24. Perjumpaan
Don't sleep away this night my baby
Please stay with me at least 'till dawn
It hurts to know another hour has gone by
And every minute is worthwhile
Oh, I love you
(Daniel Sahuleka - Don't Sleep Away This Night)
***
Notes:
Kalau nanti ketemu cerita tentang Asya/Nara yang agak beda/nggak nyambung sama kemarin, tolong jangan langsung komentar ya, aku jelasinnya di bawah. Okey. Woles :)
Happy reading.
***
Salma baru saja selesai mengemas barang-barang yang akan dikirim besok pagi. Menyimpan gunting, lakban, dan segala perintilan lain. Buku berisi rekap orderan dan laporan keuangan ia simpan di tempat paling aman. Terakhir ia menumpuk kotak-kotak yang telah terbungkus rapi lengkap dengan stiker bertuliskan nama, alamat, nomor handphone, dan keterangan isi box.
Senyumnya mengembang, puas. Ia menikmati aktivitasnya, yang meski baru berjalan sekitar dua pekan, tapi sudah memberi pemasukan yang cukup lumayan, setidaknya bagi pengalaman finansialnya. Pendapatan terbesar diperoleh dari kerjasama menjual brand fashion milik mama yang sudah cukup punya nama. Sejauh ini semua berjalan lancar, Salma bahkan masih punya sisa waktu, karena itulah ia mencoba membuat perencanaan dan perhitungan untuk memulai usaha catering berbasis pesanan. Salma optimis sekali, usaha mereka berdua akan maju dan bisa menambah penghasilan. Untuknya, juga untuk keluarga kecilnya.
Asar menjelang. Salma bersegera mandi, lalu melaksanakan kewajiban. Seperti yang sudah-sudah, ia melanjutkannya dengan memuroja'ah hafalan. Kegiatan setelahnya adalah turun ke dapur menyiapkan kudapan, sewaktu-waktu suaminya pulang, ia tinggal menghidangkan.
Andro berkali-kali memuji Salma, menurutnya manajemen waktu Salma begitu istimewa, padahal bagi Salma itu hal yang biasa. Hari-harinya sebelum menjadi istri Angkasa Andromeda ia lalui dengan bekerja jauh lebih keras dengan lebih banyak waktu yang terkuras.
Kudapan sore ini adalah kue lapis Surabaya. Salah satu yang dimasukkan mama dalam daftar makanan kesukaan anak laki-lakinya. Mama memang memberi catatan khusus untuk Salma, apa saja yang harus tersedia, apa saja makanan dan minuman kesukaannya, juga yang harus dihindari baik karena tak suka ataupun alergi. Awalnya Salma ingin tertawa, tapi begitu ingat bahwa ia menikah dengan anak horang kayah, ia segera memaklumi semuanya. Apalagi sejak kejadian papa kawin lagi, mama memang semakin memanjakan anak-anaknya, terutama Andro.
Ting tong. Suara bel menyapa telinga Salma. Tentu saja bukan suaminya, ia ingat betul sudah melepas anak kunci dari induknya.
"Tumben ada tamu. Siapa, ya?" gumamnya. Dikenakannya jilbab dan selop sebelum melangkah menuju jendela. Seorang perempuan muda berjilbab terlihat berdiri di depan pintu. Salma bergegas membuka pintu dan menyambut dengan sopan.
"Assalamualaikum," sapa perempuan di hadapan Salma.
"Waalaikumussalam. Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" jawabnya santun.
"Emm, maaf, ini benar rumahnya Andro bukan ya, Mbak?" Perempuan yang membawa tas kain cukup besar itu bertanya. Ada keraguan tergambar di wajahnya.
"Betul, Mbak, ini rumahnya Mas Andro. Tapi Mas Andronya belum pulang."
"Oh, masih di kampus ya? Dia sih memang urusannya di kampus banyak, kalau udah urusan kampus suka lupa waktu. Kalau ada apa-apa juga yang dicari dosen pasti dia. Kayaknya tadi mau nugas juga sama kelompoknya." Perempuan itu menjelaskan tanpa diminta.
Salma menelan ludah, cemburu perlahan merayapi hatinya. Ada perempuan lain yang lebih hafal soal suaminya daripada dia, Nyonya Angkasa Andromeda.
"Mbak teman kuliahnya ya?" Salma mencoba tetap tenang.
"Iya. Kami se-geng juga. Oh iya, saya ke sini mau mengantar ini buat Andro. Dari Asya, aqiqah anaknya yang kedua." Tas kain berpindah ke tangan Salma.
"Terima kasih banyak, Mbak. Nanti saya sampaikan ke Mas Andro. Dan maaf, ini saya dengan Mbak siapa ya?"
"Asya."
"Maaf, maksud saya Anda, Mbak. Kalau Mbak Asya kan baru melahirkan, jadi mungkin nggak ke sini sendiri."
"Dia udah kuliah juga malah, melahirkannya udah pas liburan kemarin. Dasar ngeyelan memang, padahal operasi lho, tapi takut banget ketinggalan perkuliahan." Salah fokus, malah memberi penjelasan lagi tanpa diminta.
"Masya Allah. Emm, jadi ini saya dengan Mbak siapa ya? Nanti kalau Mas Andro tanya."
"Oh, nama saya maksudnya?" Baru sadar setelah loading agak lama. Salma mengangguk sebagai jawaban.
"Saya Zulfa. Kalau Mbak, siapanya Andro?" Salma geragapan mendapat pertanyaan semacam itu.
"Ehk, s-saya, emm..., s-saya saya yang bantu-bantu di rumah ini. Iya, saya yang bantu-bantu jaga dan bersih-bersih rumah."
"Oh, pembantunya Andro, gitu maksudnya?" Duh, Zulfa.
"Ehk, b-buk--- oh iya, s-saya pembantunya." Kesal, tapi mau bagaimana lagi? Salma terpaksa berbohong, ia tak tahu bagaimana seharusnya menjelaskan kedudukannya, karena soal status pernikahannya di depan teman-teman Andro, apakah masih harus disembunyikan atau bagaimana, tak pernah lagi dibahas oleh keduanya.
"Eh, berarti Mbak sering berdua-dua di rumah sama Andro dong, ya?"
"Maaf, Mbak, saya rasa itu bukan urusan, Mbak." Salma cuma manusia biasa. Walau begitu, ia tetap berusaha keras menahan kekesalan yang sudah naik sampai ke ubun-ubun.
"Sekali lagi saya mewakili Mas Andro menyampaikan terima kasih untuk hantarannya. Sampaikan terima kasih juga untuk Mbak Asya dan keluarga, semoga putra atau putrinya menjadi anak sholih atau sholihah."
"Eh, iya. Anaknya Asya laki-laki. Sholih berarti." Betapa hakiki kepolosan Neng Zulfa.
"Ya sudah, Mbak, saya pamit dulu. Salam buat Andro ya. Bilang saja dari Zulfa. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Zulfa berlalu, menuju HRV putih yang terparkir depan rumah Andro. Demi kesopanan, Salma masih berdiri di depan pintu, menunggu sampai mobil itu melaju. Kaca di sisi driver terbuka, seorang pria menganggukkan kepala kepada Salma. Perempuan di sebelahnya --Zulfa-- juga melakukan hal yang sama. Tapi fokus Salma hanya tertuju pada si pria, ia merasa mengenalnya.
Ingatan Salma memang kuat. Ia ingat betul, pria itu adalah dosen suaminya, yang pernah bertemu dengan dia dan Andro di bandara. Ia juga ingat, Andro pernah bercerita kalau dosen tersebut adalah suami dari teman yang pernah menempati ruang istimewa di hatinya.
"Jadi namanya Zulfa?" ucap Salma pada dirinya sendiri. Lirih. Pedih.
Ditaruhnya tas berisi nasi box dan hampers yang banyak dan lucu-lucu, tapi tak menarik baginya. Berbagai pikiran dan dugaan melintas di benaknya. Matanya mendadak berkunang-kunang, kepalanya pening, ia memutuskan untuk merebahkan diri sejenak di sofa ruang tengah.
"Sal." Sebuah tepukan mendarat di pipi Salma. Ia membuka mata, melihat wajah Andro di hadapannya. Lalu mengarahkan mata pada jam dinding, dan baru tersadar kalau ia sudah tertidur agak lama. Salma duduk, mengusap wajahnya demi menggenapkan nyawa.
"Ada kiriman dari Mbak Asya. Aqiqah anaknya." Sambutan yang Andro dapatkan sungguh di luar dugaan.
"Iya, aku udah lihat. Kamu kecapean kah, Sal?"
"Ada salam juga, dari Mbak Zulfa."
"Ehk, Z..., oh, yang nganterin Zulfa ya?" Andro sok tenang.
Terlambat! Reaksinya saat pertama mendengar nama Zulfa sudah tak bisa direvisi. Salma terlanjur membaca situasi dan menghubungkan dengan semua data dan pemikiran yang ada di kepalanya.
"Jadi namanya Zulfa, ya? Orangnya polos banget, kayak anak kecil. Pantesan Mas gemes, ya, terus jatuh cinta. Jatuh cinta banget." Andro tak bisa mengelak.
"Sal, apa kita perlu bahas ini lagi? Nggak, kan? Kamu istriku, dia bukan siapa-siapaku. Yang ada di hatiku, di pikiranku, cuma kamu. Yang aku sayang, yang aku cinta, yang paling penting buat aku cuma kamu. Selesai."
"Yang Mas sebut namanya waktu akad nikah, juga cuma saya?" Salma menahan genangan di kedua mata.
"Ehk, it-itu...." Kelu. Insiden nyaris salah menyebut nama seakan film yang diputar kembali di otak Andro.
"Handuk sama baju sudah saya siapkan. Kudapan di meja makan. Susu di kulkas ada banyak. Nasi ada, sayurnya di lemari, belum saya angetin karena saya nggak tahu Mas pulangnya jam berapa. Saya memang nggak pernah ngerti apapun tentang aktivitas Mas. Nugas dengan siapa, di mana, kelompoknya siapa saja, Mas dipanggil dosen untuk keperluan apa, semuanya. Semuanya saya nggak ngerti. Saya nggak ngerti apa-apa. Nggak kayak Mbak Zulfa, yang hafal banyak hal tentang Mas." Suara Salma bergetar, masih bertahan agar bendungan di matanya tak tumpah di depan suaminya.
"Ya Allah, Sal, jangan gitu. Please, maafkan aku. Aku nggak akan menjelaskan apapun. Aku cuma berharap maafmu saja, Sal."
"Malam ini saya tidur di kamar depan. Kalau Mas butuh bantuan saya, silakan WA saja."
"Sal, nggak bisa gitu, Sal. Aku---"
"Kalau Mas ada perlu apa-apa, silakan WA saya saja." Salma mengulang perkataannya dengan tegas, menunjukkan bahwa ia tak ingin bernegosiasi. Sejak tadi ia bahkan tak sedikitpun menatap mata suaminya.
"Lihat mataku, Sal. Aku---"
"Mas, tolong ngertiin saya. Jangan saya terus yang harus mengerti dan memahami, Mas. Saya cuma ingin menenangkan diri, semalam saja. Apa saya nggak berhak untuk itu?"
"Oke. Aku nggak akan ngeyel lagi, tapi tolong jangan kunci pintunya, biar aku bisa ngecek keadaanmu."
"Ya." Singkat saja. Salma lalu ke kamar, mengambil mukena, selimut, dan apa yang biasa dibutuhkan untuk tidurnya.
Andro menyusul segera, berusaha membujuk Salma sekali lagi, tapi gagal. Ia maklum sekali kalau istrinya merasa marah, kecewa, dan sedih. Perempuan mana yang bisa bersikap biasa saja ketika menemukan fakta bahwa dulu saat akad nikah, suaminya hampir salah menyebut namanya dengan nama perempuan yang pernah berarti di hatinya? Ah, nasi sudah menjadi bubur. Andro tahu, ini akan terjadi juga, hanya saja untuk saat ini dia tak ada persiapan, semua terjadi di luar dugaan.
Salma keluar, hendak ke kamar depan. Andro cuma bisa memandangi dengan perasaan yang sangat berdosa. Lalu memutuskan untuk mandi, mengambil wudhu, dan bersiap salat maghrib.
"Sal, aku ke masjid dulu ya. Aku bawa kunci. Kalau mau makan, tunggu aku. Aku pengen makan bareng kamu."
"Saya nggak lapar. Mas makan saja sendiri."
"Aku nggak mau makan kalau nggak bareng kamu, Sal."
"Berarti malam ini Mas nggak makan."
"Biasanya kamu khawatir dan bujukin aku kalau aku nggak makan, Sal. Tapi aku sadar sih, Sal, aku nggak pantas dikhawatirkan. Maafkan aku ya, Sal." Salma cuma mengangguk, kemudian melanjutkan tilawahnya. Masih istiqomah untuk tak menatap suaminya. Hanya air matanya yang berderai-derai begitu pintu kamar kembali tertutup.
Dengan langkah gontai Andro ke masjid. Kemudian sepulang salat maghrib ia kembali menghampiri Salma. Masih dingin dan tak ada sambutan. Ia ulangi lagi selepas isya, masih tetap sama. Andro sampai mati gaya. Kalau putus asa itu ada manfaatnya, ia pasti sudah menyerah sekarang juga
[Sal, handukku jatuh di kmr mandi. Ambil yg baru di mana ya?]
Pesan pertama Andro kirimkan. Modus saja. Ia tahu persis di mana Salma menyimpan handuk dan sebagainya.
[Di tempat biasanya]
Modus gagal.
[Sal, kamu tdr di kmr kita aja, biar aku yg tdr di luar. Kl di kmr dpn nanti kl kamu mau ke kmr mandi kejauhan]
[Ya]
[Kubantu pindah kamarnya ya?]
[Nggak usah. Terima kasih]
Salma keluar, melewati ruang tengah menuju ke kamar utama. Andro mengikutinya, tapi Salma langsung menutup pintu tanpa memberi kesempatan Andro untuk masuk.
[Sal, katanya kl butuh apa2 aku boleh wa kamu. Aku butuh dipeluk kamu, Sal. Aku butuh bgt maafmu]
Tak ada balasan, hanya dibaca saja.
[Sal, aku kangen kamu. Tolong sudahi marahmu ya. I love you]
[Sal, aku lapar. Tp aku nggak mau makan sendirian. Temani aku ya]
[Sal, aku sayang kamu. Cm kamu, Sal]
[I love you, Sal. Percayalah]
Beberapa menit sekali Andro mengirim pesan. Itu membuat Salma makin kesal.
[Maaf, bisa nggak sih Mas jangan ganggu saya?]
Mode airplane diaktifkan. Salma memilih menyudahi hari itu dengan berdoa, lalu tidur lebih awal.
Hampir jam sembilan, Andro sudah tak bisa menahan lapar, perutnya belum terisi makanan lagi sejak siang. Ia terpaksa makan sendirian. Diambilnya nasi dari magic jar, lalu membuka lemari makan. Apa yang ada di dalam sana berpindah ke piring, lalu ke perut Andro. Sup kacang merah, perkedel kornet, dan nugget entah apa yang pasti kejunya sangat terasa. Andro suka. Ia makan dengan lahap, dua piring penuh ia habiskan dengan semangat. Tak sadar, drama malam ini akan segera dimulai.
Satu jam setelah menyelesaikan makan, perut Andro terasa sakit dan melilit. Ia juga mual parah, sampai tak bisa menahan yang berdesakan di dalam perutnya. Dengan susah payah Andro berlari ke kamar mandi, mengeluarkan semua yang ia makan tadi. Sayangnya itu tak hanya terjadi sekali.
[Sal, aku sakit perut. Nggak bohong. Tolong bantu aku ya]
Centang satu. Andro mencoba untuk melakukan panggilan, jawaban otomatis dari operator yang ia dengarkan.
Hampir jam sebelas, tapi perutnya masih terasa mulas. Rasanya hendak muntah lagi untuk yang ketiga kali. Andro memilih untuk ke kamar mandi di kamar utama. Ia sudah merasa benar-benar kepayahan, harus membangunkan Salma.
Andro masih di kamar mandi saat Salma terbangun dan mendengar sayup suara huek huek disusul suara flush dari closet. Dia mencoba menajamkan pendengaran.
"Astaghfirullah hal adzim. Mas Andro?" Begitu sadar, ia buru-buru bangkit dan berlari ke kamar mandi.
"Mas? Mas kenapa?" Salma panik. Andro lega. Betapa suara Salma kali ini membuatnya sangat bahagia.
Salma membantu memijat-mijat tengkuk suaminya, juga mengusap-usap punggungnya sampai Andro berhenti mengeluarkan isi perutnya. Setelah Andro berkumur dan mencuci mukanya yang pucat, Salma membimbing Andro sampai ke tempat tidur. Membaluri kayu putih, mengambil baju yang kering dan longgar untuk mengganti baju Andro yang agak basah, kemudian menyelimutinya. Setelahnya ia berlari ke dapur dan kembali dengan segelas teh tawar hangat, juga sebotol air panas untuk menghangatkan perut suaminya.
"Maafin Salma ya, Mas?" Salma menangis. Dipeluknya Andro dengan erat.
"Aku yang minta maaf, Sal. Sekalinya nyakitin kamu, langsung Allah kasih balasan, dibayar kontan nggak pakai delay." Masih sempatnya bercanda.
"Mas nggak nyakitin Sal. Sal yang salah, Sal yang cemburuan. Sal---"
"Ssstt, peluk aku aja, nggak usah bicara macam-macam."
"Mas masuk angin, kah? Atau kenapa? Gimana rasanya?" Salma tetap melempar pertanyaan sambil memeluk Andro.
"Nggak tahu kenapanya. Rasanya perutku sakit, melilit gitu. Mulas, mual juga, kayak pengen muntah terus. Nafasku juga kayak berat, nggak bisa los gitu. Badan juga rasanya gatal-gatal," jawab Andro sambil meringis menahan sakit di perutnya.
"Mas udah muntah berapa kali?"
"Ini tadi tiga kali."
"Kenapa nggak langsung bangunin Sal dari pertama muntah?"
"Aku takut kamu masih marah."
"Ya Allah, Mas. Istri macam apa yang masih mikirin marah kalau lihat suaminya sakit sampai segini payah? Nggak boleh gitu lagi, ya. Sal sayang sama Mas." Salma menangis lagi, merasa berdosa.
"Mas gini dari kapan?" Salma melanjutkan pertanyaan.
"Dari jam sepuluhan. Pokoknya habis makan, terus nggak sampai satu jam perutku nggak enak. Terus gini deh."
Salma mencoba mengingat apa saja yang ada di lemari. Sup kacang merah, perkedel kornet, dan nugget temp....
"Astaghfirullah. Mas makan nugget yang di lemari, kah?" Salma kembali panik.
"Iya. Enak, kejunya kerasa banget."
"Ya Allah, Mas. Maafin Sal ya. Harusnya itu dijauhkan. Itu nugget tempe, Mas. Berarti Mas gini karena alergi." Diperiksanya kembali badan Andro, ruam-ruam merah terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Suhunya juga makin menghangat.
Tempe masuk dalam daftar yang tidak boleh Salma masak untuk Andro. Kata mama, Andro alergi kacang kedelai. Itulah kenapa tak ada tahu, tempe, dan kecap dalam menu masakan mereka sehari-hari. Kalaupun ingin menikmati menu-menu dengan bahan tersebut, Salma selalu menaruh di tempat tersendiri. Tapi malam ini dia lalai. Rasa marah dan kecemburuan yang meluap-luap membuatnya lupa kalau di lemari ada makanan yang berbahaya untuk suaminya.
"Kita ke rumah sakit ya, Mas? Sal nggak tahu tingkat alergi Mas seperti apa. Kalau parah, bisa berbahaya. Sal nggak mau ada apa-apa kalau dibiarkan di rumah. Obat-obatan alergi nggak ada, untuk urusan kesehatan yang macam begini, yang kita punya semua serba terbatas. Rumah sakit jelas lebih aman." Tak hanya menyarankan, Salma juga bergegas turun dari bed, mengambil tas dan memasukkan beberapa baju dan barang-barang yang sekiranya akan dibutuhkan.
"Aku nggak mau ke rumah sakit, Sal. Lagian ini udah malam, mau ke sana naik apa? Kamu sih nggak mau disuruh belajar nyetir."
"Udah, Mas, nggak usah bahas yang lain-lain dulu. Pokoknya Mas harus ke rumah sakit."
"Kenapa aku nggak boleh berpendapat sih, Sal? Kan aku yang sakit. Aku ngerasa kuat kok. Sebentar lagi juga sembuh. Kamu peluk aku aja biar hangat dan...." Belum selesai bicara, Andro bangun dan berusaha secepat mungkin tiba di kamar mandi. Sudah tak ada sisa makanan yang bisa dikeluarkan, cuma air dan angin yang membuat Andro semakin kepayahan.
Salma tak mau lagi mendengar alasan dan argumen apapun. Selesai membantu Andro di kamar mandi, ia segera menelepon rumah sakit dan meminta dikirim ambulans. Tanpa sirine, begitu pesannya. Salma lantas kembali mengganti baju Andro. Kali ini dengan piyama, yang membuat Andro jadi merasa kekanakan. Mau komplain juga percuma. Dia cuma harus bersyukur, piyamanya bukan gambar Doraemon atau Mickey Mouse, apalagi Baby Shark.
Ambulans datang. Salma segera membuka pintu dan mengarahkan petugas yang akan membawa Andro. Ia sendiri dengan cekatan membawa satu ransel dan satu travel bag, lalu mengunci pintu rumah, dan menemani suami kesayangan di dalam ambulans. Ia pula meminta pak supir berhenti di pos sekuriti untuk menyampaikan sedikit tentang insiden ini. Memastikan bahwa kondisi aman dan terkendali.
Begitu Andro selesai melewati observasi di IGD dan mendapatkan ruang rawat inap, Salma merasa lega. Kondisi Andro sudah lebih baik. Obat-obatan yang sesuai tentu saja membantu memperbaiki kondisinya.
"Sal."
"Ya, Mas? Mas mau apa? Biar Sal bantu. Mas tiduran aja."
"Aku mau say thanks ke kamu. Maafkan aku ya, Sal. Aku suami yang egois dan nggak baik, tapi kamu tetap sayang sama aku dan mau merawat aku."
"Nggak kok, Mas nggak egois, dan Mas tuh baik banget. Sal aja yang terlalu cemburu begitu sadar waktu itu mas hampir sebut nama Mbak Z---"
"Cukup, Sal. Aku nggak mau ada namanya dalam pembicaraan kita. Apapun itu. Aku cuma sayang kamu, Sal. Sekarang, dan sampai kapanpun. Kamu ngerti itu kan, Sal?" Salma mengangguk yakin. Hanya kejujuran yang ia temukan di mata Andro.
"Udah, Mas tidur aja ya. Sal nggak akan ke mana-mana. Di sini terus nemenin anak bayi besar kesayangan mama papa," goda Salma. Dijentikkan jarinya ke hidung mancung Angkasa Andromeda.
"Nggak kesayangannya Salma, ya?" Wajah Andro menampakkan kesedihan yang tak dibuat-buat.
"Nggak. Nggak cuma kesayangan, tapi segalanya buat Sal."
"Alhamdulillah. Thank you, Salmaku. I love you, more than you know."
"Iya iya. I love you too, more than myself know. Sekarang Mas tidur, ya. Besok harus udah sehat lagi."
Andro tidur tak lama kemudian. Tinggallah Salma memandanginya dengan air mata berlelehan. Perasaan berdosa menghantui. Ia bersyukur sekali kondisi suaminya tak terlalu berat. Sungguh, ia buta sama sekali tentang riwayat alergi Andro, cuma sebatas tahu bahwa laki-laki kesayangannya alergi kacang kedelai, itu saja. Tak pernah bertanya lebih lanjut tentang riwayat dan semacamnya kepada mama. Mana tahu kalau bersinggungan dengan pemicu bisa sampai separah itu. Muntah-muntah, sesak napas, ruam-ruam, hingga demam.
Salma menyudahi bayangan-bayangan buruk yang melintasi benaknya. Sekali lagi bersyukur semua sudah terlalui. Ia memutuskan untuk memberitahu mama, tak menunggu sampai besok pagi.
[Assalamualaikum, Ma.
Maafkan Salma. Mas Andro alerginya kambuh. Ini dirawat di RS. Alhamdulillah kondisi sudah membaik. Mama nggak perlu panik.
Maafkan Salma ya, Ma]
Satu pesan Salma kirimkan kepada mama mertua. Tanpa foto, karena tak mau mama panik melihat anak kesayangannya tidur dengan jarum menancap di tangan dan selang infus yang berjuluran.
Rupanya mama mertua dalam keadaan terjaga. Hanya dalam hitungan detik, centang dua abu-abu berubah menjadi biru. Tulisan typing terbaca di bawah nama Mama, disusul balasan singkat yang Salma terima.
[ANDRO MAKAN APA? KAN SUDAH MAMA KASIH LIST. MAMA KE SANA SEKARANG JUGA!]
Mama terkesan sangat marah. Salma maklum, mungkin beliau satu-satunya orang yang tahu persis bagaimana Andro saat terserang alergi. Salma sadar, dia ceroboh kali ini. Matanya kembali basah, hatinya dipenuhi rasa takut dan bersalah. Ia hanya bisa pasrah. Satu-satunya yang dia khawatirkan dengan sangat adalah, apakah dia masih boleh mendampingi Andro setelah insiden ini?
Salma tak mau jauh dari Andro. Meski mengambil kamar dengan kelas paling tinggi, dia memilih untuk duduk bersandar di bed tempat Andro terlelap. Satu tangannya melingkari tubuh suaminya, tangan yang lain menggenggam erat jemari kokoh yang suka sekali membelai rambutnya. Salma tak ingin tertidur barang sedetik, takut ini adalah kesempatan terakhir untuk memeluk Angkasanya.
"Sal, kenapa nangis?" Andro terbangun, mengusap lembut bahu Salma.
"Sal..., Sal takut nggak bisa meluk Mas lagi." Tangisnya tak tertahan.
"Ssstt, jangan ngomong begitu. Kita akan selalu berpelukan sampai kapanpun, Sal. Like i promised you always. Tidurlah, biar aku menjagamu."
"Sal nggak mau tidur, Sal mau begini aja." Masih sambil menangis.
Andro menggeser badannya, meminta Salma tidur di sampingnya. Jari mereka saling bertautan, kedua pasang mata sama-sama bertahan untuk tak terpejam. Sepi. Sunyi. Hanya ada doa yang terlantun dalam diam.
***
Duh, endingnya kok bikin sedih gini sih? Mama kok mendadak galak sih? Huhuhuuu....
Ketemuannya sama Zulfa masih sedikit dan no drama. Tapi next part mereka masih akan ketemuan lagi kok. Tunggu aja yaaa.
Tentang Asya, aku baru ingat kalau dia tuh udah melahirkan pas liburan semester. Wkwk... Mohon dimaklumi, udah tua, agak pelupa dan agak oleng. Tapi di part-part depan yang ada Asya udah kurevisi semua kok.
Tadinya mau dibikin si Luli kirim hampers syukuran empat bulanannya dia, gitu, tapi kayaknya aku pengen kasih tau juga ttg hamilnya Asya, karena beberapa kali ada yg nanyain ttg itu. Terus biar ada scene kepolosan Luli yg eich kyu kyu alias HQQ, wkwk.
Tolong kalau ada kejanggalan atau semacamnya aku dikasih tau ya. Akhir-akhir ini suka nge-blank gitu. Sebisa mungkin udah kucek dan baca berulang-ulang sebelum post sih (kalau pas sempet), tapi ya namanya manusia, sering ada kecerobohan yg nyelip. Hehe..
Btw, lagunya super jadoel dan mungkin banyak yg asing sama nama penyanyinya, tapi aku yakin banyak juga yg tau, terutama yang umurnya udah..., udah sama atau lebih dari aku, gituuu. Hahaha. Eh, penyanyinya aslinya orang Indonesia lho. Keturunan Maluku yg lahir di Semarang.
*dih, udah macam pengamat musik aja :D
Lagu ini tiba-tiba aja terlintas waktu sampai di bagian akhir, yg pas Salma nggak pengen tidur dan nggak pengen jauh dari Andro karena takut besok nggak bisa bersama lagi.
*Ya kali mama sekejam itu? :(
Ada cerita lucu nih, waktu suamiku denger intro lagu ini, katanya "Ini lagunya Didi Kempot kah, Ma?" Pas udah sampai reff-nya, dia bilang lagi, "Oalah, Ma, ini tuh lagu yang ini to? Nek lagu iki yo aku ngerti." Duh Gusti, aku ketawa sampai nangis. Se-campursari itukah intronya? Atau yg nanyanya aja yg rada absurd? Haha..
Dengerin lagu ini tuh selalu membawa ingatanku ke suatu malam di pinggiran kota Amsterdam. Aku sendirian memandangi jalanan dari balik jendela yg berembun (bojoku wis turu ndisik). Sepi, tenang, hangat, dan berasa banget lagi di Eropa (ini subjektivitas aku aja sih). Mungkin karena Belanda yg memberi kesan paling hangat buatku.
Dan pas aku nulis Selepas Hidayah yg settingnya banyak di Eropa, tiap kali mentok nggak ada ide, aku denger lagu ini malam-malam sambil mengingat malam waktu aku di Haarlem (padahal waktu itu aku nggak sambil dengerin lagu ini). Alhamdulillah, sangat membantu sekali memancing inspirasi
Oh iya teman-teman, aku sekarang coba nulis juga di platform yg lain yaitu KBM Apps. Yang main KBM, yuk follow akunku juga, namanya: fitrieamaliya.
Nggak ada cerita baru sih, baru BMB aja yg kupost di sana. Itu jg melanjutkan, karena dulu aku udah post dari zaman KBM masih bernama Ketix dan BMB baru dapat beberapa part.
Rencananya hanya cerita yg udah selesai di wattpad yg akan kubawa ke sana. Termasuk Mendadak Mama, aku akan publish lagi di sana yg versi aslinya atau versi wattpad, karena di versi cetak cukup banyak yg kena pangkas. Di sana juga nanti akan aku publish sampai ending seperti yang versi cetak, mungkin dengan tambahan part lagi pas Nara hamil. InsyaAllah. Sementara ini baru rencana. Hehe.
Duh, malah kepanjangan pengumumannya. Eh, atau curhatan? Wkwk...
Mohon maaf untuk segala kesalahan dan kekurangan. Dan terima kasih banyak sudah selalu mendukung aku.
Kita ketemu lagi sama Salma & Luli di part berikutnya yaaa.
See you :)
Semarang,03062021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top