28. Pengakuan
Hold me now
It's hard for me to say I'm sorry
I just want you to stay
After all that we've been through
I will make it up to you
I promise to
(Chicago - Hard to Say I'm Sorry
***
Salma lama sekali di kamar mandi, Andro sampai tak sabar. Bukan apa-apa, dia juga belum ke kamar mandi sejak tadi. Kalau cuma tidur sih tak masalah belum cuci tangan, kaki, muka, tapi nggak nyaman kalau tanpa menyikat gigi dulu. Apalagi habis makan mi tektek.
Ceklek.
"Aaaww."
Pintu kamar mandi terbuka, disusul teriakan Salma dari dalamnya. Salma lalu berjongkok di pojokan. Andro tertawa, dia yang membuka pintu karena sudah tak sabar menunggu.
"Berarti kamu kalau di kamar mandi pintunya nggak pernah dikunci ya, Sal? Tahu gitu kan aku nyusul masuk dari tadi." Masih sambil tertawa.
"Mas nggak sopan, deh." Salma kesal, wajahnya terlihat masam.
"Ya kamu, sih, lama banget, mana nggak ada suara air juga. Ngapain aja sih, Sal?"
"Eh, emm..., itu, emm..., Sal malu. Masa pakai baju begini," jawab Salma, masih sambil berjongkok di pojokan.
"Berdiri deh, jangan ndepipis di pojokan kayak gentong, gitu." Andro mendekat, kedua tangannya terulur hendak membantu Salma berdiri.
"Tapi malu, Mas. Sal kayak perempuan m-mur---"
"Itu kalau kamu pakai baju begitu di luaran sana. Kalau di depanku ya nggak. Kamu malah makin mempesona. Percaya aku, deh."
"T-tapi---"
"Ya udah, kamu keluar dulu sana. Aku nggak lihatin, deh." Andro membalikkan badan, memberi kesempatan Salma untuk keluar tanpa terlihat olehnya.
"Aku gosok gigi dulu ya, kamu tunggu aku di tempat tidur. Selimutan boleh. Lampunya nanti aku aja yang matiin." Pesan Andro sebelum Salma menghilang di balik pintu.
Tak sampai lima menit Andro sudah menyelesaikan urusan toiletnya. Sudah siap pula dengan kostum tidurnya. Dimatikannya lampu besar, menyisakan lampu tidur di salah satu nakas yang dekat dengan posisinya.
Mata Salma terpejam, tapi belum tidur. "Lagi baca doa mau itu ya, Sal?" goda Andro. Salma berusaha menyembunyikan senyum malu-malunya, menarik bed cover hingga tubuhnya menghilang seluruhnya dari pandangan.
"Anak nakal, ya!" seru Andro lagi. Lalu ikut masuk ke dalam selimut dan menghujani Salma dengan gelitikan. Suara tawa dan perdebatan kecil terdengar dari balik bed cover. Keduanya menikmati suasana yang mengalir penuh canda.
"Sal." Andro berbisik, membuat hati Salma jadi berisik. Wajah mereka berhadapan hampir tanpa jarak. Mereka bahkan bisa merasai helaan napas satu sama lain.
"Hemm," jawab Salma lirih. Bahkan degub jantungnya terdengar jauh lebih keras dari suaranya.
"Kita---"
Salma tak memberi kesempatan Andro bicara. Dilingkarkannya lengan pada leher Andro, hingga jarak keduanya tak lagi ada. Sejoli itu terlena, terbawa suasana. Surga dunia seolah terhampar di depan mata. Yang selama ini selalu tak jadi, kali ini tinggal menyisakan satu titik paling substansi. Hanya saja....
Handphone Andro tiba-tiba berbunyi, nyaring sekali. Aktivitas keduanya seketika terhenti. Andro membanting tubuhnya ke sisi bed yang kosong, membuang napas gusar. Salma bukannya lega, justru air mata yang terlihat berlelehan di kedua pipinya.
Melihat Salma begitu, Andro tak sampai hati. Dia terpaksa turun dan mengambil gawainya di meja. Panggilan itu datang dari mama.
"Gimana, Ma? Ini udah malam, lho. Mama nggak pengen punya cucu apa gimana, sih?" Suara Andro terdengar sangat kesal.
"Heh, kalian di mana? Di hotel mana?" jawab mama tak kalah kesal.
"Astaghfirullah hal adzim. Sorry, Ma, Andro lupa bilang. Ini Andro sama Sal di rumah eyang mami, nginep sini. Ya Allah, maafin Andro ya, Ma. Sumpah, Andro lupa." Andro baru sadar kalau dia belum lapor mama papanya bahwa mereka akhirnya terdampar dan menginap di rumah eyang.
"Alhamdulillah. Mama kira kalian ke mana, udah hampir tengah malam belum pulang. Mama mau telpon Bu Miska juga nggak enak, udah terlalu larut. Mami papi juga tumbenan, sih, nggak ngabarin. Mama kuatir, kamu kan baru sembuh, nggak tahunya malah lagi usahain cucu buat mama. Maaf ya, Nak. Ya udah, dilanjutin lagi sana ngapa-ngapainnya, mama udah nggak sabar pengen dipanggil grandma." Mama cekikikan, lalu mengakhiri panggilan tanpa salam.
Andro kembali ke tempat tidur, menemukan Salmanya masih berlinangan air mata dalam posisi seperti semula. Andro menyusup ke dalam selimut, risih juga menyadari keadaan dirinya.
"Maaf ya, Sal. Kamu kenapa nangis?" Dibelainya rambut Salma yanh hitam dan lembut.
"Sal yang minta maaf. Sal gagal jadi istri yang baik. Sampai hampir dua bulan, Sal masih belum berhasil melayani Mas dengan semestinya." Salma terisak. Andro meraihnya ke pelukan, lalu membawa Salma tidur berbantalkan lengannya. Hanya bed cover putih tebal yang menyelimuti mereka.
"Kamu nggak salah, Sal, kamu udah berusaha maksimal tadi, dan bukan kamu yang menggagalkan semuanya. Aku yang minta maaf, Sal. Seringkali apa yang ada di alam bawah sadar tuh mempengaruhi apa yang terjadi pada hidup kita. Mungkin begitu juga denganku." Tarikan napas panjang terdengar dari Andro.
"Mas bicara apa?"
"Kamu ingat, aku pernah cerita tentang muntah-muntah waktu nonton film biru?" Salma mengiyakan.
"Sebenernya aku punya semacam trauma, Sal. Dan mungkin sampai saat ini di bawah sadarku masih terus terbawa. Jadi meskipun aku menginginkannya, aku tetap saja belum bisa mendapatkannya. Aku bahkan nggak yakin aku bisa melakukannya. Maafkan aku ya, Sal. Bukan kamu yang nggak baik sebagai istri, tapi aku yang lemah sebagai suami. Aku yang belum bisa melepaskan diri dari bayangan-bayangan buruk, dan bisa jadi, ini juga yang membuat kita selalu gagal untuk melakukan ini." Andro berkali menggelengkan kepala, seperti hendak mengenyahkan sesuatu dari otaknya.
"Mas kenapa? Ini tentang apa?"
"Emm, ini masih tentang papa, Sal. Aku...." Andro mengambil napas dalam-dalam. Salma tak sampai hati, ia memeluk Andro erat, mengelus rambutnya, dan berusaha memberi ketenangan pada suaminya.
"Aku ada di sana waktu papa sujud-sujud di depan mama, minta maaf, lalu minta izin menikahi jalang itu. Dia sudah hamil. Itu berarti papa dan dia sudah pernah melakukan..., aaarrgh!" Andro bangkit dan duduk, lalu melempar bantal yang ada di dekatnya. Wajahnya terlihat frustrasi.
"Aku memang nggak pernah melihat sendiri, Sal. Bahkan melihat yang seperti itu di film saja aku nggak pernah. Membayangkan itu saja, rasanya aku mual. Yang terlintas di kepalaku selalu bayangan papa yang mengkhianati mama, bahkan sampai melakukan sejauh itu. Aku benci sekali, Sal! Aku benci sama diriku sendiri."
Andro kembali berbaring, melanjutkan bicara sambil menatap Salma, "Aku punya kamu, Sal. Aku juga punya rasa. Aku laki-laki normal, menginginkan itu juga. Tapi di hatiku yang paling dalam, aku nggak yakin bisa, Sal. Setiap kali kita nggak jadi, kita gagal melakukannya, ada rasa kesal, tapi sekaligus lega.
"Maafkan aku ya, Sal. Aku menyembunyikan ini semua karena aku berharap kamu bisa membuatku sembuh tanpa harus tahu tentang hal ini. Aku malu, Sal. Aku lemah sekali. Membuang bayangan-bayangan nggak penting seperti itu saja aku gagal. Aku---" Salma menutup mulut Andro, lalu mendekap suaminya erat.
"Ssstt, Mas bisa. Mas pasti bisa lupain semuanya. Bukan salahnya Mas, Sal juga punya kesalahan dalam hal ini. Sekarang yang harus kita lakukan adalah bersyukur, Sal udah tahu Mas punya masalah, dan itu akan kita hadapi berdua. Mas pasti bisa. Kita pasti bisa. Sal sayang sama Mas. Sal janji, kita akan coba bareng-bareng."
Salma menekan kuat-kuat rasa nyeri dalam hatinya. Ia tak menyangka, suaminya yang terlihat tegar ternyata masih menyimpan kepedihan akibat luka di masa lalu. Salma sekaligus kagum, Andro bisa begitu baik dan memaafkan pada papa, padahal di dalam hatinya masih ada luka yang belum berhasil disembuhkan.
"Sekarang kita tidur ya, Mas." Satu kecupan Salma hadiahkan untuk lelakinya, yang sejak tadi hanya diam saja memandangi wajah cantiknya.
"Tapi, Sal."
"Hemm?"
"Kita wajib mandi dulu nggak, sih? Yang tadi itu..., udah masuk kategori anu nggak sih? Tapi aku belum...." Pertanyaan Andro membuat Salma tertawa berderai-derai, begitu menggemaskan di mata Andro, membuatnya lupa pada pengakuan dan keresahan yang baru saja terjadi.
"Kita cari amannya aja kalau begitu, Mas. Mandi adalah pilihan yang lebih baik. Mas mau barengan? Ehk!" Salma keselek begitu menyadari apa yang dia tawarkan.
"Itu penawaran serius apa gimana? Kenapa ada ehk-nya segala?" goda Andro.
"Eh, emm..., S-Sal, emm..., Sal s-serius. Iya, serius. Eh, ya m-malu sih, tapi kan Sal udah janji, mau berjuang bareng sama Mas, biar Mas cepat lepas dari trauma tadi. Siapa tahu ini jadi salah satu jalannya." Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam, sedang mengkondisikan dirinya kalau-kalau Andro benar-benar menerima tawarannya.
"Nggak, Sal. Kita sendiri-sendiri aja nggak pa-pa. Besok lagi kita cobanya. Thank you for understand me, Sal. I love you."
***
Andro ikut eyang papinya salat subuh di masjid, Salma menjadi imam untuk eyang mami dan si mbok di rumah. Begitu Andro pulang, eyang maminya berkali-kali memuji Salma di depan sang cucu kesayangan. Suaranya merdu, bacaannya fasih, hafalannya bagus, durasi waktu salatnya juga pas, tak terlalu cepat, tapi juga tidak kelamaan, itu kata eyang mami. Andro jadi bangga. Tak bosan-bosannya menatap mata istrinya, mengirimkan kode-kode ungkapan cinta.
Dari dalam kamar, suara denting handphone sayup terdengar. Keduanya bergegas minta izin ke kamar, milik Salma yang berbunyi, satu panggilan dari Bu Miska. Tapi terlambat, sebelum sempat diterima, panggilan sudah dibatalkan dari sana.
Satu pesan dari Bu Miska menggantikan panggilan yang hilang.
[Salma jd ke Sby, nak? Kpn bs ke panti? Ada yg mau ibu bicarakan]
"Mas...." Salma menunjukkan pesan itu pada Andro. Wajahnya terlihat galau, ingin belajar membuat lemon meringue pie pada eyang mami, tapi lebih ingin lagi segera ke panti. Andro seakan mengerti kegalauan sang istri.
"Bilang Bu Miska, kita ke panti sekarang. Kamu siap-siap ya, aku bilang ke eyang." Ditepuknya lembut pipi Salma yang putih mulus. Lalu keluar kamar untuk menyampaikan permintaan maaf pada eyang maminya.
Salma menyusul keluar, sudah siap untuk ke panti. Ia turut meminta maaf, terutama pada eyang mami. Keduanya --Salma dan eyang mami-- saling berjanji untuk melakukannya lain kali.
Mobil melaju santai, jalanan belum begitu ramai. Matahari baru mulai mengintip, mengguratkan merah yang dengan lekas meluntur menjadi jingga. Dua manusia belia itu menikmati rona pagi dengan bahagia.
"Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. Seharusnya tahu tentang hal itu sudah cukup untuk bikin kita selalu menjaga pikiran dari persangkaan yang buruk ya, Sal." Andro memecah keheningan dengan kalimat yang Salma tak tahu arahnya ke mana.
"Ini tentang apa, Mas?" Pemuda tampan itu tertawa mendengar pertanyaan istrinya. Tangannya terulur, memijit hidung mbangir yang selalu dia suka.
"Tentang yang kusampaikan semalam. Mindset-ku tentang bayangan buruk itu, Sal, yang membuat aku merasa bahwa aku nggak akan bisa. Pada akhirnya kita selalu gagal, padahal aku bukan tak menginginkan, tapi..., ya itu tadi. Prasangkaku masih buruk, masih merasa aku nggak akan bisa. Allah kasih kita nggak bisa beneran. Cara Allah untuk menegur tuh memang luar biasa ya, Sal. Maafkan aku, ya."
"Eh, Mas..., berarti jalan keluar buat Mas agar bisa keluar dari bayangan buruk itu cuma satu." Tiba-tiba terlintas pikiran di benak Salma.
"Apa itu, Sal?"
"Mengubah prasangka buruk jadi baik. Mungkin dengan melihat secara keseluruhan hikmah yang Mas dapatkan dari kejadian papa itu. Papa yang sekarang jauh lebih baik dan religius, mama yang memaafkan dan selalu support papa, dan semacamnya. Tanamkan juga dalam diri Mas, bahwa Mas sudah siap jadi bapak. Mungkin kesiapan soal itu juga berpengaruh, Mas." Salma memberanikan diri meraih tangan suaminya. Menggenggamnya erat, menunjukkan kalau dia sangat menyayanginya.
"Kamu bener, Sal. Kalau kamu sendiri, udah siap jadi ibu?" Andro menoleh, Salma mengangguk.
"Insya Allah. Sal yakin, anak-anak kita nanti pasti lucu-lucu kayak kecilnya Mas. Ganteng, imut, gemesin." Senyum lebar mengembang, membuat wajah Salma yang cantik jadi makin menarik.
"Sekarang udah nggak, ya, Sal?" Andro merajuk.
"Masih."
"Masih apa? Bilang yang jelas dong, Sal."
"Masih ganteng dan gemesin, Mas Andro sayang."
"Ehk, Mas Andro apa, Sal?" Satu cubitan mendarat di pinggang Andro, yang ia balas dengan kecupan di kening Salma.
"I love you, Sal."
Suasana kembali hening. Masing-masing larut dalam pikirannya. Hanya jemari yang saling bertaut menyatukan keduanya.
Hati Salma berkecamuk, pembicaraan mereka baru saja menyadarkannya akan sesuatu, bahwa dia sendiri ternyata masih punya prasangka buruk pada Sang Maha Baik. Tentang orang tua. Ya! Dia masih selalu sedih dan merasakan hatinya nyeri setiap kali terpikir tentang orang tuanya, lebih tepatnya ibunya. Dia memang berharap bisa bertemu, paling tidak mengetahui siapa ibunya. Tapi hatinya yang paling dalam selalu berkata, bahwa ia mungkin tidak akan pernah bisa bertemu dengan sosok itu.
Astaghfirullah hal adzim. Betapa saya berburuk sangka pada-Mu ya Rabb. Saya selalu mendoakan ibu, di manapun dan seperti apapun keadaannya. Kenapa saya nggak pernah berdoa untuk dipertemukan dengan ibu? Kenapa selalu menutup diri dengan keyakinan bahwa itu mungkin tidak akan pernah terjadi? Salma membatinkan istighfar berkali-kali. Ingin menangis, tapi dia mencoba menahan itu semua.
"Sal," panggil Andro tiba-tiba. Matanya tetap fokus ke depan, tak menyadari perubahan di wajah istrinya.
"Y-ya?"
"Bu Miska mau bicara apa katanya?"
"Nggak tahu, Mas. Cuma bilang mau bicara. Terus pas tadi Sal bilang mau ke sana, ibu cuma balas Alhamdulillah saja."
"Kalau ternyata Bu Miska bicara tentang orang tuamu, atau tentang masa lalumu, kamu siap?" Air mata Salma jatuh begitu saja. Andro seolah tahu apa yang ada di benaknya, juga di hatinya.
"Kok nangis sih, Sal? Kita udah deket lho. Jangan sampai dikira Bu Miska aku yang bikin kamu nangis. Aku nggak mau dipecat jadi menantunya." Salma tersenyum mendengar gombalan sederhana ala Angkasa Andromeda.
Laju mobil berhenti, bangunan panti tinggal satu belokan lagi. Andro menarik dua lembar tisu dan mengulurkan tangannya ke wajah Salma. Dihapusnya basah di mata dan pipi si gadis cantik pemilik hatinya.
"I love you, calon ibunya anak-anakku. Udah ya, jangan nangis." Mata keduanya bersitatap. Salma mengangguk, merasakan keteduhan di mata suaminya.
Mobil kembali berjalan, hanya satu belokan, dan mereka sudah tiba di halaman panti. Bu Miska sudah menunggu di teras, terlihat langsung berdiri begitu Salma turun dan menuju ke arahnya sambil berlari. Keduanya berpelukan sangat erat, bahu Salma berguncang-guncang, dia menangis. Andro tiba di belakangnya, tak bicara apa-apa, hanya mengusap lembut punggung istrinya. Berdiri, sambil tersenyum kepada Bu Miska.
Ucapan maaf meluncur beberapa kali dari Salma, dia merasa kurang memperhatikan dan kurang intens berkomunikasi dengan Bu Miska, padahal minimal sepekan tiga kali mereka masih saling berhubungan. Tak ada basa-basi, hanya pertanyaan tentang keadaan Salma dan Andro selama hampir dua bulan ini.
Salma bercerita banyak, tentang Andro yang panik saat menemukannya dismenore, kebosanannya karena sering di rumah sendiri, mama papa yang perhatian sekali, keinginannya untuk memulai usaha dan sekarang sudah berjalan beberapa saat, sampai kejadian kambuhnya alergi Andro tempo hari. Kegembiraan memenuhi seantero ruang tamu yang menyimpan banyak kenangan bagi Salma. Ingatannya kembali ke malam itu, malam saat Andro tanpa diduga memintanya untuk menjadi Nyonya Angkasa Andromeda. Salma tersenyum sendiri.
"Tadi nangis, sekarang senyum sendiri. Curiga aku, tuh," bisik Andro, disambut kaki Salma yang menginjak kakinya. Keduanya lalu meminum teh hangat buatan Mbak Yanti, mantan anak panti sekarang membantu Bu Miska sehari-hari.
"Salma, sebenarnya ada sesuatu yang mau ibu sampaikan sama kamu, juga Mas Andro." Bu Miska tak ingin berlama-lama lagi, sebab dia yang paling terbebani dalam hal ini.
"Oh, iya. Bagaimana, Bu?" tanya Andro mewakili.
Bu Miska terlihat menarik napas dalam, "Emm, jadi begini, Salma. Beberapa hari lalu ada orang yang datang dan mengaku sebagai ibumu."
Wajah Salma berubah seketika. Baru beberapa puluh menit berlalu dari pemikirannya tentang prasangka baik dan buruk, juga kata-kata Andro tentang apa yang kira-kira akan disampaikan oleh Bu Miska kepadanya. Tiba-tiba berita seperti ini dia terima. Dia tak tahu harus sedih atau gembira. Hatinya mendadak seperti mati rasa. Andro menaruh tangannya di atas tangan Salma, mencoba menguatkan hati istrinya.
"Ibu minta maaf, membicarakan ini mungkin akan tidak nyaman buat kamu, Nak, sebab pasti akan ada pembicaraan tentang masa-masa itu. Masa ketika kita bertemu dan kamu menjadi bagian dari hidup ibu. Waktu itu, tidak ada satupun yang tahu tentang orang tuamu, sebab setelah kejadian itu, sudah diusahakan untuk mencari, tapi tak ada yang bisa menemukan jejak siapa yang meninggalkanmu untuk ibu.
"Orang ini, yang datang dan mengaku ibumu, memang benar dia bisa menyebutkan dengan tepat keadaanmu saat ibu temukan dulu. Tapi ibu tak lantas mempercayainya begitu saja. Tentunya ada hal-hal yang mendasari penilaian ibu, seperti umurnya sekarang, keadaan dan kehidupannya dua puluh tahun lalu, kondisinya sekarang, dan beberapa hal yang lain.
"Ibu tahu, kamu ingin sekali bertemu dengan orang tuamu, atau setidaknya tahu siapa mereka. Tapi bukan berarti kita harus terburu-buru untuk mengatakan ya, hanya karena dia bisa menyebutkan dengan persis keadaanmu saat itu. Ini hanya masukan ibu saja buat kamu ya, Salma." Salma terlihat bingung, benar-benar tak bisa berpikir apapun. Kaget. Juga gugup.
"Mohon maaf, Bu. Salma mungkin tidak siap dengan berita ini. Emm, kalau kami cenderung mengikuti analisa Bu Miska tentang orang yang mengaku ibunya Salma. Kalau boleh tahu, bagaimana menurut pendapat ibu sendiri? Dan kalau ibu tidak keberatan, mungkin kami boleh tahu lebih detail tentang apa-apa yang mendasari pendapat ibu." Andro mengambil alih keadaan. Direngkuhnya Salma untuk bersandar di bahunya.
Bu Miska sangat mengerti kondisi Salma. Juga bersyukur dengan respon Andro. Biarpun masih sangat muda, Andro sudah tahu harus mengambil sikap bagaimana saat istrinya sedang tidak dalam posisi yang tepat untuk menyampaikan pendapat.
"Ibu sudah coba minta KTP-nya. Umurnya masih sangat muda untuk punya anak seumuran Salma. Fisik dan garis wajahnya nggak ada kemiripan sedikit pun dengan Salma. Dan waktu ibu tanya kehidupannya 20 tahun lalu, dia bilang hidupnya di jalanan. Ibu nggak yakin yang dia katakan tentang hubungannya dengan Salma adalah benar.
"Maaf ya, Salma, ibu terpaksa menceritakan ini. Dulu, Salma ditemukan dalam keadaan bersih dan wangi. Baju, topi, dan selimutnya terlihat mahal. Ibu masih menyimpannya sampai sekarang." Salma sesenggukan, Andro mengeratkan pelukan.
"Ibu hanya khawatir, orang ini cuma orang yang mau memanfaatkan keadaan Salma sekarang ini. Bisa saja kan, kebetulan dia tahu masa lalu Salma, dan tahu juga sekarang dia jadi bagian dari keluarga Antariksa. Meskipun kemungkinan bahwa dia benar punya hubungan dengan Salma tetap ada, tapi ibu sampaikan ini agar Salma lebih berhati-hati dan tidak sekadar mengedepankan emosi."
Bu Miska menawari Salma untuk beristirahat di kamarnya, Salma menggeleng lemah. Dia sedang tidak ingin melakukan apa-apa, kecuali berada di pelukan suaminya.
"Kami mohon maaf, Bu, kelihatannya Salma shock. Biar saya ajak pulang dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah lebih tenang, kami akan ke sini lagi, atau bagaimana nanti saya akan hubungi Ibu lagi."
Bu Miska paham. Didekatinya Salma, dipeluknya gadis yang sudah seperti anaknya sendiri. Bu Miska yang membimbing Salma sampai ke mobil, memberi satu kecupan pada kening anak panti kesayangannya. Lalu membisikkan beberapa pesan yang membuat Salma tampak lebih tenang. Keduanya pulang, meninggalkan Bu Miska yang air matanya berlinangan begitu mobil Andro menghilang di tikungan.
Andro merengkuh Salma, membawa gadis itu sedekat mungkin dengannya. Tangan kirinya tak henti memberi sentuhan yang bisa membuat Salma menjadi nyaman. Tiba di rumah keduanya langsung masuk ke kamar. Mama yang menyambut hanya mendapat kode dari Andro untuk nanti saja ceritanya.
"Harus aku temani apa mau sendiri, Sal?" tanya Andro setelah keduanya duduk di sofa kamar mereka.
"Terserah Mas saja."
"Ya udah, kamu tenangin diri kamu dulu ya, Sal. Aku keluar dulu. Kalau aku kasih tahu ke mama tentang ini nggak pa-pa, kan?" Salma mengangguk. Andro mengambil air mineral untuk Salma, lalu keluar menemui mama.
Andro menceritakan kejadian di panti tadi kepada mamanya. Di luar dugaan, mama sudah tahu semuanya. Mama bahkan sudah bertemu sendiri dengan orang yang mengaku sebagai ibunya Salma. Berdua kembali ke kamar Andro, hendak bicara pada Salma.
"Dia ke sini mencari Salma. Qodarullah mama papa pas lagi di rumah. Pertama melihat, kami sudah curiga. Kenapa datangnya ke sini, bukan ke panti? Lalu kecurigaan kami terbukti, dia cuma mau memanfaatkan Salma saja. Dia tahu cerita masa lalunya Salma, kemudian tahu keadaan Salma sekarang ini. Dia cuma ingin mencari keuntungan dari itu semua. Kami mengusirnya, setelah memberi sejumlah uang agar dia tak kembali lagi ke sini."
"Mama mengusirnya?! Bagaimana kalau benar dia ibu saya, Ma?!" Salma mendadak merasa kesal pada mama, dan itu ditunjukkannya dengan bicara keras pada sang ibu mertua.
"Sal, jangan bentak mama!" Andro tak terima, ganti bicara keras pada Salma.
"Mas bisa bilang begitu karena Mas dari kecil punya ibu! Mas nggak mikirin perasaan saya yang dari dulu ingin sekali bertemu ibu! Bagaimana kalau benar dia ibu saya?!"
"Kamu...." Andro membuang napas kasar. Merangkul mama dan mengajaknya keluar. Setelahnya Andro kembali ke kamar.
"Sal, aku nggak suka kamu kayak gitu ke mama! Silakan kalau kamu mau marah sama aku, mau teriak, mau bentak-bentak, silakan. Tapi jangan kayak gitu sama mama. Aku nggak terima!"
"Apa Mas akan terima kalau orang tua Mas dibilang memanfaatkan keadaan anaknya?! Jangan-jangan saya juga dicap memanfaatkan keadaan keluarga mertua yang kaya raya?! Mas nggak ngerti sih rasanya jadi orang susah, jadi orang miskin! Mas dari lahir udah kaya, punya orang tua! Apa Mas bisa terima kalau orang tua Mas dicap melakukan pemerasan? Cuma mau uang saja? Nggak, kan?! Mas nggak akan terima, kan?!"
"Dia bukan orang tuamu, Sal! Orang tua macam apa yang membuang anaknya, terus tiba-tiba datang dan mengaku-aku setelah tahu keadaan kamu sekarang ini? Dia bukan ibumu! Kamu dengar sendiri kan pendapat Bu Miska tadi?"
"Itu baru pendapat, baru dugaan, belum tentu juga benar! Kalau ternyata dia memang ibu saya, bagaimana?!"
"Dia bukan ibumu! Keras kepala sekali kamu, ini!"
Mereka berdua beradu teriakan. Salma lupa adab, Andro tak ingat berkasih sayang. Emosilah yang saat ini menjadi pemenang.
"Aku nggak nyangka kalau kamu susah diatur! Terserah kalau kamu nggak mau dengerin aku!" Andro keluar, lalu membanting pintu. Salma terdiam, perlahan menyadari kesalahannya. Dibantingnya tubuh ke atas tempat tidur, menumpahkan lagi tangisnya di sana.
Andro berjalan cepat menuju perpustakaan papa. Menenggelamkan diri di antara buku-buku sepertinya menjadi pilihan terbaik untuk meredakan amarahnya. Jelas tak akan membaca, dalam keadaan begini, mana bisa fokusnya diajak kerja sama. Mungkin dia akan rebahan sejenak di sana. Atau..., tidur.
Pintu perpustakaan papa tak tertutup sepenuhnya. Andro sama sekali tak memiliki prasangka apa-apa. Tak terpikir juga untuk memeriksa keadaan dari celah yang masih terbuka. Dia langsung masuk saja, hingga....
"Mbak Rea! Mas Dimas!" pekik Andro menemukan kakak dan iparnya sedang bermesraan di sana. Mau tak terpengaruh, tapi adegan yang baru saja ia lihat terlanjur membuatnya panas dingin.
Rea dan Dimas saling menjauhkan diri dengan buru-buru. Membetulkan pakaian mereka yang berantakan. Andro kesal bukan kepalang. Waktunya sangat tidak tepat. Kalau saja tidak sedang marah pada Salma, ia mungkin bisa lebih mengendalikan diri, bersegera menghampiri Salma dan melakukan juga apa yang baru saja tersaji di depan mata. Tapi ini....
"Nggak tahu aturan! Kalau mau kayak gituan tuh lihat-lihat tempat! Parah!" Andro meradang, meninggalkan perpustakaan, dan membanting pintunya dengan sekuat tenaga. Mau tak mau dia kembali ke kamarnya. Salma bahkan masih bergelung di tempat tidur, hanya tangisnya sudah mereda sejak menyadari kesalahannya telah bicara keras pada mama, juga pada suaminya.
"M-maaf, Mas kenapa?" Salma memberanikan diri bertanya melihat wajah Andro yang tak seperti biasanya.
"Nggak kenapa-napa. Aku mau tidur."
"Sal minta maaf, Mas. Sal---"
"Hemm." Andro mengubah posisi memunggungi Salma. Detik berikutnya, gawai Salma berbunyi, sebuah pesan dari kakak iparnya.
[Salma, aku barusan bikin marah andro. Tolong ya sal. Cuma kamu yg bisa bantu selesaikan krn kamu istrinya]
Salma sama sekali tak paham.
[Maaf. Maksudnya bgmn, mbak?]
[Kamu keluar sebentar deh, aku jelasin]
Salma tak bertanya lagi, hanya meminta izin pada suaminya untuk keluar kamar sebentar, dan hanya hemm yang dia dapatkan sebagai jawaban.
Di luar, Rea menunggu di kursi tak jauh dari kamar Andro. Penjelasan yang diberikan Rea singkat saja, "Mas Dimas lagi baca di perpustakaan papa. Aku nyusul ke sana dan godain dia. Terus ya akhirnya kami ngapa-ngapain di sana. Lagi hot-hotnya, eh, Andro masuk. Dia lihat kami, terus dia marah-marah. Kayaknya pengen juga deh, Sal. Makanya aku bilang, cuma kamu yang bisa bantu Andro, kamu kan istrinya. Ngerti maksudku, kan?"
Salma tersenyum malu-malu. Tentu saja dia mengerti. Dan dia bertekad dalam hati, akan memanfaatkan kesempatan ini untuk memperbaiki hubungan, menebus kesalahan, juga membantu Andro keluar dari bayangan buruk yang selalu menghantui dan menyebabkan keintiman mereka selalu berujung pada kegagalan.
"Terima kasih, Mbak. Insya Allah Salma akan bantu. Doakan ya, Mbak."
"Eh, kok doakan, maksude piye ki? Kon jik perawan ta piye?"
Salma tak menjawab, hanya tersipu, dan meninggalkan kakak ipar dengan buru-buru. Benaknya sudah dipenuhi rencana, untuk menyenangkan suami tercinta.
***
Maafkan, akhir-akhir ini aku sering telat updatenya. Untung bukan mahasiswanya Pak Zulfikar, bisa-bisa nggak boleh update nih aku. Haha...
Yang kuciwa Dek Galaksi belum jadi malam pertama, tolong angkat tangan katakan sayaaa!!
Heh, iya, belum. Sabar aja, banyak yang harus dibuka. Bagian itu kan cuma salah satu keseruan aja, to?
*eh, gimanaaa :p
Lagunya super jadoel, 1982. Aku masih bayi ituuu. Tapi cocok banget buat pasangan yg lagi berantem, kesel-keselan, dsb. Iya nggak, sih?
Ya udah begitu aja. Terima kasih banyak untuk semuanya. Dan...,
Sekali lagi maaaafkanlah, karenaaa akuuu, telat updatenyaaa...
See you :)
Semarang, 18062021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top