17. Kebablasan

Notes:
- Setting waktunya dekat banget sama part sebelumnya. Yang Salma sakit terus Andro gak bisa masuk rumah, akhirnya lompat tembok tetangga.
Kalau lupa boleh dibaca ulang dulu part sebelumnya ya :)
- Ada scene yg agak-agak nyerempet alias 17+ Tapi ya semoga masih sopan seperti yg sudah-sudah. Relatif sih ya.

***

Sejak menikah Andro tak bisa lagi tidur atau bermalas-malasan setelah salat subuh, yang --seringnya-- juga kesiangan. Hal semacam itu sudah terhapus dari kamus hidupnya, sebab nyonya tak akan membiarkan itu terjadi. Sejauh ini Andro merasa baik-baik saja, bahkan menurutnya lebih baik. Mandi pagi --meski tak ada kuliah-- menjadi kebiasaan barunya. Sayang, agenda untuk sekalian keramas dengan alasan syar'i belum terjadi. Eh, apa sih?

Andro melihat jadwal di gawainya. Hari Rabu jadwal kuliah baru dimulai pukul 08.50. Ia ingat belum mengembalikan tangga lipat milik tetangga sebelah yang baik hati. Maka pergilah Andro ke halaman belakang. Di sana ia melihat Salma sedang berjongkok sambil menunduk.

"Ngapain, Sal? Sakit lagi, kah?" Salma menoleh, lalu tertawa kecil.

"Nggak, Mas. Lagi nanam-nanam ini lho." Andro mendekat, melihat Salma mengubur biji-bijian di sepanjang tepi kanan halaman belakang. Entah tanaman apa.

"Sayuran atau apa, Sal?"

"Rahasia." Mimik wajah Salma membuat Andro gemas dan merasa jatuh cinta.

"Mukanya nggak usah gitu deh, bikin jatuh cinta, tahu nggak sih?" Mimik menggemaskan tadi berubah tersipu-sipu.

"Mas mau ngapain, sih? Bukannya siap-siap kuliah malah godain orang."

"Kamu itu bidadari, bukan orang. Ngeyel banget sih."

Salma bangkit, mendekat pada suaminya. Andro siap menerima pelukan, tak tahunya Salma mencorengkan telunjuknya yang belepotan tanah ke pipi Andro. Keduanya lalu berkejaran sambil tertawa riang. Andro berhasil.menangkap Salma, memeluknya dari belakang. Mereka lalu berbaring bersisian di hamparan rumput Jepang, menatap langit pagi yang cerah, seperti hati keduanya.

"Aku tadi mau ambil tangga, Sal. Mau kubalikin ke tetangga sebelah. Nggak enak kalau kelamaan. Mereka udah baik banget nolongin aku. Aku pasti stress kalau kemarin nggak nemu cara untuk secepatnya masuk ke rumah.

"Mulai sekarang, kita masing-masing pegang kunci ya, Sal. Dan kalau aku lagi di luar, kunci harus kamu lepas, jadi kapanpun aku pulang, aku bisa masuk. Nanti kalau aku udah mulai praktikum dan nugas, aku mungkin akan sering pulang malam."

"Mas kalau nugas mesti sama temannya Mas yang itu, ya?" Entah kenapa pertanyaan jenis ini keluar dari Salma. Ia refleks saja.

"Dulu iya. Dia kayak tergantung sama aku, akunya juga nggak tega kalau dia nggak sekelompok sama aku. Dia tuh agak lemah pemahamannya, yang lain belum tentu sabar ngejelasin sampai dia paham."

"Semangat banget sih ceritanya." Salma cemberut. Dia bangun dan beranjak. Padahal dia sendiri yang memulai.

"Nggak gitu, Sal." Ditariknya lengan Salma segera. Andro kira Salma tak akan cemburu, tapi dia salah. Meskipun punya kesabaran dan pengertian yang luar biasa, Salma tetap saja seorang perempuan. Ia tak tahan kalau suaminya bercerita tentang perempuan lain. Apalagi perempuan itu pernah mengisi hatinya.

"Nggak ada istri yang suka dengar suaminya ngomongin mantan, Mas." Tapi Salma tak menangis. Dia bukan lemah, hanya tak suka. Cemburu iya, sedikit.

"Aku tadi mau ngembaliin tangga ke bapak ibu sebelah."

"Mau ngembaliin tangga tapi ujungnya malah nostalgia." Masih belum sadar, dia yang membuka celah Andro untuk bernostalgia.

"Kamu cemburu, Sal?"

"Iya, sedikit." Jujur sekali.

"Maafin aku, ya. Percayalah, yang ada di hatiku cuma kamu."

"Iya, Sal percaya. Sal cuma nggak suka. Ya udah, tangganya jangan dikembalikan dulu. Sal bikinin kue-kue buat hantaran. Sebentar kok. Nanti Mas balikin tangga, Sal antar kudapan, sekalian kenalan. Kita belum kenalan lho sama tetangga-tetangga, ya paling nggak yang satu blok sama kita."

"Perlu ya, Sal?" Topik tentang mantan --yang tak pernah jadian-- berakhir begitu saja.

"Ya perlulah, Mas, kan kita bukan hidup di hutan. Kalau ada apa-apa yang akan kita cari pertama kali juga tetangga, bukan Tarzan." Andro tergelak mendengar jawaban istrinya. Diacaknya rambut iklan shampo yang wanginya selalu ia hirupi setiap hari.

"Papa suka ngeledekin aku Tarzan kalau aku udah pakai kostum tidur malem, Sal."

"Sal nggak mau bahas itu." Pipinya memerah. Andro garuk-garuk kepala yang tak gatal. Cuma begitu saja bisa bikin pipi mulus istrinya sampai merona.

"Emm, terus kita di tetangga nanti ngapain, Sal? Kenalan gitu ya? Kamu nggak malu memperkenalkan diri sebagai istriku? Anak manja yang masih mahasiswa tapi udah berani nikahin high quality angel?" Salma terkikik geli.

"Nggak lah, ngapain malu. Kan mahasiswanya calon orang sukses. Ganteng dan pekerja keras juga." Tawa Andro pecah. Yang Salma sebutkan sesuai dengan list poin plus di buku catatan Andro.

"Dan sayang sama Salma," sebut Andro, melanjutkan list yang pernah ia buat. Mereka lalu berpelukan.

Setelahnya Salma meminta Andro melanjutkan kegiatannya menanam. Dijelaskannya apa-apa yang harus dilakukan suaminya. Salma sendiri akan membuat kue-kue untuk dijadikan buah tangan mengunjungi beberapa tetangga sekaligus berkenalan.

Andro sempat mengusulkan untuk beli saja, tapi Salma menolak. Alasannya karena mama sudah menyediakan fasilitas yang mendukung. Bahan-bahan pun sudah lengkap hasil belanja Sabtu lalu dengan mama. Dan alasan utama tentu saja adalah lebih hemat, meski untuk alasan satu ini tentu saja ia sembunyikan.

Pada akhirnya Andro batal ke kampus. Salma sudah memaksanya untuk berangkat, tapi Andro bersikeras untuk tidak. Sebenarnya Salma senang, ia hanya tak mau menjadi penyebab suaminya bolos, meski masih di awal-awal perkuliahan yang biasanya agak longgar.

"Nggak apa-apa, Sal. Biar aku puas-puasin dulu banyak santai di rumah sama kamu. Nanti kalau udah mulai praktikum, udah keluar tugas-tugas, dan segala jenisnya, niscaya aku nggak akan bisa sering-sering begini, sekalipun weekend."

"Ada aja ya alasannya buat bolos," cibir Salma, disambut Andro dengan kecupan sekilas yang memunculkan debar-debar tak jelas.

Salma memang cekatan. Tak butuh waktu lama sampai ia menyelesaikan empat kue lapis Surabaya. Ia bahkan sudah berniat untuk baking lagi agar agenda perkenalan cepat selesai.

Hampir jam sembilan ketika Andro dan Salma keluar dari rumah. Andro membawa tangga lipat, Salma menenteng paperbag berisi satu box kue lapis dan siropen khas Surabaya. Semua kelengkapan macam box dan paperbag memang sudah dipersiapkan oleh Salma dan mama.

Pasangan paruh baya di samping kanan rumah mereka menyambut dengan sukacita. Berempat ngobrol cukup lama. Dibuka dengan penjelasan tentang apa yang dialami Salma kemarin. Si ibu tetangga merespon dengan antusias. Beliau memiliki pengalaman yang sama saat masih muda. Kata si ibu, "Nanti kalau sudah punya anak biasanya normal sendiri. Minimal berkurang lah. Ibu dulu juga begitu. Makanya, kalian cepat-cepat saja punya anak, jadi kami bisa ikut nimang cucu." Andro dan si bapak tergelak, Salma tersipu.

Obrolan dilanjutkan dengan cerita pasangan yang sudah senior itu. Keduanya memiliki empat anak yang semuanya sudah berkeluarga. Tiga tinggal di luar negeri, sedangkan satu lagi tinggal di luar pulau. Kunjungan tentu saja jarang, tak mesti setahun sekali. Hanya berdua membuat mereka sering dilanda sepi. Maka pesan si bapak untuk Andro dan Salma adalah, "Sering-seringlah main ke mari. Kami jauh dari anak, kalian jauh dari orang tua. Sering bertegur sapa, bicara-bicara, insya Allah bisa menjadi hiburan untuk kita."

Jam sepuluh pasangan muda berpamitan. Tak lupa menginfokan bahwa mereka hendak berkunjung pula ke tetangga-tetangga yang lain. Si bapak memberi informasi mengenai tetangga-tetangga di blok mereka. Siapa-siapa yang aktif di masjid, pegiat kerja bakti, tokoh masyarakat, jarang di rumah, dan sebagainya. Juga siapa-siapa yang di jam-jam sekian ada di rumah. Andro dan Salma sangat berterima kasih, info tersebut sangat berguna untuk kegiatan mereka berikutnya.

Mereka pulang sejenak, mengambil buah tangan yang akan dibawa. Tiga tetangga yang dikunjungi mereka pilih berdasarkan informasi dari bapak sebelah rumah tadi. Benar, semua ada di rumah, dan semua sudah berusia cukup senior.

"Sal, terima kasih ya," ucap Andro pada Salma begitu ia selesai mengunci pintu rumah.

"Untuk?"

"Aku nggak kepikiran sama sekali untuk seperti ini. Kenalan sama tetangga kanan kiri, apalagi satu blok. Selama ini aku abai urusan macam begini. Di kost aja aku cuma kenal satu dua penghuni. Circle-ku kampus, jadi aku ngerasa yang penting kenal sama warga kampus. Ikut komunitas juga karena ada teman yang ikut duluan. Komunitas pencinta buku, gitu. Karena aku juga suka buku sih, jadi---"

"Yang duluan ikut komunitas pasti teman Mas yang itu, ya?" Feeling Salma memang warbiyasak, sampai yang macam begini pun terendus juga.

"Thanks, Sal. Kamu udah membuka mataku. Aku kekanakan banget soal bersosialisasi sebagai orang dewasa, ya? Semoga kamu tetap sayang sama aku ya, Sal." Tak menjawab pertanyaan Salma, Andro hanya melanjutkan pembicaraan sebelumnya.

"Mas nih ditanya apa, jawabnya apa. Huh."

"Aku mulai kenal kamu, Sal. Sifat kamu. Kelebihan kamu. Kamu nggak cuma cantik dan multitalenta, tapi kamu juga cerdas dan peka. Jadi, aku nggak perlu jawab apapun untuk kasih tahu kamu soal temanku itu. Aku yakin, kamu udah tahu jawabannya."

"Apa Sal bisa menggantikan dia di hatinya Mas?"

"You already did, Sal. Aku minta maaf kalau dalam beberapa cerita hidupku kadang namanya harus muncul. Kecuali kamu nggak ingin tahu apapun tentang hidupku, ada atau nggak ada perannya di ceritaku."

"Iya, Sal salah." Gadis itu menelan ludah, tak ingin memperpanjang lagi apa yang membuat hatinya nyeri. Padahal --sekali lagi-- dia sendiri yang memulai.

"Nggak ada yang salah, Sal. Tapi biar aku saja yang minta maaf. Aku yang menyakiti kamu, secara langsung ataupun nggak. Maafin aku, Sal. You believe it or not, I've loved you since that day, Sal. Hari di mana aku mengambil tanggung jawab atas dirimu."

"Iya, Mas. Terima kasih banyak. Sal beruntung punya Mas." Datar. Tak ada senyum, tak ada tatapan.

"Kamu marah?" Salma menggeleng.

"Kamu nggak pengen meluk aku?"

"Kenapa nggak Mas aja yang peluk Sal?"

"Boleh?" Salma menoleh, keduanya saling berpandangan. Ada yang menggenang di kedua mata gadis itu. Andro segera menariknya ke pelukan.

"Selama ini Sal cuma punya Allah dan Rasulullah, dan Bu Miska. Sal udah biasa sendiri, nggak punya siapa-siapa selain yang Sal sebutin tadi. Maka satu-satunya hal yang nggak ingin Sal alami adalah kehilangan. Itulah kenapa Sal nggak pernah mengizinkan diri Sal untuk jatuh cinta dan semacamnya. Tapi Sal nggak bisa melakukan itu sama Mas. Sal terlanjur jatuh cinta. Sal terlanjur cinta." Tangis Salma tumpah bersama sesuatu yang ia pendam sekian lama.

Sampai mendekati umur yang ke dua puluh, Salma hampir tak pernah curhat, kecuali pada Bu Miska. Itupun bukan persoalan hati. Untuk yang satu itu, ia selalu berusaha menutup rapat-rapat. Tak pernah curhat kecuali di sepertiga malamnya. Tak pernah ada pengalihan kecuali sholawat yang membasahi lisannya.

"Sal tuh nggak pernah curhat, Sal takut tergantung sama orang. Sal nggak mau berharap sama orang. Mungkin Allah mau mengingatkan Sal, karena Sal mulai merasa takut kehilangan. Iya, Sal takut kehilangan Mas. Makanya Sal nggak suka kalau Mas cerita tentang temannya Mas. Sal takut Mas nggak akan bisa mencintai Sal seperti Mas cinta banget sama temannya Mas itu. Sal jadi berharap lebih, tapi berharapnya sama Mas, bukan sama Allah.

"Sal ikhlas, Mas. Nggak apa-apa kalau Mas nggak pernah bisa sayang sama Sal seperti Mas sayang sama---"

"Ssstt, kalau kamu mau meluapkan apa yang selama ini kamu simpan sendiri di hatimu, keluarkan semuanya, Sal. Tapi kalau kamu bicara begitu karena kamu nggak percaya sama aku, lebih baik kamu nggak usah bicara apa-apa lagi. Cukup nikmati saja pelukanku, karena aku sendiri udah nggak ngerti gimana caranya menyampaikan ke kamu tentang perasaanku. I love you, Sal. I love you."

Kecupan Andro mendarat bertubi-tubi di ujung kepala gadis itu. Seolah ingin menunjukkan bahwa sayangnya, cintanya, dan semua perasaannya hanya untuk istrinya saja. Tak ada yang lain, sekalipun Zulfa Nurulita.

"Sekarang kamu pengen apa, Sal?" Tangis Salma mereda, Andro masih ingin menyenangkan hati istrinya.

"Nggak ada. Sal mau bikin kue lagi buat hantaran ke tetangga yang belum kita kunjungi."

"Aku nggak izinin. Kita beli aja. Aku nggak mau kamu kecapean."

"Tapi Sal senang kok, Mas."

"Aku yang nggak senang. Aku nggak suka lihat kamu repot di dapur. Aku jadi ngerasa kayak nggak mampu meringankan beban kamu."

Bagi Salma turun ke dapur memang bukan beban. Ini hobi, dan dia menikmati. Tapi ia juga memaklumi apa yang dirasakan Andro. Suaminya hanya belum terbiasa saja sehingga kegiatan Salma jadi terlihat berat dan ribet. Atau bahkan..., rumit?

"Percayalah, Mas. Sal memang suka upyek di dapur. Bukan karena mau ngirit, apalagi pelit. Bukan juga karena menganggap uang yang Mas pasrahkan ke Sal buat hidup kita kurang. Bukan semuanya." Apa yang dikatakan Salma membuat Andro kaget. Respon perempuannya itu seolah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang ada di pikiran Andro. Andro harus mengakui. Soal kepekaan, Salma sungguh bagai langit dan bumi dengan....

Astaghfirullah, dia lagi.

"Kemarin tuh mama udah nawarin untuk beli kue buat hantaran ke tetangga-tetangga, Mas. Tapi Sal nggak mau. Nggak enak ngerepotin mama. Eh, terus kemarin mama ngajakin ke ke supermarket itu, ternyata di sana mama beli bahan-bahan macam-macam. Mas ingat kan, bawaannya sampai banyak banget waktu itu. Beneran deh, Sal sampai nggak enak."

"Iya, deh. Tapi janji ya, jangan ngoyo masak-masaknya. Jangan sampai kecapean. Atau kita ke tetangganya nggak harus sehari dua hari selesai. Kalau kamu pengen kue-kuenya harus bikinan sendiri, ya sesuaikan dengan kapasitasmu." Andro terlihat sangat mengkhawatirkan istrinya. Tiap mengingat kejadian kemarin, Andro merasa sesak. Takut terjadi apa-apa pada Salma.

"Mas nggak pengen bantuin Sal?"

"Ehk, ak-aku? Bantu bikin kue? Emm, aku bisanya bikin adonan semen sama adonan mortar, Sal." Tawa Salma berderai-derai. Tangannya mencubiti pinggang Andro dengan gemas.

"Makanya, sekali-sekali bikin adonan kue. Mau ya? Sekaliii aja. Demi Sal. Katanya cintaa?" rajuk Salma. Matanya memelas sekali, Andro malah jadi ingat mata yang memelas saat meminta diajarin materi atau dibantu mengerjakan tugas.

Astaghfirullah. Kenapa balik ke sana lagi, sih.

"Ehk, emm..., iya deh. Apa aja buat kamu, Love."

"Ih, apa sih, Mas? Kok manggilnya gitu?" Cuma satu kata Love, tapi sanggup mengundang perasaan aneh kembali menghinggapi hati Salma.

"Memangnya kenapa? Kan aku memang love banget sama kamu." Gombal sekali kamu, Ndro. Lupa kalau baru saja pikiranmu melayang ke perempuan lain?

Jadilah siang itu Andro ngedapur demi istri tercinta. Not bad, batinnya. Ngedapur ternyata tak serumit yang ia pikirkan. Kata Salma, fasilitas dari mama sudah memudahkan semuanya. Mixer nggak perlu megangin, loyang mau model apa saja ada, oven cukup besar dan canggih. Benar-benar sejalan dengan hobi menantu perempuannya. Klop.

Aroma kue menguar memenuhi dapur, berdesakan bersama oksigen, juga hawa-hawa cinta. Andro merasa puas dengan perannya sebagai suami hari ini. Dipeluknya Salma dari belakang. Tak bicara apapun, hanya embusan nafas yang menusuk-nusuk telinga istrinya. Gadis itu menggeliat kegelian.

"Mas, j-jangan gitu. Sal geli, Mas."

Kuping Andro seakan tuli. Ucapan Salma bukan membuatnya berhenti malah memicu mode on pada jari-jari. Kesepuluhnya mendadak aktif memindai dan menjelajahi sudut-sudut yang menarik perhatiannya sebagai seorang laki-laki.

"Mas, j-jangan. Sal ng-nggak kuat." Tapi tak ada penolakan. Tangan Salma seperti kram, tak bisa digerakkan.

"Ssstt, sekali ini saja, Sal. Izinkan aku melakukan lebih dari biasanya." Suara Andro terdengar berbeda. Ada nada memohon di sana.

Salma tak tega. Ia pasrah saja, hanya berkali-kali menelan saliva. Nyatanya ia merasakan sensasi luar biasa yang hadir di setiap titik tubuhnya. Desir-desir hebat menyerang hingga menimbulkan erang. Rasanya seperti melayang. Sampai ia sadar kalau....

"Astaghfirullah. Sal lagi haid, Mas." Didorongnya Andro sekuat tenaga.

Ya Rabb, kegilaan macam apa ini? Salma merutuki dirinya sendiri. Ia benar-benar tak sadar, bagaimana ceritanya dia bisa sampai duduk dan nyaris terbaring di atas meja makan setinggi itu.

Andro tersengal, terduduk di salah satu kursi kayu. Wajahnya menampakkan sesuatu yang masih tertahan. Cuma diam, tak berusaha membetulkan outfit-nya yang berantakan. Kedua netra belum mau berpindah dari menatap pemandangan yang masih tersaji di hadapan.

Salma buru-buru menurunkan homedress yang --entah bagaimana-- sudah naik melebihi dada. Ia bahkan terlewat mengaitkan sesuatu yang tadi dilepas Andro tanpa disadarinya. Matanya gelisah menyusuri lantai, berusaha menemukan celana panjang yang seharusnya membalut kedua kakinya. Salma panik, tak peduli pada Andro yang mukanya berubah memelas karena sesuatu yang gagal dilepas.

"Sal mau mandi," kata Salma singkat. Lalu melesat dan hilang secepat kilat.

"Wah, nggak tanggung jawab ini istri."
***

Hampir ya, Ndro. Makanya, pilih tempat yang strategis, jangan di dapur. Pilih waktu yang tepat, jangan pas lagi 'tanggal merah'. Tapi mending lah ya, udah 'lebih dari sebelumnya'.

Btw, akhirnya ketemu lagi yaaa.
Gimana? Ada yg kangen kah sama Andro-Salma? Eh, sekalinya keluar ada adegan agak-agak dewasa. Maaf yaaa. Seperti biasa, give me know kalau ini terlalu vulgar. Kalau kata Lila, 'salu'. Nanti biar kuedit.

Nah, mumpung masih suasana idul fitri, aku mohon maaf lahir batin. Untuk semua kesalahan dan kekurangan yg ada padaku. Update telat, kurang panjang, tokoh & karakter ngeselin, ceritanya nyerempet-nyerempet, nggak sesuai ekspektasi, dsb.

Mau update Kamis malam, tapi pas nemenin bocil tidur malah bablas ketiduran. Hari kemarin memang melelahkan. Lebarannya cuma salat id aja, habis itu malah banyak kerjaan, terus siangnya ke rumah ortu.

Nggak ada lagu, soalnya nggak ada ide juga mau kasih lagu apa yg pas. Lagi riweuh.

Baiklah. Semoga terhibur yaaa. Maafkan kalau agak kaku ceritanya. Udah lama gak baca-edit akunya. Hihi.

Terima kasih sudah mau menunggu dan membaca ceritaku lagi.
I love you all :)

See you.

Purwodadi, 14052021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top