32. Ketahuan

Tak seharusnya kita terpisah
Tak semestinya kita bertengkar
Karna diriku masih butuh kau
Maafkanlah sikapku
Lupakanlah salahku itu
(Sheila On 7 - Bila Kau Tak di Sampingku)

***

Salma lupa melepas anak kunci dari lubangnya hingga Andro harus meneleponnya. Itupun setelah berkali-kali, baru Salma bangun. Dibukanya pintu dengan rasa bersalah yang luar biasa, Salma siap menerima marahnya Andro.

Kesibukan Andro di urusan perkuliahan sedang menggila. Tiga bulan menjadi istri, Salma mulai hafal dengan kebiasaan sang suami. Biasanya kalau pulang malam dan dalam kondisi lelah, Andro suka menunjukkan muka kesal untuk hal-hal kecil yang menghambat aktivitasnya. Walaupun tak pernah berlanjut dengan marah atau berbuat kasar, tapi diamnya sang suami selalu sukses bikin Salma tak enak hati.

"Maaf, Mas. Sal ketiduran. Lupa nyabut kuncinya." Ia bahkan masih mengenakan mukena. Wajahnya menunjukkan gurat kelelahan.

Hampir sebulan terakhir Salma mulai aktif membuka pesanan kudapan dan kue-kue. Hari ini dia seharian berkutat dengan pesanan hampers dari tetangga di blok sebelah. Belasan box bolu gulung dia selesaikan seorang diri. Tak seperti biasa, entah kenapa kali ini dia merasa sangat kecapaian.

"Nggak apa-apa, Sal. Aku yang minta maaf udah ganggu istirahat kamu." Andro menyambut tangan istrinya, lalu mengecup punggung tangan itu sebelum keduluan Salma mencium tangannya.

Salma lega, kesejukan seolah mengaliri hati melihat sang suami bersikap manis padanya.

"Wajahmu capek banget, sih? Besok lagi nggak usah nerima pesanan kalau sekiranya memberatkan. Maafin aku juga karena nggak bisa bantu."

"Sal nggak apa-apa, Mas tenang aja. Tadi iya agak kecapaian, tapi ini udah segeran kok. Sal tidur dari habis sholat isya. Lama ternyata ya." Salma meringis, menatap jam di dinding ruang tamu. 22.17.

"Ya udah, kamu tidur lagi aja, Sal." Andro tak tega. Wajah Salma sama sekali tidak menunjukkan udah segeran seperti yang diucapkannya tadi.

"Mas nggak butuh saya? Nggak butuh dibikinin susu, atau ambilin kudapan, atau..., mau makan lagi, mungkin?"

"Nggak, Sal. Aku mau selesaikan tugas dulu, kurang sedikit lagi. Kamu tidurlah, nanti aku nyusul. Atau harus aku kelonin dulu?" Salma tersipu. Secepat kilat menggelengkan kepalanya.

"Iya, Sal mau istirahat lagi. Baju ganti buat Mas udah Sal siapin, ya. Handuk juga."

Di dalam kamar mandi ada rak laundry tiga tingkat yang diletakkan di samping wastafel. Paling atas tempat Salma biasa menaruh handuk bersih dan baju ganti untuk Andro. Bagian tengah untuk persediaan toiletris. Bagian paling bawah adalah keranjang untuk menaruh baju kotor. Kalau tidak begitu, Andro selalu menaruh baju kotor di atas closet atau di pojokan kamar mandi. Salma tak suka.

"Iya. Thanks ya, Sal, udah selalu melayani aku dengan baik." Ditariknya Salma hingga wajah mereka berdekatan. Satu ciuman Andro berikan. Agak lama, tapi tak membuat keduanya terlena.

Sementara Andro mandi, Salma menyiapkan beberapa potong bolu gulung dan secangkir susu hangat, ditaruhnya di meja tempat Andro biasa mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Lalu Salma meminta izin sekali lagi untuk melanjutkan istirahatnya. Diketuknya pintu kamar mandi, Andro segera membukanya lebar-lebar, mengumbar pemandangan yang membuat dada Salma berdenyut tak beraturan.

"M-Mas, eh, emm..., S-Sal t-tidur dulu. Bangunin aja kalau Mas butuh sesuatu." Dipaksanya kedua netra untuk menatap pada mata suaminya. Bukan ke arah yang lain-lain. Biarpun sudah berkali-kali Andro menimba sumurnya, kalau kejadiannya seperti ini, tetap saja Salma merasa malu.

Andro tertawa, mengiyakan izin Salma, juga mengucapkan terima kasih dan i love you pada sang istri tercinta.

Badannya segar kembali. Andro melanjutkan aktivitas berakrab ria dengan tugas, setelah lebih dulu mengudap dua potong bolu, dan meneguk susu hangatnya hingga tandas.

Tak sampai dua jam, semua tugas telah tuntas. Sudah jadi kebiasaan Andro, kalau berhubungan dengan urusan kuliah dia tak pernah setengah-setengah. Tak akan tidur sebelum mejanya kembali rapi. Maka ia membereskan semua yang berserakan di sekelilingnya. Belum rampung, saat gawainya berbunyi. Satu panggilan suara datang, nama Sipil - Zulfa N terbaca di layar.

Andro menghela napas, menoleh ke arah kamar utama yang pintunya sengaja dia buka, sebab sambil mengerjakan tugas, sesekali ia memandangi Salma dari tempatnya duduk. Andro senang sekali melakukannya.

Salma terlihat sangat lelap. Dihelanya napas sekali lagi, kemudian menerima voice call tersebut. Dinyalakannya loudspeaker dengan volume agak kecil, agar bisa bicara sambil lanjut membereskan meja.

"Assalamualaikum, Zul," sapa Andro agak pelan. Kepalanya menoleh kembali ke arah kamar. Sudah seperti maling yang sedang mengawasi calon mangsa.

"Waalaikumussalam. Ngganggu ya, Ndro? Tugasmu udah selesai?" sambut istri orang di seberang sana.

"Iya, udah, Zul. Udah selesai. Gimana? Ada yang bisa kubantu?"

"Ndro, apa laki-laki tuh susah ngelupain perempuan dari masa lalunya?"

Batin Andro berteriak, Duh, apalagi ini? Dia yang tanya kok aku yang kesindir.

"Ada apa, Zul?"

"Jawab dulu pertanyaanku, Ndro."

"Ini udah malam, Zul. Kalaupun istriku nggak marah, nanti Pak Iqbal yang marah sama aku."

"Dia lagi menyendiri. Ini aku di rumah bapak ibu. Jawab pertanyaanku dulu, Ndro. Please."

Andro menelan ludah. Kepada Salma ia merasa sangat bersalah. Kenapa masih saja dia yang dicari saat Zulfa bersusah hati? Dan kenapa juga dia masih tak bisa menolak? Meski ia yakin, pertimbangannya hanya rasa iba semata.

"Kupikir yang kayak gitu nggak cuma laki-laki sih, Zul. Perempuan juga sama, kalau itu tentang seseorang yang pernah berarti di hidupnya."

"Mantannya Kak Iiq mau nikah, Ndro. Aku yang terima undangannya. Pas kukasihkan, dia kayak langsung sedih, gitu. Mukanya lho, kelihatan jelas kayak gimana gitu. Aku mau nggak cemburu, eh, dianya malah minta izin mau menyendiri sebentar. Kan aneh. Apa jangan-jangan dia masih sayang sama mantannya itu ya, Ndro?" Intonasi dari si lawan bicara terdengar kesal.

Andro seperti sedang berkaca. Kejadian malam itu, saat Salma tahu tentang Zulfa dan insiden hampir salah sebut nama, kembali melintas di benaknya.

"Nggak apa-apa, Zul. Wajar kalau kamu cemburu. Tapi percaya saja, Pak Iqbal cuma butuh waktu sebentar. Mungkin sulit ya, Zul, masa iya kasih waktu ke pasangan kita buat merenungi sesuatu tentang mantannya. Yang bener aja?

"Tapi ya kamu husnudzon saja, mungkin ada hal lain yang mengganggu pikiran beliau. Kamu cuma harus berdoa. Itu kata istriku. Aku juga pernah mengalami hal seperti ini. Memang aku yang salah, nggak bisa mengkondisikan hati dan mukaku saat mendengar tentang seseorang yang pernah berarti, dan itu kulakukan di depan istriku.

"Tapi aku bersyukur, istriku orangnya dewasa sekali cara berpikirnya, hatinya juga seluas samudera. Walaupun dia sempat marah dan menunjukkan kecemburuannya, tapi dia mau memaklumi aku dan masa laluku. Dia menerimaku dengan segala kekurangan dan kelebihanku, termasuk masa laluku." Andro seperti maling yang lengah. Tak sadar ada seseorang yang turut mendengar di balik pintu kamar yang terbuka cukup lebar.

"Kamu pasti bahagia ya, Ndro? Istrimu sempurna banget."

"Alhamdulillah. Iya, Zul. Dia baik banget, pengertian, dewasa..., pokoknya keberadaannya bikin aku selalu bahagia."

Istri orang di seberang sana makin sendu. Ada iri yang diam-diam menyusupi hati. Merasa diri tak mampu menjadi seistimewa istri Angkasa Andromeda.

"Aku memang nggak istimewa ya, Ndro. Sampai suamiku aja sesedih itu nerima undangan dari mantan. Mungkin aku nggak bisa bikin dia bahagia," keluh Zulfa.

"Nggak gitu juga kali, Zul. Jangan suka insecure gitu. Nggak sembuh-sembuh ya kamu." Andro tertawa kecil.

"Pak Iqbal itu cinta banget sama kamu, Zul. Beliau selalu menunjukkan kalau beliau tuh bangga memiliki kamu. Kamu cuma harus percaya diri saja, dan percaya sama Pak Iqbal. Pasti udah banyak hal baik yang beliau lakukan buat kamu. Jangan karena satu hal yang menurutmu menyakitkan, terus bikin semua kebaikan Pak Iqbal seolah nggak ada bekasnya. Kata istriku itu dosa. Kufur nikmat." Untuk kesekian kali pujian untuk Salma terlontar dari Andro.

"Istrimu pasti pintar ya, Ndro. Pengetahuan agamanya luas."

"Alhamdulillah, Zul. Dia menghafal Qur'an, dan yang terutama, dia juga selalu berusaha mengamalkan apa yang dihafalnya pada kehidupan sehari-hari. Aku merasakan banget tentang itu."

"Pantesan, kamu sekarang berubah. Lebih religius dan dewasa. Udah bapak-bapak sih ya?" Mereka berdua tertawa.

Seseorang merasa bahagia ada yang mengakui keberadaannya, bahkan membanggakan dirinya di depan seseorang yang pernah berarti. Tapi mendengar keduanya tertawa, tetap saja memunculkan rasa nyeri di hati.

"Sorry, Zul, ini udah malam. Yang kita lakukan ini sebenernya salah." Andro mengingatkan.

"Iya, maaf ya, Ndro. Aku yang salah. Kalau lagi susah sama sedih aja ingatnya ke kamu."

Dari dapur terdengar pintu kulkas yang dibuka, lalu ditutup kembali dengan keras. Andro terlonjak. Ketegangan mendadak menyelimuti dirinya.

"Udah dulu ya, Zul. Aku mau istirahat. Assalamualaikum." Panggilan Andro akhiri tanpa menunggu jawaban dari seberang sana. Ia buru-buru berlari ke dapur, hendak memeluk Salma, tapi ditolak dengan terang-terangan.

"Kenapa ditutup teleponnya?! Karena saya bangun?! Udah sana lanjutin aja, anggap aja saya nggak ada!" Tak pakai ancang-ancang, Salma langsung menggunakan nada tinggi. Rasa lelah yang tadi ada sudah menguap entah ke mana.

"Aku bisa jelasin, Sal. Kamu jangan marah dulu."

"Nggak perlu. Saya dengar hampir semua percakapan Mas dengan mbaknya."

"Berarti kamu dengar kan kalau aku tadi menunjukkan kebanggaan dan kebahagiaanku karena memiliki kamu?"

"Iya, saya dengar semua, dan saya terima kasih banyak Mas menunjukkan itu di depan mbaknya. Tapi bukan berarti saya lantas membenarkan apa yang Mas lakukan dengan dia, kan?"

"Iya, Sal, aku memang salah. Tapi bukan berarti kamu nggak mau memaafkan aku juga kan, Sal?"

"Saya mau tidur di kamar depan."

"Sal, please." Yang Andro dapatkan hanya tatapan penuh kebencian.

"Perempuan yang baik nggak akan menelepon suami orang malam-malam. Dan suami yang baik nggak akan menerima telepon dari perempuan lain yang bukan mahramnya, apalagi tengah malam begini. Istri orang, lagi." Salma menyahut. Cemburunya sudah macam bumbu cabe level mutakhir. Pedas!

"Iya. Aku salah, Sal. Aku bukan suami yang baik. Aku---"

"Mulai malam ini, kita tidur sendiri-sendiri saja."

"Aku nggak mau! Kamu boleh marah, boleh pukul aku, caci maki, atau apapun, tapi tidak untuk tidur terpisah. Kamu istriku, dan akan selamanya begitu!"

"Kenapa cuma Mas yang boleh menentukan?! Apa pendapat saya nggak didengar di rumah ini?!"

"Dalam hal ini, iya. Jangan bikin keputusan saat marah, Sal, tenangkan dulu dirimu. Aku tahu kamu sayang sama aku, makanya kamu cemburu. Aku peluk ya?"

"Nggak perlu! Saya cuma mau sendiri, dan itu cuma bisa kalau kita tidur masing-masing. Pilihannya cuma satu, Mas atau saya yang keluar dan tidur di kamar depan?" Salma melenggang pergi. Berjuang menahan air mata yang mendesak-desak agar tak luruh di depan suami yang baru saja membuatnya sakit hati.

"Oke, oke. Aku yang keluar dari kamar. Tapi aku nggak mau tidur di depan. Aku maunya di sofa. Dan pintu kamar harus tetap terbuka." Berdebat dengan Andro itu percuma, ngeyelnya tak ada tandingan. Salma memilih diam. Terserah suaminya.

Andro memutar sofa menghadap ke kamar. Tak hanya itu, dia memindahkan posisinya persis di depan pintu, dan membuka pintu kamar lebar-lebar. Salma makin kesal, dia paling risih tidur dengan pintu terbuka, dan Andro tahu itu.

"Mas kan tahu, saya nggak bisa tidur kalau pintunya terbuka begitu!" teriaknya pada Andro.

"Nggak perlu teriak, Sal, ini sudah malam. Oke, aku tutup pintunya, tapi aku tidur di dalam." Andro menutup pintu, lalu menuju sofa di dalam kamar mereka.

Salma tak berkata apa-apa lagi, memosisikan dirinya memunggungi Andro. Ditariknya selimut hingga menutup seluruh tubuhnya.

Andro tak tahan, dia nekat untuk pindah ke tempat tidur. Makin nekat lagi, dia memeluk Salma yang sudah jelas-jelas sedang marah padanya. Bukannya senang, tangis Salma justru bertambah kencang. Andro mengucapkan maaf berkali-kali lagi, tapi telinga Salma seolah tuli, tak ingin mendengarkan apapun yang keluar dari lisan sang suami.

Salma menangis sampai lelah, hingga jatuh tertidur begitu saja. Sedangkan Andro sudah terlelap sejak lima menit setelah memeluk dan membuat Salma menumpahkan tangisnya. Dasar laki-laki! Kalau sudah kelelahan suka lupa perasaan istri.

Sampai keesokan pagi, suasana masih belum berubah. Salma yang terbangun lebih dulu memang membangunkan Andro untuk salat subuh di masjid, tapi ya cuma itu saja, selebihnya tak ada lagi pembicaraan. Andro berkali memancing pertanyaan, jawabannya hanya ya, tidak, atau hemm saja. Kalau pertanyaan yang diajukan memiliki jawaban panjang, Salma memilih untuk menjawab dengan kata pas. Andro terkekeh, dikata kuis pakai jawaban pas. Tapi Salma tidak menganggap itu lucu.

Sarapan tersedia, susu dingin dengan varian plain juga tersaji seperti biasa, kudapan pun ada. Mau mandi, baju dan handuk bersih sudah siap di tempatnya. Kemeja dan celana panjang untuk ke kampus sudah ada di atas tempat tidur. Andro tak perlu memilih, Salma selalu mencarikan yang cocok dan nyaman untuk dia kenakan. Pendek kata, semua berjalan seperti biasa. Satu-satunya yang hilang adalah obrolan, juga kehangatan yang selalu Salma berikan untuk dirinya.

"Sal, aku mending nggak ada sarapan, mandi nyiapin sendiri, apa-apa sendiri, tapi kamu nggak diemin aku begini. Sepi, Sal. Aku kangen kamu." Hanya hemm saja jawaban yang Andro terima.

Diikutinya setiap langkah Salma, ke mana saja. Salma sampai jengah, tapi bukan Andro kalau lantas menyerah.

"Mas ngapain, sih?! Mengganggu banget kayak gini, tuh." Salma kesal.

"Biarin. Kalau kayak gini bisa bikin kamu bicara lebih banyak. Walaupun bicaramu juga isinya marah-marah, it's better than you just silent. Aku nggak tahan."

"Menyebalkan!" Didorongnya Andro agar tak menghalangi jalannya. Ia berlari ke kamar mandi. Mengunci rapat-rapat dari dalam, memutar shower sampai maksimal, lalu menumpahkan tangis di bawah gemericiknya.

"Sal? Salma? Iya, aku minta maaf. Aku nggak akan memaksakan apapun. Kalau kamu belum mau bicara, aku juga nggak akan maksa. Tapi kamu jangan ngunci diri di situ. Aku hitung sampai sepuluh, kalau kamu nggak keluar juga, aku dobrak pintunya."

Hitungan dimulai. Salma masih bertahan hingga angka ke delapan, lalu sembilan, dan tetap bertahan hingga angka terakhir Andro teriakkan.

Brakk!!

Andro tak main-main. Pintu yang tak seberapa kokoh itu pun terbuka dengan paksa. Salma berjongkok di pojokan, wajahnya basah oleh air mata, juga guyuran shower yang menghujani tubuhnya.

"Kamu kalau udah cemburu serem juga ya? Aku nggak mau kamu begini, Sal. Keluarkan saja semua. Marahlah, caci maki aku, nangis, atau apapun. Tapi jangan kayak gini. Tumpahkan ke aku, biar kamu lega, dan cepet baikan sama aku. Aku nggak betah diem-dieman sama kamu." Andro mematikan shower, lalu ikut berjongkok. Dipeluknya Salma erat, tak peduli bajunya jadi ikut basah, toh masih banyak yang bisa ia pakai untuk gantinya nanti.

"Udah, Mas berangkat aja. Saya baik-baik saja, kok. Maaf." Sikap Salma melunak. Lebih kepada malas berlama-lama melihat Andro yang ngeyelnya luar biasa.

"Tapi kamu masih marah. Masih bilang saya, gitu."

"Sudah, Mas, nggak usah masalahin ini itu anu. Mas ke kampus saja. Saya janji akan jaga diri baik-baik."

Dengan berat hati Andro memenuhi maunya Salma. Segera bersiap untuk berangkat, tentu saja setelah mengganti bajunya yang basah.

Seperti biasa, Salma melepasnya dari teras, tapi tak menyambut ciumannya dengan antusias. Tak ada senyum juga saat Andro melambaikan tangan, hingga mobil meninggalkan halaman.

Kesibukan di kampus mengalihkan fokus. Sampai jam satu lebih, Andro sejenak lupa dengan kejadian di rumah. Usai salat zuhur --yang terlambat karena mendahulukan urusan kuliah-- Andro membuka gawainya, hendak memantau keadaan Salma.

Layar gawainya baru juga menyala, nama Salma memenuhi notifikasi yang diterima. Lima panggilan telepon tak terjawab, tujuh panggilan suara tak terjawab, empat panggilan video, dan beberapa pesan instan.

[Mas, saya pulang ke Surabaya. Maaf nggak nunggu izin, Mas nggak bs dihubungi.]

[Nggak usah dicari jg. Saya sdh di kereta. Ini jalan ke Surabaya.]

Rasanya ingin membanting smartphone-nya detik itu juga, tapi Andro masih butuh menghubungi Salma. Sudah dia lakukan berkali-kali, tapi Salma tak meresponnya sama sekali

***

Salma kabur? Dih, kok nggak banget?
Hihi..., tunggu alasannya di part berikutnya yaaa.

-----

Ketemu lagi setelah beberapa hari yang cukup menguras energi. Alhamdulillah, aku sudah fast recovery. Karena memang sudah disiapkan dari sejak dini :)

Terima kasih untuk simpati, doa-doa, dan perhatian dari teman-teman semua. Postingan kemarin udah ku-take down. Sedih-sedihnya sudah cukup. Mohon maaf kalau aku nggak membalas komen-komennya.

Alhamdulillah. Menulis adalah hiburan sekaligus stress release buatku. Jadi bukan karena aku memaksakan untuk bisa tetap update ya. Memang dari kemarin sudah ditulis juga, cuma waktu itu belum sempat edit-edit keburu harus meluncur. So, updatenya tertunda.

Lagunya pas banget nggak sih? Hihi... Kalau So7 tuh nggak kenal usia yaa. Dari yang tua (nulisnya sambil ngaca, haha) sampai yang millenials, semua kenal mereka. Dari jaman aku SMA, sampai anakku udah mendekati usia SMA, lagu-lagunya tetap akrab di telinga.

Ya udah, segini dulu aja ya. Terima kasih banyak untuk segala dukungan dan apresiasinya. Maafkan karena update yg tertunda :)

Stay safe & keep healthy, teman-teman semua.

See you :)

Purwodadi, 05072021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top