16. Kepanikan
It's a touch when I feel bad
It's a smile when I get mad
All the little things I am
Everyday I love you
(Boyzone - Everyday I Love You)
***
"Ndro, dicari Pak Iqbal. Suruh ke ruangannya di lab." Baru mau duduk, salah satu teman Andro sudah menyambut dengan info yang sama sekali tak menarik baginya.
"Oke. Thanks infonya." Ranselnya ditaruh begitu saja pada salah satu bangku di baris ketiga.
Menjelang pintu, matanya tak sengaja beradu pandang dengan Zulfa. Andro buru-buru berpaling. Mata Salma lebih bening dan menyejukkan, begitu batinnya. Ia bukan tak tahu, dari kedua netra si mantan gebetan, ada sorot tak enak hati yang Andro temukan. Tapi Andro tak peduli. Zulfa cuma masa lalu, dia punya yang lebih baik sekarang, dan ia akan menjaga untuk selamanya.
Laboratorium Mekanika Tanah masih sepi. Masih pagi, kegiatan di situ biasa dimulai agak siang. Andro langsung menuju ruangan kepala laboratorium, mengetuk pintu dengan sopan.
"Assalamualaikum." Satu anggukan beserta senyuman Andro suguhkan.
"Waalaikumussalam. Silakan duduk, Angkasa." Iqbal Sya'bani menyalami si mahasiswa.
"Apa kabar? Udah berhasil move on kayaknya ya?"
Sh*t, apa perlunya manggil mahasiswa cuma mau bahas beginian.
"Alhamdulillah baik, Pak."
"Belum sah jadi anak teknik kalau belum gondrong, kah?"
"Ada yang bisa saya bantu, Pak? Tadi ada yang menginfokan ke saya kalau Bapak meminta saya datang kemari."
"Saya mau minta pendapat kamu saja, Angkasa. Bagaimana kalau di kelas saya nggak boleh gondrong?"
"Memangnya kalau gondrong kenapa, Pak? Apa ada hubungannya dengan efektivitas perkuliahan? Mengganggu yang lain, mungkin? Atau...."
"Nggak ada sih? Saya baru meminta pendapat saja."
"Kalau menurut saya sih bebas ya, Pak. Terserah Bapak saja, wong Bapak memang punya wewenang untuk menetapkan aturan atau kontrak belajar."
"Kamu nggak masalah?"
"Nggak, Pak. Saya nggak ada masalah kalau di kelas bapak nggak boleh gondrong. Tapi jadi masalah buat saya, kalau di kelas bapak nggak boleh ganteng."
Sedikit sombong. Eh, atau songong? Andro tak ambil pusing. Sungguh ia hilang feeling pada tenaga pendidik yang duduk di hadapannya.
"Istri saya membahas kamu di rumah. Kamu berubah, begitu katanya. Saya---"
"Maaf, Pak. Kalau ini tentang istri Bapak, tolong tidak perlu membawa-bawa saya. Apa hubungannya rambut saya dengan obrolan Bapak dengan istri Bapak?" Andro mulai kesal. Selain hilang feeling, ia merasa sebentar lagi akan hilang pula respek.
"Benar kamu sudah move on?"
"Sudah, Pak. Saya bahkan sudah punya istri, yang jauh lebih segalanya dari istri Bapak." Tak tahan, ia buka sekalian rahasia yang belum diketahui teman-temannya.
"Pelarian?"
"Kalau cuma pelarian, saya nggak perlu mengikatnya dalam pernikahan, Pak. Saya bisa saja nyomot cewek cantik yang saya temui di jalan. Tapi sayangnya yang seperti itu sangat tidak Angkasa Andromeda sekali." Ia ingat perkataan Salma saat mereka bertengkar malam itu. Tentang alasannya percaya bahwa Andro menikahinya bukan karena pelarian.
"Saya menikahinya karena dia istimewa. Cantik, pintar, sholihah, mandiri,---"
"Cukup!" sahut Iqbal Sya'bani segera.
"Saya akan menunjukkan foto pernikahan kami. Itu kalau Bapak berkenan." Andro merogoh gawai di saku jeansnya.
"Tidak perlu, Angkasa. Sudah cukup obrolan kita. Saya minta maaf kalau ada salah."
"Baik, Pak. Saya permisi dulu. Assalamualaikum."
Keluar dari pintu, keluar pula segala jenis perasaan yang pernah ada untuk seorang Zulfa Nurulita. Kepada Iqbal Sya'bani, ia masih hormat sebagai mahasiswa kepada dosennya, selebihnya tidak lagi. Bukan satu dua kali ia menangkap basah perbuatan yang bertentangan dengan profesionalisme dan ia menyimpan rapat semuanya sendiri. Tapi yang kali ini menurutnya sudah keterlaluan.
"Bikin emosi aja!" gerutunya sambil menghentakkan sneakers ke lantai.
Andro lantas memaki dirinya sendiri. Ia yang tak biasanya moody, dua hari ini gampang sekali mood-nya jatuh. Kali ini malah mencapai titik terendah. Ia memutuskan untuk pulang. Kembali ke kelas hanya untuk mengambil ranselnya. Baru hari kedua, belum ada kuliah. Peduli amat dengan kelas Pak Iqbal jam sembilan nanti. Jalan-jalan lagi dengan Salma kelihatannya jauh lebih menyenangkan. Atau berdua saja di rumah. Duduk-duduk, ngobrol ringan, dan berlama-lama memeluk Salma.
"Meh nandi, Bro?" tanya Wahyudi begitu Andro kembali ke kelas.
"Moleh."
"Lha ngopo ik?"
"Pengen pacaran. Bosen nak kampus."
"Yoh. Paham."
"Nitip ya kalau ada pesan-pesan atau apa gitu dari dosen. Mulai jam iki, kon tak tunjuk dadi wakilku."
"Wah, otoriter. Gak bener ki." Andro hanya tertawa, lalu mengucapkan terima kasih pada sahabatnya yang penuh pengertian.
"Selamat pacaran, Bro," ujar Wahyudi dengan semangat. Andro yang mau pacaran, eh, dia yang semangat.
"Andro punya pacar?" Masih tertangkap oleh kuping Andro, sebuah pertanyaan yang ia tahu persis siapa penanyanya. Ia tak ingin peduli, memilih berlalu begitu saja.
Andro memacu motornya meninggalkan area parkir. Masih tak habis pikir, bisa-bisanya dosen sekelas Iqbal Sya'bani menjatuhkan wibawanya hanya karena cemburu yang masih membabi buta.
"Sh*t! Eh, Astaghfirullah hal adzim." Mengumpat, lalu buru-buru meralat. Sejak menikah dengan Salma, mengumpat sudah masuk daftar kebiasaan yang harus ia hentikan.
Rumah sepi, padahal masih cukup pagi. Sudah lima menit Andro mengetuk pintu, juga menghubungi nomor Salma, tapi tak ada respon sama sekali. Bukan kebiasaan Salma tidur di jam-jam produktif begini. Andro mulai gelisah.
Sekali lagi ia melakukan panggilan. Nama Salma Andromeda terbaca di layar, dengan banyak emoji love di belakang. Panggilan diterima, tapi tak ada suara.
"Sal? Salma? Buka pintunya, Sal, aku di depan. Kamu tidur, kah?" tak ada sahutan.
"Sal, kamu kenapa? Tidur, kah? Apa kepencet nerima telponnya?" Masih tak ada suara.
"Sal? Please, jawab, Sal." Lalu terdengar suara seperti rintih yang tertahan.
"Sal, kamu kenapa? Sal? Salma? Bukan pintunya, Sal."
Andro panik. Pintu utama terkunci, garasi terkunci, jendela tertutup semua. Mau memecah kaca jendela tapi ada teralis di dalamnya, lagipula jarak jendela dengan pintu tak bisa dijangkau oleh tangannya. Mau mendobrak pintu, ia sadar diri tak akan berhasil, hanya akan menyakiti badannya.
"M-mas." Salma mengerang lemah, seperti hendak bicara tapi tak sanggup.
"Sal, kamu kenapa, Sayang? Jangan diputus telponnya ya. Aku cari bantuan dulu buat masuk rumah." Keringat mulai bercucuran. Masih untung Andro tak kehilangan logika meski panik mendera.
Satu ide melintas di kepala. Ia ingat rumah tetangga sebelah kanan yang bagian belakangnya terbuka, sama seperti rumahnya. Tak berpikir dua kali, Andro segera berlari ke sana.
Seorang wanita paruh baya berjilbab lebar membukakan pintu. Andro menyampaikan maksudnya, memohon agar diperbolehkan memanjat dari tembok rumah beliau, lalu dia akan meloncat ke halaman belakang rumahnya sendiri. Ibu itu mengiyakan, segera meminta bantuan pada suaminya, pria 50 tahunan yang masih gagah dan terlihat ramah. Bapak itu dengan cekatan mengambil tangga lipat. Andro memanjat, lalu dengan susah payah dibantu si bapak tetangga memindahkan tangga lipat ke halaman belakang rumahnya.
"Terima kasih, Pak, Bu. Nanti tangganya saya kembalikan secepatnya, nggih."
"Iya, santai saja, Mas, yang penting istrinya njenengan dulu."
Andro buru-buru menuruni tangga dan lari ke pintu. Terkunci. Ia memecahkan kaca jendela tanpa berpikir dua kali, lalu memutar kunci dari sana.
"Sal, ya Allah, Salma kamu kenapa?"
Andro shock menemukan Salma sedang meringkuk di atas tempat tidur sambil memegangi bagian bawah perutnya. Wajahnya pucat, terlihat jelas sedang menahan sakit yang sangat.
"Sal, kamu kenapa?! Jawab, Sal! Salma! Apa sih susahnya, tinggal jawab, satu kata aja? Salma!" Andro panik, dia mulai bicara dengan nada tinggi. Kemudian berhenti saat melihat air mata di pipi Salma. Ia sadar ia melakukan hal yang tak seharusnya.
Andro memutuskan untuk duduk sejenak di samping istrinya. Menarik napas panjang dan melepasnya perlahan. Istighfar terdengar berulang-ulang. Andro mencoba untuk tenang, sampai logikanya kembali berjalan. Baru kemudian ia berlutut di sisi tempat tidur, memeluk dan mengecup pipi Salma.
"Maafin aku, Sal. Aku panik. Kamu tenang aja ya, aku akan telpon Bu Miska. Aku nggak tahu kamu ini kenapa."
Setelah berpikir sejenak dan bertanya satu dua hal, Bu Miska memberi tahu Andro, "Itu dismenore, Mas Andro. Salma selalu begitu kalau hari pertama haid."
Ya Allah, dismenore itu apa lagi? Kenapa ngeri-ngeri begini.
Bu Miska tahu Andro panik, pelan-pelan beliau memandu Andro via telepon. Menyuruh Andro menaruh air panas di botol, membungkusnya dengan handuk atau kain, lalu ditempel ke perut Salma. Bisa juga dengan memijat dengan lembut perut Salma. Mungkin tak langsung hilang, tapi bisa meredakan nyeri dari kram perutnya.
Andro melakukannya dengan segera. Lantas kebingungan, saat akan menaruh botol air tersebut ke perut Salma. Ia meminta izin dulu. Salma terpaksa mengiyakan. Lalu dengan gemetaran Andro mengangkat homedress yang Salma kenakan. Tak ada celana panjang seperti biasanya, kaki Salma yang putih mulus dan jenjang membuat Andro harus menelan saliva. Naik sedikit dari lutut, Andro menyerah. Ia menurunkan kembali baju Salma.
"Sal, maaf. Dari luar sini aja ya. Nggak usah dikasih kain, kan udah ada bajumu. Aku..., emm..., aku nggak kuat, Sal. Takut khilaf." Salma lega, dalam hati berterima kasih pada suaminya. Andro menyeka keringat, menghalau debar-debar yang makin tak beraturan temponya. Boro-boro mau mijitin, baru begitu saja Andro sudah tak berkutik.
Hampir satu jam, keadaan Salma mulai membaik. Selama itu pula Andro mengurus istrinya dengan baik. Memeluk, menghibur, menguatkan. Membuatkan teh hangat, memasak air, juga menyiapkan beberapa botol untuk menghangatkan perut Salma. Semua ia lakukan dengan bantuan google dan youtube. Ya gimana nggak, menyalakan kompor listrik saja dia gagap. Entah sudah berapa ratus purnama tak menginjakkan kaki ke dapur. Maka begitu Salma mulai bisa tersenyum, tak lama kemudian Andro langsung jatuh tertidur.
Salma memandangi wajah tampan di hadapannya dengan bangga. Kedua netranya sarat akan kaca-kaca. Terharu. Andro tak pernah bisa berbohong padanya. Begitupun dengan janjinya, Andro tak akan bisa mengingkarinya. Salma yakin itu. Ia merasa sangat bersyukur menjadi istri seorang Angkasa Andromeda.
"Mas, bangun. Udah mau dhuhur." Andro menggeliat, bangkit dengan secepat kilat.
"Ya Allah, aku ketiduran ya, Sal? Maaf ya, Sal. Duh, aku kok kebangetan gini sih. Istri sakit masih bisa-bisanya ketiduran. Astaghfirullah." Mukanya menunjukkan rasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Mas. Sal udah jauh lebih baik. Mas udah ngerawat Salma dengan sebaik itu. Maafin Sal ya, Sal lupa ngasih tahu kalau Sal punya kelemahan kayak gini. Sal sayang sama Mas. Sayang banget." Dipeluknya Andro erat, tangisnya tumpah. Salma bahagia.
"Udah ah, jangan nangis. Hari ini kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Di kasur aja, istirahat. Makan dan semuanya aku yang urus. Kamu kalau butuh apa-apa bilang, aku yang akan melayani kamu. Pokoknya hari ini hamba adalah budak bagi tuan puteri."
"Mas, apa sih? Bisa lebay juga ya ternyata?" Salma terkikik geli.
Di sisa hari itu Andro benar-benar melaksanakan ucapannya. Salma tak boleh ngapa-ngapain, semua dia yang menghandle. Termasuk membantu Salma ke kamar mandi, biarpun hanya boleh menunggui di depan pintu. Salma tak pernah merasa sebahagia ini. Andro memperlakukannya seperti seorang putri.
Menutup hari dengan berbaring di atas tempat tidur sambil ngobrol ringan. Salma berusaha untuk mulai membiasakan diri dengan kebiasaan tidur Andro yang rasanya mustahil diubah. Mencoba menahan mata agar fokusnya tak bergeser pada satu-satunya lembaran kain yang tersisa di badan suaminya. Eh, apa deh? Kok jadi ke mana-mana sih, Sal. Salma tersipu sendiri.
"Sal."
"Ya, Mas?"
"Tahu nggak? Aku tadi pulang cepat karena jatuh mood seperti kemarin. Terus mau ngajakin kamu jalan, seperti kemarin juga."
"Karena teman Mas itu lagi?"
"Bukan, Sal. Tapi suaminya. Dia dosenku. Aku kesal karena menurutku dia melakukan hal yang nggak profesional. Masih saja cemburu sama aku. Aku bilang saja aku udah menikah dengan seseorang yang jauh lebih baik dari istrinya. Seorang perempuan yang cantik, baik, sholihah. Pokoknya istimewa."
"Terus dosen Mas bilang apa?" Salma tersenyum, ada sedikit rasa bangga karena Andro mengakui dirinya di depan orang lain di kampusnya.
"Aku di-cut dong pas belum kelar ngomong. Padahal aku mau kasih lihat foto pernikahan kita lho. Biar tahu sih kalau istriku jauh lebih segalanya daripada istrinya."
"Tapi istri dosennya Mas masih bisa mempengaruhi kondisi perasaan Mas, kan?" Jleb. Salma memang bercanda, tapi di telinga Andro lebih terdengar sebagai sindiran.
"Kamu nyindir ya, Sal?"
"Nggak, Mas. Semua yang Mas lakukan buat Sal udah cukup bikin Sal yakin kalau Sal itu segalanya buat Mas. Tentang masa lalu udah kita bahas berkali-kali, bahkan baru kemarin kita juga bahas. Insya Allah bukan masalah besar buat Sal. Cuma butuh waktu aja.
"Tapi memang ada satu hal dari Mas yang menurut Sal perlu dikoreksi."
"Apa itu, Sal?"
"Maaf sebelumnya ya, Mas. Tapi Mas kalau lagi panik tuh nggak banget deh. Langsung ngomongnya tuh ngebentak-bentak gitu. Ingat nggak waktu kejadian malam itu?" Ingatan Andro mundur pada malam yang kemudian memunculkan niatnya untuk melindungi Salma.
"Tadi juga gitu. Sal tahu itu karena Mas panik, jadi Mas refleks. Sal terharu banget Mas mengkhawatirkan Sal sampai seperti itu. Tapi perempuan kalau lagi kaget, takut, sakit, dan semacamnya tuh nggak bisa digituin, Mas. Pelukan saja udah cukup. Sekali lagi maaf ya, Mas." Agak tak enak hati, padahal yang ia lakukan benar. Menyampaikannya pun dengan adab yang baik.
"Nggak, Sal. Jangan minta maaf. Aku justru berterima kasih karena kamu kasih tahu soal itu." Andro tertawa. Menertawakan dirinya sendiri.
"Aku memang nggak banget ya kalau lagi panik. Berarti aku harus gimana, Sal?"
"Yang Mas lakukan tadi sudah oke, kok." Andro mencoba mengingat urutan kejadian tadi. Begitu menyadari Salma menangis setelah mendengar bentakannya, ia segera duduk, tarik napas, dan istighfar.
"Duduk, tarik napas, istighfar. Gitu ya, Sal?" Salma tersenyum, mengelus pipi Andro dengan sayang.
"Mas pasti bisa. Harus banyak-banyak latihan, termasuk saat ketemu dengan teman Mas yang itu. Sering ketemu sesuatu yang bikin kita harus kuat juga bisa melatih kita untuk nggak panikan dan tetap sabar, Mas. Insya Allah begitu. Maaf ya, Mas, kalau Sal sok-sokan ngajarin. Sal sayang sama Mas."
"Ssstt, kenapa minta maaf, sih? Aku justru senang karena kamu ngasih tahu aku, Sal. Kita kan harus saling melengkapi, mana kelemahanku, di situ kamu yang menutupi, dan sebaliknya. Aku yang minta maaf kalau aku kadang masih kekanakan. Kamu tidur ya, aku nggak mau kamu sakit lagi."
"Insya Allah udah nggak, Mas. Biasanya setengah hari juga selesai kok itu dismenore."
"Eh iya, dismenore penyakit apaan sih, Sal? Ngeri banget. Nggak tega aku lihat kamu kesakitan kayak tadi." Salma terkekeh. Memaklumi ketidaktahuan pemuda harapan bangsa yang ada di hadapannya. Ia menjelaskan dengan sabar.
Banyak perempuan mengalami nyeri haid saat menstruasi. Ada yang ringan, sedang, bahkan ada yang saking sakitnya sampai pingsan. Nyeri haid yang semacam ini biasanya terasa seperti kram otot yang menyakitkan di perut bagian bawah. Ini yang dikenal dengan kram menstruasi atau dismenore.
Menstruasi terjadi karena meluruhnya penebalan pada dinding rahim yang dipersiapkan untuk kehamilan. Ini terjadi karena sel telur tidak dibuahi, sehingga tidak ada kehamilan. Maka dinding rahim yang menebal tadi tidak dibutuhkan dan akan dilepaskan atau luruh, keluar sebagai darah menstruasi.
Saat lepas itu terjadi kontraksi pada dinding rahim, itu menyebabkan pembuluh darah yang melapisi rahim tertekan sehingga suplai darah dan oksigen ke rahim berhenti sementara.
Tanpa oksigen, jaringan di rahim akan melepaskan bahan kimia yang memicu rasa sakit. Di waktu yang bersamaan tubuh juga menghasilkan bahan kimia lain yaitu prostaglandin. Prostaglandin ini mendorong otot rahim untuk berkontraksi lebih banyak, yang akhirnya meningkatkan rasa nyeri.
"Kalau nyerinya parah ya kayak Sal tadi, Mas." Andro diam saja.
"Mas?" Salma menatap Andro yang matanya sudah terpejam, entah sejak kapan. Gemas. Dibelainya bulu-bulu tipis yang berbaris di rahang sang suami. Andro tersenyum, menahan jemari Salma tetap di sana. Rupanya pura-pura tidur saja.
"Penjelasannya panjang banget, Sal, dan satupun aku nggak ada yang paham. Yang aku ngerti cuma sel telur luruh karena nggak dibuahi. Kalau sel telurmu dibuahi, apa kamu nggak akan mengalami sakit yang kayak tadi lagi, Sal?"
"Mas udah ngantuk tuh, ngomongnya ngelantur gitu." Mulut Salma mengerucut. Cemberut. Andro tertawa, ditariknya mulut Salma dengan gemas. Mereka lalu berpelukan, hingga jatuh terlelap dengan senyuman.
***
Andro makin gencar kode-kodeannya ya, Bund. Udah sampai pembuahan segala. Hahaha...
Terus, kenapa jadi bahas dismenore deh? Karena ini salah satu 'persoalan hidup' yang dihadapi sebagian kaum perempuan. Aku tuh ingat sepupuku, yg kalau hari pertama haid bisa sampai nggak kuat bangun. Dan itu sampai satu divisinya di kantor tahu, karena tiap bulan pasti dapat izin utk special case yg sama. Ini kalau udah nikah juga harus jadi sesuatu yg harus dijelaskan ke suami sih menurut aku. Hehe...
Rajin amat updatenya? Iya, aku update sengaja. Karena aku memutuskan untuk stop update dulu selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Insyaallah mau lebih fokusin ke ibadah karena di sepuluh hari tsb terdapat satu malam di mana jika kita mendapatkannya, maka nilai ibadah kita sama dengan melakukan ibadah tsb selama seribu bulan. MasyaAllah.
Ini yg kemarin kutanyakan, sudah persiapan apa saja untuk menyambut dan mengisi sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hehe.
Jadi aku minta maaf. Move On udah kurapel sekarang. InsyaAllah ketemu lagi habis lebaran. Aku akan usahakan untuk tetap update, tapi cuma ceritanya keluarga Bapak Anas aja. Gpp yaaa.
Kalau kangen Andro Salma, boleh dibaca-baca dulu lagi part 1-16 yang udah ada. Hehe....
Tetap semangat ya teman-teman.
Thank you, love you, and see you.
Otw, 02052021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top