19. Menceritakan

Tahukah kamu saat kamu menangis
Adalah air mataku yang jatuh berlinang
Tahukah kamu saat kamu tersakiti
Adalah aku yang pertama terluka
(The Rock - Kamu-kamulah Surgaku)

***

"Mama di sini agak lama boleh?"

Berempat baru saja tiba di rumah sepulang dari bandara. Mama duduk selonjoran di sofa, Salma memijit kaki ibu mertua setelah lebih dulu menyajikan teh hangat dan bolu pisang di meja.

"Ya boleh dong, Ma. Kami malah senang kalau ada Mama Papa di sini. Rumah jadi ramai." Memang begitulah menurut Salma. Meski tentu saja mereka berdua tak akan bisa bebas bermesraan di sembarang tempat.

"Mau sampai kapan, Tam? Nanti ngeganggu anak-anak, lho." Papa mengingatkan. Andro dan Salma bergantian mengatakan bahwa itu bukan masalah, justru sebaliknya.

Mama dan papa sengaja hanya membeli tiket sekali jalan. Mama memang berniat tinggal sedikit lebih lama. Tetapi tidak dengan papa.

"Biar sebetahnya Mama saja, Pa. Pekan depan Mas udah mulai aktif kuliah. Katanya besar kemungkinan akan banyak di luar rumah untuk urusan kampus. Kalau ada Mama kan Salma jadi ada temannya."

"Wah, kalau sebetahnya ya bisa-bisa mamamu nggak mau pulang, Salma. Di rumah aja setiap hari sambat kangen anak lanang." Papa menimpali.

"Kalau mama nggak pulang dan papa sendirian di Surabaya, bisa bahaya, Sal. Tahu sendiri kan track record-nya." Andro bercanda. Papa dan mamanya tak tersinggung, tapi Salma memarahi suaminya lewat sorot mata. Andro tahu itu.

"Maaf, Pa. Andro becandanya keterlaluan." Meminta maaf dengan segera adalah pilihan terbaik, biarpun nanti tetap saja omelan Salma akan ia terima. Itu juga karena istrinya ingin dia menjadi lebih baik.

"Nggak apa-apa, Ndro, santai aja. Memang papa sendiri yang merusak susu sebelanga dengan nila secangkir, bukan lagi setitik. Papa yang minta maaf ya, Ndro. Nanti habis dhuhur papa mau minta tolong, bisa ya? Harus bisa!" Anaknya belum sempat menjawab, papa sudah menjawab sendiri. Andro terkekeh.

"Siap, Bos. Mau ke mana memangnya?" Papa berniat mengajak Andro ke suatu tempat tak jauh dari rumah Andro, survey lokasi katanya. Perusahaan papa berencana mengikuti tender untuk proyek di area sekitar Semarang. Alasan utamanya memperluas wilayah, alasan lain agar bisa sering-sering mengunjungi Andro. Apalagi sudah ada Dimas yang mulai diberi kepercayaan untuk ikut mengelola perusahaan.

"Mama sama Salma nggak harus ikut, kan?" celetuk mamanya.

"Ikut aja kenapa deh, Ma?" tawar Andro.

"Halah, Ndro, modus aja kamu. Paling yang kamu harapkan Salmanya kan, bukan mama? Huu."

"Waduh, Ibu Utami Wulandari tahu aja ya. Andro sekarang ini lagi nggak bisa jauh-jauh dari nyonya, Ma. Bawaannya kangen." Andro berdiri, mendekat pada Salma yang masih memijat kaki mama, kemudian ikut duduk di karpet di sebelah istrinya. Satu kecupan Andro mendarat di kepala Salma, membuat gadis itu tersipu.

Mama tertawa, senang sekali melihat anak laki-lakinya bahagia. Harapan dan feeling-nya untuk menjadikan Salma sebagai bagian dari keluarga sama sekali tak meleset. Salma tak hanya istimewa sebagai pribadi, tapi juga sebagai seorang istri, dan tentu saja sebagai seorang menantu.

"Tapi mama malas naik mobilmu, Ndro. Masuknya ribet." Mobil Andro memang pintunya cuma tiga, depan kanan kiri dan satu di belakang, jadi mama harus melompat setiap akan duduk di second row.

"Ganti mobil gimana, Ndro? Atau pakai punya mama?"

"Dih, nggak deh. Gila aja ke kampus pakai mobil Mama. Andro suka mobil itu, Ma. Nggak mau kalau suruh ganti. Mama aja yang bawa mobil kalau ke sini, kalau malas nyetir kan ada driver. Nanti di sini Andro deh yang nyetirin ke mana-mana."

"Beli mobil lagi, mau? Hadiah buat Salma, gitu." Hemm, tawaran mama menarik sekali. Nikmat memang jadi horang kayah, ingin apa-apa tinggal sebut, dan cling..., jadi kenyataan. Tapi seperti biasa, Andro yang sekarang selalu ingat untuk meminta pertimbangan Salma.

"Nanti aja, Ma, Andro ngobrol dulu sama Salma. By the way, Mama sama Papa nggak pengen istirahat dulu, nih?" Niat Andro baik, kan? Tak mau mama dan papanya capek setelah melakukan perjalanan.

"Pa, kita diusir. Dia yang mau ngapa-ngapain, kita yang dijadiin alasan," goda mamanya, tapi tetap menyetujui usul Andro. Keduanya masuk ke kamar tamu di depan. Andro dan Salma menyusul masuk ke kamar utama.

Feeling Andro kali ini meleset. Salma tak sedikitpun mengomel perkara candaan Andro pada papanya tadi. Yang pertama dibahas Salma justru kebiasaan orang-orang kaya.

"Apa orang kaya tuh mesti gitu ya, Mas? Karena punya banyak uang, pengen apa aja bisa dengan mudah kesampaian, jadi kalau pengen ya maunya dibeli aja, gitu? Nggak pakai pertimbangan panjang-panjang." Salma sungguh keheranan.

Teringat pada kehidupannya di panti. Kerja keras Bu Miska agar panti bisa tetap berjalan dengan baik, adik-adik yang secara biologis tak ada hubungan satu sama lain tapi selalu saling menyayangi, para donatur yang tak kenal pada mereka tapi tetap peduli. Salma juga teringat akan dirinya sendiri. Ia memang tak bernasib baik untuk diadopsi, tapi kesabarannya menahan nyeri setiap kali ada yang meninggalkan panti membuahkan cerita yang tak kalah manis. Meski begitu, Salma masih terkaget-kaget dengan kebiasaan keluarga suaminya yang bak langit dan bumi dengan kehidupannya sebelum ini.

"Emm, maaf, Sal. Aku nggak tahu jawabannya. Yang aku tahu, setiap aku atau Mbak Rea ingin sesuatu, kami tinggal bilang. Entah papa mama pakai pertimbangan panjang-panjang atau nggak, yang jelas apa yang kami inginkan ya kami dapatkan. Dari kecil udah begitu."

Salma memaklumi, suaminya memang masih agak jauh kalau untuk berpikir tentang mengelola keuangan, menggunakan uang, atau semacamnya, ia terbiasa dilayani dan mau apa saja tersedia. Untung Salma sudah terbiasa mengurus keuangan sendiri, dalam jumlah yang pas-pasan pula. Hanya saja Salma memang kurang menyukai gaya hidup glamour yang jatuhnya cenderung ke arah pemborosan.

"Mulai sekarang, Mas harus belajar untuk berubah ya. Kehidupan Mas udah berbeda, sekarang ini yang kita jalani adalah kehidupan rumah tangga. Sekalipun papa mama senang-senang aja bantu kita, tapi sebisa mungkin kita jangan sampai menggantungkan diri sama mama papa. Tawaran apapun, apalagi kalau itu hanya berkaitan dengan gaya hidup, lebih baik kita tolak saja dengan halus.

"Di dalam Al Qur'an surat Al Isra' ayat 27, disebutkan bahwa Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. Apalagi harta termasuk yang nanti ditanyakan di hari perhitungan, dari mana asalnya dan untuk apa digunakan.

"Rasulullah bersabda, Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang telah ia perbuat, dan tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan untuk apa saja ia membelanjakannya, dan tentang anggota badannya untuk apa saja ia gunakan. (HR. Tirmidzi)

"Sal ingin kita lebih fokus ke situ, Mas. Apa yang kita lakukan, kita dapatkan, kita beli, kita miliki, semuanya harus dipastikan kehalalannya dan digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat saja." Salma menutup pendapatnya.

"Tapi itu kan mama papa, Sal. Kalau aku insya Allah bisa sih untuk hidup sederhana."

"Iya, Mas, Sal percaya Mas bisa. Sangat bisa. Makanya sebisa mungkin kita sampaikan kepada mama papa. Pelan-pelan, jangan sampai menyinggung perasaan. Sal yakin, mama papa yang sekarang lebih mudah menerima masukan, apalagi yang berkaitan dengan keyakinan, dengan Al Qur'an dan hadits."

"Gimana ngasih tahunya, Sal?"

"Ya pelan-pelan, Mas. Nanti kita mulai dari menyampaikan pendapat kita untuk tidak menerima tawaran mama tadi. Nanti siang kalau Sal sama mama benar nggak ikut pergi, Sal akan coba sampaikan ke mama. Nggak apa-apa kan kalau Sal coba sampaikan sendiri, nggak bareng sama Mas?"

"Ya nggak apa-apa sih. Cuma..., aku sebenarnya pengen ikut nyimak apa yang akan kamu katakan ke mama, Sal. Soalnya kalau tentang begini-begini, kamu jauh lebih matang dari aku. Jadi aku bisa sekalian belajar. Maafkan suamimu yang masih cupu ini ya. But i love you so much, Sal." Lalu sempat-sempatnya Andro memberi ciuman di bibir Salma.

"Ih, apa sih, Mas?" Salma malu-malu, menikmati hangatnya kecupan Angkasa Andromeda.

"Dalam kehidupan berumah tangga kita masih sama-sama cupu kok, Mas. Cuma kalau ada pandangan kita sebagai suami istri, ada baiknya kita sampaikan kepada mama papa, biar beliau berdua juga tahu tentang itu. Jadi hidup yang kita jalani sekarang bukan cuma kehidupan sebagai anak-anak mama papa, tapi kehidupan sebagai keluarga sendiri. Insya Allah mama papa bisa mengerti. Syukur-syukur bisa ikut menurunkan gaya hidup jadi lebih sederhana lagi."

Salma tahu persis, meski keluarga suaminya punya gaya hidup yang tinggi, nilai sedekah keluarga Antariksa juga tidak main-main. Bukan hanya di panti tempatnya dibesarkan, tapi di banyak tempat. Tak hanya pribadi, tapi juga CSR dari perusahaan milik Antariksa maupun Utami. Bu Miska beberapa kali bercerita, jauh sebelum Salma masuk ke keluarga ini.

Salma tentu saja tak bisa memaksakan idealismenya. Soal kesederhanaan misalnya. Tapi ia optimis, bisa memberi masukan kepada keluarga barunya, minimal untuk mengurangi sifat hedonis yang selama ini telah menjadi bagian dari keseharian.

Bakda zuhur Andro menemani papanya pergi. Mama bersikeras untuk di rumah saja bersama Salma. Tak ada negosiasi, Andro hanya harus menerima dengan senang hati.

Kali ini bukan dapur yang menjadi tempat mama dan Salma berbincang berdua. Mereka nongkrong di teras belakang. Salma menunjukkan beberapa tanaman yang mulai memunculkan daun-daun kecil. Juga beberapa tanaman --murah-- yang ia beli di penjual bunga dekat perumahan. Mama memprovokasi menantu kesayangan untuk juga merawat anggrek seperti di rumah Surabaya. Tak cuma basa-basi, melainkan langsung membuat jadwal untuk ke nursery besok pagi.

Setelahnya mama membuka topik tentang salah satu kesukaan yang sekaligus menjadi salah satu skill Salma, menjahit dan mendesain baju. Mama tahu tentang itu dari Bu Miska.

"Kenapa nggak cerita kalau kamu suka menjahit dan desain juga, Sal?" Panggilan mama sudah sama seperti anak laki-lakinya.

"Eh, emm..., itu Salma cuma bisa-bisa aja kok, Ma, nggak yang jago atau ahli begitu. Ya pernah beberapa kali nerima jahitan, Ma, tapi seringnya sih ikut kerja yang borongan. Lumayan buat nambahin tabungan." Gadis cantik itu bercerita sedikit tentang kegiatannya di dunia menjahit. Memang belum ahli, karena memang tidak dijadikan profesi.

"Kalau belajar lagi Salma mau? Ikut kursus atau kelas, gitu. Kalau udah ada ilmunya nanti bisa mama ajarin yang lebih jauh lagi, terus bisa kerja sama dengan mama. Bikin perusahaan baru atau gimana nanti." Mama punya usaha yang bergerak di bidang fashion khususnya muslimah. Gamis, hijab, pashmina, mukena, dan semacamnya. Dari desain, produksi, sampai pemasaran, semua masih di bawah pengawasan mama.

"Emm, sebetulnya Salma senang saja, Ma. Tapi harus tanya Mas Andro dulu. Kalau mas boleh, insya Allah Salma mau banget, Ma."

"Pasti bolehlah, nanti mama yang bilang ke Andro."

"Belum tentu juga mas ngebolehin, Ma. Emm..., itu, Ma, emm..., Salma nggak boleh pergi-pergi sendiri sama Mas Andro."

"Posesif banget sih anak itu."

"Eh, bukan begitu, Ma. Sebenarnya lebih ke Mas Andro khawatir kalau Salma pergi-pergi sendiri. Mungkin karena Salma belum hafal daerah sini. Angkutan juga agak sulit, naik ojek atau taksi online kalau sendirian juga Salma nggak berani, mas juga nggak kasih izin, Ma, lebih ke menghindari fitnah. Jadi Salma cuma boleh pergi kalau diantar sama mas." Suami tercinta tetap wajib dibela dong, ya.

"Berarti tawaran mama tadi, gimana?"

"Emm, maaf, Ma, tawaran yang mana ya, Ma? Belajar jahit dan desain, kah?" Sebenarnya Salma tahu arah pertanyaan mama, ia hanya pura-pura saja.

"Beli mobil lagi buat kamu." Tepat seperti dugaan Salma.

"Oh, tentang itu ya, Ma. Emm, maaf, tapi nggak usah saja, Ma. Salma nggak bisa nyetir. Lagipula nanti jadi harus ada anggaran lagi untuk perawatan, bahan bakar, dan sebagainya. Yang ada saja sudah cukup, Ma. Mobilnya mas udah nyaman kok, Ma."

"Nggak usah terlalu dipikirin perawatan dan sebagainya itu, Sal, kan ada mama papa."

Salma menarik napas, bersiap menyampaikan sesuatu yang agak serius pada mama mertua. Tentang prinsip hidupnya dengan Andro sebagai suami istri, bukan sebagai anak-anak dari mama dan papa.

"Ma, sebelumnya kami, Salma dan Mas Andro, minta maaf." Salma menelan saliva. Sedikit tegang melihat wajah mama yang mendadak berubah serius.

"Jadi kami berdua kan sekarang sudah berkeluarga sendiri ya, Ma. Kami minta izin untuk boleh membuat keputusan berdasarkan pertimbangan kami, Ma. Maaf." Tak enak hati, Salma memilih menghentikan bicaranya sampai di sini. Ia merasa bersalah sebab mama papa sudah mendukung mereka dengan segala fasilitas yang memudahkan, tapi mereka seperti menantang, merasa bisa hidup sendiri. Sebenarnya bukan begitu sih, mereka hanya ingin lebih banyak belajar untuk kehidupan keluarga kecil mereka. Kalau terlalu banyak campur tangan berupa bantuan dan kemudahan dari orang tua, Salma khawatir mereka akan sulit mandiri dan berkembang.

"Lanjutkan, Sal. Nggak apa-apa, santai saja. Mama juga ingin tahu pandangan kalian."

"Iya, Ma. Terima kasih banyak, Ma, dan maafkan kami sebelumnya." Agak sulit, tapi Salma berusaha untuk menyampaikan apa yang tadi dibahas bersama Andro.

"Mas dan Salma sepakat untuk mulai membiasakan diri dengan kehidupan yang lebih sederhana, Ma. Kami berusaha untuk mempertemukan kebiasaan kami yang berbeda. Salma yang naik, dari hidup yang sangat sederhana menjadi lebih baik. Sebaliknya, Mas Andro menurunkan standar, dari yang biasa segala sesuatu ada dan mudah didapatkan, jadi harus lebih mengerem keinginan. Mungkin kondisi ini lebih mudah untuk Salma, Ma, tapi bisa jadi nggak demikian untuk Mas Andro.

"Salma minta maaf, Ma, kalau sebab menikah dengan Salma, Mas Andro jadi harus mengalami hidup yang lebih susah dari sebelumnya. Emm..., sebenarnya masih tergolong mewah sih, Ma, kalau buat Salma. Cuma..., mas memang jadi lebih banyak mengalah dan geraknya mungkin jadi lebih terbatas. Nggak seperti waktu masih single, yang apa-apa bisa bebas tanpa harus memikirkan hal-hal lain, terutama dari sisi pengeluaran.

"Pertimbangan lainnya, bahwa nanti di yaumul hisab, salah satu yang ditanyakan adalah tentang harta, Ma. Dari mana berasal dan untuk apa digunakan. Kami inginnya memperbaiki pola tentang itu, Ma, biar lebih tenang menyiapkan bekal akhirat." Sedikit menyinggung tentang harta dalam pandangan Islam.

"Maafkan Salma ya, Ma. Dan maafkan kami kalau Mama tidak berkenan dengan hal ini."

Mama diam, menatap menantunya dengan mata yang --lagi-lagi-- berkaca-kaca.

"Boleh mama peluk Salma?" Tak menjawab, Salma langsung memeluk ibu mertuanya, yang menangis sesenggukan di bahu menantu kesayangan. Salma mengusap lembut punggung mama sampai beliau merasa lega.

Satu kecupan mama berikan di kening Salma, kemudian menggenggam kedua tangan gadis cantik itu.

"Mama dan papa yang minta maaf, Sal. Selama ini mama dan papa terlalu memanjakan Andro dan Rea. Dari kecil kami terbiasa memiliki hal-hal yang tak dimiliki orang lain. Meski demikian, saat dewasa kami tak mau memakai fasilitas dari orang tua. Kami melakukan hal yang sama pada Andro dan Rea, sejak kecil mereka mudah memiliki apa yang mereka inginkan. Sayangnya kami belum sempat mengajarkan kepada mereka tentang kemandirian, khususnya finansial. Apalagi tentang bagaimana di akhirat nanti. Semua cuma soal duniawi.

"Kemandirian mereka terjadi bahkan karena terpaksa. Boleh dibilang kecelakaan, sebab terjadi karena kebencian kepada papanya. Mungkin juga kepada mama. Mereka menjauh dari kami, menjauh dari rumah, berusaha untuk bisa hidup sendiri. Alhamdulillah mereka bisa, tapi tidak dalam hal finansial. Mereka cuma menjauh secara fisik dan hati, tapi untuk yang satu itu, kami masih terus mendukung secara penuh.

"Allah Maha Baik. Keluarga kami kembali utuh, lalu Allah menyadarkan kami berdua bahwa dunia bukan segalanya, dan Allah berikan pula hadiah terbaik untuk anak-anak kami, untuk Andro dan Rea. Allah berikan pasangan-pasangan yang solih solihah, yang hidupnya sederhana, sehingga mau tak mau merubah kebiasaan mereka berdua.

"Untuk hal ini, kami harus mengakui bahwa kami gagal sebagai orang tua, Sal. Kami cuma nggandul aja sama kamu, sama Dimas, untuk mengajari anak-anak kami tentang hidup yang sederhana dan mandiri, yang tidak melulu tentang urusan duniawi. Maafkan mama dan papa, ya, Sal." Gantian Salma yang menumpahkan air mata. Ia merasa lancang, tapi justru mama yang berterima kasih padanya.

Mama lalu bercerita banyak, tentang badai yang pernah hampir menenggelamkan biduk keluarga Antariksa. Menjauhkan anak-anak dari sisi orang tuanya. Menjadikan Andro dan Rea anak yang lupa pada rumahnya. Bahwa kenyamanan fisik menjadi tak ada arti jika kenyamanan hati tidak terpenuhi.

"Nggak semuanya salah Iksa. Mama juga punya andil menyebabkan itu semua, Salma." Mama membuat pembelaan untuk papa.

Waktu itu eyang putrinya Andro sedang sakit yang cukup parah. Anaknya yang tinggal di Surabaya hanya dua orang saja, papanya Andro dan salah satu dari tiga adik perempuannya. Qadarullah tante bungsunya Andro itu belum lama melahirkan, dia juga punya balita, jadi agak repot kalau harus mengurus mami. Tante-tantenya yang di luar kota hanya bisa menunggui satu dua minggu, itupun bergantian. Maka mama mengajukan diri untuk mengambil alih tanggung jawab papa sebagai anak. Alasannya adalah kesibukan papa yang jauh lebih banyak, juga karena papa anak laki-laki sehingga masalah ketelatenan merawat orang sakit diasumsikan kurang dari yang perempuan.

Semua pekerjaan mama di-handle oleh orang kepercayaannya. Dua hari sekali papa akan datang ke kantor mama untuk mengambil laporan harian. Rupanya orang kepercayaan mama itu menyalahgunakan tanggung jawab yang diberikan. Hampir empat bulan mama fokus merawat mami, selama itu pula orang kepercayaan mama berusaha menggoda papa sampai akhirnya terjerat dalam hubungan terlarang.

"Ya gimana ya, Sal, mama nggak bisa menimpakan kesalahan sepenuhnya pada papa. Mama sendiri yang membuka celah untuk itu, padahal mama tahu bagaimana sepak terjang perempuan itu di luaran sana. Mama nggak peduli, yang paling penting buat mama saat itu adalah dia bagus di pekerjaan.

"Entahlah, mama sendiri juga terlalu percaya diri dan yakin kalau yang ada di hati Iksa cuma mama dan anak-anak. Apalagi waktu itu mama sedang merawat ibunya. Tapi ya namanya kucing, kalaupun di rumah dia selalu makan makanan yang bersih dan terjaga, ketika berada di luar rumah dalam kondisi lapar pula, maka disodorkan ikan asin yang kotor pun ya tetap saja dimakan. Seperti itulah Iksa waktu itu.

"Laki-laki ya begitu itu, Sal. Fitrah mereka salah satunya adalah kebutuhan biologis. Mama lalai untuk hal yang satu itu. Yang tadinya hampir tiap hari, karena kecapaian merawat mami, frekuensinya jadi jauh berkurang. Bisa jadi itu juga yang bikin Iksa sampai lepas kendali.

"Emm, soal itu, Andro gimana, Sal? Nggak bikin kamu kewalahan, kan? Kuatirnya dia sama kayak papanya. Agak high level." Pertanyaan mama memang masih relevan dengan apa yang baru dibahas, tapi ini terlalu tiba-tiba, juga terlalu privasi menurut Salma. Menohok pula.

"Ehk, i-itu, emm..., Mas Andro b-baik, Ma. Mas ng-nggak banyak menuntut Salma soal itu. Eh, s-soal apapun juga. Mas Andro baik, Ma. Baik dalam semua hal. Baik banget. Salma terima kasih sekali sama mama papa karena sudah mendidik mas dengan baik. Maafkan Salma ya, Ma, kalau masih kurang bisa melayani Mas Andro dengan baik. Masih belum jadi istri yang baik, menantu yang baik. Maafkan Salma, Ma." Rasa bersalah karena belum memberikan hak Andro sebagai suami menyeruak lagi.

Mama meyakinkan Salma bahwa itu bukan masalah. Andro bahkan selalu memberikan pujian untuk Salma di depan mama papa, yang membuat keduanya merasa begitu beruntung punya menantu macam Salma.

"M-maaf, Ma. T-terus emm..., eyang putri bagaimana waktu tahu papa begitu?"

"Itulah. Papi mami marah besar, sampai mau coret Iksa dari ahli waris. Papi mami juga yang mati-matian menyuruh Iksa menceraikan mama karena nggak bisa meninggalkan keluarga barunya. Anaknya yang di sana yang jadi alasan. Itu juga yang bikin Andro kecewa banget sama papanya

"Mama masih sangat ingat hari di waktu Iksa membawa perempuan itu ke rumah. Sujud-sujud minta maaf, tapi sekaligus minta izin untuk menikahi perempuan itu. Andro ada di rumah, sekuat tenaga membela mama. Betapa nelangsanya hati mama melihat Andro seperti itu. Dia maki-maki perempuan itu, sumpah serapah, cacian paling kasar, sampai nama-nama binatang, semua dia keluarkan. Dia pukuli papanya sambil menangis dan marah. Kelihatan sekali hatinya sangat tersakiti. Tapi apa yang dia dapat? Iksa, yang sejak Andro lahir menjadi segalanya buat dia, justru memarahi Andro demi membela perempuan itu.

"Andro masih SMP kelas tiga, Sal. Bagaimana sih, Sal, pemikiran anak umur segitu? Harusnya Iksa nggak begitu, kan? Kamu tahu apa yang Andro lakukan setelah papanya memarahi dia?" Salma menggeleng, ada yang turut sakit di dalam hatinya, ada yang panas di pelupuk matanya.

Kedua netra mama tak lagi berkaca-kaca. Tangisnya tumpah, keras pula. Salma ikut terisak-isak, tak sanggup membayangkan bagaimana patahnya hati suaminya saat itu.

"Andro diam, Sal. Diam yang benar-benar diam, dan itu dia lakukan seterusnya. Sejak itu, dia tak pernah lagi bicara pada kami kecuali hal yang penting saja. Dia menutup diri, tak hanya dari kami, tapi juga dengan lingkungan sekelilingnya. Masa SMA-nya dilewati tanpa ada sosialisasi. Dunianya cuma berputar di kamar, sekolah, toko buku, paling jauh ya lapangan golf. Yang dia pikirkan hanya bagaimana bisa menyelesaikan sekolah secepatnya, supaya bisa segera pergi dari Surabaya. Dan dia mewujudkan itu semua. SMA-nya selesai dalam dua tahun saja.

"Stress release-nya waktu itu adalah golf. Dari kecil dia sudah biasa ikut Iksa, dia bahkan jadi atlet junior waktu itu. Tapi ternyata dia punya rencana, semua yang dilakukan sampai menjadi yang terbaik adalah untuk mengecewakan papanya. Menjatuhkan harapan dan kebanggaan Iksa yang sudah dia angkat sampai ke ujung langit.

"Yang dia dengarkan dan dia ajak bicara cuma Bu Jani saja. Mama sampai menyerahkan semuanya ke Bu Jani. Ke manapun Andro pergi, yang di dekatnya ya driver dan Bu Jani." Mama berhenti, mengusap lagi kedua mata dan wajahnya yang basah.

"Lalu dia kuliah di Semarang. Menjauh dari Surabaya, menjauh dari kami, menyusul Rea yang sudah lebih dulu menjauh ke Jogja. Mama tak melarang, tapi diam-diam menyuruh orang untuk memantau Andro di sana. Mama lega, bahkan bahagia, ketika tahu bahwa di Semarang dia punya dunia yang baik. Meskipun terbatas cuma di kampus, tapi Andro terlihat senang dan bahagia berada di sana. Dia bahkan jadi ketua angkatan sampai sekarang.

"Mama sendiri heran, bagaimana bisa anak yang dua tahun menutup diri dan tak tahu bersosialisasi bisa mendadak jadi seperti itu? Dia bahkan sering dipuji di kampusnya, tak hanya sebab kepintarannya, tapi juga kebaikan dan tanggung jawabnya. Mama bangga sekali sama dia."

Rangkaian kalimat yang terakhir keluar dari lisan mama membuat pikiran Salma ke mana-mana. Tentu saja tentang teman yang sempat menempati sudut istimewa di hati Angkasa Andromeda.

"Apa karena di kampus Mas Andro ...." Salma menghentikan gumamnya, yang keluar juga tanpa sengaja. Berharap mama tak mendengar, tapi terlambat.

"Andro kenapa, Salma?"

"Ng-nggak, Ma. Nggak. B-bukan. Nggak ada apa-apa, Ma."

"Andro memang punya masa lalu dengan seseorang, Nak. Tapi itu dulu, sekarang dia sudah bahagia dengan kamu." Rupanya mama cukup peka pada apa yang ada si benak Salma.

"Maafkan dia ya, Sal. Tolong dimengerti tentang yang satu ini. Kalau ada sesuatu berkaitan dengan hal ini yang sampai membuat kamu sakit hati, sampaikan pada mama, ya, Sal, biar mama yang mengingatkan. Waktu dia bilang kepada kami mau menikahi kamu, Andro sudah berjanji akan melepaskan semua cerita tentang masa lalunya."

"Iya, Ma." Tak sanggup menjawab panjang-panjang. Andro berkali bilang, bahwa ia jauh lebih segalanya dari temannya itu, tapi cerita mama barusan mau tak mau membuatnya merasa bukan siapa-siapa. Andro bahagia di kampus, bahkan bisa mengundang perhatian karena kepintaran dan kebaikannya, tentu saja itu tak akan terjadi jika tak ada pemicunya. Salma tak bodoh untuk mengerti tentang itu.

Mama menangkap perubahan pada diri Salma. Walaupun ada yang belum tersampaikan, mama memilih untuk mengakhiri obrolan. Keduanya beranjak dari teras belakang, bertepatan suara ketukan dari pintu depan. Papa dan Andro sudah pulang.

Salma yang membuka pintu, menyambut papa dengan sopan, tapi Andro menangkap kesan bahwa kepadanya Salma bersikap malas-malasan. Itu berlangsung sampai beberapa saat. Salma terlihat lesu, kurang bersemangat.

Tak sabar. Pada mama papa Andro berbasa-basi sebentar, lantas menarik Salma ke kamar.

"Kamu kenapa, Sal?" tanya Andro to the point.

"Nggak kok, nggak ada apa-apa."

"Bibir sama hatimu nggak sinkron, Sal. Say me, Sayang. Mama ngomong apa ke kamu, kenapa kamu jadi nggak semangat gitu?" Salma tetap diam seribu bahasa.

"Ya udah, aku tanya ke mama."

Tangan Salma secepat kilat mencengkeram sikut suaminya, "Nggak usah, Mas. Nggak ada hubungannya sama mama."

"So?"

"Nggak ada apa-apa." Salma bertahan.

Andro melepas cengkeraman Salma dengan paksa, berjalan menuju pintu dengan tergesa. Salma mengejar, menarik tubuh suaminya sebelum sempat membuka pintu, lalu membenamkan wajahnya ke dada Angkasa Andromeda, terisak hebat di sana.

"Ya Allah, Sal, kamu kenapa, kok bisa nangis sampai kayak gini? Aku salah ya? Maafin aku. Menangislah, tapi janji kalau udah lega kamu harus cerita." Andro menenangkan istrinya. Dikecupinya kepala Salma sambil tak henti mengusap lembut punggungnya.

Tak sampai lama tangis Salma mereda. Andro berhasil menenangkan dan membuat Salma merasakan cinta dan kasih sayang yang begitu besar dari laki-laki yang sedang memeluknya.

Apa alasanku untuk tak percaya dan kesal dengan masa lalunya? Apa alasanku untuk masih meragukan perasaannya ke aku? batin Salma.

"Maafin Sal, Mas. Sal cemburu. Sal minder sama teman Mas yang itu. Mama cerita banyak tentang kejadian papa waktu itu, dan kata mama, setelah masuk dunia kampus, Mas berubah jadi sosok yang jauh berbeda dari sebelumnya. Jauh lebih baik. Sal mikirnya Mas bisa begitu karena rasa yang Mas punya ke teman spesialnya Mas itu. Jadi motivasi yang bisa bikin Mas menemukan kebahagiaan lagi setelah kesedihan karena papa."

Salma terisak lagi. Andro membimbing Salma menuju tempat tidur dan duduk bersisian di atasnya. Tak ada pelukan, sebab Andro khawatir Salma menemukan dadanya yang berdebar-debar. Ini bukan tentang perasaannya pada Zulfa, itu sudah selesai. Ia mencintai Salma. Sekarang ini di hatinya cuma ada Salma, dan ia tak mau menyakiti Salma. Ia hanya tak menyangka Salma berpikir sejauh itu, dan semua yang Salma katakan memang benar. Itu yang membuatnya berdebar, bukan yang lain.

Andro cuma bisa menelan saliva, menyembunyikan rapat-rapat keterkejutannya, sambil mencari kalimat untuk menghibur istrinya, bahwa semua yang Salma katakan tidak benar. Meski untuk itu dia harus berdusta.

"Aku memang berubah, Sal, tapi bukan karena perasaanku ke dia. Lebih karena aku bahagia bisa pergi dari Surabaya, bisa menjauh dari mama papa, bisa melepas urusan yang bagiku menyakitkan. Aku memang sudah berniat menjadi orang yang berbeda, karena aku sudah bosan hidup dalam kesepian. Jadi bukan karena perasaanku sama dia, Sal. Bukan. Sama sekali bukan." Meski tak benar-benar begitu, Andro hanya tak mau istrinya berkecil hati kalau tahu apa yang menjadi prasangka gadis itu benar adanya.

Hati Andro bicara, berusaha menghibur dirinya sendiri atas dusta yang terpaksa dia lakukan.

Nggak apa-apa berbohong sedikit, Ndro. Semua demi cinta dan stabilitas rumah tangga.

***

Cieee, yang sudah mikir stabilitas rumah tangga.... Semangat, Ndro!!

---

Yeaiy, udah terbuka sedikit lagi yaaa tentang cerita kelabu keluarga outer space. Agak sedih nggak sih? Huhuhuu..

Yang tanya, Kenapa Andro juga menjauhi mamanya? Kenapa mamanya nggak memilih pisah saja? Dan semacamnya..., please, simpan dulu pertanyaannya. InsyaAllah nanti-nanti akan ada. Kan nggak asyik kalau di-sok kabeh di satu part. Hehe..

4,5K+ lho ini. Mahapkeun kalau bosen. Soalnya pada bilang nggak apa-apa partnya panjang dan ngalor ngidul juga. Aku jadi tak tahu diri kaaann kaaann :D

Lagunya salah satu yg tiap dengerin bikin aku meneteskan air mata. Ini tentang orang tua ke anak-anaknya, gitu. Kalau nggak salah lagu itu Dhani bikin waktu baru-baru pisah sama Mbak Maia. Aku nggak gitu ngikutin sih konfliknya. Males. Udah kezel duluan sama Dhani gara-gara case itu. Tapi aku masih tahu sih kalau lagu-lagunya dia. Dhani bikin band apa aja pasti ada wae lagunya yang ngehits sih yaaa.

Oh ya, aku (dan suami) dulu Baladewa. Punya satu cerita yg berhubungan dg lagunya Dewa. Kejadiannya zaman aku SMA kelas satu. Sama sekali belum nyangka kalau 8 tahun kemudian akan jadi suami istri. Hahaha...

Sampai sekarang kalau pergi berdua masih suka dengerin lagu-lagunya Dewa (kalau pergi sama anak-anak udah stop lagu-lagu, nyetelnya sejarah Islam, karena anakku yg cowok suka). Paling sering sih dari album 1 dan 2.

Lah, ini kenapa malah bahas Dhani, Dewa, dan aku+suami, sih yaaa? Haha.

Baiklah, kalau begitu kita akhiri part ini sampai di sini saja. Terima kasih udah baca dan support tulisanku. Yang belum follow, bolehlah follow wp dan instagramku. Eaaak, fakir follower nih yeee :p

See you.

Semarang, 20052021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top