21. Pembicaraan

Denganmu semua air mata
Menjadi tawa sukaria
Akankah kau selalu ada
Menemani dalam suka duka
(Naif - Karena Kamu Cuma Satu)

***

Keberadaan mama meramaikan hari-hari Andro dan Salma. Letak masjid yang tak terlalu jauh membuat mama maunya salat subuh di sana. Jam empat lebih sedikit biasanya mereka sudah berjalan bertiga. Lalu bakda subuh mama ngaji dengan Salma sampai syuruq tiba. Setelahnya bertiga jalan-jalan di sekitar perumahan.

Khusus pagi ini acara jalan-jalan mama hapuskan. Puasa menjadi alasan, padahal Andro dan Salma tak keberatan. Mama bilang, "Kasihan Andro, ini pertama kali dia puasa sunnah, takutnya nanti mokel karena nggak kuat." Andro merengut. Kesal.
*Mokel (ada juga yang menyebut mokal, mukah) adalah berbuka/membatalkan puasa sebelum waktunya berbuka tiba.

Usai mengaji, mama dan menantu kesayangan sudah asyik beraktivitas di halaman belakang. Andro tersenyum melihat rona bahagia pada wajah kedua perempuan yang disayanginya. Ia menyusul dan bergabung. Salma menunjukkan perkembangan dari benih-benih yang dulu dia tanam di sepanjang sisi kanan halaman. Daun-daunnya mulai bermunculan satu dua. Meski masih sangat kecil tapi Andro sudah ikut bahagia melihatnya. Tak lupa satu kecupan ia berikan pada pelipis Salma. Gadis itu tersipu, wajahnya tampak gembira.

"Mama nggak, Ndro?"

"Iri? Bilang bosss." Andro tergelak, menjatuhkan banyak kecupan hingga basah kedua pipi mamanya. Mama menarik kaus Andro, menjadikan lap untuk mengeringkan kembali kedua pipi.

"Ke kampus jam berapa, Ndro?"

"Jam tujuh, Ma." Salma yang menjawab. Ia hafal jadwal suami tercinta sebab mereka telah bersepakat untuk menuliskan jadwal dan rencana kegiatan masing-masing --jika ada-- pada papan yang ditempel di dinding dekat pintu kamar.

"Pulang jam berapa?" Mama masih saja detail.

"Belum tahu, Ma. Kalau soal pulang tuh suka nggak tentu, tergantung kegiatan di kampus. Dosennya datang apa nggak. Kadang ada yang suka geser jam semaunya juga. Minggu depan udah mulai praktikum. Tugas juga biasanya mulai bermunculan. Belum asistensi. Salma nanti banyak di rumah sendirian,---"

"Apa sih, Mas? Sal nggak pa-pa kok, kan kita udah bahas yang beginian." Salma memelototi Andro, sebagai kode untuk menghentikan curhatnya. Ia tak enak kalau sampai mama merasa anak laki-lakinya menginginkan keberadaannya lebih lama. Tentu saja Salma suka kalau mama menemaninya, tapi dia juga tak mau pekerjaan mama jadi terabaikan, begitu pula dengan keseharian papa.

"Apa biar mama temani lebih lama? Kerjaan mama aman kok, mama tetep bisa jalankan dan handle dari sini. Insya Allah orang-orang kepercayaan mama yang sekarang bisa diandalkan dan tetap memberikan mama rasa tenang dan aman."

Sejak kejadian papa dan sejak mama mulai intens belajar agama, mama mengganti staf yang berhubungan dekat --dalam hal pekerjaan-- dengan mama. Yang dulu hanya pertimbangan profesionalitas dan target dunia, sekarang bergeser. Akhlak dan keimanan menjadi salah satu pertimbangan utama. Kenyataannya, itu membuat mama jadi lebih tenang dan nyaman dalam bekerja dan menghasilkan karya.

"Nggak usah, Ma. Salma yakin mama bisa, tapi kan ada papa dan pekerjaan papa juga, Ma. Mas nggak mau kami berjauhan. Salma yakin, papa pun demikian. Maaf ya, Ma, bukan Salma ngajarin. Tapi sebagai istri, memang suami yang harus dinomorsatukan, Ma. Apalagi anak mama udah dewasa, udah bapak-bapak."

"Harus banget bapak-bapak, ya?" Andro terkekeh, mencubit hidung mancung Salma dengan gemas. Mama sama sekali tak tersinggung, malah senang karena Salma mau mengingatkan.

"Ya udah, Ma, Andro siap-siap dulu ya." Andro meninggalkan keduanya. Salma tak mengikuti, sebab handuk dan outfit Andro hari ini sudah ia siapkan sejak tadi.

"Ndro," panggil mama lagi. Andro baru akan melewati pintu.

"Iya, Ma?" Berhenti, membalikkan badan demi kesopanan.

"Kamu naik mobil ya, motor sama STNK ditinggal."

"Siap, Bos."

Salma tak mengerti arah pembicaraan. Ingin bertanya tapi dia tahan. Nanti saja. Kalau hari ini ada sesuatu berkaitan dengan motor, baru dia akan meminta penjelasan pada Andro atau mama. Kalau tidak ada kejadian apapun, maka dia memilih untuk tak buru-buru ingin tahu.

Jam tujuh kurang Andro sudah siap ke kampus, mengenakan celana blue jins dan polo shirt biru tua yang Salma siapkan. Andro menambahkan white denim jacket hingga Samsonite hitamnya terlihat kontras melingkari bahu kanan. Rambutnya licin diikat rapi dengan karet rambut warna putih.

"Mas nggak kedinginan kan?" sambut Salma begitu melihat penampilan suami kesayangan.

"Nggak lah. Kenapa memangnya?"

"Kok pakai jaket segala, sih?"

"Nggak bagus ya, Sal?"

Salma mendekat, membisikkan sesuatu yang membuat hati Andro menghangat. "Nggak bagus gimana? Mas ganteng banget. Lepas aja deh jaketnya, Sal nggak mau Mas jadi perhatian cewek-cewek di kampus Mas. Sal nggak suka."

"I love your honesty, Sal." Andro tersenyum, mengikuti saja maunya Salma. Dilepas dan diberikannya jaket pada sang nyonya. Kalau saja sedang tak berpuasa, ingin sekali ia menyesap bibir Salma yang selalu memberi sensasi tersendiri bagi hatinya. Terpaksa ditahan dulu, hanya kecupan di kening yang menutup selebrasi pamitannya ke kampus. Tak lupa cipika cipiki untuk sang mama tercinta.

Dua jam perkuliahan terlewati, jeda satu jam Andro berniat mengisinya ke perpustakaan. Tapi ....

"Ndro, diminta ke lab mektan. Pak Iqbal mau ketemu." Fajar, kakak tingkat sekaligus asisten Mekanika Tanah, muncul di pintu kelas untuk memberitahu.

"Siap, Mas. Sekarang?"

"Sak legomu. (Seleganya kamu)"

"Nek gak lego, piye? (Kalau nggak lega gimana?)"

"Kon kewanen, Cuk. (Kamu terlalu berani, Cuk)" Fajar tertawa. Keduanya cocok karena sama-sama orang Surabaya. Fajar Surabaya coret sih, Sidoarjo tepatnya.

"Yo wis. Suwun yo, Mas, info berhargane. (Ya sudah. Terima kasih ya, Mas. Info berharganya)"

"Hargae piro? (Harganya berapa?)"

"Alah mbuh."

"Wis yo, Cuk. Salam nggo Pak Iqbal. (Sudah ya, Bro. Salam untuk Pak Iqbal)" Andro terbahak mendengar pesan Fajar.

"Wegah! (Malas!)"

Rencana nongkrong di perpustakaan terpaksa ditunda. Andro bersegera menuju laboratorium Mekanika Tanah. Walaupun rasanya malas-malasan, baginya dosen tetap sosok yang harus dihargai dan dimuliakan.

"Assalamualaikum, Pak." Tidak mengetuk pintu, karena sudah terbuka cukup lebar. Iqbal Sya'bani sendirian di dalam, menghadap Macbook dengan dahi berkerut. Sepertinya sedang serius.

"Waalaikumussalam. Eh, Angkasa. Silakan masuk. Sudah ketemu Fajar ya?"

"Iya, Pak." Andro duduk di hadapan dosen yang --tetap saja-- menjadi idolanya. Iqbal menggeser laptop agar tak menghalangi tatapan ramah pada mahasiswanya.

"Orang tua kamu masih di sini atau sudah kembali ke Surabaya?" Kesan basa basi tertangkap jelas.

"Mama saya masih di sini, Pak. Kalau papa sudah kembali ke Surabaya."

"Emm..., begini Angkasa, saya mohon maaf untuk apa yang saya lakukan pekan lalu waktu memanggil kamu ke mari. Saya terlalu dikuasai prasangka buruk sampai berbuat yang tidak seharusnya saya lakukan sebagai dosen kepada mahasiswanya. Maafkan saya."

"Eh, Pak, nggak perlu begitu juga. Saya nggak masalah kok, Pak. Justru itu membuat saya makin mudah melupakan Zulfa." Jujur sekali Andro ini.

"Mungkin memang akan banyak yang nggak yakin kalau saya bilang saya sudah berstatus suami. Nggak apa-apa, Pak, saya memaklumi. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Malah saya yang minta maaf kalau menyinggung perasaan Bapak."

"Alhamdulillah, terima kasih untuk keluasan hatimu, Angkasa. Oh, ya, istrimu..., siapa namanya?"

"Salma, Pak. Salma Andromeda." Iqbal tertawa mendengar Andro memberi penekanan pada nama belakang yang --sudah pasti-- hanya jadi-jadian.

"Kamu sayang banget ya?"

"Cinta banget juga, Pak." Wajah Andro berseri, matanya berbinar saat membahas Salma.

"Gimana ceritanya?"

"Eh, cerita apa ya, Pak?"

"Kamu. Gimana ceritanya kamu bisa menikah sama dia? Libur dua bulan kok udah ganti status aja. Nggak pacaran dulu, kan, sebelumnya?" Bicara Iqbal sudah seperti teman saja. Walaupun, yaaa..., agak kepo sih dia.

"Penting ya, Pak?"

"Nggak begitu juga. Hanya kalau kamu nggak keberatan untuk bercerita, Angkasa."

Tentu saja tidak ada keberatan sama sekali. Justru ini yang Andro tunggu. Di akhir ceritanya nanti ia ingin balik bertanya, apakah Zulfa belum tahu tentang statusnya yang baru?

Andro menceritakan dengan semangat siapa Salma, lengkap dengan profilnya yang istimewa. Bagaimana pertemuan mereka terjadi, kenapa tiba-tiba menikah, apa yang membuatnya mengambil keputusan berat dengan secepat kilat, di mana dan kapan mereka bertemu sampai akhirnya menjadi pasangan yang sah. Pokoknya memenuhi unsur 5W 1H lah.

Iqbal jadi terbawa suasana. Ia ikut bahagia mendengar perjalanan cinta mahasiswa sekaligus mantan rival baginya. Ada lega menyeruak. Bagaimanapun, posisi Iqbal adalah dosen. Sesebal apapun pada mahasiswa, ia tetaplah seorang pendidik yang memiliki rasa sayang dan peduli pada masa depan anak didiknya. Apalagi yang seistimewa Angkasa Andromeda. Maka ia turut merasakan gembira mengetahui Andro sudah lepas dari bayang-bayang istrinya.

"Saya sudah berusaha menjauhi Zulfa, Pak. Selain tidak ingin Bapak cemburu sama saya, saya juga berusaha untuk menjaga perasaan istri saya, meskipun dia nggak tahu bagaimana saya di kampus. Kami sama-sama masih muda, kadang saya yang ngemong dia, seringkali sebaliknya. Masih sama-sama belajar, Pak. Dia juga tahu tentang Zulfa. Ya kadang cemburu juga, apalagi kalau saya pulang dari kampus kelihatan gembira. Jadi suami ternyata susah juga ya, Pak." Andro sekalian curhat. Iqbal mendengarkan dengan penuh perhatian, keduanya lalu terlibat obrolan yang lebih santai.

Biarpun menjadi suami juga baru seumur jagung, Iqbal berani memberi nasihat-nasihat singkat untuk Andro. Statusnya yang lebih tinggi jelas membuatnya lebih percaya diri. Andro sendiri senang kalau ada yang bisa diajak diskusi tentang kehidupan suami istri, khususnya yang masih baru. Bagaimanapun dia butuh masukan, sedangkan yang diajak bicara tentang hal semacam ini di circle-nya sangat terbatas sekali.

"Oh iya, Pak. Kelihatannya Zulfa belum tahu kalau saya sudah menikah. Apa Bapak belum memberi tahu dia?"

Iqbal menghela napas, lalu perlahan ia lepas. "Biar dia tahu sendiri, Angkasa. Antara kamu dan saya, insya Allah sudah clear. Saya sudah lega. Kamu bahkan sama sekali tidak keberatan bercerita secara terbuka pada saya. Alhamdulillah, saya senang. Itu berarti kamu masih menganggap saya.

"Tapi ada hal-hal yang saya belum siap kalau itu berkaitan dengan kamu dan Zulfa. Dalam hal ini saya belum siap menyampaikan sendiri ke dia kalau kamu sudah menikah. Saya nggak siap menerima reaksinya. Kamu ngerti sendiri kan, dia itu polos dan lugunya luar biasa." Andro tersenyum, sembari sibuk menghalau ingatan yang mendadak hadir, tentang apa lagi kalau bukan keluguan dan kepolosan seorang Zulfa Nurulita.

"Bisa saja Zulfa gembira mendengar berita ini. Tapi ada kemungkinan juga dia akan sedih atau kecewa atau semacamnya, lalu dia menunjukkan itu di depan saya. Jujur, saya nggak siap untuk itu, Angkasa. Jadi biar saja nanti istri saya tahu sendiri tentang status kamu, entah bagaimana jalannya." Andro manggut-manggut, dalam hati merasa geli. Ternyata level cemburuannya Pak Iqbal masih sama saja dengan sebelumnya.

"Sebaliknya dengan saya dan Salma, Pak. Saya itu nggak suka kalau dicemburui. Saya kira Salma itu bukan tipe yang pencemburu, ternyata namanya pasangan di mana-mana ya sama saja, walaupun level cemburu istri saya mungkin masih di bawah rata-rata. Tapi tetap saja saya nggak nyaman, Pak. Ya kalau saya nggak ada effort untuk melupakan dan menjauhi Zulfa sih cemburu nggak apa-apa. Tapi kan saya tidak begitu.

"Mohon maaf ya, Pak. Kadang Zulfa yang seperti mendekati saya, padahal dia sendiri yang dulu bilang bahwa pertemanan kami setelah ini tentu saja berbeda. Saya tahu, itu karena polos dan lugunya itu tadi. Kadang ya ada rasa tidak tega nyuekin dia, tapi ya harus saya lakukan. Kan dia sudah punya Pak Iqbal, yang jauh lebih baik dari saya. Saya pun sama, sudah punya Salma yang, maaf, jauh lebih segalanya dari Zulfa.

"Maka saya ada keinginan untuk mempertemukan mereka. Biar kenalan, tahu satu sama lain, lengkap dengan ceritanya. Setelah itu selesai. Saya nggak mau ada beban soal beginian, Pak. Sudah cukup beban perkuliahan saja yang nggak ada habisnya."

Tawa Iqbal pecah. Ia sendiri diam-diam menyimpan kekaguman pada mahasiswa yang sedang duduk di hadapannya. Anak teknik sipil yang disibukkan dengan urusan perkuliahan yang seperti tak ada habisnya, sekaligus menjalani kehidupan pernikahan yang tantangannya luar biasa. Masih memegang tanggung jawab sebagai ketua angkatan, ditambah lagi obrolan beberapa dosen yang santer menginginkan Andro jadi asisten ataupun bergabung dalam project-nya.

"Sabar saja, Angkasa. Potensi kamu luar biasa. Biarkan semuanya mengalir, nggak perlu dipaksa. Kamu cuma harus melakukan yang terbaik seperti biasanya, dan menikmati step by step yang harus kamu lewati. Bismillah dan lillahi ta'ala."

Penutup yang singkat tapi justru sangat mengena. Andro mengucapkan terima kasih sebanyak yang ia bisa. Respeknya yang kemarin sempat meluntur, saat ini kembali full. Iqbal Sya'bani memang masih pantas ia pilih sebagai dosen idola.

Ia berpamitan. Iqbal turut berdiri, bahkan melepas Andro sampai ke pintu ruangan. Jabat erat nan hangat Iqbal berikan, pada pundak mahasiswanya ia sertakan pula dua tepukan.

Andro hendak mampir ke perpustakaan, tapi jam perkuliahan berikutnya tersisa tak lebih dari sepuluh menit. Ia memilih kembali ke kelas saja, melewati kantin sipil yang nyaris tak pernah sepi.

"Ndro, sini, gabung sama kita-kita." Andro menoleh mendengar panggilan dari Asya. Wahyudi dan Zulfa terlihat pula di sana. Ia mencoba bersikap biasa, lantas mengayun langkah ke arah mereka bertiga.

Tak memesan apapun, mengganggu es teh milik Wahyudi pun tak ia lakukan.

"Gak mangan, Bro? (Nggak makan, Bro?)"

"Gak."

"Es teh?"

"Gak."

"Poso po piye? (Puasa apa gimana?)"

"Insya Allah."

"Heh, Andro puasa? Seriusan? Dia puasa ramadhan aja sambat lemes terus," sahut Zulfa tanpa tedeng aling-aling, sampai Asya merasa harus menepuk mulut adik iparnya.

"Hush, kalau ada teman yang berubah ke arah lebih baik, jangan dikatain kayak gitu." Asya setengah berbisik.

"Sorry ya, Ndro. Adik iparku ini memang rada kurang adab. Begonya nggak habis-habis." Mendengar perkataan Asya, Luli jadi kesal, sekaligus menyesal.

"Iya, aku minta maaf ya, Ndro. Alhamdulillah kalau kamu puasa."

"Santai aja, Zul. Move on bukan berarti aku lupa semua kebiasaanmu, kan? Itu sih namanya bukan move on, tapi amnesia," jawab Andro santai, memecah ketegangan diantara orang-orang yang tahu ceritanya dengan Zulfa.

Asya lalu mengajak teman-temannya kembali ke kelas. Kata terlambat hanya ada di kamus hidupnya saat awal-awal pernikahan adik ipar dengan dosennya. Setelah semua terbuka, kata terlambat kembali ia hapus. Memang sudah paling cocok dengan dosen kaku dari fakultas teknik departemen sebelah.

Kegiatan terakhir di kampus adalah asistensi perdana sekaligus pretest untuk praktikum mata kuliah Teknik Penyehatan dan Lingkungan. Jam dua lebih urusan kampus baru kelar. Satu-satunya yang Andro inginkan adalah pulang dan rebahan. Tenggorokannya kering kerontang. Berpuasa sunnah di tengah orang-orang yang bebas makan minum ternyata cukup menantang. Andro jadi ingat, Zulfa dulu sering juga melakukannya. Sekarang mungkin tidak, sebab kondisinya sedang hamil muda.

Astaghfirullah, kenapa dia lagi sih? Kan Salmaku juga rajin puasa sunnah. Duh, hati dan pikiran suka banget nggak seiring sejalan. Ya Allah, ampuni hamba, keluh Andro dalam hati, disusul istighfar yang meluncur dari lisannya berulang kali.

Hal pertama yang dilakukan Andro begitu tiba di rumah adalah mandi. Keluar dari kamar mandi hanya mengenakan boxer saja. Salma mau mengingatkan, tapi urung ketika ingat bahwa ini pertama kalinya Andro melakukan puasa sunnah. Bahkan kalimat pertama yang dikeluarkan Andro begitu sampai rumah tadi adalah tentang cuaca yang membuatnya gerah.

Salma membiarkan suaminya untuk tidur dulu, meski hatinya ingin meminta Andro untuk tidur selepas asar saja. Dipandanginya wajah Andro yang agak kuyu. Ada rasa iba, tapi juga ingin tertawa. Ingatannya melayang pada adik-adik di panti setiap kali berlatih puasa. Dikecupnya pipi suaminya, merasai bulu-bulu halus yang berbaris rapi di sana. Salma suka. Sangat suka.

Menjelang jam lima Andro masih lelap, barulah Salma membangunkannya untuk salat.

"Aku nggak banget ya, Sal? Puasa sekali udah lemah begini. Kayak anak kecil nggak sih?" ujar Andro usai salat asar di akhir waktu. Pemuda tampan itu merasa malu, baru puasa sekali saja sudah terlihat selemah itu.

"Nggak pa-pa, Mas, namanya juga baru awal-awal. Nanti lama-lama juga terbiasa. Atau kalau Mas merasa berat, Mas nggak harus berpuasa. Ini kan sunnah, yang kalau dilakukan dapat pahala, kalau nggak dilakukan nggak apa-apa, nggak dosa."

"Tapi aku kan juga pengen dapat pahala, Sal." Andro menatap lembut istrinya. Lalu merangkul Salma mesra.

"Udah siapin buat buka?"

"Udah, Mas. Kesukaan Mas semua, mama yang kasih advis buat menunya. Ada semur bola-bola daging sama kentang, kerupuk udang, jus apel, fresh milk, apel malang, pie apel,---"

"Ya Allah, aku terlihat segitu melasnya ya, Sal? Sampai menu buka puasanya banyak dan semua kesukaanku." Andro menertawakan diri sendiri.

Bertiga buka puasa bersama, mama menjadi yang paling bahagia, rasanya ia memiliki hidup yang sempurna. Dirinya sendiri, suami, dan anak-anak yang mau belajar untuk lebih baik dalam agama. Juga dua menantu yang bisa menjadi partner anak-anaknya supaya kelak dapat berkumpul di jannah-Nya. Alhamdulillah.

Sedang bagi Andro, adanya mama membuat hidupnya terasa makin berwarna. Bagaimana tidak? Dia dikelilingi dua perempuan yang paling berarti. Keduanya juga sangat memanjakan dirinya. Hanya kurang Rea saja. Rasanya tak sabar untuk segera menyelesaikan S1-nya dan berkumpul kembali di Surabaya.

"Mas, tadi ada pegawainya papa yang ke sini ngurus motor."

Malam merayap lamban. Mama sudah sejak tadi masuk kamar, setelah rampung salat isya dilanjutkan membaca Al Kahfi bersama. Tinggallah mereka berdua, .asing-masing membawa cerita yang ingin dibagi satu dengan lainnya. Andro mempersilakan Salma lebih dulu menyampaikan yang ada di pikirannya.

"Iya, sejak aku bawa motor itu, Mas Hardi tiap bulan ke sini. Dia stafnya papa di bagian mechanical. Di luar pekerjaan, dia hobi banget soal otomotif. Pas tahu papa beli motor itu, dia lho yang paling excited."

"Terus kenapa dia yang ngurusin motor itu? Kan Mas yang bawa." Salma sudah dengar sekilas dari mama, tapi ia ingin mendengar sendiri penjelasan versi suaminya.

"Itu motor mahal, Sal. Harusnya bukan buat pemakaian harian. Aku bawa belum lama sih, baru awal semester kemarin. Itupun tahu dari foto-foto yang mama kirim, terus aku minta ke papa biar aku aja yang pakai, ---"

"Mas maksa gitu ke papa?"

"Ya boleh dibilang gitu sih. Waktu itu papa masih sama si tante jalang. Aku bisa maksa apa aja ke papa, kadang dengan alasan sepele, kalau nggak dikasih aku keluarkan ancaman. Pokoknya apa yang papa suka, kalau aku juga mau, berarti aku yang harus dapatkan. Termasuk motor itu.

"Papa yakin aku nggak akan care sama perawatannya, jadilah Mas Hardi yang diminta tolong untuk membantu soal itu. Tiap bulan dia ke sini, memastikan motor tetap baik dan terjaga perform-nya. Bukan buat kenyamananku sih, lebih ke sayang aja karena harganya. BBM-nya boros lagi. Untung aja kiriman mama nggak pernah kurang." Salma sebal tiap kali melihat kelakuan anak sultan dalam diri Andro timbul ke permukaan. Untungnya jarang kejadian.

"Sal nggak gitu paham motor, tapi yang Mas lakukan itu nggak masuk akal. Lebih ke perbuatan sia-sia. Sal nggak pengen komentar panjang lebar, cuma mau usul aja. Itu kan motor mahal, Sal juga kalau mau bonceng susah. Gimana kalau dituker aja sama motor yang biasa? Minimal yang Sal bisa ikut pakai, yang matic-matic gitu. Jadi Sal nggak harus nunggu Mas kalau butuh belanja-belanja yang sifatnya dadakan gitu. Kalau ditukerin motor dua dapat nggak, Mas?" Tawa Andro pecah membahana. Salma tak paham kenapa.

"Astaghfirullah hal adzim," gumam Andro setelah tawanya mereda.

"Kukasih tahu ya, Sal. Itu motor kalau mau kamu tukerin matic yang harga 15 jutaan, bisa dapat 40 unit Sal."

Mata bening Salma membelalak lebar. "Mana ada motor harganya segitu?!" Baru kali ini Salma super ngegas.

"Lah ada, lha itu yang kupakai."

"Sal nggak ngerti jalan pikiran orang kaya!" Masih ngegas.

"Itu papa yang beli, Sal."

"Mas nih parah banget ya?! Sal lebih nggak ngerti lagi jalan pikirannya Mas!" Salma membuang napas kasar, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Napasnya tersengal, menunjukkan kalau dia teramat kesal. Andro jadi bingung, kenapa Salma tiba-tiba terlihat sangat marah hanya gara-gara pembicaraan tentang motor.

"Aku nggak ngerti apa penyebab marahmu. Nanti kalau sudah lega, tolong kasih tahu aku, ya. Sekarang aku mau makan pie apel buatanmu lagi. Enaknya bikin nagih, persis kayak kamu. Enakmu bikin aku ketagihan. Number one pokoknya." Dua kalimat terakhir Andro bisikkan tepat di telinga Salma. Mau tak mau senyum Salma mengembang, meski ia berusaha menahan dan menyembunyikan.

"I love you, Sal. Jangan lama-lama marahnya ya, nanti aku kangen." Andro mengecup kepala Salma sebelum berlalu meninggalkannya.

"Mas." Baru juga mau membuka pintu, satu panggilan menghentikannya.

Andro balik kanan maju jalan, memenuhi panggilan istri kesayangan. Salma mencoba mengatur napas, berusaha menenangkan diri agar dapat berbicara tanpa menyertakan emosi.

"Sal nggak suka Mas kayak gitu. Kalau papa mau beli sesuatu yang harganya selangit, Sal bisa ngerti. Papa udah bisa menghasilkan jauh lebih banyak dari yang dikeluarkan untuk membeli sesuatu itu. Papa udah melalui kerja keras, jatuh bangun, susah payah sampai mencapai titik bisa punya segala sesuatu yang diinginkan. Tapi nggak demikian sama Mas.

"Mas dengan semaunya memaksa untuk memakai sesuatu yang papa beli dengan hasil keringatnya. Sesuatu yang mungkin menjadi keinginan besar papa, hobi, atau semacamnya. Terus Mas nggak mau tahu pula urusan perawatan dan menjaganya, bahkan bahan bakarnya. Itu menunjukkan kalau Mas nggak punya tanggung jawab.

"Tapi soal itu Sal masih maklum sih. Kebiasaan dalam hidupnya Mas sejak kecil jelas punya pengaruh besar. Begitu juga dengan kekecewaan yang pernah Mas alami, khususnya berkaitan dengan papa."

"Jadi, apa yang bikin kamu marah begitu, Sal?" Bukannya menjawab, Salma justru menangis tersedu-sedu.

"Sal tuh kesel. Sal nggak ngerti jalan pikiran orang kaya. Uang segitu banyak cuma buat beli motor. Itu di panti bisa buat hidup kami berapa lama coba, Mas? Sal jadi nelangsa. Sal jadi sadar, ternyata perbedaan antara Sal sama Mas itu kayak langit sama bumi. Sal kesel banget. Sedih. Sal ingat Bu Miska. Ingat adik-adik di panti. Sal ...." Tak bisa lagi melanjutkan bicara. Napasnya Senin Kamis saking emosinya. Andro jadi serba salah. Yang bisa ia lakukan cuma memeluk dan menenangkan.

"Aku minta maaf, Sal. Aku nggak kepikiran sampai ke situ. Tapi kamu udah membuka mataku, membuka pikiranku. Besok motor itu kukembalikan ke papa. Kita beli yang kamu juga bisa pakai. Terserah mau satu atau dua, sesuaikan saja dengan kemampuan kita. Tentang sejauh mana kemampuan kita, aku serahkan ke kamu untuk menilainya.

"Maafkan aku ya, Sal. Maafkan aku yang masih bodoh soal mengelola keuangan. Maafkan aku juga yang belum punya kemampuan untuk menghasilkan uang. Belum bisa mencari nafkah buat keluarga kecil kita sebagaimana pemimpin rumah tangga pada umumnya. Maafkan aku, Sal. Semoga kamu masih ikhlas jadi makmum untuk imam seamatir aku."

Andro memeluk erat Salmanya. Sakit sekali rasanya tak bisa memberikan yang terbaik untuk orang yang dicinta. Ia merasa jauh lebih buruk dari papanya. Harga dirinya sebagai seorang pria merosot ke titik terendah. Ia hanya sebisa mungkin menahan agar matanya tak basah, meski pandangannya sudah mulai mengabur.

Salma melonggarkan pelukan, menatap dalam pada mata suaminya, "Mas nggak boleh ngomong gitu. Mas nggak kayak gitu. Mas suami yang baik, pemimpin yang baik, imam yang baik buat Sal. Sal sayang sama Mas. Sal minta maaf kalau gara-gara omongan Sal, Mas jadi merasa seperti itu. Mas harus maafin Sal. Sal sayang sama Mas. Sal cinta sama Mas. Sal akan selalu sama Mas apapun yang terjadi. Mas udah selalu mengusahakan yang terbaik buat Sal. Sal yakin, Mas akan selamanya begitu. Buat Sal, buat anak-anak kita nanti."

Salma menangis lagi, membenamkan wajah ke dada Andro, yang justru buru-buru melepas Salma dari dekapannya.

"Kamu udah pengen punya anak ya, Sal?" Salah fokus. Andro menatap tajam pada mata bening perempuannya.

"Ehk, k-kalau soal itu, S-Sal t-terserah Mas aja. Sesiapnya Mas aja."

"Aku kayaknya udah siap prosesnya, tapi kayaknya belum siap punya anaknya. Kalau kamu Sal?"

"Ehk, S-Sal b-belum siap prosesnya, t-tapi Sal insya Allah siap p-punya anaknya. T-tapi Sal t-terserah Mas. Kalau Mas siap semua, Sal j-juga siap. Tapi ---"

"Kalau aku sekarang siap semua, berarti kamu juga siap?"

"Ehk, S-Sal, emm..., i-itu..., emm..., anu...."

"Tenang aja, Sal, aku juga kayaknya belum siap kok. Besok kita ngobrol sama mama ya. Mama sama papa dulu waktu nikah juga menunda punya anak sampai agak lama, tapi kayaknya nggak menunda proses pembuahannya. Eh, maksudku pembuatannya." Andro terkikik atas kesalahan yang disengaja.

"Eh, t-tapi apa nggak malu bahas ginian sama mama, Mas?"

"Ya malu sih, tapi kan kita juga mau, Sal."

"Eh, m-mau apa memangnya, Mas?"

"Mau tidur, Sayaaang." Andro gemas, mengacak rambut Salma dengan keras. Cubitan kecil menghujani perutnya.

Kehidupan pernikahan memang demikian. Ada naik ada turun, ada sedih ada gembira, ada kegalauan ada harapan .... Tapi ada satu yang paling menyenangkan, yaitu bahwa setiap kisah selalu bisa dibagi bersama.

***

Gini ya menikah muda, bicara soal kesiapan mesti nyari advis dulu ke mama :p

Kenapa mesti mama sih?
1. Karena mama pernah menjalani sendiri, jadi udah jauh lebih pengalaman
2. Karena seperti apapun kekonyolan anaknya, mama adalah orang yg akan selalu bisa menerima

Aish, mengharu biru.

Lagunya favoritku banget. Selain memang banyak lagu Naif yg kusuka, aku kalau denger lagu ini juga mesti langsung kliknya ke suami. Karena memang..., "Dengannya semua air mata, menjadi tawa sukaria." *eaaakk

Part ini --seperti biasa-- ngalor ngidulnya warbiyasak. Dari bahas mama, kemudian trio Asya, Yudi, Zulfa, muncul pula si Fajar, terus Iqbal, Mas Hardi, motor, sampai bahas kesiapan. Bener-bener absurd (yang nulisnya), hahaha...

Maafkan yaaa.
Tetap boleh berkomentar apa saja kok, aku tetap dg senang hati membaca. InsyaAllah diusahakan untuk selalu balas komentar teman-teman semua.

Terima kasih udah setia menunggu dan membaca, gimanapun bentuk tulisanku. Wkwk...

I love all. Yang belum follow wattpadku dan instagramku, kuylah difollow. Cari aja: fitrieamaliya
*cieee, fakir followers nih yeee :D

See you :)

Semarang, 24052021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top