23. Permusyawaratan

Sudah sebulan lebih Salma menemani Andro di Semarang. Hari-harinya masih tak banyak perbedaan dari saat awal-awal, hanya kesibukan suaminya saja yang dirasa Salma makin tak ada habisnya. Sayangnya Andro belum mengizinkan Salma memulai aktivitas berjualan, padahal hasil karyanya sudah cukup banyak untuk kembali membuka lapak.

Mama juga sudah mencarikan guru untuk mengajarinya tentang menjahit dan desain yang lebih mendalam daripada pelatihan-pelatihan yang pernah ia ikuti. Soal praktik, ia tak kesulitan karena sudah menguasai dasarnya. Mama juga mendukung dengan menghadiahinya mesin jahit keluaran terbaru, yang fiturnya lengkap sekali, tak seperti mesin jahit kuno yang ada di panti. Salma tentu saja senang. Di luar jam belajar dan mengurus pekerjaan rumah, ia memanfaatkan waktu luangnya dengan membuat macam-macam kerajinan tangan. Setidaknya ia merasa produktif di tengah-tengah kebosanan yang mulai sering melanda.

Jadwal Andro tak tentu. Kadang jam sepuluh pagi sudah di rumah, tapi siangnya pergi lagi. Suami pulang malam sudah bukan sesuatu yang asing buat Salma. Ia juga tak terlalu suka bertanya apa saja aktivitas suaminya. Selain ia percaya penuh, ia juga yakin tak akan paham kalaupun Andro menjelaskan detail apa saja yang dikerjakannya. Yang ia tahu, anak teknik memang banyak tugas, itu saja.

Seperti hari ini, Andro sudah berangkat ke kampus sejak jam sembilan pagi, dan belum pulang hingga lewat isya. Hanya beberapa kali mengirim pesan pada Salma. Menyuruhnya makan duluan, mengingatkan untuk tak lupa melepas kunci-kunci, juga mengatakan i love you di setiap penutup pesan.

Menjelang pukul delapan malam Andro baru pulang. Wajahnya terlihat letih setelah seharian berkutat dengan urusan kampus. Kuliah, praktikum, dilanjut tugas. Ranselnya ia taruh sembarang saja. Ia lalu rebahan di sofa besar depan TV.

"Capek banget ya, Mas? Mas mau Sal ngapain? Pijitin atau bikinin teh hangat, wedang jahe, susu, atau apa?" tanya Salma, yang sejak membuka pintu tak menjauh sedikitpun dari sisi suaminya.

Dengan sabar ia melepaskan kaus kaki Andro. Ia pula membuka ikat pinggang dan semua kancing baju serta celana jeans Andro agar lebih longgar dan lega.

"Susu aja ya, Sal. Jangan terlalu panas."

"Iya. Tunggu sebentar ya, Mas."

Salma ke dapur, membuatkan apa yang menjadi request si suami manja. Dua potong bolu keju menemani secangkir susu segar hangat di atas nampan. Salma menaruhnya di atas meja dengan pelan. Suara dengkur halus sudah memenuhi gendang telinganya. Ia tersenyum. Rupanya laki-laki kesayangan teramat kecapaian, sampai kantuk pun tak lagi bisa ditahan.

Diambilnya selimut untuk menutup kaki Andro. Lalu mendekatkan air cooler agar udara di sekitarnya lebih sejuk. Salma membiarkan saja suaminya untuk istirahat di sana. Kasihan kalau dibangunkan, nanti Andro suka kesulitan untuk tidur lagi, kemudian uring-uringan.

Salma suka sekali memandangi Andro saat sedang tidur. Ia merasa bebas mengagumi wajah rupawan itu tanpa perlu menyembunyikan rasa malu. Saat Andro sedang pulas-pulasnya, ia suka mengusap bulu-bulu halus di pipi Andro, membelai rambutnya yang berantakan, atau menyusuri wajah ganteng yang selalu ia syukuri keberadaannya.

Sampai saat ini Salma masih gadis. Andro bukan tak pernah menyentuhnya. Tak sekali dua kali keduanya melakukan sentuhan yang intim, hampir tiap hari malah, tapi tak pernah sampai yang satu itu. Kadang hampir kelepasan, tapi Andro seperti punya alarm yang selalu berhasil menghentikan semuanya. Salma sendiri tak tahu kenapa. Tapi meski keheranan, Salma tak pernah mempermasalahkan.

Bagi Salma sendiri, rasa malu itu sesungguhnya masih ada, tapi ia sadar diri akan kewajibannya, jadi ia --mau tak mau-- selalu bersiap kapanpun Andro menginginkannya. Tentu saja dengan syarat-syarat tertentu,  seperti mematikan lampu setiap kali mereka berduaan di tempat tidur, misalnya. Ia bahkan masih selalu berganti baju di kamar mandi. Pasangan yang aneh.

"Sal," panggil Andro, lebih mirip erangan anak kucing.

"Ya, Mas?"

"Jam berapa? Aku ketiduran ya?"

"Iya, Mas ketiduran. Enak banget kayaknya, mau bangunin jadi nggak tega."

"Maaf ya, sal. Jam berapa ini?" Andro mengulang pertanyaannya.

"Setengah sepuluh. Mas mau tidur lagi, atau mau pindah ke kamar, atau mau mandi?"

"Mandiin ya, Sal?" Salma menggeleng, wajahnya memerah seketika.

"Kamu kalau malu-malu gitu cantik banget deh, Sal."

"Mas mau mandi?" Salma mengalihkan pembicaraan.

"Iya."

"Habis mandi mau tidur lagi apa masih ada tugas?"

"Iya, masih ada yang harus dikerjakan." Andro bangkit, beranjak menuju ke kamar mandi di dalam kamar mereka.

Salma menyusul segera, memilih baju ganti yang nyaman dan menaruhnya di atas tempat tidur, lalu mengetuk pintu untuk memberikan handuk yang Andro butuhkan.

Pintu kamar mandi terbuka lebar, lengkap dengan pemandangan yang berpotensi membuat pupil mata membesar. Salma kaget luar biasa. Ia membuang muka, dan segera membalikkan badan. Tawa Andro berderai-derai. Ia suka sekali mengerjai gadisnya.

Salma menaruh handuk pada handle pintu. Masih tak mau melihat pada suaminya. Ia masih saja malu melihat Andro dalam keadaan begitu. Setengah berlari ia meninggalkan kamar, duduk di kursi makan sambil menenangkan dirinya yang gemetaran.

Ya Allah, malu banget, batinnya berulang-ulang. Tapi kejadian barusan terus terngiang. Apa yang sempat dilihatnya tadi terus membayang. Salma jadi malu sendiri. Ia mencoba menghalau ingatannya dengan membuat susu madu kesukaan Andro.

"Bikin apa, Sal?"

Sendok berisi madu yang sedang ia pegang jatuh begitu saja. Bayangan yang tadi belum juga hilang, eh, si pelaku malah muncul tiba-tiba dan mengagetkannya dari belakang. Salma sampai lemas saking kagetnya. Berusaha berpegangan pada kitchen di hadapannya.

"Ya Allah, Sal. Maaf ya. Kamu sampai kaget banget gitu. Jahat banget sih aku." Andro memeluk dari belakang. Salma membalikkan badan, menumpahkan tangis di dada suaminya.

"Kamu kenapa, Sal? Kaget banget, ya? Kok sampai nangis begini, sih."

"Mas jahat."

"Karena ngagetin kamu?"

"Karena semuanya. Sal malu. Mas jangan gitu lagi, ya."

"Malu? Malu kenapa? Lihat aku mandi tadi?" Salma diam saja, hanya satu cubitan Andro rasakan di perutnya.

"Aku malah suka lihat kamu malu-malu gitu, Sal. Jadi, sorry, aku nggak bisa janji untuk nggak ngulangin itu lagi." Andro tertawa geli, Salma kesal sekali.

"Ya udah, yuk, duduk di sofa. Kamu belum ngantuk kan, Sal?" Salma menggeleng, lalu melepaskan dirinya dari pelukan Andro. Membereskan sesendok madu yang tumpah, dan sejenak melanjutkan meracik susu madu.

Mereka duduk berdua sekarang. Andro menyandarkan kepala di bahu Salma. Mulutnya tak henti mengunyah bolu keju buatan istrinya. Kudapan paling dia sukai dan paling sering dibuat oleh Salma.

"Bolu kejumu selalu enak banget deh, Sal. Kamu kok selalu sempet, sih, bikin kudapan buat aku?"

"Ya habis mau ngapain? Sal bingung di rumah. Kurang kerjaan. Mas juga sibuk banget, waktunya habis ngurusin kuliah. Sal bosan juga, Mas. Kalau kerjaan dan lain-lain udah beres semua, kadang bingung mau ngapain."

"Muroja'ah?"

"Udah."

"Denger kajian?"

"Murottal dan kajian nggak pernah berhenti nemenin kalau Sal lagi ngurusin kerjaan rumah."

"Nonton tivi atau drakor atau series apa gitu?"

"Sal nggak suka." Salma tak terlalu suka dengan urusan yang melulu tentang dunia. Dia lebih tertarik pada sesuatu yang berhubungan dengan keterampilan atau lifeskill, yang bisa ia gunakan untuk mencari tambahan penghasilan dan menambah saldo tabungan. Itu dulu.

"Makanya, tolong izinin Sal jualan. Kan sayang, Sal punya keterampilan tapi nggak dimanfaatkan. Terus kalau Sal jualan, kan lumayan bisa nambah-nambah penghasilan buat kita, Mas." Bukan sekali dua kali Salma membahas tentang ini. Ini adalah kesekian kalinya Salma meminta izin untuk boleh berjualan lagi, bukan untuk kantongnya sendiri, tapi untuk keluarga kecil mereka.

Andro menarik napas berat. Ia paling tak suka kalau Salma sudah bicara tentang pemasukan, merasa diri kemampuannya masih jauh, kalau bisa dibilang belum ada. Ia cuma beruntung, sisa jatah bulanannya saat masih bujang dulu selalu ia biarkan mengendap di rekening. Andro bahkan tak tahu jumlahnya, dan baru benar-benar menghitung saat mau menikah dengan Salma. Untuk sementara, dari situlah dia menafkahi dirinya dan Salma. Jumlahnya cukup untuk hidup tanpa kekurangan, setidaknya sampai dia lulus dua tahun ke depan.

Dia bukan tak memikirkan sumber yang lain, tapi untuk saat ini waktu, tenaga, dan pikirannya sedang terkuras untuk urusan kuliah. Maka setiap kali Salma membicarakan tentang ini, dia merasa rendah diri. Harga dirinya serasa merosot tajam di depan sang istri.

"Mas, kok diam?"

"Aku capek, Sal. Masih ada yang harus kuselesaikan. Kamu tidurlah, udah malam. Pas aku tidur tadi, kamu pasti nggak tidur."

"Ya tapi Mas kasih izin Sal apa nggak? Sal capek gini terus, Mas. Sal bosan."

"Untuk sementara nggak usah mikirin nyari tambahan penghasilan, pemasukan, atau apapun juga. Itu bukan kewajibanmu. Menafkahi itu bagianku. Urusanku. Apa uang bulanannya kurang banyak?"

"Nggak gitu, Mas. Kok malah gini sih bahasnya. Maksud Sal kan baik, bukan soal kurang apa nggak kurang. Tapi kalau ada tambahan kan bagus."

"Ya udah deh, silakan aja kalau kamu mau cari duit atau apapun itu. Tapi aku nggak mau serupiahpun masuk ke rekening kita. Masukin aja ke rekening kamu sendiri. Udah ya, aku mau nyelesein tugas." Sebisa mungkin Andro menahan emosi. Rahangnya mengeras, inginnya segera menjauh dari hadapan Salma, daripada malah menyakiti istrinya.

"Mas, nggak gitu. Jangan marah. Sal kan cuma ---"

"Aku capek, Sal! Masih ada tugas yang harus aku seleseiin juga!" sahut Andro agak keras.

"Mas kira saya nggak capek? Saya juga bosan di rumah terus nggak ngapa-ngapain, Mas. Mas juga udah berapa hari ini sibuk terus, nggak pernah ada waktu buat saya. Saya kan manusia, Mas. Pengen ngobrol juga, pengen sharing, apalah. Mas sih seneng nggak perlu ngobrol sama saya, jadi tugasnya kelar. Mas juga tiap hari keluar, ketemu banyak orang, ketemu mantan. Nah saya? Saya tuh istri Mas, tapi tiap hari ngobrolnya sama tembok, sama loyang, sama kompor, sama bantal. Kadang juga udah masak, Mas pulangnya malam, terus nggak dimakan. Saya capek, Mas. Bosan! Saya jadi ngerasa hidup saya tuh nggak bermanfaat."

Kalau sebutan saya sudah keluar dari Salma, itu berarti dia sedang marah, kesal, sedih, kecewa, pokoknya perasaannya kepada Andro tidak baik-baik saja.

"Ya udah, kamu tidur dulu aja. Ademin hatimu, pikiranmu. Atau perlu kutemani?"

"Nggak usah! Mas urus aja tugas Mas yang lebih penting itu!" Salma menghentakkan kakinya. Lalu pergi menuju ke kamar depan.

Andro tahu, kalau Salma memilih tidur di kamar depan, itu berarti dia marah besar. Andro berlari menyusul Salma.

"Sal, jangan marah. Aku minta maaf kalau tadi bicara keras sama kamu."

Andro menyusul tepat sebelum Salma menutup pintu. Separuh badannya masih di luar, minimal pintu tak bisa tertutup. Ia meraba handle pintu, memastikan kunci tak melekat di sana agar tetap bisa memantau Salma yang sedang marah. Ini bukan yang pertama, tapi ia selalu khawatir setiap kali Salma marah padanya.

Salma langsung melompat ke tempat tidur, menyembunyikan diri dalam selimut wangi bermotif bunga-bunga kesukaannya. Bahunya naik turun dengan cepat. Ia menangis.

"Maafkan aku, Sal. Kutemani tidur ya?"

"Nggak usah. Saya dari dulu juga sendirian. Sekarang sendirian juga nggak pa-pa. Udah biasa!" Dihalaunya tangan Andro yang berusaha memeluk. Isaknya tak lagi ia tahan.

"Oke oke. Maafkan aku. Tidurlah dulu, besok pagi kita bicara lagi." Andro meraba di mana kira-kira pipi Salma berada, lalu ia memberikan kecup di sana. Di pipi putih mulus yang terhalang selimut bunga-bunga.

"I love you, Salma Andromeda. My one and only." Sekali lagi ia meninggalkan kecupan. Menambahnya dengan usapan lembut di kepala sang istri. Salma sedikit terhibur, meski ia masih kesal dan merasa marah pada suaminya.

Seperti kebanyakan laki-laki, Andro bukan tipe multitasking. Ia asyik dengan tugasnya, sampai lupa ada istri yang tadi dia tinggalkan dalam keadaan marah dan menangis. Ia baru ingat lagi pada Salma setelah dua jam lebih berkutat dengan kertas dan segala peralatan gambar.

Usai merapikan mejanya, Andro bergegas ke kamar depan. Salma tidur nyenyak dengan mata yang terlihat bengkak. Entah jam berapa dia tidur, yang jelas wajahnya menunjukkan kelelahan yang sangat. Mungkin lelah menangis, juga lelah hati. Andro merasa sangat bersalah.

Ditutupnya pintu kamar. Melepas kaus dan celana pendeknya, lalu menyusup ke dalam selimut yang sama dengan Salma. Dilingkarkannya tangan pada pinggang ramping istrinya. Tak butuh waktu lama untuk Andro larut dalam lelapnya. Tak berselang lama pula, Salma terjaga dari pulasnya.

Sebuah senyuman tergambar di wajah Salma. Ia selalu senang menikmati hangatnya pelukan Angkasa Andromeda. Tak dilewatkannya kesempatan untuk mencuri banyak ciuman. Salma sudah hafal, kalau sudah letih dengan tugas, lelakinya itu akan tidur sangat pulas. Andro tak akan terbangun hanya karena sentuhan, pelukan, atau ciuman.

***

"Mas, bangun. Udah mau subuh. Mau sholat di rumah apa di masjid." Salma mengguncang tubuh suaminya. Andro memicingkan mata, bertanya jam berapa sekarang.

"Kamu masih marah sama aku nggak, Sal?"

"Kenapa memangnya?"

"Kalau kamu masih marah, aku salat di rumah."

"Nanti Sal tambah marah deh." Salma cemberut.

"Iya iya, aku subuhan di masjid." Semangat Andro terbit demi mendengar Salma menyebut dirinya Sal.

"Boleh cium?"

"Nggak."

"Kok gitu, Sal? Masih marah, kah?"

"Gosok gigi dulu ih." Salma menjepit hidungnya sendiri, Andro tertawa. Lega. Minimal sang istri sholihah tak marah lagi kepadanya.

Pulang dari masjid, secangkir susu madu sudah tersaji di atas meja makan. Salma masih sibuk di depan kompor. Bukan duduk dan menikmati minumannya, Andro memilih memeluk Salma yang sedang memasak entah apa.

"Mas, jangan ganggu deh. Udah minum aja mumpung masih panas."

"Nanti aja deh kalau kamu udah selesai masak. Aku mau sekalian bicara, tentang yang semalam."

"Ini udah selesai kok. Cuma ngangetin rawon kemarin sore. Sayang kalau nggak dihabiskan."

Salma mematikan kompor. Mengelap beberapa bagian dapur yang kotor, lalu mencuci tangan sampai bersih dan wangi. Sepanjang itu pula Andro memeluknya sambil mengikuti ke sana ke mari. Bikin ribet saja.

"Kita mau bicara di mana, Mas? Di sofa?" Andro mengangguk, Salma dengan cekatan mengambil nampan berisi minuman mereka dan sisa bolu keju kemarin sore.

"Aku minta maaf atas kejadian semalam. Aku memang capek banget, Sal. Dan topik yang kamu angkat itu nggak populis. Setidaknya buat aku, suami yang belum punya penghasilan tetap buat menafkahi keluarga. Aku merasa ketidakmampuanku diangkat ke permukaan. Dan itu menyakitkan." Andro memulai pembicaraan.

"Iya. Sal juga minta maaf. Sal memang ngerasa bosen, tapi kemarin itu rasanya udah kesel banget. Mungkin karena PMS juga"

"Kamu haid?"

"Belum, tapi udah dekat tanggalnya."

"Ngeri ya ngadepin orang PMS. Belum nanti pas dismenore. Duh."

"Ih, nggak gitu juga kali, Mas. Lebih ngeri ngadepin orang yang tugasnya nggak selesai-selesai."  Andro terkekeh, lalu dengan usil meniup kuping Salma.

"Semalam setelah tugasku selesai, pikiranku agak ringan. Aku bisa berpikir lebih jernih dan tenang. Maafkan aku ya, Sal. Yang kamu inginkan bukan sebuah kesalahan. Yang aku lakukan padamu juga memang kurang adil. Aku sudah menjauhkan kamu dari orang-orang yang kamu sayang dengan membawamu ke sini. Tapi aku melupakan satu hal, bahwa hidupku sekarang sudah berbeda. Aku bukan cuma seorang mahasiswa, tapi sekaligus seorang suami. Aku satu-satunya yang kamu punya di sini, tapi aku malah sibuk sendiri. Terima kasih ya, Sal, udah selalu sabar menghadapi aku selama ini." Andro meraih Salma untuk bersandar padanya, menautkan jari-jarinya pada jemari Salma.

"Aku mengizinkan kamu, tapi bukan untuk jualan. Kita harus melakukan lebih dari itu. Kita nggak akan sekadar jualan, tapi kita akan belajar berbisnis. Dan aku nggak ngebolehin kamu melakukannya sendirian. Aku akan ikut berperan. Karena ini untuk kita, untuk kamu dan aku, untuk keluarga Andromeda." Wajah Salma berseri. Kedua matanya tak sedikitpun lepas dari wajah Angkasa Andromeda.

"Caranya gimana, Mas?"

"Kita mulai dengan perhitungan yang matang. Bukan cuma menghitung harga dan modal, tapi juga kita buat perjanjian dari awal tentang modal dan bagi hasil." Dahi Salma mengerut.

"Bahasanya serem amat sih, Mas? Kita suami istri lho, bukan rekan bisnis."

"No. Dalam hal ini kita akan menghitung penghasilan kita sebagai suami istri dan bukan sebagai suami istri." Kerutan di dahi Salma makin bertambah.

"Apa yang akan jadi produk kita nanti, Sal? Yang ada di benakmu?"

"Sementara sih mungkin produk hasil jahitan Sal. Sal udah ada stok yang lumayan, dan Sal juga masih punya akun jualan yang beberapa waktu ini vakum. Beberapa pelanggan malah udah nanyain. Tinggal kita aktifkan lagi jualannya. Mungkin nanti sama masakan. Soalnya dua itu yang paling Sal suka."

"Tapi janji, nanti kalau udah mulai, kamu nggak boleh ngeluh capek, bosen, dan semacamnya, terus marah-marah lagi, nangis-nangis lagi kayak semalam. Oke?" Salma meringis.

"Ya kalau itu salah satunya kan karena PMS. Dan Sal memang kesel karena Mas sibuk terus. Kita nggak pernah ngobrol banyak. Sal bahkan nggak ngerti kegiatan Mas apa aja. Mas nggak pernah sempat cerita. Istirahat sebentar, terus tugas lagi, urusan kuliah lagi. Gitu aja terus."

"Oke, bahasan jangan melebar ke mana-mana. Kita fokus dulu lanjutin bahas yang tadi. Jadi, aku akan mengeluarkan modal yang dihitung sebagai modal kita berdua, modal keluarga. Kamu udah punya beberapa produk bikinanmu yang siap dijual, kan?" Salma mengangguk, tapi masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan.

"Nah, hitunglah itu semua. Yang detail. Kalau kain berapa meter yang sudah kamu pakai, assesoris, kelengkapan, termasuk listrik, dan terutama tenaga dan pikiran yang sudah kamu kerahkan. Kalkulasikan itu semua, sedetail mungkin. Berapa jumlahnya, dan berapa modal yang akan kita keluarkan sebagai modal keluarga.

"Kita hitung dan bagi sesuai persentase. Itu nanti yang akan jadi dasar pembagian profit. Misal modal yang udah kamu keluarkan tadi 30% dari modal keseluruhan, berarti 30% hasilnya nanti hak kamu pribadi, yang 70% masuk ke rekening kita sebagai keluarga." Salma mulai paham apa yang Andro jelaskan. Ia merasa makin love banget pada suaminya.

"Untuk job desk akan kita bagi juga. Misal kamu yang handle urusan produksi, aku packing dan delivery, marketing kita urus berdua. Atau bagaimananya, nanti kita bahas lebih detail lagi. Gimana?" Andro melanjutkan, ditutup dengan pertanyaan.

"Atau kalau kamu mau yang nggak ngeluarin modal dulu, kita jualin aja produk-produk butiknya mama. Lumayan lho, brand-nya mama kan udah cukup punya nama, dan mama pasti mendukung banget. Atau kalau kamu sanggup, kita jalankan dua-duanya." Andro semangat sekali, dan itu menular pada Salma.

"Weekend ini deh kita bahas detail dan teknisnya. Sekarang kita pacaran dulu yuk. Jalan-jalan. Biar kamu nggak bosen di rumah. Ke Marina kek, apa ke Bandungan, atau ke Salatiga. Ke mana aja kamu mau."

"Mas nggak kuliah?"

"Justru karena aku cuma kuliah aja hari ini, nggak ada praktikum. Sekali-sekali Angkasa Andromeda bolos kuliah lah. Nggak megang tugas sehari juga nggak bikin aku bodoh, kan? Hari ini aku free buat kamu, Sal. Kita pergi ya?"

Salma diam saja, hanya memandangi Andro dengan binar-binar di matanya. Dia sangat bahagia. Tak hanya izin yang didapatkan, dia sekaligus melihat kedewasaan Andro menawarkan solusi yang baik untuk permasalahan dua anak muda cupu macam mereka. Lelakinya itu bahkan rela bolos kuliah demi menyenangkan hatinya.

"Kok diem aja, Sal? Terpesona ya sama aku?" Andro menggerakkan tangannya di depan wajah Salma

"I love you, Mas," ujar Salma pelan. Detik berikutnya ia naik ke pangkuan Andro dan menghadiahinya satu ciuman panjang nan memabukkan. Tapi ....

"Aduh, Mas, sakit. Uuuhh...." Salma menjauh, lalu meringkuk di salah satu sudut sofa sambil merintih kesakitan. Rupanya serangan dismenore telah datang.

***

Duh, gagal maning, Son.
Nggak pa-pa ya, Ndro, yang penting Salma udah mulai berani ngegodain kamu. Aish...

Aku update siang, karena masih ada satu hal yg harus kukerjakan alias ngejar deadline. Lagian kl malam suka kebablasan tidur. Hehe..

Part depan insyaAllah Salma ketemu 'temannya Mas yang itu'. Penasaran nggak? Penasaran nggak? Ya penasaran lah, masa enggak. Haha..

Baiklah. Sampai di sini dulu ya. Maafkan untuk kesalahan dan kekurangan. Terima kasih udah membaca. Jangan lupa follow IG dan WP-ku yaaa. Hihi.

See you :)

Semarang, 31052021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top