20. Kebetulan
Senin pagi. Sejak usai subuh, papa sudah bersiap pulang ke Surabaya. Sendiri, sebab mama masih akan menemani Andro dan Salma sampai weekend berikutnya. Mama sudah meminta Dimas dan Rea tinggal di rumah Pakuwon untuk sementara, sampai mama pulang. Tentu saja papa yang akan menjemput lagi ke Semarang.
"Jangan ngerepotin anak-anak lho, Tam. Jangan kebanyakan ceramah sama mereka juga. Sering-sering telepon aku ya, nanti aku rindu. Dan jangan bosan-bosan memaafkan aku. I love you, Tam. Terima kasih sudah bersabar ngadepin aku. I miss you," pamit papa pada mama, lengkap dengan pelukan yang erat dan lama.
"Apa sih, Pa? Lebay banget. Belum juga pergi udah i miss you aja." Andro menertawakan kelakuan papanya yang menurutnya seperti ABG, Angkatan Bapak Gue. Satu cubitan kecil membuat pinggangnya nyeri. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Salma.
Papa dan mamanya cuma tertawa, lalu menyuruh Andro menyiapkan mobil dan meminta Salma membantu membawakan kopernya. Papa cuma mau 'mengusir' keduanya, sebab ingin mencium mama sebelum pergi.
"Baik-baik ya, Tam. You're the best i ever had. Just you, Tam. Maafkan aku." Mama terkekeh, menyeka dua bening yang turun dari kedua netra Antariksa.
"Setengah tahun kita nggak jauh-jauhan agak lama gini, ya? But don't you worry, Ik, I'll be fine here. Aku bahagia bisa nemenin anak-anak di sini."
"Kamu nggak bahagia sama aku, Tam?"
"Ish, gak ngono juga kali, Ik. You're the greatest happiness in my life. Aku nemenin anak-anak dulu di sini, kamu nemenin anak-anak di sana. Insya Allah kita bareng lagi, soon. I love you." Mereka berciuman lagi, tak sadar ada sesosok usil yang berdiri mengawasi.
"Cieee, hot couple. Tiru aaah."
Sejoli senior buru-buru melepas keintiman. Tangan mama terulur ke kuping Andro, membuatnya merah tanpa bisa ditawar. Anak lanang malah tertawa menggoda, membuat Salma yang baru menyusul masuk jadi bingung.
"Ah, kamu telat, Sal. Jadi nggak kebagian adegan dewasa, deh." Salma makin kebingungan. Andro malah menariknya sampai tak berjarak. Bibir Andro mencari kehangatan pada bibir kemerahan milik Salma.
Tanpa pikir panjang Salma mendorong Andro dengan keras. Wajahnya merah padam, antara malu dan menahan kemarahan.
"Maaf, Ma, Pa. Maaf." Salma memohon-mohon. Matanya berair. Jelas sekali ia merasa ketakutan. Lebih tepatnya tak enak hati pada mama dan papa yang melihat kejadian barusan. Salma tak suka dengan apa yang dilakukan Andro.
"Sal, jangan marah. Yang tadi itu cuma bercanda. Aku cuma mau membalas mama papa, menunjukkan kalau aku juga bisa karena aku punya kamu." Salma tak peduli suaminya berkata apa. Ia masih terus meminta maaf pada mama dan papa.
Sambil tertawa mama menarik Salma ke dalam peluknya. Menantu kesayangan meluapkan tangis disertai permintaan maaf, juga kalimat yang menunjukkan ia tak suka pada apa yang dilakukan Andro baru saja.
"Nggak apa-apa, Salma. Andro ya begitu itu. Mama sama papa nggak masalah kok, itu sesuatu yang wajar dilakukan oleh suami istri. Apalagi pengantin baru seperti kalian. Udah ya, jangan nangis. Nanti malah papamu ketinggalan pesawat. Andro biar nanti mama jewer lagi." Andro merasa sangat berdosa. Inginnya memeluk Salma, tapi ia harus buru-buru mengantar papa ke bandara.
"Maafkan aku ya, Sal. Kalau mau marah, tolong simpan dulu. Nanti aku pulang dari kampus, kamu boleh keluarkan semua marahmu ke aku. But you must know that i love you." Andro mengecup pipi mamanya, lalu beralih pada puncak kepala Salma. Mengatakan i love you sekali lagi, sambil mengusap kepala istrinya.
Mama dan Salma melepas dua laki-laki kesayangan. Hanya Andro dan papa yang pergi ke bandara, sebab Andro akan langsung ke kampus setelahnya. Perkuliahan mulai aktif pekan ini.
Di bandara Andro sama sekali tak turun, ia langsung tancap gas setelah menurunkan papa di dekat gate keberangkatan. Pukul tujuh lebih sedikit, mobil Andro sudah sampai di area kampus. Begitu memasuki departemen teknik sipil, HRV putih menyusul tepat di belakangnya, dan beberapa saat berikutnya mengambil posisi parkir tepat di sebelah mobilnya.
Andro buru-buru menyambar ransel dan meninggalkan mobil. Tapi....
"Ndro, tunggu." Ditariknya napas sebelum menoleh ke arah sumber suara. Bersiap menerima tatapan tak mengenakkan dari dosen idola.
"Eh, kamu, Zul?" Basa-basi sekali.
"Iya. Aku sendirian, Pak Iqbal ada seminar di Jakarta."
"Oh."
Pantesan parkirnya nggak di parkiran dosen, batin Andro.
"Bareng ya, Ndro, ke kelasnya."
"Eh, nggak usah aja, Zul. Aku nggak enak, nanti kalau ada yang lihat dan lapor ke Pak Iqbal, aku lagi yang salah."
"Gitu, ya?" Zulfa tertawa.
"Dia memang nyebelin ya kalau udah cemburuan gitu? Tapi sekarang udah nggak lagi kayaknya, Ndro. Kemarin dia bilang begitu. Biasanya kalau mau pergi ninggalin aku gitu suka pesen-pesen yang berhubungan sama kamu. Jangan dekat-dekat, nggak usah tergantung lagi, dan sebagainya." Bukan Zulfa kalau nggak polos dan apa adanya.
"Katanya Sabtu kemarin ketemu kamu di bandara, dan dia janji nggak akan jealous-jealous lagi tentang kamu. Gitu katanya. Emang kalian ngobrolin apa sih?"
Andro malah bingung, hatinya bertanya-tanya, Memangnya Pak Iqbal nggak cerita apa, kalau aku udah punya istri?
"Nggak ngobrol banyak sih, Zul. Kamu tanya sendiri aja deh ke beliaunya."
"By the way, Ndro. Itu mobil kamu ya ternyata? Akhir-akhir ini aku sering lihat mobil kamu di Madina lho."
"Eh, m-mungkin cuma sama mobilnya aja, Zul."
"Nggak, ah. Mobil kayak gitu kan jarang ada, Ndro. Aku aja kalau bukan karena kakak iparku ada yang punya juga nggak ngerti ada mobil kayak gitu. Lagian, plat nomornya juga L." Andro jadi merasa bodoh, buat apa pakai berkelit segala.
"Jadi bener kan? Kamu sekarang sering ke Madina, ya? Apa pacarmu tinggal di sana?"
"Kayaknya bukan urusan kamu deh, Zul." Zulfa menatap tak suka atas jawaban teman baiknya.
"Eh, Ndro. Kita ada yang satu kelompok nggak semester ini?" Zulfa mengganti bahan pembicaraan.
Jawabannya tentu saja tak ada. Kalaupun ada kelompok yang anggotanya ditentukan dosen, Andro segera melobi untuk bisa bertukar dengan lainnya. Reputasinya yang baik memudahkan dia berkomunikasi dengan dosen mana saja, kecuali Iqbal Sya'bani. Kira-kira begitu.
"Alhamdulillah nggak ada, Zul. Kamu bebas dari aku, aku bebas dari kamu. Kita bebas dari dicurigai atau dicemburui Bapak Iqbal Sya'bani."
"Udah sih, Ndro, nggak usah bahas itu lagi. Satu kelompok juga nggak apa-apa kok sebenernya, Kak Iiq udah kuceritain panjang lebar kalau aku banyak berhutang budi sama kamu. Lagian, cuma kamu yang bisa bersabar ngejelasin materi ke aku, jadi---"
"Itu dulu, Zul. Sekarang kan udah ada Pak Iqbal. Malah keilmuan dan kepintarannya jauh lebih-lebih dari aku. Beliau juga sabar ngejelasin sesuatu. Sama mahasiswa aja baik, apalagi sama kamu. Udah ya, nggak usah dibahas." Bayangan wajah Salma, yang ia tinggalkan dalam keadaan marah dan kecewa, berkelebat di benak Andro. Rasanya ingin menghilang dari hadapan Zulfa Nurulita, yang bukannya menghindar malah seperti sengaja mendekat saat bertemu dengan dirinya.
"Iya, deh. Eh, by the way, jadi bener kamu sekarang punya pacar ya, Ndro?"
"Iya." Singkat saja. Malah ia inginnya tak ada lagi pembicaraan diantara mereka. Untuk membuka statusnya juga Andro belum siap, maka ia memilih menjawab sekenanya.
"Pacaran tuh lebih banyak mudharatnya lho, Ndro. Kita pernah bahas ini, kan?" Tak ada jawaban.
Beberapa meter di depan, Andro melihat Arimbi sedang berjalan. Kali ini ia sungguh berharap Arimbi menyapanya. Menggodanya juga tak mengapa. Apa saja, asal bisa lepas dari Zulfa.
"Kak Andro. Kok minggu kemarin nggak pernah kelihatan ke kampus sih, nggak ngerti ya ada yang nungguin?" Sesuai harapan, adik tingkat yang agresif itu menjadi pahlawan.
"Masuk kok, Ar, cuma di kampusnya sebentar-sebentar aja. Kan belum aktif perkuliahan, jadi mending santai aja di rumah. Masih kebawa suasana liburan." Andro menjawab ramah, memang begitu default-nya. Ia lalu mempersilakan Zulfa untuk duluan saja.
Sebenarnya Andro merasa berdosa, bukan cuma pada Salma karena ia berbaik-baik pada perempuan lain. Pada Arimbi juga, ia jadi merasa seperti pemberi harapan palsu, meski ia memang tak pernah keberatan kalau ada teman atau adik tingkat atau kakak tingkat yang membutuhkan bantuan. Huh, semua gara-gara Zulfa.
Maka begitu Zulfa tak terlihat lagi, Andro buru-buru berpamitan pada Arimbi. Gadis cantik penuh percaya diri itu terlihat berat hati, tapi kegembiraan terlihat jelas pada wajahnya. Andro jadi merasa makin berdosa.
Berjam-jam di kampus pikiran Andro tak bisa fokus. Bayangan Salma mengikutinya terus menerus. Begitu urusan kuliah selesai dan dilihatnya Zulfa masih asyik ngobrol dengan Yeni dan dua teman lainnya. Andro buru-buru ke parkiran, malas kalau harus bareng lagi seperti pagi tadi.
Hampir jam dua, ketika Salma membukakan pintu untuknya. Tak tampak sedikitpun sisa kemarahan di wajah istri tercinta. Andro langsung memeluknya.
"Maafin aku ya, Sal. Jangan kesal sama aku, nanti aku sedih."
"Ih, Mas ini kenapa sih? Pulang-pulang bilang begini," rajuk Salma manja.
"Aku nggak tenang ingat tadi pagi. Kamu dalam keadaan marah waktu aku pergi. Aku jadi kepikiran kamu terus waktu di kampus."
"Masa sih? Bukannya di kampus ada teman---"
"Sal, please. Nggak usah bahas-bahas dia terus. Udah cukup aku berhubungan sama dia di kampus, di rumah aku cuma maunya kamu dan obrolan tentang kita aja, nggak usah bawa-bawa orang lain, apalagi dia. Kamu nggak mau kan aku jadi susah move on?"
"Memangnya Mas belum move on ya?"
"Udah. Mama lagi apa?" Andro membelokkan topik. Tentang Zulfa sekarang memang sudah tak lagi menarik.
"Mama tidur kayaknya. Baru setengah jam-an masuk kamar. Kecapean habis masang anggrek yang kemarin beli." Salma mengikuti suaminya menuju kamar tempat mama beristirahat. Benar, mama sudah tidur. Andro masuk, mengecup pipi mamanya sambil berkata, "Andro love Mama."
Mamanya membuka mata sebentar, tersenyum, dan menyuruh Andro berduaan saja dengan Salma. Setelahnya mama kembali tidur, mungkin capeknya belum benar-benar hilang.
"Mas udah makan?"
"Belum. Tapi aku belum pengen makan. Kita ke kamar ya, Sal, ada yang mau aku bicarakan." Salma jadi deg-degan. Ia menyiapkan handuk dan baju ganti Andro dengan benak dipenuhi pertanyaan.
Yang pertama Andro lakukan setelah mereka duduk berhadapan adalah mengulangi permintaan maafnya atas kejadian tadi pagi. Salma meyakinkan sang suami bahwa ia sudah tak marah sama sekali. Mama menjelaskan duduk perkara yang membuat Andro nekat menciumnya di depan mama papa. Salma hanya takut apa yang mereka lakukan tidak sopan dan bahkan kurang ajar, tapi mama berhasil menenangkan dan meyakinkan bahwa Andro hanya bercanda. Mama dan papa tidak mempermasalahkan, justru sebaliknya, keduanya senang melihat kemesraan Andro dan Salma.
"Alhamdulillah kalau demikian. Jadi gini, Sal...." Pembukaan sudah Andro lontarkan.
"Tadi aku bareng sama temanku itu dari parkiran. Biasanya dia di parkiran khusus dosen, tapi kali ini nggak, karena suaminya lagi dinas ke Jakarta. Kamu ingat dosenku yang ketemu kita di bandara kemarin itu, kan?" Salma mengangguk.
"Itu suaminya, Sal. Setelah ketemu kita kemarin, dosenku bilang ke istrinya, yang intinya adalah aku sudah bukan orang yang dia cemburui. Jadi istrinya dekat sama aku pun insya Allah dia nggak akan seheboh dulu. Tapi kan nggak begitu, Sal. Akunya sendiri udah punya kamu, udah malas berdekat-dekatan sama cewek lain.
"Cuma yang aku nggak habis pikir, temenku itu belum tahu kalau aku udah punya istri. Kayaknya dosenku itu belum bilang ke istrinya tentang kita berdua. Mana istrinya kan polos gitu, dia ya santai banget deketin aku kayak dulu-dulu. Aku---"
"Mas senang kan dideketin sama dia?"
"Nggak, Sal. Sama sekali. Terserah kamu percaya apa nggak. Aku justru kepikiran untuk ngenalin kamu sama dia."
"Ehk." Kalimat terakhir Andro bikin Salma tersedak.
"Nggak ah, Mas. Buat apa juga dikenalin?"
"Ya biar dia tahu sekalian kalau aku udah punya kamu."
"Memangnya alasan Mas nyembunyiin status pernikahan kita itu apa?"
Andro merasa ini sudah pernah dibahas, bahwa ia tak mau orang menganggap Salma hanya pelarian saja. Padahal yang tahu ceritanya dia dengan Zulfa juga segelintir orang saja.
"Aku nggak rela orang menganggap kamu cuma pelarianku aja, Sal. Kamu nggak seperti itu. Kamu istimewa. Kamu justru jadi yang segalanya buat aku. Sebenarnya aku nggak berniat menyembunyikan kok, Sal, tapi aku juga nggak berniat bikin pengumuman. Kalau ada yang lihat kita atau tahu tentang kita, lalu bertanya, ya aku akan jawab apa adanya.
"Jadi gimana, Sal, kamu mau kan ketemu dan kenalan sama dia?"
"Eh, S-Sal, emm..., ng-nggak usah aja. Sal nggak keberatan kok status kita disembunyikan." Salma hanya tak percaya diri. Bagaimana bisa dia berhadapan dengan seseorang yang pernah begitu berarti di hati suaminya? Yang ada cuma akan mengecilkan hatinya saja.
"Aku yang keberatan, Sal. Aku laki-laki, ada potensi nggak stabil kalau dideket-deketin cewek lain terus. Aku harus ngebentengin diriku sendiri. Aku nggak mau kayak papa, pantang buatku melakukan sesuatu yang aku benci, dan salah satu caranya ya dengan membuat dia tahu kalau aku udah beristri. Kamu harus kenalan sama dia, ketemu langsung, jadi aku nggak usah menjelaskan panjang lebar."
"Nggak, Mas. Nggak usah dulu. Sal nggak pa-pa kok, biar gini aja dulu. Sal belum siap ketemu temannya Mas yang itu. Nanti Sal minder."
"What? Minder? Ya Allah, Salmaaa. Kamu itu lebih segalanya dari dia. Cantik, pintar, sholihah, ---"
"Tapi dia yang berhasil mencuri hatinya Mas. Bukan Sal, kan?"
"Itu nggak penting lagi, Sal. Yang paling penting buatku sekarang ya kamu."
"Tapi Sal tetap nggak mau. Sal belum siap. Sal janji deh nggak akan cemburu lagi, nggak akan curigaan, nggak akan bahas temannya Mas yang itu lagi. Ya?" ujar Salma memelas. Ada yang menggenang di kedua netra gadisnya, Andro jadi tak tega.
"Maafkan aku kalau terlalu memaksa kamu, Sal. Iya, nggak pa-pa, biar begini aja dulu. Tapi kamu tahu kan, kalau aku cinta banget sama kamu?" Salma mengangguk, lalu memeluk. Menumpahkan tangis pada pelukan hangat Angkasanya.
"Ssstt, udah berapa kali kamu nangis dalam sehari ini? Cup ya, Sal, aku nggak suka lihat kamu sedih, gitu. Kita tidur aja yuk, aku pengen dipeluk kamu." Salma tersipu. Sekali lagi menawarkan makan siang dulu, tapi Andro tetap tak mau.
Mereka berbaring berhadapan. Andro menarik Salma, menjadikan lengannya sebagai bantal untuk si gadis cantik nan baik hati. Bibirnya tak tahan untuk tak menyesap bibir Salma. Ciuman hangat terjadi tanpa direncana. Jari-jari Andro aktif menjelajah ke mana-mana. Sedangkan Salma sendiri tak ingin menolaknya. Ia biarkan saja suaminya melakukan apa yang dia suka. Kalau boleh jujur, Salma sendiri mulai menikmati sensasinya.
Pengantin muda itu terlena, terbawa gejolak yang menggelegak. Tak ada lagi jarak, hingga tak sadar kain-kain telah terserak. Lembar terakhir hampir terlempar, ketika Andro mendadak tersadar.
"Sal, kamu masih haid nggak sih?"
"Ehk." Salma kaget setengah mati. Mendorong Andro agar tak lagi ada di atas dirinya. Ditariknya selimut sampai ke batas leher. Tangannya bergerak, memastikan benteng terakhir pertahanannya masih melekat di badan. Ia menemukannya, kemudian merasa sangat lega.
"S-Sal udah ng-nggak haid. T-tapi ---"
"Aku minta maaf, Sal. Aku kebablasan lagi. Aku nggak akan menuntut lebih, kok. But please, kapan lagi aku menginginkan kamu, izinkan aku untuk melakukannya lagi, sampai sebatas ini saja. Aku janji, nggak akan dulu yang satu itu. Kamu mau, kan, Sal?"
***
Cieee, endingnya menggantung nih yeee. Salma mau nggak ya kira-kira? Hehe...
Malam Minggu, apa nih kegiatan teman-teman?
Apapun itu, semoga kalian menikmatinya yaaa.
Maafkan kalau ada scene yg agak dewasa. Berharap bahasanya masih cukup sopan, terutama untuk teman-teman yang masih jomlo. Eh, maksudku single. *piss :)
Tadinya mau kasih lagu, tapi karena satu dan lain hal, kuurungkan deh. Aku memang kebanyakan pertimbangan, ujung-ujungnya nggak jadi. Hihi...
Terima kasih banyak sudah membaca part ini. Maaf juga untuk setiap kesalahan dan banyaknya kekurangan.
See you :)
Semarang, 22052021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top