15. Pengertian

Berada di pelukanmu
Menyadarkanku
Apa artinya kenyamanan
Kesempurnaan cinta
(Rizky Febian - Kesempurnaan Cinta)

***

Liburan usai sudah, semester lima terhampar di depan mata. Tugas-tugas yang makin tinggi levelnya menanti pula.

Andro melangkahkan kaki menuju kelas. Hari pertama setelah libur semester genap yang ia habiskan full di Surabaya. Rambutnya yang sejak liburan tak tersentuh gunting diikat rapi. Pun cambangnya, ia sisakan tipis-tipis hingga wajahnya terlihat lebih dewasa.

"Kak Andro, ganteng banget sih."

Arimbi. Mahasiswi pintar semester tiga yang agresif itu melancarkan pujian begitu mereka berpapasan di koridor. Penampilan Andro yang berbeda dari biasanya mengalihkan Arimbi dari Iqbal Sya'bani yang sudah tak mungkin dimiliki.

"Dari dulu ganteng kali, Ar," sahut Andro disusul tawa lepas yang membuat jantung Arimbi berdenyut keras.

"Single available kan yak?" balas Arimbi lagi.

"Rahasia."

"Bilang iya aja sih, Kak."

Andro cuma tertawa, lalu berpamitan. "Yuk, Ar. Duluan ya."

"Buru-buru amat, Kak. Berhenti dulu kek, kan lama nggak pernah ketemu. Liburan di mana sih, Kak?"

"Di rumah, Ar." Andro berhenti sejenak.

"Rumahnya mana?"

"Nggak dibawa." Arimbi terbahak mendengar jawaban Andro yang sok ngelucu.

"Kak, kalau ada materi semester tiga yang aku nggak bisa boleh tanya-tanya ya?"

Asem lah. Baru hari pertama udah dimodusin adik tingkat.

"Okay. Just feel free to ask, Ar. Kalau aku bisa insya Allah kubantu. Yuk lah, aku duluan."

"Ndro, tunggu."

Satu teriakan membuatnya menghentikan langkah. Ia menelan ludah. Suara yang dihafalnya sejak berstatus mahasiswa baru itu ternyata masih sanggup membuatnya gundah.

"Astagfirullah," gumamnya lirih. Lebih kepada dirinya sendiri.

Dihelanya napas dalam, sebelum menoleh dengan bibir tertarik lebar ke kiri dan kanan.

"Gimana, Zul? Baru hari pertama lho, belum ada tugas dong ya." Andro mencoba bersikap biasa. Tampaknya berhasil, karena Nara yang datang bersama Luli tak menunjukkan perubahan air muka. Aman.

"Ya nggak gitu juga kali, Ndro. Jelek amat reputasiku di matamu." Luli cemberut. Andro mengalihkan pandangan. Dulu, melihat Luli manyun begitu adalah satu hal yang membuatnya gemas. Sekarang menjadi satu hal yang harus dia hindari dengan keras.

"Ganteng bener, Ndro, penampilan baru," puji Nara tulus.

"Wah, ntar dilaporin Zulfa ke kakaknya, mampus aku, Sya."

"Haha, nggak lah, Ndro. Emak dua anak gini mah bebas dari dicemburuin. Lagian, muji sahabat sendiri juga. Aku objektif aja sih. Jadi kelihatan mas-mas, Ndro. Lebih dewasa, gitu."

"Kemarin kelihatan adek-adek ya, Sya?" Andro tertawa renyah, Nara juga. Sedangkan Luli masih tak berkedip menatap seseorang yang pernah begitu berjasa dalam kehidupannya sebagai mahasiswa.

"Yuk lah, ke kelas bareng."

"Eh, Y-Yudi mana, Ndro?" Lah, kenapa juga pakai gugup. Dasar Luli.

"Nggak tahu, Zul. Mungkin udah di kelas. Atau malah belum berangkat."

"Nggak bareng kah? Biasanya kalian kayak dua sejoli." Andro ngakak.

"Nggak gitu juga kali, Zul. Aku masih normal. Entah kalau Yudi." Kali ini mereka bertiga kompak tertawa.

Di kelas, Wahyudi ternyata sudah tiba lebih dulu. Ia melambai pada teman-temannya untuk duduk berdekatan. Luli dan Nara mengiyakan, tapi tidak dengan Andro. Ia memilih duduk agak jauh dari ketiganya.

"Kenapa nggak di sini aja, Ndro?" tanya Luli.

"Nggak apa-apa, Zul. Nyari aman aja."

"Kan nggak ada kelasnya Pak Iqbal."

"Iya sih." Tapi hatiku yang harus diamankan, lanjut Andro dalam hati.

Perkuliahan dimulai. Belum ada materi, baru kontrak perkuliahan bersama Pak Irfan, dosen Struktur Baja yang kaku dan kerasnya sebelas dua belas dengan apa yang jadi bahan ajarnya.

Selama di kelas tak sedikitpun Andro memandang ke arah Luli. Sampai Pak Irfan mengakhiri kelas dan pergi, Andro masih tetap dengan kesibukannya sendiri.

"Ke kantin yuk, Ndro," ajak Wahyudi. Nara dan Luli telah pula menanti. Kelas mulai sepi karena setelahnya tak ada perkuliahan lagi.

"No, thanks. Aku mau langsung pulang aja."

"Kok gitu sih, Ndro?" Luli mulai merasa terganggu dengan perubahan sikap Andro.

"Kamu berubah, Ndro." Luli mendekat, berusaha agar obrolannya tak terdengar Nara dan Yudi.

"Ya udah deh, kalian nyusul aja ya," kata Nara sambil menarik ransel Wahyudi.

"Tapi, Sya...." Hendak menolak, tapi Wahyudi ingat kalau status pernikahan sahabatnya masih rahasia.

"Kamu kenapa sih, Ndro?" tanya Luli lagi.

"Nggak kenapa-kenapa. Memang sudah seharusnya begitu kan, Zul? Semuanya udah berbeda. Jadi aku juga harus berbeda."

"Kamu udah nggak suka berteman sama kita ya, Ndro?"

"Bukan nggak suka sih, Zul. Dan mungkin cuma sama kamu aja. Karena memang sekarang ini ada hal-hal yang harus dijaga. Kamu sendiri juga bilang begitu kan waktu di acaramu sama Pak Iqbal malam itu? Aku cuma mau konsisten dengan apa yang kita bahas waktu itu, Zul." Luli diam, ada kaca-kaca di kedua mata. Andro tak tahan, ia tak boleh berlama-lama berada di sana.

"Udah ya, Zul. Aku pulang dulu. Assalamualaikum."

Andro pergi, tanpa menunggu jawaban dari Luli. Mood-nya mendadak jatuh. Yang ia inginkan sekarang hanya pulang, menghabiskan waktu berdua dengan Salma. Sebab saat bersama Salma, Andro lupa pada banyak hal yang membebani pikirannya. Ia merasa damai dan bahagia.

Salma sedang membersihkan debu-debu dengan vacum cleaner ketika Andro tiba di rumah. Andro heran, perasaan rumah masih kinclong, kenapa juga harus di-vacum cleaner.

"Nggak ada kegiatan, Mas," kata Salma saat Andro menyampaikan keheranannya.

"Siapin baju buat dua hari ya, Sal. Kita ke Jogja."

"Lho, ada acara apa, Mas, kok mendadak gini? Mas nggak kuliah?"

"Belum aktif, Sal. Jadi kita manfaatin waktu aja buat jalan-jalan." Ditaruhnya ransel dengan asal, lalu menyandarkan punggung pada sandaran sofa yang nyaman.

"Mas kenapa? Ada masalah apa? Kok kelihatan kayak ada beban, gitu." Andro menyembunyikan kekagetannya. Dalam hati bertanya, memang seperti apa mukaku sampai Salma bisa membaca situasiku saat ini?

"Nggak. Nggak ada. Biasa aja."

"Mas ngajak ke Jogja bukan buat melarikan diri karena ada masalah sama seseorang, kan? Kalau iya, lebih baik kita nggak usah ke mana-mana. Mood itu mempengaruhi suasana, Mas. Buat apa jalan-jalan kalau Mas nggak merasa nyaman? Nanti Sal ikut terpengaruh dan jadi nggak nyaman.

"Mas pengen Sal ngapain? Pijitin? Ambilin jus apel? Ambilin air dingin? Atau apa? Atau Mas mau bolu? Sal baru aja kelar bikin bolu pandan nih." Semua dijawab Andro dengan gelengan kepala.

"Kalau aku pengennya dipeluk, kamu mau?"

"Emm, kalau itu bisa bikin perasaan Mas jadi lega. Sal akan melakukannya."

Salma mendekat, meraih Andro dalam pelukannya. Andro membenamkan kepalanya dalam-dalam di dada Salma. Mendengar detak jantung yang temponya cepat tapi tak beraturan. Andro tersenyum sendiri, menemui kenyataan bahwa mereka berdua masih sama-sama deg-degan setiap kali berpelukan. Baginya itu sangat lucu, tapi juga menyenangkan.

Mood Andro perlahan membaik. Ia lupa dengan apa yang tadi dihadapinya. Mungkin karena nyaman bisa berlama-lama merasakan hangatnya pelukan Salma, apalagi di titik yang menjadi favoritnya.

"Sudah ya, Mas? Sal mau duduk, kaki Sal geringgingan (kesemutan). Mas kalau udah dipeluk betah banget ya." Ada yang pura-pura cemberut, padahal ia sendiri senang bisa berlama-lama memeluk laki-laki yang dicintainya.

Salma duduk tepat di sebelah Andro, yang kemudian menarik Salma untuk bersandar padanya.

"Mas kenapa? Apa ini karena teman Mas yang itu? Mas ketemu di kampus dan ada yang berulah di sini?" Salma menusuk-nusukkan telunjuknya ke dada Andro.

"Eh, ng-nggak gitu, Sal. Nggak. Eh, iya. Ak-aku ketemu, tapi nggak ada apa-apa, Sal. Biasa aja."

"Mungkin Mas bisa sembunyikan itu di depan dia, tapi nggak di depan Sal. Mas masih sayang, ya?"

"Sal, buat apa sih dibahas? Dia udah jadi masa lalu."

"Yang sudah jadi masa lalu itu kedekatan dan harapan Mas ke dia. Tapi tidak secara fisik. Dia masih akan ada, paling mggak sampai dua tahun ke depan, sampai Mas selesai kuliah, dan kita balik ke Surabaya.

"Sal nggak apa-apa, Mas. Sal ngerti, nggak semudah itu melupakan seseorang yang pernah berarti. Sal senang kok, Mas memilih untuk pulang dan lari ke Sal. Itu sudah cukup bikin Sal yakin kalau Mas ada niat untuk menjauh dari semua tentangnya. Sal nggak apa-apa, Mas." Ada kesejukan yang Andro rasakan di hati. Apa yang dikatakan Salma menenangkan dan menguatkan baginya.

"Maafin aku ya, Sal. Aku cuma nggak suka karena dia menunjukkan perhatian ke aku, setelah dulu bilang kalau persahabatan kami mungkin nggak akan sama kayak dulu lagi. Memang harus begitu, kan? Jadi aku sudah menganggap persahabatan kami nggak ada lagi. Cuma ketemu aja karena kuliah di tempat yang sama.

"Apalagi sekarang aku sudah punya kamu, yang harus kujaga dan kubahagiakan. Nggak cuma fisik, tapi lebih lagi adalah hatimu. Maafin aku ya, Sal, kalau keberadaannya masih harus mempengaruhi hidupku, hidup kita. Maafin aku, Sal."

"Ssstt, Mas nggak harus minta maaf terus, gitu. Sal percaya sama Mas, kok. Jadi Mas juga harus percaya sama Sal. Udah ya, Mas jangan nggak mood lagi, kan sekarang udah sama Sal."

Salma beranjak ke dapur, mengambil sekaleng susu beruang dingin, juga sebotol jus apel. "Mas mau yang mana?"

"Aku mau yang ini aja." Telunjuknya mendarat tepat di tengah dada Salma.

"Kita jadi mau ke Jogja, Mas?" Topik pembicaraan buru-buru dialihkan. Andro tertawa, lalu berdiri dan memeluk Salma.

"Terserah kamu, Sal. Kalau kamu mau, kita berangkat. Kalau kamu nggak mau, kita di rumah aja, pacaran. Dan kalaupun kita pergi, bukan karena aku mau melarikan diri dari kekesalan atau semacamnya. Mood-ku udah baik. Jauh lebih baik dari sebelum aku berangkat ke kampus, Sal. Thank you, Love." Kata love yang Salma dengar sanggup memerahkan pipinya. Ia merasa geli dan aneh, tapi juga bahagia.

"Emm, tapi, Mas..., kalau destinasinya diganti, boleh?" Masih sempat-sempatnya Salma mengajukan negosiasi.

"Kamu pengen ke mana, Sal?" Andro melembut, antara tak tega dan ingin tertawa. Salma memang unik.

"Emm, Sal pengen ke..., masjid Demak sama menara Kudus. Nggak jauh kan, Mas, dari sini?" Salma malu-malu. Tapi dua tempat itu memang masuk wishlist yang ingin ia kunjungi.

"Kamu suka wisata ziarah, Sal?"

"Sal nggak pernah berwisata, Mas. Sebelum sama Mas, paling jauh ninggalin Surabaya cuma ke Bangkalan, karena makamnya bapak --suami Bu Miska-- di sana. Sama ke Pasuruan, soalnya Bu Miska asli sana."

"Hah? Bangkalan sama Pasuruan itu udah paling jauh? Ya Allah, Sal."

Direngkuhnya kembali sang istri ke pelukan. Andro sedih sekali. Betapa kehidupan mereka bagai langit dan bumi. Andro bahkan sudah menginjakkan kakinya mendekati kutub utara sejak SD. Papanya ingin menunjukkan Aurora Borealis, yang menjadi inspirasi untuk nama kakaknya. Tapi Salma? Pasuruan dan Bangkalan..., Ya Rabb.

Mood-nya yang tadi berantakan benar-benar menguap dan hilang, berganti semangat untuk menyenangkan hati Salma.

"Ya udah, kita ke Utara." Persetujuan meluncur, Salma senang bukan kepalang. Ia memeluk Andro dengan riang.

Tak butuh waktu lama bagi Salma untuk mengemas apa-apa yang menurutnya perlu dibawa. Ia membawa pula bolu pandan yang ia buat saat Andro ke kampus tadi. Tak lupa jus apel kesukaan suami, yang selalu ia sediakan setiap pagi, juga beberapa kaleng susu beruang dingin.

"Kamu seneng, Sal?" Mobil meluncur bersama pertanyaan Andro untuk sang istri.

"Iya, Sal seneng banget. Makasih ya, Mas. Maaf kalau Sal ngerepotin."

"Apa sih? Nggak boleh ngomong begitu lagi ya, Sal. Aku nggak suka." Andro mengingatkan.

"Sal tuh pengen banget suatu hari nanti bisa ziarah ke makam Rasulullah. Tapi karena belum bisa, ya ke makam Wali Songo dulu yang dekat. Beliau-beliau itu kan juga yang menyebarkan dakwah Islam di bumi pertiwi." Senyum lebar menghiasi wajah Andro. Salma makin ayu kalau sudah bicara serius begitu.

"Perjalananmu dimulai dari Utara dulu, Sal. That's why, kamu berjodoh sama aku."

"Nggak paham," ujar Salma singkat. Memang begitulah adanya.

"Demak dan Kudus itu kalau dari Semarang ke arah utara, Sal. Utara miring ke timur."

"Itu namanya timur laut, Mas." Salma komplain.

"Udah, iyain aja sih, Sal." Cekikikan, Salma pun mengiyakan.

"Namaku Andromeda. Andromeda itu galaksi yang ada di belahan angkasa sisi utara. Papa menyesuaikan nama kami dengan namanya, Sisiutara. Maka dinamakanlah kami, aku dan Mbak Rea, dengan nama-nama yang berhubungan dengan langit sebelah utara. Kamu tahu Andromeda, Sal?"

"Hemm. Andromeda itu salah satu galaksi besar selain Bima Sakti atau Milky Way. Namanya diambil dari nama seorang putri dari mitologi Yunani. Mitosnya berhubungan dengan Cassiopeia, Perseus, Pegasus, dan lainnya. Terletak di belahan langit utara, dan memiliki ukuran yang lebih besar dari Milky Way."

Tentu saja Salma bisa menyebutkan dengan lancar. Begitu Andro menyatakan diri melamarnya, malam itu juga Salma mencari tahu tentang banyak hal, salah satunya adalah Andromeda. Dan ia hanya butuh sekali baca untuk bisa merekam dengan baik data-data yang ia baca.

"Kamu memang istimewa, Sal. By the way, Pas tahu tentang Andromeda, aku protes sama papa. Karena Andromeda itu diambil dari nama putri, padahal aku kan laki-laki. Ganteng dan macho gini." Salma terkikik, tampak terhibur sekali dengan kekesalan sang suami.

"Terus, papa bilang apa?"

"Kata papa, nama Andromeda kan gagah. Kalau Bima Sakti kayak pemain PSSI, Milki Way malah jadi ingat susu bubuk yang tumpah. Huh, emang ngeselin bapak-bapak satu itu." Salma tak lagi terkikik, ia terpingkal-pingkal sekarang. Bahkan sampai menangis.

"Mas tahu nggak? Sal nggak pernah tertawa sampai nangis begini lho. Makasih ya, Mas. Sal beruntung banget punya Mas."

Lagi, Andro jadi ikut sedih. Juga tertampar. Dengan hidup yang selalu dipenuhi keberlimpahan, ia justru lupa bersyukur. Tak seperti istrinya, yang sedikit-sedikit selalu menyampaikan terima kasih. Hamdalah seakan tak pernah berhenti mengalir dari lisan gadis cantik itu. Hanya syukur, syukur, dan syukur saja yang selalu membasahi bibir Salma.

"Aku yang terima kasih, Sal. Hidup enak dan nyaman bikin aku terlena. Aku seringkali lupa bersyukur. Padahal kalau bukan karena Allah yang berkehendak, aku juga nggak akan seberuntung ini. Astaghfirullah hal adzim." Tangan Andro terulur, meraih jemari Salma dan menempelkan ke pipi kirinya. Lalu mengecupnya lembut. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

"Mas, udah dong."

"Kenapa, Sal? Kamu nggak suka?"

"Sal cuma nggak kuat nahan geli."

"Hah? Diginiin masa geli sih, Sal?" Andro mengecup sekali lagi.

"Yang geli di sini, Mas." Salma memegang bagian dadanya. "Sal deg-degan banget."

"Yang sebelah mana yang deg-degan? Boleh aku cek nggak?" goda Andro.

"Maaass, iih." Salma merajuk.

Untuk kesekian kali Andro bersyukur dalam hati. Pacaran halal ternyata seindah ini. Kehidupan rumah tangga jelas akan lebih berat lagi. Tapi kalau di sela-selanya selalu bisa melakukan hal-hal menyenangkan berdua dengan Salma,  rasanya ia tak keberatan sama sekali.

***

Andro mulai melancarkan kode-kode ya, Bund. Hahaha....

Aku update lagi. Maunya hari ini update keluarga Bapak Anas, tapi belum kelar ngetiknya, banyak iklam lewat. Hehe... Jadi sebagai gantinya, aku update Move On aja yang udah ada tabungan partnya.

Updatenya juga agak kemalaman, soalnya habis tarawih si bapak ngajakin keluar. Nggak apa-apa ya. Semoga belum pada tidur, jadi bisa menemani malam panjangnya teman-teman semua.

Btw, besok malam udah memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, udah pada persiapan apa nih?
Appaaahh? Persiapan kue kering, baju baru, dan ketupat? Weits, nggak gitu konsepnya, Gaes :p

Baiklah. Sampai di sini dulu ya. Terima kasih dan mohon maaf untuk semuanya.

Sampai jumpa

Semarang, 01052021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top