29. Kejadian

Hadapi dengan senyuman
Semua yang terjadi biar terjadi
Hadapi dengan tenang jiwa
Semua 'kan baik-baik saja
(Dewa - Hadapi dengan Senyuman)

***

Salma menutup pintu rapat-rapat, tak lupa menguncinya, bahkan pengait besi dia gunakan pula. Diambilnya satu kaus oblong milik Andro, lalu masuk ke kamar mandi dan mengganti bajunya hanya dengan kaus itu. Setelahnya ia mengambil air mineral dingin dari kulkas, lalu mendekati Andro yang berpura-pura memejamkan mata.

"Mas, minum dulu biar adem," kata Salma dari balik punggung suaminya. Dielusnya pipi yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu, tapi Andro tetap berpura-pura tidur.

"Sal tahu kok, Mas cuma pura-pura tidur, kan?" Salma mengecup kepala Andro, membelai sekilas rambut yang ikatannya sudah dilepas.

"Tapi aku nggak suka kamu bentak mama gitu, Sal. Aku sakit hati," sahut Andro sambil tetap memejamkan mata.

"Iya, Sal minta maaf, Mas. Nanti temani Sal minta maaf ke mama juga ya. Sal salah, tadi nggak bisa ngendaliin emosi sampai refleks bicara keras sama mama. Tapi Sal yakin mama ngerti. Wajah mama tadi nggak kelihatan marah, kok. Semoga mama masih mau maafin Sal ya, Mas."

"Mama udah pernah menahan sakit hati yang parah banget, Sal. Aku nggak mau ada yang nyakitin mama lagi, apapun itu." Masih datar nada bicara Andro. Salma lalu memeluknya dari belakang, menyelipkan tangannya di ketiak sang suami. Andro merasa ada yang berbeda saat tubuh Salma bersinggungan dengan punggungnya. Ia meneguk ludahnya.

"Iya, nanti kita selesaikan sama mama ya, Mas. Tapi sekarang Mas, jangan marah, jadi kayak orang PMS, kan, semua Mas ajak marahan. Mbak Rea juga minta maaf sama Mas, katanya Mas marah juga sama mbak. Kenapa? Mas pengen kayak Mbak Rea dan Mas Dimas juga?"

Dengan agak gemetaran Salma menarik tangannya, yang tadi terselip di ketiak Andro sekarang telah berpindah, masuk ke dalam kaus hitam bermotif outer space dengan satu galaksi spiral bertuliskan Andromeda.

"Mas tadi lihat Mbak Rea sama Mas Dimas, kan? Hot banget, ya? Mas pengen juga? Tadi mereka ngapain sih, Mas? Kasih tahu Sal, ya," Salma berbisik dengan nada menggoda. Andro masih diam. Kali ini tak hanya menelan ludah, tapi degub jantungnya sudah berdetak tak tentu arah.

Segala jenis rasa malu Salma buang jauh-jauh, fokusnya hanya pada Andro. Ini kesempatan untuk membuat pemuda tampan itu berhasil memperoleh pengalaman pertamanya. Bukan sekadar kenikmatan dunia yang menjadi tujuan Salma, melainkan agar suaminya bisa terlepas dari trauma dan bayangan buruk yang selama ini menghantuinya.

Gunung es yang terbentuk sejak insiden dengan mama tadi perlahan mencair. Bagaimanapun Andro hanyalah seorang pria dewasa sekaligus manusia biasa, hasrat tentu saja ada, bahkan menggelora. Maka tak butuh berlama-lama untuk Andro hanyut dalam pesona Salma.

Andro bagai musafir yang telah lama berjalan di keringnya padang pasir. Ia menjumpai sumur di tengah kehausannya, hanya saja sumur itu terkunci, hingga ia harus bersabar menunggu sang pemilik membukakan pintu. Detik ini kesabarannya membuahkan hasil. Sang pemilik telah membukakan pintu, mempersilakannya untuk mereguk kesegaran sepuas hatinya. Ialah sang musafir, sedang Salma si pemilik air.

Maka betapa bahagia hati Andro. Timba telah terjatuh ke dalam sumur, dan ia bisa melepas dahaga yang telah ia tahan sejak lama.
Dijatuhkannya timba lebih dalam, semakin dalam, hingga menyentuh dasar sumurnya. Keringat mengucur deras. Bebannya sudah terhempas. Dahaga yang selama ini tertahan telah pula terlepas. Puas.

"Sal, aku bisa, Sal. Semuanya karena kamu. I love you, Sal. I love you. Terima kasih sudah sepenuhnya jadi milikku. I love you." Andro tersengal-sengal, di titik antara kenikmatan dan kelegaan. Dia bisa keluar dari bayangan buruk itu. Dia bisa. Bisa!

"Ssstt..., Sal juga love banget sama Mas. Sekarang nggak usah mikir apa-apa dulu. Kita nikmati aja apa yang ada," bisik Salma. Kedua tangannya melingkari leher sang suami, lalu menariknya, dan membiarkan Andro kembali menumpukan separuh berat padanya.

"I love you, Sal. I love you." Andro mengulang sekali lagi, kemudian hening, hingga hela nafas satu sama lain saling terdengar nyaring.

***

Zuhur sudah terlewat cukup jauh, pasangan muda itu tak sedetikpun keluar dari kamar. Kedekatan yang sebelumnya sudah terjalin, kini semakin erat. Keduanya berbincang tentang banyak hal, termasuk kemungkinan akan menjadi orang tua di usia yang sama-sama baru memasuki kepala dua.

"Kamu pengen anak cowok apa cewek, Sal?" Tangan Andro mengelus perut Salma, yang sedang bersandar pada pelukannya.

"Apa sih, Mas. Baru sekali juga, belum tentu langsung jadi."

"Kan nanti akan kita ulangi setiap hari. Setiap kali aku mau." Salma mencubit tangan Andro. Yang dicubit hanya terkekeh sambil mengecup kepala istrinya.

"Tapi kamu udah siap punya baby kan, Sal?" Tentu saja Salma sudah siap, dia sudah banyak makan asam garam perkara momong bayi dan anak kecil. Cuma memang belum ada pengalaman soal kehamilan dan melahirkannya.

"Asalkan sama Mas, insya Allah Sal selalu siap. Mas siap nggak?"

"Iya, insya Allah aku siap. Masih ada waktu setahun buat nambahin tabungan, aku janji akan lebih rajin bantu kamu ngurusin jualan. Semester depan aku daftar asisten praktikum deh, atau kalau ditawarin jadi asisten dosen aku terima. Lumayan, ada gajinya."

"Nggak boleh. Mas urus kuliah aja biar bisa selesai tepat waktu dan cepat pulang ke Surabaya. Tapi ingat, jangan genit sama si mbak itu. Sal nggak suka." Lagi, satu cubitan Andro dapatkan, kali ini membuat tangannya merasakan nyeri.

"Nyonya Angkasa Andromeda kalau udah cemburu serem, ya. Bikin perempuan  lain insecure dan underpressure." Andro tertawa, Salma cemberut. Perdebatan kecil terjadi, diselingi cekikikan yang menandakan kebahagiaan.

Salma lalu meminta Andro menemaninya bertemu mama. Keduanya keluar, tapi yang dicari tak ditemukan. Di kamar utama, perpustakaan papa, teras samping, dapur....

"Bu Utami lagi, emm..., lagi d-di ruang tamu s-sama Pak Antariksa, Mas." Asisten rumah tangga yang sedang berada di dapur memberitahu mereka. Tingkahnya yang gugup membuat Andro jadi bertanya-tanya.

"Ada tamu ya, Mbak?"

"Eh, i-iya, Mas. B-baru saja datang. Ibu-ibu muda sama anak laki-laki, mungkin umur empat atau lima tahunan, gitu. Tapi...." Feeling Andro mendadak tak enak.

"Tapi apa, Mbak?"

"Tapi kata Bu Utami, emm..., anu, emm...." Asisten rumah tangga itu bingung harus menjawab apa. Dia tak mendapat instruksi, tapi tadi dia dengar sendiri ketika mama berpesan pada Bu Jani untuk tak memberitahu Andro bahwa sedang ada tamu. Si mbak sendiri tak tahu kenapa dan siapa tamu tersebut. Apesnya, dia yang berada di dapur saat si tuan muda mencari mamanya. Berbohong bukan keahliannya, dia cuma bisa masak dan bersih-bersih rumah saja.

"Mungkin orang minta sumbangan, Mas. Nah, iya..., minta sumbangan." Si Mbak seperti mendapat ide brilian, yang bagi Andro justru makin mencurigakan.

"Oke, aku mau nyusul ke ruang tamu aja," seru Andro sambil segera berlalu.

"Mas..., j-jangan. Eh, tadi itu, emm...."

"Kon arep ngomong opo se, Mbak?  Kesuwen! (Kamu mau ngomong apa sih, Mbak? Kelamaan!)" Andro mendamprat si mbak. Kesal. Tak didengarnya lagi ucapan si mbak itu, dengan langkah lebar dia menuju ruang tamu. Salma kebingungan, tapi tetap mengikuti langkah kaki suaminya.

Feeling Andro tepat sekali. Entah kenapa mendengar si mbak menyebut ibu muda dan anak laki-laki umur empat tahunan, prasangka buruk langsung berjejalan di kepala Andro.

"Heh, anj*ng! Ngapain lagi ke sini, heh?! Pergi kamu, dasae jalang! Keluar dari rumah ini, pelac*r! Perempuan murahan! Perusak kebahagiaan orang! Pergi kamu, bangs*t! Pergi!" Salma shock mendengar rentetan caci maki yang mengalir dari lisan suaminya. Ternyata Andro kalau sudah marah sungguh mengerikan.

Andro menghampiri perempuan yang selama empat tahun menjadi istri kedua papanya. Hampir saja berbuat kasar pada perempuan itu, tapi papanya lebih dulu mencegah dan melindungi si mantan istri.

"Hentikan, Ndro! Kamu sudah dewasa, bukan anak SMP lagi. Kendalikan emosimu, ada istrimu juga di sini." Papa mencengkeram kedua tangan anaknya. Meski bisa memaklumi emosi Andro, tapi papa tak ingin ada yang terluka di rumah ini. Salah-salah mereka bisa berurusan dengan pihak berwajib.

"Papa nih maunya apa, sih?! Masih aja ngebelain perempuan nggak tahu malu itu! Awas, kalau sampai papa nyakitin mama lagi! Andro nggak akan diam kayak dulu! Andro akan bikin perhitungan!" Cengkeraman papa dikibaskannya dengan paksa. Masih sempat mengepalkan tangannya persis di depan wajah papa, sebelum menarik tangan Salma untuk pergi dari situ.

Di kamar, Andro sibuk dengan handphone-nya, hanya sebentar. Setelahnya mengemas baju dengan asal. Menjejalkannya dalam Samsonite hitam yang biasanya berisi tugas-tugas dan urusan perkuliahan. Dia juga menarik satu koper, memasukkan beberapa baju Salma, masih dengan asal.

"Kita mau ke mana, Mas?"

"Pulang."

"Ke Semarang?"

"Ke mana aja, asal nggak di rumah ini. Aku muak lihat papa!"

"Tapi, Mas, siapa tahu ada penjelasan tentang kejadian ini. Karena tadi mama juga ada di sana. Mas jangan emosi dulu."

"Mama memang begitu, Sal. Aku nggak tahu mama itu manusia model apa. Sabarnya udah nggak masuk akal."

"Makanya, sabar dulu sebentar. Nanti kita dengar dulu penjela---"

"Aku mau pergi. Kamu mau ikut aku atau stay di sini, terserah kamu. Aku nggak akan maksa," ujar Andro dingin. Disambarnya jaket denim di gantungan, mengenakannya sembarangan sebelum menggendong ranselnya.

Dia membuka pintu, tak menoleh lagi pada Salma. Salma tergesa mengambil slingbag, lalu menarik kopernya dan mengejar Andro. Diraihnya tangan Andro begitu jarak mereka telah dekat. Andro balas menggenggamnya erat. Ada yang menghangat di hatinya, Salma memilih bersamanya, meski mungkin ada rasa tak suka, serta tak sepakat sepenuhnya.

Sengaja melewati ruang tamu. Tak menoleh, apalagi berpamitan. Salma menatap mama dengan permintaan maaf yang tersirat melalui mata.

"Mau ke mana, Ndro?" tanya papa setengah berteriak.

"Bukan urusan papa! Urusin saja jalang dan anak yang sudah papa sayangi ternyata bukan anak sendiri. Itu perempuan apa mobil rental? Bisa dipakai bergantian!" sindirnya tajam. Lalu menyeret Salma ke taksi online yang sudah menanti di luar pagar.

"Kita mau ke mana, Mas?"

"Nggak tahu. Tadi aku ketik alamatnya eyang mami sebagai tujuan. Pokoknya keluar dulu lah dari rumah."

"Alhamdulillah." Salma bergumam lega. Menurutnya pilihan Andro ke rumah eyang sudah tepat.

"Tapi, Mas..., kalau menurut Sal, sebaiknya kejadian barusan di-keep dulu aja di depan eyang."

"Gimana mau nge-keep, aku kan harus minta eyang ngerahasiain kalau kita ada di sana, Sal."

"Ya udah, nanti biar Sal yang bilang ke eyang. Mas lupain aja kejadian sama papa tadi. Yang diingat yang pas sama Sal aja. Oke?" Senyum Salma melelehkan hati Andro. Mengingatkannya pada surga dunia yang baru mereka cicipi beberapa jam lalu.

Andro membisikkan sesuatu tepat di telinga Salma, "Kamu pinter banget sih ngehibur aku. Kalau nanti aku minta lagi, boleh ya?" Tak ada jawaban, Salma hanya memberi Andro satu dua kedipan. Menggemaskan. Andro menciumnya dengan spontan. Lupa kalau mereka tidak sedang berduaan.

Driver taksi online melirik sekilas dari rear view mirror, tersenyum sendiri melihat kemesraan dua anak muda di baris belakang. "Sudah lama pacaran?" tanyanya kemudian.

"Kami nggak pacaran, Pak. Nggak pernah pacaran. Yang cantik banget ini istri saya." Andro menatap mesra pada Salma, meremas kuat jemari istrinya. Pak sopir kembali tersenyum simpul.

"I love you, Sayang," bisiknya lagi.

"Ssstt, ngerayunya nanti aja kalau lagi berdua," kata Salma tak kalah lirih, sembari mencubit paha Andro yang masih betah menatapi wajah cantiknya.

Mereka tiba di tujuan tak lama kemudian. Eyang mami lagi-lagi menyambut mereka dengan gembira. Andro mencium tangan eyangnya, juga pipi kanan kiri, yang dibalas dengan kecupan di kening sang cucu kesayangan. Salma masih kagok, tapi eyang menariknya, memberikan ciuman di pipi kiri kanan, diakhiri dengan hangatnya pelukan.

"Eyang papi ke mana, Eyang?" tanya Salma.

"Tadi jam sepuluhan dijemput omnya Andro. Katanya mau beli tanah, terus ngajak papinya ikut ngecek dan kasih penilaian. Pas mau pulang tantenya telpon, minta papi mampir ke sana. Udah main sama cucu-cucunya, yo wis lali wektu, tekan saiki durung moleh (ya sudah, lupa waktu, sampai sekarang belum pulang.)"

"Kalau mau belajar bikin lemon meringue sekarang, masih ada kesempatan nggak, Eyang?" tanya Salma lagi. Dia memang pandai mencari celah. Eyang mengiyakan dengan semangat empat lima.

"Alhamdulillah. Kalau begitu kami izin ke kamar dulu ya, Eyang. Salma mau ganti baju. Mas juga biar istirahat, dari kemarin kurang tidur, padahal baru habis sakit."

"Kurang istirahat ki nglemburke mamae selak pengen nduwe putu ta, Ndro? (Kurang istirahat tuh ngelemburin mamanya keburu ingin punya cucu kah, Ndro?)" Andro ngakak, dalam hati bersorak, seperti dapat dukungan agar Salma mau sering-sering diajak.

Berdua pamit masuk kamar, Salma langsung menuju ke kamar mandi, Andro dengan santainya mengikuti.

"Mas apaan sih?"

"Kangen."

"Lebay deh."

"Biarin. Kan salahmu juga tadi ngegodain aku. Tapi aku terima kasih sekali ya, Sal, ternyata aku bisa, ya? Cuma...."

"Cuma apa, Mas?"

"Cuma pas udah berhasil, kenapa si tante anj*ng itu dateng lagi. Huh!"

"Mas Andro! Sal nggak suka dengar Mas ngomong kasar begitu. Sal ngerti Mas sakit hati sekali, but please, jangan hal itu Mas jadikan apologi untuk membenarkan tindakan yang tidak baik. Bicara kasar itu kan bukan sesuatu yang baik, Mas."

"Iya, sorry. Aku istirahat dulu ya, Sal. Pusing. Sehari kok banyak banget kejadian." Andro mencuci tangan, kaki, dan muka seadanya saja, lalu meninggalkan Salma.

Salma melakukan hal yang sama, membersihkan diri seadanya, dan keluar dengan segera. Dia sengaja mengganti baju di depan Andro, menunjukkan bahwa dirinya sekarang sudah sepenuhnya milik Angkasa Andromeda.

"Udah nggak malu?"

"Nggak boleh malu lagi, kan Sal harus berani tampil seksi di depannya Mas."

"Seksi perlengkapan apa seksi keamanan, Sal?" Salma bergegas menghampiri Andro, menghujaninya dengan cubitan bertubi-tubi. Tawa canda kembali meramaikan kebersamaan mereka.

"Udah, ah. Mas nggak jelas. Sal mau ngedapur dulu sama eyang. Mas tidur ya, biar agak adem. Hatinya, kepalanya, semuanya." Salma meninggalkan kamar menuju ke dapur.

Eyang dan si mbok sudah menunggunya di sana. Ketiganya langsung mulai saja. Step by step dilalui sambil eyangnya bercerita di sesela penjelasan cara memasaknya. Membuat pie crust, lalu lemon curd, dan terakhir meringue. Eyang terlihat sudah sangat expert mengeksekusi resep satu ini. Bagaimana tidak? Lemon meringue adalah salah satu kudapan favorit eyang papi yang memang sangat menggemari lemon.

Setelah dua jam, usai sudah keasyikan dua perempuan beda generasi yang cepat sekali klik karena sama-sama suka memasak. Sembari menunggu meringue kecoklatan, Salma mulai masuk ke permasalahan.

"Eyang, sebenarnya kami tadi ada sedikit permasalahan. Jadi hari ini ada beberapa kejadian yang bisa dibilang menguras emosi, Eyang. Ya emosi saya, ya Mas Andro. Tapi yang terakhir ini tadi yang bikin Mas marah sekali sampai memutuskan untuk keluar dari rumah dan lari ke sini. Menurut Salma sih Mas yang kurang sabar, Eyang, tapi Salma juga bisa memaklumi penyebab kekurangsabarannya Mas."

Salma masih meyakini, pasti ada alasan khusus yang membuat papa mau menerima kedatangan perempuan itu, bahkan mama juga ada di sana menemani papa. Menurut Salma, harusnya Andro tak buru-buru marah sebelum tahu duduk apa yang menjadi masalah. Tapi ya sudahlah, Salma juga bisa memahami betul jika di dalam hati suaminya masih ada rasa marah.

"Ini tentang apa, Salma?"

"Emm, t-tentang papa, Eyang. Salma minta maaf, untuk saat ini Salma belum bisa cerita. Tapi Salma minta tolong untuk merahasiakan keberadaan kami di sini kalau mama atau papa telpon. Itu dulu saja sih, Eyang. Sekali lagi Salma minta maaf ya, Eyang, karena belum bisa kasih tahu detailnya."

Eyang bisa memaklumi, meski tak bisa menebak sama sekali apa yang sebenarnya terjadi. Salma sendiri khawatir kalau eyang akan ngamuk mendengar perempuan itu datang lagi, karena sepertinya keluarga Jaya Ahmada --nama eyang papinya Andro-- bersepakat untuk memusuhi papa kalau menyangkut perkara yang satu itu.

Si mbok datang menghampiri, memberitahu kalau si lemon meringue pie sudah siap untuk dinikmati. Salma senang sekali, tak sabar untuk mencicipi hasil karya yang baru ia buat untuk pertama kalinya. Eyang menyuruhnya memanggil Andro, Salma segera beranjak untuk memenuhi perintah.

Suara bel terdengar, si mbok tergopoh-gopoh menuju ruang tamu. Salma baru saja masuk kamar, mengajak Andro ke family room untuk mencicipi kue berbahan lemon yang baru saja menjadi debutnya. Andro oke saja, wajah Salma yang begitu bersemangat menularkan hal yang sama padanya. Tapi sebelum mereka keluar, terdengar ketukan di pintu kamar. Dan betapa kaget keduanya, mama dan papa ada di hadapan mereka.

Andro berbalik, menarik Salma, dan hendak membanting pintu. Papa menahannya, lalu keduanya --papa dan mama-- masuk menyusul anak-anaknya. Eyang mami tak mau ikut campur, hanya menyambut anak dan menantunya seperti biasa, lalu segera menarik diri begitu Antariksa dan Utami selesai memberi penjelasan mengenai tujuan kedatangan mereka.

"Mau apa lagi sih, Pa?! Kalau Papa mau di sini, biar Andro sama Salma yang keluar dari sini!" Salma menautkan jemarinya pada jari-jari Andro. Erat. Mencoba menahan agar emosi Andro tidak menghebat.

Diajaknya Andro untuk duduk dan beristighfar. Agaknya cukup berhasil, Andro sedikit lebih tenang. Salma menarik napas panjang, dia berinisiatif memulai pembicaraan.

"Maafkan kami, Ma, Pa. Yang pertama Salma minta maaf karena tadi bicara keras ke Mama. Mas marah, nggak ridho sama Sal karena sudah berbuat demikian kepada mama. Dan Sal memang salah, Ma. Sal nggak bisa mengendalikan emosi. Maafkan Salma ya, Ma," pinta Salma tulus.

Mama mengangguk sambil tersenyum tak kalah tulus, "Nggak apa-apa, Sal. Mama bisa memahami perasaanmu. Itu wajar sekali, bagaimanapun sosok ibu pasti menjadi seseorang yang paling kamu rindu. Mama juga minta maaf, nanti kita bicarakan lagi ya soal ini."

Salma mengangguk dan berterima kasih, kemudian kembali bicara. "Sal juga minta maaf untuk kejadian di ruang tamu tadi. Sal sendiri baru kali itu lihat Mas Andro marah sampai mencaci maki orang. Sal takut. Tapi Sal bisa mengerti kenapa Mas sampai bereaksi seperti tadi. Di satu sisi, Sal juga nggak membenarkan apa yang Mas lakukan. Papa dan Mama menerima ibu-ibu itu pasti ada alasan yang kami berdua tidak tahu, sedangkan Mas Andro sudah lebih dulu dikuasai emosi, jadi sedikit lupa dengan adab dan kesabaran. Kami minta maaf, Ma, Pa."

Andro mendengkus. Sejujurnya dia tak ikhlas kalau harus meminta maaf terlebih dahulu untuk kejadian yang melibatkan perempuan perusak keluarganya. Baginya, apapun alasan yang ada, tetap saja kesalahan itu bukan terletak padanya, tapi pada papa.

"Harusnya papa yang minta maaf, Sal, bukan sebaliknya." Mata Salma menatap lembut pada Andro. Lewat kode, ia meminta Andro untuk diam saja.

Mama yang buka suara. Tahu kalau yang menjelaskan papa akan membuat Andro malas mendengarkannya.

Perempuan itu datang untuk meminta maaf pada mama. Dia sudah menyadari kesalahannya, juga menyadari bahwa jalan hidupnya selama ini jauh dari jalan kebenaran. Yang ia kejar hanya dunia dan nafsu semata. Perpisahan dengan Antariksa tak langsung menyadarkannya, tetapi perilaku baik anaknya, yang tiga tahun lebih menjadi anak Antariksa, membuatnya banyak berpikir dan merenung.

"Dia sekarang sudah bertaubat, kamu lihat sendiri kan dia tadi menutup aurat dengan baik."

"Mama jangan gampang tertipu. Orang macam begitu mana berat bawa-bawa taubat buat kepentingannya. Licik!" Andro tak bisa menerima penjelasan mamanya. Salma menenangkan, memintanya untuk bersabar, setidaknya sampai mama selesai bicara.

Mama sendiri tak terpengaruh dengan reaksi anaknya. "Dia sekarang bekerja, apa saja, yang penting halal. Tadi ke rumah meminta bantuan, terutama untuk anaknya."

"Anak itu bukan anak papa, nggak ada kewajiban papa untuk menafkahinya. Kurang kerjaan amat, sih? Apa nggak mikirin resikonya kalau papa berhubungan lagi sama dia?" Andro masih nyolot.

"Nggak percaya banget sama papa sih, Ndro?" Papa mencoba bercanda, tapi Andro datar saja, tak menanggapi apa-apa.

"Mama yakin, dia bisa cepat dapat pekerjaan yang bagus kalau melihat skill-nya. Mama sarankan dia untuk pulang saja ke kampung halamannya, menjauh dari Surabaya. Untuk sementara, mama bersedia membantu keperluan anaknya sampai dia mampu berdiri sendiri dan menafkahi anaknya. Untuk urusan ini, semua satu pintu lewat orangnya mama, nggak ada urusan dengan papa."

"Maksud Mama apa, sih? Udahlah biarin aja. Toh hidup dia bukan urusan kita. Mau mati, mau miskin, mau hidup susah, buat apa kita ngurusin?! Mama nih kurang kerjaan apa gimana, sih? Andro heran deh."

"Ini bukan lagi tentang sakit hati, Ndro. Ini tentang kemanusiaan, juga tentang niat baik. Kita hanya harus berprasangka baik, kan? Kepada anaknya, mama merasa iba. Mama juga punya anak, Ndro. Mama bisa merasakan keresahan seorang ibu saat nggak bisa memberi yang terbaik untuk anaknya.

"Kepada yang bersangkutan, mama mencoba berprasangka baik. Dia sudah bertaubat dan mencoba memulai kehidupan yang baik. Kalau kita memberi dukungan, lalu dia benar menjadi orang baik, kembali ke jalan yang benar, bahkan baik pula secara agama, bukankah kita akan kecipratan dapat pahalanya? Itu yang harus kita pikirkan, Ndro.

"Kan ada ayatnya, Ndro. Bahwa, Jika kamu berbuat baik berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri. Tanya Salma, deh, itu surat apa ayat berapa. Mama juga nggak hafal kalau soal itunya."

"Al Isra ayat 7, Ma," jawab Salma. Cuma begitu, tapi membuat Andro merasa jatuh cinta setengah mati pada Salmanya. Dirangkulnya sang istri, lalu memberi kecupan sekilas pada pelipisnya. "I love you," bisik Andro.

Mama tersenyum, melanjutkan bicaranya. "Apa yang kita lakukan, sejatinya akan kembali kepada kita. Baik itu kebaikan, maupun kejahatan. Kalau kita berbuat baik, Insya Allah kebaikan pula yang akan kita dapatkan, begitupun sebaliknya. Itu yang mama pegang, Ndro, bahwa setiap kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan pula. Kalaupun umur mama nggak panjang, mama yakin, kebaikan itu akan berlanjut pada anak keturunan mama."

Andro menggeleng mendengar pendapat mamanya. Ia mendekat dan memeluk perempuan yang paling ia sayangi dalam hidupnya. Diulangnya kalimat yang tadi dia ucapkan kepada Salma, "Bener kan, Sal, sabar dan baiknya Mama itu udah sampai level nggak masuk akal."

"Kamunya aja yang bodoh, akalnya nggak sampai!" Mama mendorong jidat si anak manja. Keduanya terkekeh, bahagia.

"Papa nggak diajakin ketawa, Ndro?" Di hadapan anaknya, tak ada kata gengsi dalam kamu seorang Antariksa.

"Nggak! Males!" Wajah Andro sinis sekali, Salma malah merasa geli melihatnya.

"Usahain cucu buat mama papa apa kabar?" Mama mengalihkan topik.

"Udah dooong," seru Andro jumawa. Baru juga sekali, sudah selangit saja gayanya.

"Pakai dikeplak kalender nggak, Ndro?" Papa tak putus asa mengambil hati anaknya.

"Nggak, Pa. Kalendernya pakai HP, kasihan kalau Mas dikeplaknya pakai HP." Salma tertawa.

"Biasanya dia yang sukanya ngelempar HP," goda mamanya lagi. Beliau sampai hafal, Andro termasuk sering ganti handphone karena kalau sedang kesal suka spontan handphone yang melayang.

"Nggak, Ma. Sekarang udah beda. Nggak bisa seenaknya gonta ganti HP, apalagi yang belasan juta. Udah mikir masa depan dan kebutuhan." Memang begitu adanya, sejak menikah dengan Salma, gaya hidup Andro sudah jauh lebih sederhana.

"Maklum, Ma, Andro kan sekarang udah mau jadi bapak, mikirnya udah nggak boleh cekak. Harus jauh ke depan dan penuh perencanaan." Kadang-kadang omongan Angkasa Andromeda suka di luar dugaan.

"M-Mas beneran udah siap jadi bapak, ta?" Salma masih tak yakin dengan perubahan pikiran suaminya.

"Insya Allah aku siap, Sal. Asalkan yang jadi ibunya anak-anakku adalah kamu."

***

Aish, Dek Galaksi bikin Salma meleleh euy.

Btw, mohon maaf telat lagi updatenya. Semoga bisa dimaklumi yaaa.

Nggak bisa berbanyak-banyak cerita. Pokoknya terima kasih banyak atas kesabarannya menunggu Andro dan Salma. Dan maafkan kalau di 3,7K ini banyak ngawurnya. Hihi...

Udah lega ya, Andro udah berhasil mendapatkan pengalaman pertamanya. Maafkan kalau nggak seseru yg kalian harapkan. Fokusku lagi terpecah belah.
*lumayan, bisa buat alasan. Haha.

Lagunya juga nggak ada hubungannya sama ceritanya. Tapi sedang pas banget sama suasana hatiku. Aish.

Ya udah, gitu dulu aja yaaa.

Stay safe and keep healthy. Jangan abaikan prokes ya, teman-teman.

See you.

Semarang, 22062021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top