan pada ibu kantin, soto tanpa kecambah dan sebotol air mineral dingin.

"Tumben, makan di kantin, Ndro. Istrimu nggak masak?"

"Dia pulang ke Surabaya, Sya. Ibunya masuk rumah sakit."

"Kok nggak sama kamu, sih? Itu kalau suamiku, udah pidato kenegaraan tujuh hari tujuh malem, dah." Andro tertawa lagi mendengar penuturan Asya tentang suaminya.

"Dia hubungi aku berkali-kali kemarin, aku pas di kampus, nggak pegang HP agak lama. Terus dia minta izinnya ke mama papaku, dikasih deh. Jadi, pas aku tahu dia pulang, keretanya udah jalan. Emm..., emang malemnya kami sempet berantem sih." Andro tak tahan untuk tak bercerita. Dia yakin, Asya yang agak kaku itu masih bisa dipercaya.

"Eh, curhat nggak apa-apa kan, Sya?"

Asya mengiyakan. Cerita Andro menderas bagai aliran sungai Brantas. Dari telepon Zulfa yang membuat Asya terbengong, Salma yang 'kabur' ke Surabaya, sampai sikap Salma pagi tadi yang bikin Andro mengelus dada.

"Aku takut dia berubah, Sya. Salma yang kukenal selama ini orangnya lemah lembut, sabar, dan nggak gampang emosian. Ini beda banget. Masa iya, cuma gara-gara kejadian sama Zulfa, dia jadi semarah itu? Setiap aku bicara, tanggapannya jadi nggak enak banget. Nyiksa tahu nggak, sih, Sya?"

"Wait..., kalian nikah udah tiga bulan berarti, ya?" Andro mengangguk.

"S*ks?" Andro mengangguk lagi.

"Bojomu hamil kui!" seru Asya tanpa basa basi.

"WHAT?!" pekik Andro, tak ada santainya sama sekali.

"Itu pengaruh hormon, bego! Balik Surabaya, sana! Urusan kampus nanti aku bantu semuanya. Gih!" Asya mengusir Andro. Tidak dengan sopan, tapi dengan tawaran bantuan yang kental aroma persahabatan.

"Thanks, Sya!"

Andro menyambar Samsonite hitamnya, meninggalkan selembar uang berwarna merah di meja.

"Sotonya belum jadi kumakan, Bu. Biar dimakan ibu-ibu beranak dua ini, butuh banyak asupan nutrisi dia," teriak Andro pada ibu kantin.

"Asem tenan! Aku rak nggragas yo!" Sebatang sumpit melayang ke arah Andro. Dua mahasiswa itu tertawa bersama.

"Be careful, Pal!" teriak Asya lagi.

"Yo'i."

Andro menghilang secepat kilat. Dari parkiran kampus dia memacu Sierra-nya ke jalan Tirto Agung. Tanpa pulang dulu ke Madina, langsung mengarahkan mobilnya memasuki jalur tol ke arah selatan. Tujuannya hanya satu, memeluk Salma secepat dia bisa.

***

Yeaiy, ketemu lagi dan Alhamdulillah tepat waktu.

Udah terjawab ya kenapa Salma 'kabur' dari Semarang. Hehe...

Pertanyaannya sekarang, bener nggak nih si nyonya muda lagi hamil? Hayoooo....

Btw, ini pekan ketiga aku sama suami masih harus bolak balik ke rumah bapak ibuku. Masih dibutuhkan untuk ngurus ini itu. Alhamdulillah.

Aku juga masih harus ngejar nyelesein 30 bab ceritaku yg kuikutkan event lomba menulis di KBM App. Yuk lah, ikut baca. Nggak akan kukunci sampai tamat nanti, kok. Judulnya Bin Fulanah. Nama akunku di KBM App sama kok, fitrieamaliya

Baiklah, itu dulu ya. Mohon maaf kalau agak pendek part ini. Nggak apa-apa yaaa, mohon dimaklumi.

Oh iya, maafin juga kalau teman-teman bingung bacanya. Banyak percakapan yg di-italic. Aku tuh lupa, kalau percakapan telepon yang salah satunya pasti ada di seberang sana, harusnya di-italic apa nggak, gitu. Belum sempat cari tahu lagi.

Terus maaf juga kalau kayak lompat-lompat PoV-nya.

Pokoknya maaf untuk semua kekurangan yang ada yaaa :)

Thank you so much.

See you :)

Purwodadi, 08072021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top