30. Kesepakatan
Aku ingin dia yang pergi jauh
Pergi jauh darimu
(Tere - Aku Patut Membenci Dia)
***
Senin pagi. Andro mulai berurusan dengan perkuliahan lagi. Fisiknya sudah kembali prima, malah mungkin lebih sehat dari sebelumnya. Apalagi ditambah izin dari sang pemilik sumur untuk boleh menimba setiap kali datang hausnya.
Kebiasaan pagi agaknya berubah. Mandi sebelum subuh untuk sementara digeser dari jadwal semula mendekati jam berangkat ke kampus, ditambah membasahi rambut pula.
Andro meminta Salma membantunya mengeringkan rambut. Salma malah memintanya memotong rambut, hanya saja Andro belum mau. Salma bahkan menawarkan dia sendiri yang akan memangkas rambut sang suami, lagi-lagi belum dapat acc. Bukan Salma tak suka Andro gondrong, sebaliknya, menurut Salma Andro lebih ganteng dengan rambut panjang yang diikat rapi.
"Aku lagi suka begini, Sal. Lebih fresh. Kamu juga katanya suka aku gondrong gini, iya kan?"
"Iya, Sal suka banget. Tapi kan sekarang ada kebiasaan baru, Mas jadi repot kalau harus sering-sering keramas terus ngeringin rambut gini, kan? Makanya Sal usul dipangkas aja rambutnya. Mas tetep ganteng, kok."
"Nggak, ah. Repot sedikit nggak pa-pa, toh ada kamu yang biasa kurepotin. Lagian aku suka banget kamu sisirin gini, Sal, romantis banget." Dijambaknya sedikit rambut Andro, si empunya mengaduh, yang disambut tawa cekikikan oleh Salma. Mereka lalu bercanda, saling mencubit di atas sofa. Sudah macam sinema Hindustan zonder nyanyian.
"Udah ah, Sal, nyubitinnya. Ntar aku telat. Nggak ada kata telat kuliah dalam hidup Angkasa Andromeda." Diakhirinya drama cubit-cubitan, menuju cermin untuk mematut dirinya lagi.
"Ngaca terus yaa. Udah ganteng, udah. Mau ketemu mbaknya aja pakai ngaca berkali-kali," ujar Salma sewot. Sejak tahu tentang Zulfa, kecemburuan di hati Salma meningkat berkali lipat. Melihat Andro memastikan penampilannya sebelum ke kampus saja, dia merasa terintimidasi.
Andro terkekeh, mendekati Salma, dan melingkarkan tangan di pinggang rampingnya. "Sayangku cuma sama kamu, Sal. Nobody else, aku milikmu sepenuhnya. Dan aku suka sekali kalau kamu cemburui. By the way, aku kangen masakanmu. Nanti siang aku makan di rumah ya, Sal."
"Iya, nanti Sal masakin kesukaan Mas." Kecemburuan Salma menguap seketika. Hatinya memang lemah, mudah sekali meleleh oleh perlakuan manis sang galaksi.
Jam setengah sembilan Andro berpamitan, memacu motornya dengan kecepatan sedang. Memasuki kawasan fakultas teknik, dia terpaksa menepi karena ada mobil yang memepetnya. Kaca jendela sebelah kiri terbuka, si pengemudi HRV putih menyapanya.
"Angkasa, tolong nanti temui saya setelah jamnya Pak Irfan, ya." Andro hanya bisa mengangguk, membiarkan mobil itu berlalu lebih dulu.
Fokusnya agak buyar melihat si penumpang yang cuma menatap lurus ke depan. Sama sekali tak menyapanya atau melempar senyuman, bahkan menoleh saja tidak. Bukan berharap, Andro hanya heran saja.
Perkuliahan Pak Irfan berjalan seperti biasa. Tegang, serius, kaku, dan membosankan. Satu-satunya yang dinanti para mahasiswa hanyalah kalimat penutup tanda jam beliau sudah berakhir.
Andro bergegas menuju laboratorium Mekanika Tanah. Dia yakin, pembicaraaan dengan dosennya kali ini akan membahas kejadian di rumah sakit tempo hari. Diketuknya pintu dengan sopan, dan segera masuk begitu terdengar jawaban dari dalam. Iqbal mempersilakan Andro duduk. Mereka berhadapan, hanya terhalang meja yang menutupi kekikukan.
"Sudah sehat betul, Angkasa?"
"Alhamdulillah, sudah, Pak."
"Baiklah, langsung saja ya." Tak ada basa-basi.
"Jadi begini, setelah kejadian hari itu, sikap istri saya sedikit berbeda. Dia jadi sering uring-uringan, apalagi setelah saya jujur mengatakan keadaan sebenarnya, bahwa sebenarnya saya sudah tahu tentang status pernikahan kamu. Ya mungkin bukan cuma karena kejadian waktu itu dan pengakuan saya, tapi kehamilannya bisa jadi mempengaruhi emosinya juga.
"Saya sendiri nggak tahu kenapa dia sekesal itu, tapi dia memang suka begitu, sih. Merajuk, kadang ngambek nggak jelas. Apalagi ini memang ada salah saya juga, saya mengakuinya. Harusnya dari awal saya tahu tentang status kamu, saya langsung cerita sama dia. Tapi ya..., semuanya sudah terjadi.
"Ini bukan soal cemburu ya, Angkasa. Soal itu, insya Allah saya nggak ada lagi kalau untuk kamu. Saya nggak bodoh untuk menilai bagaimana perasaanmu kepada Nyonya Angkasa. Tapi saya memang jadi merasa ada ganjalan dengan istri saya. Saya nggak tahu, kesalnya dia karena saya yang nggak mengatakan apa adanya, atau karena kesal pada Wahyudi yang nggak kasih tahu tentang pernikahan kamu, atau karena...," Iqbal menelan ludah, mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada meja.
"Atau karena dia cemburu pada kamu?"
"Ehk." Andro nyaris tersedak. Bagaimana bisa Zulfa cemburu, lha wong sudah punya suami yang jauh lebih segalanya dari dirinya.
"Eh, emm..., k-kayaknya---"
"Saya memanggil kamu karena mau minta tolong satu hal sama kamu, Angkasa." Iqbal menyela, memotong Andro yang baru mau mengutarakan pendapatnya.
"Saya sudah bilang sama istri saya untuk menemui kamu dan bicara. Bicara apa saja, mungkin itu bisa membuatnya lega. Temuilah dia. Saya sudah meminta tolong Asya untuk menemani istri saya. Sekali lagi, saya nggak mencemburui kamu, Angkasa. Saya cuma sedikit terganggu dengan sikap istri saya. Saya pikir..., untuk hal ini, mungkin kamu yang bisa melakukan dengan lebih baik. Saya tahu seperti apa kedekatan kalian sebelum saya masuk di kehidupan Zulfa."
"Baik, Pak. Insya Allah nanti siang saya usahakan untuk bicara dengan Zulfa. Setelah ini saya mau pulang dulu. Saya sudah bilang istri saya kalau mau makan siang di rumah, sekalian saya kasih tahu kalau saya mau bicara sama Zulfa. Gara-gara kejadian di rumah sakit waktu itu, istri saya jadi cemburu, Pak. Saya dicuekin dua hari." Andro ikut buka rahasia.
"Kalau udah dicuekin gitu, rasanya jadi serba salah, ya? Begini salah, begitu malah tambah marah. Diem salah, ngomong malah makin parah. Rasanya macam kita ini laki-laki yang payah. Apa setiap istri seperti itu ya?" Sesi saling curhat agaknya sudah dimulai.
"Kalau Zulfa sih saya nggak kaget, Pak. Lah saya yang bukan apa-apanya aja sering banget diambekin." Andro tergelak, ingatannya sedikit mundur pada masa-masa..., ah sudahlah.
"Tapi waktu istri saya marah, beuh, saya kaget banget, Pak. Selama ini Salma jauh lebih dewasa daripada saya. Usia kami memang sebaya, tapi jalan hidup membuat saya jauh lebih manja dan kekanakan daripada dia. Nah, pas dia marah, saya baru sadar. Perempuan ternyata sama saja." Keduanya tertawa bersama. Kelihatannya bahagia sekali ketemu teman senasib. Lupa kalau dulu pernah saling kesal dan cemburu.
Mereka lanjut ngobrol beberapa lama. Sesekali gelak tawa terdengar dari keduanya. Topik yang dibahas masih sama, tentang keseruan sekaligus tantangan menyandang status suami.
"Angkasa."
"Ya, Pak?"
"Semester depan nggak ada rencana jadi asisten?"
"Kalau itu sebenarnya ada, Pak. Tapi istri saya nggak ngebolehin. Saya suruh fokus kuliah saja, biar cepat lulus, cepat kembali ke Surabaya. Lagipula, niat saya juga kurang pas, Pak. Cuma mau cari duit saja." Andro tersenyum malu-malu.
"Angkasa jadi asisten cuma mau cari duit? Kedengeran agak aneh. Istri saya pernah cerita, kamu suka banting HP kalau lagi kesal. Dan HP kamu bukan hp yang harganya dua tig---"
"Itu dulu, Pak. Waktu saya masih anak mama papa, anak hilang yang cuma mau duit orang tuanya saja. Sekarang keluarga saya sudah kembali seperti dulu waktu papa belum kawin lagi. Dan yang terutama, sekarang saya sudah jadi seorang suami, Pak. Biarpun orang tua saya mampu, pantang bagi saya menafkahi keluarga kecil saya dari minta-minta ke orang tua."
Iqbal menggelengkan kepala. Senyum bangga mengembang di wajahnya. "Kamu memang istimewa, Angkasa. Beruntung sekali saya."
"Ehk, maksudnya gimana, Pak?" Andro tak paham arah pembicaraan Iqbal.
"Ya. Saya beruntung sekali Zulfa mau saya nikahi sekarang ini. Karena kalau nanti-nanti pas kalian sudah lulus dan sudah kerja, saya yakin dia lebih memilih kamu daripada saya." Tawa kembali berderai-derai diantara keduanya. Kadang perasaan senasib membuat orang-orang yang tadinya berseberangan menjadi bergandengan tangan.
Andro merasa cukup obrolannya dengan sang dosen idola. Dia berpamitan. Iqbal sempat menawari untuk melibatkan dia jika ada project yang dia pegang. Andro tak mengiyakan, hanya mengucap satu kalimat, "Kalau istri saya mengizinkan, insya Allah saya bersedia."
Ah, betapa bahagianya Salma, seandainya tahu bahwa dia sudah menjadi ratu di hati Angkasa Andromeda.
Pukul sebelas lebih sedikit Andro keluar dari laboratorium Mekanika Tanah, mengayun langkah menuju ke parkiran. Dia memutuskan pulang dulu, istirahat sebentar, dan makan siang berdua dengan Salma. Barulah nanti jam satu kembali ke kampus untuk nugas bersama teman-temannya.
Salma menyambutnya dengan wajah semringah. Bercerita panjang lebar apa yang terjadi beberapa jam terakhir sejak Andro meninggalkannya ke kampus. Kabar gembira dibuka dengan orderan gamis dalam jumlah cukup besar. Salma ikut membantu memasarkan produk fashion milik mama. Kualitas dan brand yang sudah cukup dikenal membuatnya tak menemui kesulitan yang berarti.
"Ini customernya mau pesan buat seragam nikahan, Mas. Hampir 50 pieces. Alhamdulillah. Terima kasih ya, Mas." Salma memeluk Andro erat.
"Kok terima kasihnya ke aku? Kan yang kerja kamu."
"Sal yakin, Allah kasih rezeki ini salah satunya karena Sal beberapa hari ini berusaha untuk selalu menyenangkan hati suami." Andro tak menyangka akan jawaban Salma. Dia sungguh terharu. Pelukannya makin erat, matanya berkaca-kaca.
"Kamu dari dulu selalu menyenangkan aku, Sal. Aku malah yang belum bisa bahagiain kamu. Aku beruntung banget punya kamu, Sal. I love you. Mama nggak pernah salah memilihkan yang terbaik buat aku. Untung aku mau."
"Hemm, gitu ya. Jadi Mas nikahin Salma karena disuruh sama mama,gitu? Terpaksa, gitu? Awas yaaa."
Duh, salah ngomong meneh iki. Dan Cubitan Salma yang menyakitkan pun kembali Andro dapatkan. Andro meringis, tapi ciuman Salma yang menghangatkan bibirnya membuatnya tahu bahwa Salma hanya bercanda. Andro lega luar biasa.
Di meja makan, semangkuk besar sup ayam jahe dan perkedel kentang keju sudah tersedia, jus apel dan pie apel melengkapi di atas meja. Bakda zuhur mereka menikmati makan siang bersama. Masakan Salma memang tak pernah gagal memanjakan lidah dan perut suaminya. Andro membanjiri sang istri dengan banyak pujian, sebelum menyampaikan kabar yang berpotensi memicu pertengkaran.
"Sal."
"Iya, Mas?"
Salma baru usai membereskan meja makan. Sengaja tak langsung mencuci piring, dia memilih menemani Andro duduk di teras belakang.
"Aku mau bicara sedikit. Kamu ke sini ya." Ditariknya Salma mendekat, membawa Salma agar bersandar padanya
"Tadi Pak Iqbal manggil aku, terus kami ngobrol agak banyak. Salah satunya tentang---"
"Mbak Zulfa?!" Salma menarik dirinya menjauh. Mulutnya mengerucut. Cemberut.
"Kamu ingat nggak, Sal, kejadian kemarin waktu aku marah sama papa?" Andro berusaha untuk tetap tenang.
"Kamu bilang aku harus bersabar sebentar, papa melakukan itu pasti ada alasan. Nah, sekarang giliran kamu untuk bersabar sebentar. Mau ya, Sayang?" Rayuan dilancarkan. Toh ini bukan keinginannya, dia hanya memenuhi permintaan dosennya.
"Huh, bisa aja kalau suruh cari alasan," gerutu Salma. Tapi dia tetap memasang telinga dan siap mendengarkan.
Andro menceritakan percakapannya dengan Iqbal Sya'bani. Tak ada yang dikurangi, apalagi ditambahi, semuanya sesuai yang dia alami tadi, termasuk permintaan Iqbal untuk bicara dengan Zulfa, dengan penekanan pada bagian 'ditemani oleh Asya'.
"Kamu mau ikut, Sal? Kalau kamu ikut kita bisa bicara berempat. Jadi aku nggak perlu mengulang obrolan kami nanti."
Salma menolak mentah-mentah. Sejujurnya dia tidak siap berhadapan dengan Zulfa. Dia yakin hal tersebut akan berpengaruh pada stabilitas hatinya. Tapi Salma tak kehabisan akal, dia mengajukan satu nama untuk menggantikan keberadaannya. Wahyudi.
"Dari pihak mbaknya ada yang mendampingi, sudah semestinya dari pihak Mas juga begitu. Sal nggak mau kalau Sal harus ikut datang sendiri, tapi kan ada Mas Wahyudi yang bisa menemani Mas. Nanti kalau Mas ceritanya nggak jujur sama Sal, Sal bisa kroscek ke Mas Wahyudi."
"Kalau soal kejujuran, aku bisa aja kan nyuap Yudi untuk mengatakan sesuatu sesuai keinginanku?"
"Jadi maksudnya, Mas mau tetep nemuin dia sendiri, gitu?"
"Nggak begitu, Sal. Nanti ada Asya juga. Kalau kamu maunya aku ngajak Yudi, nanti aku pasti ajak dia. Aku cuma nggak mau kalau kamu minta Yudi nemenin aku hanya karena kamu nggak percaya sama aku. Kamu curiga aku akan bohong ke kamu, dan semacamnya. Kalau mau begitu, aku nggak perlu bilang ke kamu soal ini, Sal. Langsung aja aku ketemu sama dia. Terus sesudahnya juga aku diam saja. Tapi aku nggak melakukan itu, kan, Sal?
"Kalau bukan Pak Iqbal yang minta juga aku nggak mau, Sal. Aku cuma mau semuanya clear. Aku memang seneng kamu cemburuin, kamu tuh kalau cemburu lucu dan gemesin. Tapi kalau pas cemburumu udah tingkat tinggi, jadi beda, Sal. Kalau aku bilang, nggak kamu banget. Itu salah satu yang mau aku sampaikan ke Zulfa. Aku merasa perlu minta maaf ke dia atas sikapmu waktu itu.
"Sekarang aku minta maaf dulu ke kamu. Aku harap kamu nggak marah dan berkenan dengan apa yang akan kusampaikan ke Zulfa, apapun itu. Percayalah, semuanya kulakukan untuk kita. Aku sayang kamu, Sal. Cuma kamu."
Salma diam saja. Ada kesal, ada sedih, ada marah, tapi ia juga membenarkan semua perkataan suaminya. Sikapnya waktu itu memang agak berlebihan. Salma mencoba berempati, memosisikan diri di sisi Zulfa. Meski menurutnya itu masih sopan, tapi tidak semua orang punya hati yang kuat untuk menerima sikapnya yang penuh ketegasan, plus bumbu kecemburuan yang terlalu pedas. Mungkin Zulfa termasuk yang kurang kuat hatinya. Dia mencoba mengerti itu.
"Ya sudah, Sal percaya sama, Mas."
"Tapi ...." Andro memancing, mengira ucapan Salma masih ada lanjutannya.
"Nggak pakai tapi. Pokoknya Sal percaya sama Mas. Udah sana, Mas berangkat sekarang aja."
"Kok gitu, Sal? Kayak nggak ikhlas deh."
"Ya udah, sih. Sal udah percaya sama Mas, kenapa Mas nggak balas percaya sama Sal? Pakai nuduh Sal nggak ikhlas segala. Ya mana ada istri yang ikhlas kalau suaminya mau ketemu perempuan lain? Apalagi perempuan itu pernah ada di hatinya Mas. Pasti rasa khawatir dan semacamnya tetap ada. Tapi bukan berarti Sal nggak percaya sama Mas, kan?
"Udah ah, Mas buruan berangkat aja sana, sebelum Sal kesel lihat Mas. Kalau udah gitu nanti Sal susah ngatur hatinya untuk baik-baik saja. Nanti Sal ngambek, Sal lagi yang salah. Kalau udah bahas Mbak Zulfa kan mesti Sal yang salah." Suara Salma bergetar, lalu mengecil, terdengar jelas dia menahan tangis.
Ini yang Andro maksud tadi. Kalau cemburunya sudah meningkat ke level yang agak hebat, Salma jadi nggak seperti Salma. Dia bisa menangis hanya karena hal yang --menurut Andro-- remeh temeh begini.
Andro tersenyum, ingat obrolannya dengan Iqbal Sya'bani tadi, tentang menyandang status sebagai suami. Dirangkulnya bahu Salma, memeluk, dan mengecupi kepalanya.
"Aku minta maaf, Sal. Semuanya kulakukan untuk kebaikan kita. Maafkan kalau caraku salah. Sekarang kamu istirahat ya, nggak usah dipikir banget-banget. Nanti aku ajak Yudi. Kalau perlu aku rekam deh obrolan kami nanti." Andro membesarkan hati Salmanya.
"Mau kugendong ke dalam?" Salma menggeleng. Tapi pertanyaan Andro cuma basa basi, dia tak sedang mencari persetujuan, maka digendongnya Salma sampai di sofa ruang tengah, tempat dia menaruh ranselnya. Salma tak menolak, malah melingkarkan tangan ke leher suaminya.
"I love you, Salma Andromeda."
"Sal nitip salam buat Mbak Asya sama Mas Wahyudi, ya."
"Buat Zulfa?"
"Nggak. Nggak mau." Salma menggeleng cepat-cepat.
"Oke. Nanti kusampaikan salamnya ke Asya, tapi yang ke Wahyudi aku nggak mau."
"Kenapa?" Salma keheranan.
"Aku cemburu!"
***
Dih, sendirinya cemburuan pakai ngatain Salma kalau cemburu nggak banget. Wkwk...
Btw, mohon maaf ya kalau part ini mungkin kurang maksimal. Aku baru mulai nulis tadi pagi, dan kelar nggak sampai sehari. Biasanya aku ngetik nyicil sedikit-sedikit sampai beberapa hari, sempetin baca edit juga, tapi ini nggak sempat. Pokoknya aku mohon maaf aja.
Oh iya, aku punya cerita baru, judulnya Bin Fulanah. Tapi mohon maaf, aku updatenya nggak di sini, tapi di KBM App. Karena memang ceritanya kuikutkan event lomba menulis di sana. Doakan bisa selesaikan naskah sesuai waktu yg ditentukan yaaa.
Kalau teman-teman pengen baca, bisa cusss ke KBM yaaa. Kalau mau link-nya, boleh DM ke aku fitrieamaliya
Jangan lupa follow juga akunku di KBM. Namanya: fitrieamaliya
Lagunya aku suka. Suaranya Mbak Tere ini memang unik ya. Tapi vidklip-nya nggak kukasih yg versi asli, karena di situ Mbak Tere masih tampil seksi. Sekarang beliau sudah menutup aurat dan istiqomah. MasyaAllah.
Baiklah... Sekian dulu yaaa. Terima kasih untuk segala apresiasi dan kebaikan teman-teman semua.
I love you all.
See you :)
Semarang 24062021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top