18. Kunjungan

Baru akhir pekan pertama Andro dan Salma di perantauan, mama sudah ribut ingin ke Semarang. Katanya tak kuat menahan kerinduan. Maklum, Andro seperti anak ayam yang baru pulang ke eraman induknya setelah sekian lama tersesat di belantara. Maka setelah nyaris dua bulan full mamanya bisa memeluk dan menciumi anaknya setiap hari, baru sepekan berpisah sudah rindu setengah mati.

Jam tujuh pagi Andro dan Salma akan berangkat ke bandara internasional Ahmad Yani. Mama dan papanya mengambil penerbangan pertama dari Surabaya, menggunakan maskapai nomor wahid milik negara. Itupun hanya tinggal kelas ekonomi yang tersedia. Herannya, mama Andro iya iya saja. Sungguh sesuatu di luar kebiasaannya.

Andro sudah mandi sejak sebelum subuh tadi. Sudah sempat jalan pagi berdua dengan capaian tiga blok pulang pergi. Juga sudah makan kudapan dan minum susu madu bikinan Salma yang selalu Andro sukai. Ia hendak mengganti baju ketika bertemu Salma di depan pintu.

"Mas mau mandi lagi?"

"Nggak ah, nggak keringetan kok. Masih seger dan wangi." Ditariknya Salma, lalu mengepit wajah cantik itu dengan ketiaknya. Tawa Andro meluncur mendengar Salma ngomel-ngomel.

"Terus Mas mau ngapain ke kamar?"

"Mau ganti baju."

"Eh, nggak usah. Mas ganteng kok pakai outfit begitu." Padahal Andro hanya mengenakan sarung dan kaos oblong warna putih.

"Ya paling nggak sisiran lah."

"Nggak boleh. Mas gantengan kalau rambutnya agak berantakan. Diikat asal aja." Andro tertawa lagi, gembira sekali mendengar setiap sanggahan Salma atas penampilannya pagi ini.

"Kamu dong yang ikatin." Salma tersipu. Tentu saja dengan senang hati ia melakukannya. Tak lupa menutup aktivitas favorit tersebut dengan mengecup kepala si suami manja.

"I love you, Salma Andromeda."

"I love you too, Mas." Satu kecupan mendarat lagi. Kali ini pindah posisi ke pipi kiri.

"Sering-sering cium aku duluan ya, Sal. Aku suka."

"Tapi kan Sal malu, Mas." Wajah cantik itu tersipu.

Tepat pukul tujuh, Jimny Sierra abu-abu meluncur meninggalkan The Madina Residence. Andro memilih menggunakan jalur biasa, ia suka berlama-lama di mobil berduaan dengan Salma.

"Mama tuh sayang banget ya sama Mas. Baru sepekan lho, udah segitunya pengen ketemu anak laki-lakinya." Obrolan tentang mama dimulai.

"Ya karena aku pernah jadi anak hilang, Sal. Dua bulan di rumah kemarin itu, mama manjain aku banget. Nggak pernah seharipun lewat tanpa pelukan mama. Sesibuk apapun, mama selalu meluangkan waktu lebih banyak buat aku daripada buat kerjaannya. Ngobrol, muter-muter naik mobil, nemenin mama belanja, nemenin aku di perpustakaan papa, ngelonin aku sampai tidur, kadang malah nyuapin aku segala. Jadi kayak rapelan, gitu.

"Mama bilang kepulanganku itu jadi momentum terbaik di hidup mama. Mama bahagia banget karena Mbak Rea udah lebih dulu pulang. Jadi liburan kemarin itu aku baru tahu kalau papa sudah kembali seutuhnya sebagai bagian dari kami. Nggak ada lagi keluarga yang lain, nggak ada lagi jalang yang pernah merebut papa dari kami, ngg---"

"Mas, bahasanya lho." Satu tepukan Andro rasakan di paha, tapi dia cuek saja.

"Sejak itu aku memutuskan untuk kembali menjadikan rumah sebagai tempatku pulang. Pulang yang sebenar-benarnya. Bukan cuma raga, tapi juga hatiku, jiwaku, rasaku..., semuanya. Dan ternyata di rumah juga aku ketemu kamu, jodohku. I love you, Salmaku." Diawali dengan mengenang masa lalu, kemudian diakhiri dengan bermanis kata. Bagus, Angkasa Andromeda.

Gawai Salma berdenting, sebuah pesan dari mama, mengabarkan kalau sudah boarding dan akan terbang sebentar lagi. Juga memberitahu kalau handphone sebentar lagi akan mama matikan.

Andro tertawa geli. Menurutnya kabar-kabar seperti itu terlalu berlebihan. Nama maskapai dan jadwal keberangkatan serta ketibaan itu sudah sangat cukup untuk menjadi patokan bagi penjemput sepertinya. Tapi ya begitulah mama, sampai mau menonaktifkan HP saja harus pakai pengumuman segala.

"Ya bagus dong, Mas. Itu berarti mama detail sekali."

"Detail tapi nggak penting."

"Tinggal jawab iya aja apa susahnya sih. Apalagi Mas tahu itu udah kebiasaan mama. Lagian, Mas kan udah lama juga nggak menghadapi kebiasaan mama, to?"

Padahal tidak. Sekalipun Andro cuek dan terkesan tak peduli pada orang tuanya, mamanya tetap tak pernah absen berkabar berita. Mau pergi ke mana, dengan siapa, urusan apa, selalu ada pemberitahuan untuk Andro. Hampir tak pernah berbalas, tapi tak membuat mama menghentikan kebiasaannya. Termasuk bertanya, sudah minum susu? Makan apa hari ini? Nugas sampai jam berapa? Dan semacamnya. Yang oleh anak laki-lakinya cuma dibaca, kemudian lenyap ditelan udara.

"Malah nggak pernah kujawab," kata Andro, singkat saja.

"Jahat." Salma yang kesal.

"Tapi laki-laki sama perempuan memang suka beda menghadapi yang seperti ini sih, ya? Sal maklum, kok, Mas. Nanti biar Sal bilang ke mama, mulai sekarang kalau mau kabar-kabar ke Sal aja. Biar nggak dicuekin sama anak lanangnya yang menyebalkan ini." Hidung mancung itu disentil oleh sang suami. Tawa riang meluncur dari keduanya.

"Iya juga ya, Sal. Papa juga gitu. Menurut papa, mama itu agak lebay soal begitu-begitu. Tapi herannya, papa ya selalu jawab setiap pesan mama yang katanya nggak penting itu."

Andro lalu tersenyum sendiri. Matanya menatap lurus ke depan, seperti melihat sesuatu nun jauh di hadapan. Salma bukan tak menyadari perubahan suaminya, ia hanya memilih diam. Kalau memang Andro ingin bercerita, tak lama lagi pasti akan keluar kata demi kata dari bibirnya. Diliriknya pemuda tampan berstatus suami kesayangan, ia lalu tersenyum sendiri melihat bulu-bulu tipis yang berbaris rapi di rahang kokoh sang suami.

Seksi, kata Salma dalam hati.

"Aku bisa kayak papa nggak, ya?" gumam Andro, seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Bukannya Mas benci sama papa?"

"Sempat. Tapi sekarang nggak lagi. Dan sebenernya, aku nggak pernah bisa...." Kalimatnya menggantung. Salma menunggu Andro menyambung. Tapi tak ada. Lelakinya hanya menatap tajam ke depan sana.

"Emm, nggak pernah bisa apa, Mas? Kenapa berhenti?"

Andro menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Aku nggak pernah bisa membenci papa, Sal." Jemari tangan kirinya terkepal, menempel kuat pada bibirnya yang tipis. Sekali lagi menghela napas, lalu mengembuskan lekas-lekas.

"Papa itu idolaku, Sal. Waktu aku kecil, papa selalu menghujaniku dengan kasih sayang. Sesibuk apapun dengan pekerjaannya, papa selalu ada waktu untuk main sama aku. Mobil-mobilan, lego, balok, juga mainan-mainan berbau konstruksi yang jumlahnya seperti nggak ada habisnya.

"Aku besar sedikit, papa suka ngajakin aku ke lapangan, ke proyek-proyek yang sedang perusahaan papa kerjakan. Membiarkan aku ikut ke sana ke mari, tapi selalu memberiku pengertian dan batasan, apa yang boleh kulakukan di sana, dan apa yang tidak boleh. Papa senang sekali memberitahuku tentang pekerja-pekerja yang ada di sana, alat-alat berat, material untuk pembangunan, sampai jenis-jenis dan tahapan pekerjaan yang dilakukan." Andro semangat sekali bercerita, bahwa sejak kecil ia telah karib dengan pekerjaan papanya di bidang konstruksi.

"Di mataku, papa terlihat begitu hebat saat bicara tentang itu semua. Saat bicara dengan tim atau kolega-koleganya di direksi keet. Saat ngobrol dengan para pekerja di lapangan. Saat bercerita padaku tentang pekerjaannya. Saat sedang serius membaca buku-buku di perpustakaannya. Semua, Sal, semua.

"That's why, aku selalu serius kalau itu berkaitan dengan urusan kuliah, Sal. Aku ingin seperti papa. Aku harus jadi insinyur yang beneran. Karena tanggung jawab engineer itu berat, terutama sipil seperti kami. Tak cuma berurusan dengan bangunan, tapi juga dengan nyawa. Kalau salah perhitungan, bisa menelan korban.

"Aku juga ingin seperti papa, yang meskipun kesibukannya sangat padat, tapi selalu punya waktu buat aku, jauh lebih banyak dari waktunya untuk mama dan Mbak Rea. Semua bilang aku kesayangan papa. Maka ketika aib itu terjadi, aku yang paling kecewa, Sal. Aku yang merasa paling dikhianati. Aku yang paling patah hati. Aku benci setengah mati sama papa, tapi...." Lagi, dia menggantungkan kalimatnya.

Salma menoleh, masih sempat tertangkap matanya saat Andro menyusut kedua sudut netra.

"Mas nggak perlu melanjutkan kalau itu membuat hati Mas sakit. Tapi kalau Mas kuat, mengulang-ulang cerita yang sama, cerita yang kita tak suka, akan membuat kita makin lama makin terbiasa. Sal pernah melakukan itu. Hanya saja, trauma healing bagi setiap orang memang tidak selalu sama. Sal sayang sama Mas." Salma memberanikan diri mengusap pipi Andro. Rambut-rambut halus yang berbaris rapi itu memunculkan desir-desir yang membuat perutnya terasa geli.

Andro menahan jari jemari Salma. Mengambil telunjuknya yang ramping dan mengecupinya hingga basah.

"Mas, j-jangan." Salma merasa aneh.

"Kenapa, Sal? Kamu nggak suka?"

"Mas udah gosok gigi, belum?" Tak jadi risih, Salma malah menggoda. Tawanya pecah melihat wajah Andro yang menunjukkan kekesalan luar biasa.

"Nih, bersihin." Andro menyodorkan hand sanitizer.

"Awas kamu ya, Sal. Nanti sampai di rumah nggak ada ampun deh." Masih agak kesal, Andro mengeluarkan ancaman yang membuat Salma teringat akan kejadian di meja makan beberapa hari lalu.

"Eh, j-jadi lanjutannya tentang papa tadi gimana?" Ada yang berusaha mengembalikan topik semula demi menghindari topik lainnya.

"Yang apa?"

"Yang Mas benci setengah mati sama papa, tapi...."

"Oh, itu. Iya, aku benci sama papa, tapi aku nggak pernah bisa berhenti mengidolakannya, Sal. Aku sampai denial. Menyangkal setiap hal baik tentang papa, segala yang kukagumi dari papa, semua yang membuat papa di hatiku adalah idola. Sampai kucoba menanamkan pada diriku bahwa papa itu brengsek, pengkhianat, mata keranjang, tukang selingkuh..., semua. Semua yang buruk adalah papa. Aku benci.

"Tapi nyatanya di hatiku yang paling dalam, penyangkalan-penyangkalan itu mental semua, papa tetap saja menjadi sosok yang kuidolakan. Makanya aku malas ketemu papa, karena akan merusak semua penyangkalan yang sudah susah payah kulakukan." Andro memuntahkan semua yang selama ini ia simpan seorang diri. Tentang hatinya, berkaitan dengan kesalahan papa.

"Udah cukup, Mas. Sebentar lagi kita akan ketemu papa. Sal nggak mau ini memicu kebencian yang mungkin masih ada." Sebenarnya Salma hanya tak kuat. Ia tak sanggup melihat mata Angkasa Andromeda saat bercerita tentang saat-saat kelam di hidupnya. Ada kesedihan yang sarat di sana.

"Kamu nggak perlu kuatir, Sal. Aku sudah berhenti. Aku sudah sehat. Aku sudah bisa menerima papa seperti dulu lagi. Papa yang sekarang bahkan jauh lebih baik. Allah sudah menjadi bagian paling penting bagi hidup papa, dan bukan lagi tentang dunia. As his son, I was very proud of him, Sal."

"Sampaikan itu pada papa, Mas. Papa pasti akan sangat bahagia," saran Salma.

"Satu lagi yang rasanya belum bisa kutiru dari papa. Papa selalu ringan menyampaikan dan menunjukkan perasaan pada orang-orang dekatnya, Sal. Sejak kecil, berkali-kali aku menemukan papa memeluk eyang sambil mengatakan rasa sayangnya, terima kasihnya, dan semacamnya. Sedangkan aku..., aku masih sering malu mengungkapkan perasaanku. Kecuali ke kamu, Sal. Iya, kamu."

"Kalau sama temannya Mas yang itu?" Pertanyaan Salma spontan saja, tapi membuat Andro tahu kalau Salma diam-diam menyimpan rasa cemburu.

"Yang mana, Sal?"

"Yang suka Mas bantuin bikin tugasnya."

"Yang mana ya, Sal? Aku beneran lupa. Keberadaanmu bikin aku amnesia tentang yang lainnya." Sok-sok mengerutkan kening, sambil mati-matian menahan tawa melihat wajah Salma yang terlihat lucu.

"Hih, gombal." Cubitan Salma mendarat di paha kiri Andro. Kecil dan kuat. Andro tertawa, meski ia merasa kesakitan oleh cubitan yang mengandung konten kecemburuan.

"Sakit, kan? Awas ya, kalau sampai berani macam-macam, Sal kasih ginian banyak-banyak." Nyonya bisa kasih ancaman juga rupanya.

Mobil memasuki area bandara. Usai parkir di tempat yang sudah ditentukan, keduanya bergegas menuju gate kedatangan. Masih ada waktu beberapa belas menit dari jadwal landing mama papa, ditambah antrian turun dari pesawat, plus beberapa pemeriksaan sebelum benar-benar sampai di pintu keluar.

Andro menawari Salma untuk melihat-lihat suasana sekitar lebih dulu. Bandara internasional Ahmad Yani memang termasuk baru, menggantikan bandara lama yang terletak tak jauh dari yang sekarang.

Salma setuju. Ia senang dengan suasana bandara yang cukup sejuk, seakan menjadi penawar bagi hawa Semarang bawah yang panasnya sebelas dua belas dengan Surabaya. Syukur kembali terucap, ia tinggal di Semarang atas yang cuacanya relatif lebih sejuk, panasnya tak sepanas dan tak sekering wilayah bawah. Mama mertua mencarikan rumah kontrakan yang tak hanya bagus dan nyaman, tapi juga di lingkungan yang menyenangkan. Selain udara yang cukup sejuk, kebersihannya sangat diutamakan, yang paling utama adalah tetangga-tetangga yang ramah dan baik hati. Salma bahagia sekali.

Denting kembali terdengar dari handphone Salma. Kabar terbaru dari mama.

[Mama papa udah landing. Kalian udah sampai kan?]

Salma membalas singkat, yang menyatakan bahwa keduanya sudah siap menyambut mama dan papa. Mama mertuanya merasa sangat gembira atas perhatian kecil dari Salma, yaitu membalas pesan, yang bagi Andro tak pernah dianggap penting.

Keduanya segera menuju gate kedatangan. Andro menggandeng Salma mesra, menggenggam erat jemari yang tetap halus meski setiap hari mengerjakan berbagai tugas rumah tangga. Andro sungguh berterima kasih pada para insinyur mesin dan elektro, yang sudah menciptakan berbagai alat rumah tangga yang memudahkan pekerjaan istrinya.

Dari kejauhan, seseorang memandang sejoli itu tanpa berkedip. Meyakinkan diri bahwa yang dilihatnya adalah Angkasa Andromeda sebab penampilannya begitu berbeda. Sarung motif garis vertikal dengan gradasi warna biru, kaos oblong putih bersih, dan sandal jepit yang harganya selangit. Rambutnya yang oleh Salma diikat ala messy man bun makin membuat pangling siapa saja yang mengenalnya.

Paling menarik untuk diamati adalah tangannya, yang tak pernah lepas menggenggam jemari perempuan muda di sebelahnya. Perempuan muda yang terlihat cantik dan anggun, meski hanya mengenakan gamis polos abu-abu tua dan jilbab motif geometris bernuansa monokrom. Kakinya terbalut flat shoes hitam yang tak mengesankan kalau harganya murahan.

"Angkasa?" Andro baru sadar ada seseorang yang mengenalnya di sana. Seseorang yang ....

"Eh, Pak Iqbal." Andro buru-buru mendekat lalu mengulurkan tangan. Tak lupa senyum paling sopan ia berikan.

"Mau jemput juga, Pak?"

"Iya. Kamu?"

"Saya jemput mama papa, Pak. Dari Surabaya."

"Bukannya pekan lalu baru dari sini ya? Abah saya cerita kalau sempat berkunjung ke Bukit Sari." Rupanya orang tua Iqbal bercerita tentang kunjungan papa dan mama Andro tempo hari.

"Iya, Pak. Sejak saya liburan lama di rumah, saya jadi dekat lagi sama mama. Setelah saya kembali ke sini, eh, baru sepekan mama udah kangen," terang Andro. Dalam hati bertanya, apakah dosennya sendirian saja atau ....

"Oh iya, Pak. Perkenalkan, ini istri saya, Salma. Salma Andromeda." Penting ya, Ndro, menambahkan namamu di belakang namanya?

Salma memandang sekilas pada Iqbal, menganggukkan kepala dengan sopan, lalu beralih memandang Andro dengan mesra. Tangan yang bergenggaman tak sedetik pun terpisahkan. Iqbal menyimpan senyumnya yang kecut.

"Kamu beneran sudah menikah ya?" Rupanya Iqbal belum sepenuhnya percaya.

"Seperti yang pernah saya sampaikan pada Bapak. Saya sudah menikah, hari ini tepat dua pekan usia pernikahan kami." Tatapan mesra Andro lempar untuk Salma sambil tangannya meremas jemari istrinya.

"Selamat ya. Kok nggak ngundang-ngundang?"

"Iya, Pak. Karena kami menikah di Surabaya."

"Teman-temanmu sudah pada ta---"

"Maaf, Pak, itu mama papa saya sudah datang. Kami izin duluan ya, Pak." Bayangan kedua orang tuanya tertangkap netra, sekaligus menyelamatkan Andro dari pertanyaan tentang status pernikahannya.

Sekali lagi Andro menyalami Iqbal, mengucapkan salam, lalu bergegas menggandeng Salma menuju mama papanya. Meninggalkan Iqbal dengan pertanyaan yang belum sempat diselesaikan.

Kedua netra Iqbal mengekori langkah mahasiswa yang sempat menjadi rivalnya. Ada rasa lega mengetahui status si mahasiswa yang --ternyata benar-- telah berbeda dari sebelumnya. Apalagi melihat perempuan muda yang bersama Andro. Iqbal yakin, Angkasa Andromeda sudah bukan lagi seseorang yang patut dia cemburui. Ia bahkan merasa perlu meminta maaf. Mungkin pekan depan saat di kampus.

Iqbal Sya'bani masih mengamati anak didiknya yang sedang melepas rindu dengan kedua orang tuanya. Pelukan mamanya yang begitu lama, kedekatan Andro dengan papanya, juga keakraban Salma dengan kedua mertuanya. Iqbal makin merasa bersalah telah menempatkan Andro pada posisi pecundang. Ia masih terus mengamati sampai Andro dan keluarganya selesai sambut menyambut, kemudian bersiap meninggalkan gate kedatangan. Iqbal diam-diam melipir, menjauh dari jangkauan pandang salah satu mahasiswa terbaik di departemennya.

"Andro kelihatan lebih berisi ya?" komentar mama saat mobil mulai bergerak meninggalkan bandara.

"Iya, Ma. Sal manjain Andro banget. Baru seminggu, berat badan udah naik aja 1,8 kilo, lagi dua kilo nih. Kalau diterus-terusin bisa buncit nanti. Amit-amit deh, Andro emoh. Kamu harus tanggung jawab lho, Sal." Pasangan muda bertukar pandang melalui rear view.

"Makanya, Mas yang rajin olahraga," sahut Salma.

"Banyak nggak sempetnya, Sal. Apalagi kalau udah mulai aktif perkuliahan nanti, bisa tidur malam dengan durasi normal aja udah Alhamdulillah." Andro membela diri. Papanya tertawa, tentu saja menyetujui. Ia sudah pernah mengalami sendiri.

"Papamu dulu apa nggak gitu? Sama aja. Apalagi kami nikah pas sama-sama berstatus mahasiswa semester akhir. Mama banyak dicuekinnya. Tapi kalau cuma olahraga harusnya masih sempat lah, Ndro, minimal olahraga alternatif. Kan udah ada Salma, udah bisa olah raga tanpa harus ke mana-mana."

"Maksudnya apa, nih?" Andro tak paham.

"Ya gitu, Ndro, olahraga sama Salma. Masa iya nggak paham? Kamu pintar lho anaknya."

"Tadi pagi juga kami jalan-jalan berdua di komplek." Andro makin melenceng jauh, ia memang tak paham. Tak terpikirkan sama sekali karena memang belum pernah melakukan apa yang dimaksud mamanya. Sedangkan Salma sudah menduga ke mana arah pembicaraan mama mertua.

"Bukan itu, Ndro. Olahraga yang nggak harus ke mana-mana. Di tempat tidur aja, sama Salma. Itu udah membakar kalori lho. Biarpun nggak sebanyak kalau olahraga beneran, tapi udah lumayan buat alternatif kalau nggak sempat olahraga. Kalau yang satu itu kan pasti sempat."

Wajah Salma mulai pucat. Ia tak bisa membayangkan kalau mertuanya tahu bahwa ia belum sekalipun menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Makanya Andro tak paham yang dimaksud mamanya. Lha melakukan saja mereka belum pernah sama sekali.

"Oh, ML maksudnya?" Begitu paham, bahasa yang digunakan pun tanpa saringan.

"Iya deh, Ma, nanti dicoba."

"Nanti dicoba? Lha apa selama ini belum dicoba?" Papanya memandang Andro dengan takjub. Heran, ada laki-laki yang bisa menahan diri ketika setiap hari tidur berdua dengan perempuan yang sudah sah sebagai istri dan halal untuk dipergauli. Cantik, lagi.

"Andro belum siap punya anak, Pa. Nanti aja kalau udah lulus, udah kerja."

"Jadi kamu mau menunda itunya juga sampai lulus dan kerja? Kasihan Salma dong, Ndro. Jangan egois. Lagian mama juga nggak yakin kamu kuat nahan lama-lama."

Keringat makin deras keluar dari setiap pori-pori di tubuh Salma. Ia merasa bersalah. Apalagi Andro mengajukan diri sebagai kambing hitam. Ia tahu persis, Andro tentu saja sudah menginginkan, minimal yang lebih dari sekadar berciuman, tapi ia yang belum siap. Salma merasa ingin menangis saja.

"Apa sih, Ma? Bahas yang lain aja napa? Baru juga ketemu, udah bahasnya gituan. Please deh. Mantunya malu itu, Ma." Andro tahu Salma tak baik-baik saja, maka ia harus menyelamatkan dengan mengubah topik pembicaraan.

"Emm..., oh iya, kalian udah jadi berkunjung ke tetangga-tetangga?" Mama memilih topik yang tepat.

Cerita Andro berikutnya mengalir lancar. Pujian untuk Salma keluar berkali-kali, menutup kelemahannya sendiri yang kurang pandai dalam bersosialisasi. Effort Salma menyiapkan kue-kue untuk hantaran pun diceritakan Andro dengan penuh kebanggaan. Kejadian Salma yang kesakitan sampai membuatnya melompat dari rumah tetangga dan memecahkan kaca tak luput pula disampaikan.

"Baru tahu ada penyakit semacam itu. Dismayor. Eh, apa namanya?"

"Dismenore, Mas." Salma --yang sejak topik pembicaraan diganti bisa bernapas lega-- jadi terkikik mendengar ucapan suaminya.

"Salma dismenore juga? Mama dulu juga, tapi nggak tentu. Kadang sakit, kadang biasa aja, kadang sakit banget sampai kayak mau pingsan."

"Ya tapi mendingan yang tiap bulan pasti sakit, Tam. Minimal ada kepastian, jadi bisa siap-siap kalau harinya menjelang. Kalau kayak kamu kan nggak bisa ditebak, kapan haid sakit, kapan nggak. Orang lagi nunggu dosen pembimbing, tinggal satu antrian lagi, eh dihubungi suruh pulang gara-gara istri sakit menstruasi. Padahal dosennya susah banget ditemui. Mamamu itu, Ndro." Papanya mengenang sepenggal kisah.

"Terus Papa ya pulang?"

"Iyalah. Skripsi masih bisa diurus besok-besok. Tapi kalau istri sakit? Ya kalau sembuh, lha kalau bablas, apa nggak papa nyesel seumur hidup?"

"Gak onok wong mati mergo dismenore, Ik. Ngawur ae kon."
(Nggak ada orang mati karena dismenore, Ik. Ngawur aja kamu.)
*Ik: Iksa, panggilan papanya Andro di kalangan orang dekat/keluarga.

Andro terpingkal-pingkal mendengar mama bicara pada papa dengan bahasa Jawa. Ditambah pula menggunakan nama Iksa. Andro suka sekali mendengar panggilan Tam dan Ik meluncur dari lisan mama papa. Rasanya sudah lama sekali ia tak pernah melihat kedua orang tuanya mengobrol sebagai sepasang manusia, bukan sebagai sepasang orang tua. Mungkin sehari-hari mereka masih sering begitu, hanya saja Andro yang nyaris tak pernah tahu.

"Ma, Pa...." Andro mengubah intonasi, seperti akan berbicara serius.

"Iya, Ndro, gimana?" sahut keduanya bersamaan.

"Andro lama banget nggak dengar Mama panggil Iksa ke Papa. Andro suka lihat Mama Papa ngobrol sebagai Tami dan Iksa, bukan melulu sebagai Mama dan Papa. Tapi memang salah Andro sendiri, yang memilih melewatkan banyak peristiwa bersama Mama dan Papa. Maafin Andro ya, Ma, Pa." Dari spion tengah, Andro memandang pada istri cantiknya. Salma mengangguk, memberikan senyumnya yang sarat akan cinta.

"Emm, Andro sayang sama Mama Papa. Sayang banget."

Andro merasa sangat lega. Ini memang bukan yang pertama dalam hidupnya. Tapi ini adalah yang pertama, di mana ia bisa menaklukkan rasa malu dan gengsinya untuk mengungkapkan rasa sayangnya kepada mama dan papa. Dari hati yang terdalam.

Papa membuang muka ke arah jendela di sisi kirinya, berusaha menyembunyikan genangan yang tiba-tiba mendesak-desak di pelupuk netra. Mamanya memeluk Salma, menangis haru karena ucapan si anak lelaki kesayangan.

"Ndro," panggil papanya, setelah keharuan mereda.

"Iya, Pa?"

"Besok lagi kalau mau bikin kami mengharu biru, jangan pas keadaan kayak begini. Mamamu bisa meluk Salma. Nah, Papa? Mau meluk kamu juga susah, kan?" canda Antariksa.

"Nih, Papa bisa meluk ini." Andro menyodorkan bantal bunga milik Salma yang selalu ada di mobil. Mama dan Salma menimpalinya dengan tawa.

***

Updatenya kemalaman. Seperti biasa, aku ketiduran habis banyak aktivitas hampir seharian ini. Tapi masih masuk hari Senin kok.

Masih nggak ada lagu, but it's okay. Semoga tetap menghibur. Maafkan kalau part ini panjang banget (3,4K+) tapi banyakan ngalor ngidulnya. Wkwk...

Udahan dulu yaa. Terima kasih sudah meramaikan dengan vote dan komentar. Baca komentar teman-teman tuh hiburan banget buat aku. Makanya, jangan ragu-ragu kalau mau komentar banyak-banyak. Kuy lah.

See you :)

Semarang, 17052021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top