25. Kunjungan

Gawai Salma berbunyi, nama Mama tertera di layar. Gadis itu meraihnya segera.

"Assalamualaikum, Ma."

"Waalaikumussalam. Di rumah sakit mana, ruang apa?" sahut mama, tegas dan tanpa basa-basi. Salma menyebutkan nama rumah sakit, lengkap dengan ruang dan lantai tempat Andro dirawat.

"Mas Andro sudah ba---" Tut tut tut. Bahkan memberi kesempatan Salma bicara pun tidak. Salma terdiam, matanya berkaca-kaca.

"Kamu bilang mama ya, Sal?" Andro yang melihat perubahan di wajah istrinya menebak apa yang sedang terjadi.

"Iya. Semalam begitu Mas tidur, Sal ngabarin mama. Mau diam aja Sal takut salah. Nanti kalau Mas kenapa-napa kan pasti Sal yang kena salahnya. Sal nggak nyangka mama bakal semarah itu. Sal takut." Air matanya kembali berderai-derai.

"Sini, Sal, deket ke aku." Salma mendekat, berdiri di hadapan Andro yang duduk di tepian hospital bed. Andro memeluk Salma erat, separuh kekhawatiran Salma perlahan menguap.

"Masih pagi kok udah sedih gini sih, Sal. Kamu harus semangat, jangan malah sedih. Keadaanku jangan malah bikin kamu absen dari kebiasaanmu. Aku udah jauh lebih baik kok. Mama pasti seneng banget punya mantu yang jagain anaknya sampai begini."

"Tapi Sal takut, Mas. Sal nggak pernah lihat mama semarah itu."

"Apa sih yang kamu takutkan? Semarah-marahnya mama, mama nggak pernah mukul atau main fisik. Bahkan bentak pun nggak."

Sambil sesenggukan Salma menjelaskan kejadian semalam, juga ketakutannya. Takut kalau mama kecewa karena kecerobohan Salma yang sudah membahayakan Andro. Takut kalau mama nggak mempercayainya lagi untuk menjaga dan mendampingi Andro. Takut kalau mama menyuruh Andro meninggalkannya, dan dia kembali sendirian.

"Ya Allah, Salma. Kenapa jadi mikirnya begitu, sih? Kamu itu orangnya kuat, hatimu juga kuat, nggak banget kalau sampai punya pikiran seperti itu. Lihat mataku, Sal."

Keduanya bersitatap. Andro menangkup kedua pipi Salma, dengan jarum infus menancap di salah satu tangan. "Mama nggak seperti itu, Sal. Kadang kekhawatirannya padaku memang suka berlebihan, sebab bagi mama, bahagiaku adalah juga bahagianya mama. Dan mama tahu persis, kalau bahagiaku itu kamu Sal. Percayalah. Your worries will not happen, Sayang. (Kekhawatiranmu tak akan terjadi, Sayang)"

Mendengar panggilan Andro untuknya, Salma tersipu. Dipejamkannya mata, seolah memberi tanda pada Andro untuk melakukan yang lebih untuknya. Kode diterima dengan baik. Satu kecupan mendarat di bibir Salma. Andro menyesap manisnya, sambil tangannya yang bebas turut bergerilya. Salma sejenak lupa, pada ketakutannya akan reaksi mama. Kakinya yang mulai pegal menopang berat tubuhnya pun ia abaikan saja.

Ceklek.

Pintu terbuka. Tanpa salam, tanpa ketukan, namun bagai gempa yang mampu mencerai beraikan kedua insan. Gempa itu berwujud mama dan papa, yang langsung berhenti grak begitu melihat pemandangan yang tersaji di depan mata.

Astaghfirullah hal adzim. Salma mengulang istighfarnya berkali-kali. Tentu saja hanya dalam hati. Perasaannya sudah tak menentu. Yang bisa dilakukannya hanya pasrah pada apapun yang akan diterimanya dari mama.

"Sudah sembuh?" tanya mama sembari melangkah mendekati Andro. Bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

"Eh, udah, Ma. Alhamdulillah, udah baikan. Tapi belum sembuh betul. Mama jam berapa dari Surabaya?" jawab Andro, setelah terlebih dulu mengelap bibirnya asal saja pada lengan bajunya.

"Sudah sembuh, belum? Kalau sudah, biar mama pulang saja." Mendengar jawaban mama, Salma menghambur dan memeluk sang ibu mertua. Kata maaf dan air mata mengalir deras dari lisan serta matanya.

Yang bisa Andro lakukan cuma mengusap-usap punggung istrinya, memintanya berhenti menangis, dan meyakinkan bahwa mama tidak marah padanya.

Papa turut mendekat, bersalaman dengan anak laki-laki kebanggaan. Satu pukulan cukup keras ditujukan ke bahu Andro, "Laki-laki kuat. So proud of you, Boy." Begitu kata Antariksa Sisiutara. Setelahnya menuju ke istrinya dan memintanya untuk lebih bisa menahan diri.

Mama melonggarkan pelukan, menatap dalam-dalam pada kedua mata bening menantunya. Kemudian menepuk salah satu pipi Salma dengan lembut. "Terima kasih ya, Nak. Mama yang minta maaf."

Pelukan dilepas, mama ganti memeluk Andro, tangisnya pecah di sana. Tangis yang terasa penuh kelegaan, seolah mama sedang melepaskan beban yang berat di bahu anaknya. Salma salah tingkah.

"Nggak apa-apa, Salma. Mamamu itu cuma trauma," kata papa.

"Waktu masih kecil, Andro pernah lebih parah dari ini setelah makan sesuatu yang ada kecapnya. Lalu terulang sekali lagi, malah sampai bikin Andro hampir mati. Gara-garanya sepele, dia makan tempe. Itu juga yang membuat kami akhirnya tahu kalau dia alergi segala jenis kacang kedelai, sekalipun kedelai itu dibesarkan seperti anak sendiri." Papa masih sempatnya bercanda.

"Makanya mamamu trauma waktu dengar Andro masuk rumah sakit karena alerginya kambuh. Sejak kami tahu dia alergi, selama itu pula dia selalu terjaga dari pemicunya. Mungkin karena itu juga, Andro jadi nggak tahu rasanya tempe, tahu, dan semacamnya. Lidahnya sudah lupa. Nemu yang enak ya dimakan aja." Papa terkekeh.

Salma menangis lagi. Meski tak lagi melihat kepanikan mama, tapi Salma bisa membayangkan betapa sakit dan khawatirnya hati mama dihantui bayang-bayang trauma nyaris kehilangan buah hatinya. Dan mungkin saja itu terjadi sepanjang perjalanan Surabaya ke Semarang. Salma maklum sekali kalau mama sampai bersikap seperti tadi.

"Gimana ceritanya? Kalian ada apa, kok sampai Andro bisa lolos makan pantangannya?" Pertanyaan mama membuat jantung Salma hampir copot. Mama punya kepekaan di atas rata-rata.

"Emm, j-jadi begini, Ma. Semalam Sal sama Mas Andro memang ada sedikit masalah. Terus ---"

"Nggak ada apa-apa kok, Ma." Andro menyela penjelasan Salma. Menggenggam tangan mama yang duduk di sebelahnya.

"Semalam Andro ngerjain tugas, Ma. Karena Sal udah seharian juga ngurus rumah dan orderan, jadi Andro suruh tidur dulu aja, nggak perlu nemenin Andro nugas. Terus Andro lapar, sayur sama lauk udah Sal masukin ke lemari, cuma Sal lupa nggak nyingkirin yang ada tempenya. Tapi sumpah deh, Ma, nugget yang Sal bikin enak banget, kejunya kerasa banget. Makanya Andro makan sampai agak banyak. Ternyata itu tempe. Gitu sih, Ma, ceritanya. Eh, tapi beneran deh, nuggetnya tuh enak banget, Ma." Andro mengakhiri cerita, tapi jadi lebih mirip sales nugget bikinan istri.

Agaknya mama tak begitu saja mempercayai anaknya. Menurutnya, ada yang coba disembunyikan oleh si anak kesayangan. Mama menahan dugaannya. Nanti saja saat berdua dengan Salma, begitu pikirnya.

Yang mama lakukan kemudian adalah menanyakan kepada Andro tentang apa yang sekarang dirasakan. Andro menerangkan kondisinya yang sudah membaik. Cuma ruam-ruamnya masih tersisa, dan masih terasa gatal kalau efek obatnya mulai berkurang. Andro sudah mencoba meminta obat lagi pada perawat yang berjaga, tapi perawat tak berani menambahkan kalau bukan atas perintah dari dokter yang bersangkutan.

Selain gatal, Andro juga belum merasa sesehat biasanya. Masih agak lemas. Suhu tubuhnya juga masih belum stabil. Jadwal visite dokter masih nanti jam sepuluh. Andro pesimis akan boleh pulang hari itu.

"Ada yang perlu diambil ke rumah nggak, Sal?" tanya mama.

"Nggak ada sih, Ma, tapi kalau Mama sama Papa mau ke rumah dulu, mandi dan semacamnya, biar sama Sal saja. Mas nanti dititipin ke perawat dulu. Nggak apa-apa kan, Mas?"

"Sal, kamu jangan pulang, dong," rengek Andro.

"Ya kan Sal harus bantu mama papa di rumah to, Mas. Paling sebentar. Sekalian siapin paket yang mau diambil kurirnya. Nanti Sal titipin ke tetangga sebelah aja."

"Nanti kalau jatah makannya datang, siapa yang suapin aku? Aku maunya kamu, nggak mau sama perawatnya." Dih, manja banget sih.

"Ya kali, Mas, perawat nyuapin pasiennya. Ge-er banget. Mas maem sendiri kan bisa. Sekalinya sakit langsung nambah ya manjanya." Salma berbisik pada suaminya, tangannya mencubit pinggang yang suka sekali ia peluk.

"Nanti papa yang suapin, deh. Papa juga bisa lho."

"Iya, percaya. Yang pengalaman nyuapin bocah tapi bukan anaknya. Ciyan." Sikap papa biasa saja. Malah Salma yang memelototi Andro, sempat-sempatnya mengungkit luka masa lalu.

"Udahlah, Ndro, nggak usah ngomongin yang itu lagi. Ya udah, mama sama Salma ke rumah dulu. Andro sama papa ya, Nak. Laki-laki kan bisa mandi, tidur, dan ngapain aja di mana aja. Jadi papa biar mandi, tidur, dan lain-lainnya di sini saja." Semua setuju, mama dan Salma pun meninggalkan rumah sakit.

Dalam perjalanan menuju rumah, barulah mama mengeluarkan segala praduga. Menanyai Salma tentang apa yang terjadi sebenarnya. Salma yang memang tak pandai bersilat lidah mengatakan apa adanya. Tak ada yang dikurangi, apa lagi dilebihkan. Tapi memang ada satu dua bagian yang Salma skip, termasuk tentang fakta yang baru ia sadari soal insiden salah sebut nama yang nyaris terjadi saat akad nikah.

Mama menasihati panjang lebar, meminta Salma bersabar. Mama juga meminta maaf, untuk responnya yang kurang bersahabat semalam, juga untuk anak laki-lakinya, yang mungkin masih banyak kekurangan dalam menjadi seorang suami bagi Salma. Setiap nasihat Salma terima dengan lapang dada, sebab ia tahu persis, kalau soal perempuan lain dalam rumah tangga, mama sudah mengalami yang jauh lebih menyakitkan daripada dia. Dia sih apa? Jelas-jelas Andro sudah berusaha mati-matian mengubur masa lalunya. Salma jadi sadar, kalau dia terlalu mengedepankan cemburu, bisa-bisa Andro justru makin sulit lepas dari masa lalu.

Detik itu juga Salma bertekad untuk menjadi Salma yang lebih kuat, terutama hatinya. Zulfa sudah bukan siapa-siapa bagi suaminya. Yang harus ia lakukan adalah membantu Andro agar bisa melupakan, bukan malah melakukan sesuatu yang memantik ingatan. Maka Salma berjanji pada dirinya sendiri, tak akan membiarkan kenangan, menjadikan matanya dipenuhi genangan.

Tiba di rumah, mama segera mandi dan istirahat. Salma langsung berkutat dengan kesibukan, mencuci baju Andro yang basah dan terkena muntahan Andro semalam. Sambil mesin cuci berputar, Salma membereskan sisa makanan kemarin. Setelahnya ia membuat bubur dengan banyak keju untuk Andro, juga memasak untuk bekal makan siang nanti. Masih sempat pula membuat bolu keju kesukaan suaminya, siapa tahu boleh makan selain bubur.

Paket-paket tak jadi dititipkan tetangga. Salma meminta bantuan kepada mas-mas kurir untuk bersedia mengambil lebih pagi. Sambil menyelesaikan bersih-bersih dan merapikan rumah, selesai juga urusan perpaketan.

Salma baru akan masuk ke kamar mandi ketika handphone-nya berbunyi. Andro yang menelepon, menimbulkan sedikit kepanikan pada Salma.

"Assalamualaikum, Mas. Gimana? Butuh bantuan Sal ke sana, kah?"

"Waalaikumussalam, Salmaku. Jangan panik ah, aku baik-baik aja. Nggak butuh bantuan, cuma butuh pelukan." Salma terkikik geli, hatinya berdesir-desir tak keruan.

"Gombal."

"Tapi suka kan aku gombalin?"

"Nggak suka. Sukanya dipeluk aja."

"Hemm, jangan bikin aku makin kangen yaaa." Andro tertawa, terdengar sangat gembira.

"Papa lagi apa? Biar istirahat aja kalau Mas nggak apa-apa."

"Pak Bos udah ngorok tuh dari tadi. Mendingnya nggak diturunin ke aku tuh kebiasaan buruk papa yang satu itu." Lah, malah ghibahin papa.

"Mas udah makan, kan?"

"Udah, Sal, disuapin papa tadi. Akunya malu. Kayak anak kecil banget nggak, sih? Tapi yang mulia baginda Antariksa tetep aja maksa. Ngeselin emang bapak-bapak satu itu." Salma cekikikan lagi. Andro kalau sama papa santainya suka kebablasan.

"Oh iya, Sal. Aku minta tolong Yudi buat ngambil dan ngumpulin tugasku. Tolong kamu siapkan ya. Taruh di teras aja biar Yudi tinggal ambil. Jadi kamu nggak usah ketemu sama Yudinya." Andro lalu menjelaskan tugas apa saja yang harus disiapkan untuk diambil oleh Wahyudi, juga di mana dia meletakkan tugasnya, dan instruksi lainnya.

"Nggak apa-apa, Mas, ditaruh di teras, gitu? Sopan nggak, sih?"

"Halah, sama Yudi sih nggak harus sopan. Malah aneh sopan sama dia. Aku nggak mau dia ketemu kamu pas nggak ada aku. Cuma dia yang tahu tentang kamu, Sal, dan dia pernah bilang kalau kamu cantik. So, biarpun dia sahabatku, aku nggak ikhlas kalau kalian ketemu." Level cemburunya Andro memang agak parah.

"Iya, iya. Segera Sal siapkan. Mas istirahat ya."

"Aku nggak bisa tidur, Sal. Gerah banget pakai piyama gini. Pengennya lepas baju."

"Nggak boleh!!" Salma mendadak galak. "Pokoknya Sal marah kalau sampai perawatnya lihat Mas cuma pakai---"

"Nggak lah, Sal. Cuma kamu yang boleh lihat. Tapi buruan ke sini ya. Aku pengen ganti baju, paling nggak pakai celana pendek lah sama kaos oblong."

"Iya, iya, Sal udah selesai kok. Ini tadi baru mau mandi."

"Kalau gitu kita video call aja ya, Sal. Biar bisa ngobrol sambil kamu mandi." Modus sekali mas-mas satu ini.

"Mas nih ya, sakit masih bisanya saru lho." Andro terkekeh, otaknya mendadak dipenuhi gambaran Salma saat..., ah sudahlah.

"Udah ya. Ini Sal siapin tugasnya Mas dulu. Habis itu mandi, bangunin mama, terus ke rumah sakit lagi. Mas mau dibawain apa?"

"Terserah. Pokoknya kamu ada sama aku, itu udah lebih dari cukup. Aku sayang kamu, Sal, very much." Mereka bertukar ungkapan sayang, sebelum mengakhiri panggilan. Lalu dengan cekatan Salma menyiapkan apa yang tadi Andro sebutkan, dan menaruhnya di teras setelah semua lengkap.

Tepat pukul sepuluh, Salma dan mama meluncur kembali ke rumah sakit. Begitu sampai, Salma langsung mengganti piyama Andro dengan homewear favoritnya. Si suami manja langsung merasa ringan dan sejuk, lalu meminta Salma duduk di sebelah bed-nya, mengusap-usap tangannya sampai dia tertidur.

Mama yang melihat kelakuan anaknya tertawa. "Yang sabar ya, Sal. Andro kalau udah manja suka kelewatan."

"Iya, Ma. Nggak apa-apa, Salma suka kok, Ma. Asal manjanya cuma sama Salma, sama Mama Papa, atau sama Mbak Rea saja." Hmm, bibit-bibit posesif mulai bermekaran di hati gadis cantik itu.

Menjelang zuhur Andro terbangun oleh visite dokter yang terlambat. Sementara dokter tersebut bicara dengan mereka, perawat yang mendampingi memanggil salah satu rekannya untuk mengganti botol infus Andro yang sudah hampir habis cairannya.

Keadaan Andro sudah jauh membaik, suhunya pun telah stabil, tetapi dokter menyarankan untuk rawat inap semalam lagi. Jika besok pagi ruam-ruamnya sudah menghilang dan pasien sudah tidak merasa lemas, maka diperbolehkan pulang tanpa harus menunggu visite hari tersebut.

"Besok pulangnya ke Surabaya aja ya, Ndro. Biar mama tenang. Kamu juga istirahatlah satu dua hari tanpa mikirin urusan kampus." Mama menyarankan, yang bagi Andro lebih terdengar sebagai titah yang tidak bisa dibantah.

"Andro terserah Sal aja, Ma." Tentu saja Salma menyetujui. Ia sudah sangat rindu pada kota yang tak pernah ia tinggalkan sepanjang hampir dua puluh tahun hidupnya. Rindu pada Bu Miska, panti, juga pada suasana kota yang bagi Salma tetaplah paling nyaman.

Teman-teman Andro mulai berdatangan selepas zuhur. Dimulai dari Wahyudi bersama tiga teman yang lain.

"Jagoan kita tumbang, Saudara-saudara," celetuk salah satu dari mereka sambil bergantian memukulkan kepalan tangan dengan Andro.

"Asline ki gur pengen ditiliki ben iso pamer nek wis nduwe ehem ehem. (Aslinya tuh cuma pengen ditengokin biar bisa pamer kalau udah punya ehem ehem)" Saat mereka masuk tadi, Salma sedang menyuapi Andro makan siang.

"Riya', Nda, riya'."

"Yo pancen nek wong koyok Andro jomlo ki cuma dua kemungkinan. Siji mergo soleh, loro yo kemungkinane hom*."
(Ya memang kalau orang kayak Andro jomlo tuh cuma ada dua kemungkinan. Satu karena soleh, dua karena hom*)

"Lambemu, Cuk. Nek aku hom* yo kon sing tak taksir nomer siji, (Omonganmu, Bro. Kalau aku hom* ya kamu yang kutaksir pertama kali)" sahut Andro tak kalah asal. Kemudian turun dan bergabung bersama mereka duduk di sofa. Wahyudi membantu membawakan tiang infusnya.

"Alergi apa, Ndro?" tanya Wahyudi.

"Tempe." Andro meringis.

"Pantesan Andro nggak pernah kenal sama mental tempe, lah kalau ada tempenya dia bisa sampai masuk rumah sakit gini."

Obrolan-obrolan kocak beserta tawa demi tawa mengalir dari mereka. Sesekali mama, papa, dan Salma ikut tertawa sambil geleng-geleng kepala mendengar candaan mereka.

Salma mendekat, membawa sepiring bolu keju, setoples kacang bawang, dan empat kaleng susu beruang. Keempat pasang mata memandangi Salma dengan penuh tanda tanya. Salma sampai risih karena tidak pernah berdekatan dengan banyak laki-laki. Tapi mau bagaimana lagi, dia terpaksa. Masa iya mama yang harus melakukannya?

"Heh, matane lho dijogo. Lagian, meh moro rak omong-omong. Nek kon podo woro-woro sik kan bojoku tak cadari ben rak mbok deloki ngono iku. Asem tenan." Andro kesal.
(Heh, matanya lho dijaga. Lagian, mau pada datang nggak bilang-bilang. Kalau kalian kasih pengumuman dulu kan istriku kupakaikan cadar biar nggak kalian lihat begitu. Sial."

"Sal, jangan ke sini lagi selama kodok-kodok ini masih di sini. Sana, deh, sembunyi di belakang mama." Salma menurut, dalam hati tertawa geli. Mama, papa, dan teman-temannya kompam tertawa.

Yang empat belum pulang, beberapa datang lagi menambah kegaduhan. Tak hanya teman seangkatan, sebab yang sakit ini adalah Angkasa Andromeda. Jangan ngaku anak S1 teknik sipil kalau tak kenal reputasinya.

Penampilan khas anak teknik terlihat pada sebagian besar dari mereka. Jeans belel, t-shirt dan jaket, rambut gondrong, ransel yang mungkin belum pernah dicuci dari sejak beli, dan yang paling khas, guyonan mereka yang sungguh cadas. Semua mengingatkan Antariksa pada masa mudanya

Papa mendekat, menggantikan Salma membawakan makanan dan minuman, lalu ikut bergabung dan ngobrol akrab. Topik yang papa bawa tentu saja soal pertekniksipilan. Ini membuat semua merasa klik bicara dengan seseorang yang mereka panggil om itu.

"Sek podo sopan, Cuk. Jaim ngono. Kui bose asline rak cuma ngajak ngobrol, tapi lagi screening kalian-kalian kui. Ndi kiro-kiro sek fresh graduate-e iso ditarik rewang-rewang nak proyeke," seru Andro.
(Yang pada sopan, Bro. Jaim gitu. Itu si bos aslinya nggak cuma ngajak ngobrol, tapi lagi screening kalian-kalian itu. Mana kira-kira yang nanti pas fresh graduate bisa ditarik bantu-bantu di proyeknya.)

Papanya terkekeh mendengar candaan Andro, tak menyangkal, tak juga membenarkan, tapi memberi nasihat singkat. Bahwa, "Di manapun kalian berada, di bidang apapun kalian belajar, dan nantinya bekerja, mengerahkan kemampuan terbaik adalah wajib hukumnya. Memberikan lebih dari tanggung jawab pekerjaan yang kalian punya membuat kalian akan selangkah lebih maju, sebab orang luar biasa tak pernah mengerjakan sesuatu yang biasa saja. Belajarlah, belajar apa saja, selagi masih ada umur dan kesempatan."

Dan mereka pun paham, kenapa Angkasa Andromeda bisa tumbuh menjadi seseorang yang istimewa. Setidaknya di lingkungan kampus mereka.

Jam dua lebih mereka baru bubar. Lalu satu per satu pesan masuk ke gawai Andro. Tema pesannya sama semua.

[Ndro, mbak2 ayu kae mau apamu?]

[Ndro, kowe ndukun nandi iso entuk bojo istimewa ngono?]

[Ndro, itu tadi bojo apa 'bojo'? Sholihah gitu beneran mau sm kamu?]

[Punya bojo bening memang kudu disembunyiin, Ndro!]

[Aroma patah hati warga departemen kembali tercium]

Dan semua pesan ditutup dengan pertanyaan yang nyaris sama,

[Itu udah sah dan halal, apa gimana, Ndro?]

Andro terkikik membaca pesan-pesan yang ia terima. Dibalasnya dengan satu pesan yang seragam.

[Halal dan toyip, tapi gak pake bang]

Terserah kamu saja, Ndro!

Agak sore, beberapa warga teknik sipil datang lagi. Adik-adik tingkat Andro. Hanya saja, rombongan kali ini kurang identik dengan kondisi real anak teknik. Persentase kaum hawa dalam rombongan lebih banyak. Sebagian biasa saja, dua tiga diantaranya malu-malu sambil berusaha mencuri pandang pada si pasien yang memang tampan. Sekali lagi, ini yang sakit Angkasa Andromeda, ya.

Mereka di sana tak lama. Begitu rombongan berpamitan, Andro yang seharian belum tersentuh air meminta Salma untuk membantunya mandi. Salma salah tingkah. Bagaimana tidak? Andro iseng membuka pintu saat mandi saja Salma sudah malu setengah mati dan salah tingkah tak keruan. Lah ini, malah harus memandikan.

"Eh, Mas m-mandi s-sama mama aja, g-gimana?"

"Ya udah, aku nggak usah mandi aja nggak pa-pa." Dih, ngambek.

"Eh, y-ya udah. Iya, s-sama Sal aja. Iya, nggak pa-pa. Mandi. Iya, s-sama Sal." Salma gugup, Andro sekuat tenaga menahan tawanya agar tak pecah.

Sungguh, Salma merasakan malu yang luar biasa. Baginya, ini rasa malu terbesar yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya. Ia bukan tak pernah menyentuh area-area sensitif Andro, tapi mereka selalu melakukannya kalau tidak dalam kondisi lampu mati, ya dalam kondisi tidak sadar karena buaian kenikmatan. Tapi kali ini ....

Salma ingin menangis saking malunya, sedangkan Andro malah sengaja sok-sokan ingin dimanja. Kadang memang suatu kemajuan itu harus dipaksa oleh keadaan.

"Nggak usah suuzon, Sal. Aku cuma minta dimandiin aja kok, nggak ada agenda lain-lain yang tersembunyi. Percayalah." Dan Andro menepati perkataannya. Meski sempat ada ketegangan, tapi semuanya selesai dengan lancar.

Andro sendiri senang bukan kepalang. Berharap setelah kejadian ini, keintimannya dengan Salma ada kemajuan. Ungkapan cinta dan  terima kasih Andro tujukan pada Salma sejak tadi. Sampai semua selesai dan Salma menyisiri rambutnya, Andro masih saja menghujani Salma dengan banyak kata-kata yang menunjukkan betapa Salma sangat berarti baginya.

Kemudian terdengar suara bel. Mama yang membukakan pintu. Sepasang anak muda datang. Si perempuan membawa dua box besar, satu bergambar pizza, satu lagi bergambar donat. Laki-lakinya membawa parcel berisi buah-buahan.

"Maaf, Tante, emm, ini benar ruangan Andro ya?" Si perempuan yang bertanya.

"Oh, iya, benar. Monggo masuk. Silakan duduk dulu, Andronya baru habis mandi. Lagi ganti baju dan sisiran. Ditunggu sebentar, ya." Mama mempersilakan dengan ramah. Keduanya duduk di sofa.

Mama masih berdiri, lalu bertanya, "Maaf, dengan Mas dan Mbak siapa, ya?"

"Saya Iqbal, Bu. Putranya Pak Sudjana yang waktu itu Ibu dan bapak main ke sana, ke Bukit Sari." Iqbal memperkenalkan diri, lalu memperkenalkan sang istri, "Dan ini Zulfa, istri saya."

Ehk. Zulfa? Mama sedikit terkejut, tapi bisa menguasai diri dan menyembunyikan kekagetannya.

"Oh, iya. Tunggu sebentar ya, Mas Iqbal dan Mbak Zulfa, biar saya kasih tahu dulu Andronya."

Mama mengintip ke dalam tirai, memberitahu Andro ada temannya yang datang. Juga menyuruh Salma menutup aurat dengan sempurna. Kemudian mama membuka tirainya. Hanya sedikit saja, tapi sengaja di titik yang pas, menunjukkan kemesraan anak dan menantunya pada pasangan yang baru saja tiba.

Tujuan mama tercapai. Mata Zulfa terlihat melebar ketika menemukan seorang perempuan menyisiri Andro dengan sabar dan telaten. Entah sedang mengobrol apa, tapi keduanya terlihat tertawa. Bahagia.

"Lho..., it-itu kan p-pembantunya Andro?!"

***

Maaf yaaa, belum ada obrolan mereka berempat. Masih harus bersabar di part berikutnya.

Tadinya mau di part ini, tapi pas ngetik kok jadi ke mana-mana gini. Semua pasti gara-gara Wahyudi :p

Yaudah deh, gpp yaaa, anggap aja hiburan. Daripada dihapus, udah capek-capek aku ngetiknya. 3,4K+ gaess. Hehe...

Semoga teman-teman masih bisa bersabar ya.

Dan maaf juga, part kemarin aku belum sempat balas-balasin komentar. Anak-anak lagi pd ujian tahfidz & tilawah, mana yg kecil kl diajakin belajar bikin aku rasanya pengen bilang, "dahlah". Haha...

Udah gitu mereka kl lihat aku pegang hape dikit udah pada komplain. Soalnya mereka berdua lagi suka banget main guru-guruan. Mereka gantian jadi guru, aku banyakan jd murid. Mendingnya kl pas aku dibolehin jadi guru, aku jadi bisa nyelipin soal-soal, dsb. Pura-puranya ujian gitu, jadi mereka harus ngerjain soal. Nah, kukasih deh soal yg beneran. Wkwk...

Ya udah lah, pokoknya gitu. Perasaan yg nulisnya curhat mulu :D

Lagunya juga absen dulu yak.

Terima kasih untuk semuanya. Mohon maaf buat kesalahan dan kekurangan dan belum mempertemukan Andro-Salma dengan Luli-Iqbal :)

See you.

Semarang, 07062021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top