12. Terselesaikan
Just close your eyes each loving day
And know this feeling won't go away
Every word I say is true
This I promise you
(N'Sync - This I Promise You)
***
Salma bangun satu jam setelah Andro terlelap. Kaget, ketika sadar tangannya bersentuhan dengan dinginnya kulit Andro. Dan kembali beristighfar sebanyaknya, saat menemukan Andro memeluknya dengan hanya boxer yang menempel di badan. Jadi, semalam saat berpelukan dengannya Andro cuma memakai....
Lah, baru sadar. Memangnya semalam kamu pingsan apa gimana, Salma?
03.30. Salma geragapan begitu pandangannya menumbuk jam dinding. Setengah berlari menuju kamar mandi. Mencuci muka, menggosok gigi, lalu bersuci. Ia bangun agak telat dari biasanya. Waktunya tak banyak, ia harus menyelesaikan delapan rakaatnya, juga witir yang biasanya ia lakukan sebelum tidur malam. Kali ini ia sudah berniat untuk absen puasa, karena sekarang ada suami yang harus ia mintai izinnya.
Salma ingat, semalam ia begitu bersemangat bicara berdua hingga menunda tiga rakaatnya. Setelahnya merasa kesal dan kecewa pada suaminya. Dan berakhir dengan tidur di hangatnya pelukan Angkasa Andromeda.
"Mas, bangun. Mas nggak pengen qiyamul lail?" Pada jeda empat rakaat ia membangunkan Andro untuk juga menghidupkan malamnya.
"Kamu?" Suara serak Andro lagi-lagi menimbulkan desir-desir di hati Salma.
"Eh, S-Sal udah dapat em-empat rakaat." Andro bangkit dari baringnya. Meski matanya masih belum bisa diajak kerjasama, tapi semangatnya langsung menyala mendengar Salma menyebut Sal lagi untuk dirinya.
"I love you, Sal. Maafkan aku yang semalam. Aku janji, kita akan selesaikan pagi ini. Thanks for waking me up." Sebuah kecupan Andro berikan, pada puncak kepala yang terbungkus mukena bermotif bunga.
Ia lalu mengambil wudhu, qiyamul lail sebaris di depan istrinya. Lalu melanjutkan dengan salat subuh berdua. Setelahnya Andro kembali memuroja'ah hafalannya di hadapan Salma, dilanjutkan tilawah untuk memperbaiki bacaannya. Tirai dari jendela kaca super lebar mereka buka, hingga lukisan pegunungan dengan cahaya jingga yang mengintip di sela-selanya tergambar sempurna.
Andro menutup mushafnya, beranjak ke belakang Salma, dan memeluknya. Kedua tangannya melingkar pada rampingnya pinggang Salma. Hangat nafasnya meniup-niup pipi Salma hingga merona.
"Sal."
"Ya, Mas?"
"Jangan nangis lagi seperti semalam ya. Aku merasa nggak becus jadi laki-laki. Semestinya keberadaanku untuk membahagiakan kamu, bukan sebaliknya."
"Jadi, apa yang Mas sembunyikan dari Sal?"
"Oke, kita akan bicarakan itu. But, please..., we will start from the first, the last we will discuss at the end. Aku nggak menerima bantahan."
"Okay. Deal. Tapi Sal pikir, yang perlu kita bahas cukup di poin minusnya saja. Dan tiga yang pertama sudah kita bahas sebelum kita menikah, Mas. Bukankah Mas sendiri bilang kalau Mas nggak suka mengulang-ulang apa yang sudah pernah dibicarakan?"
"Yes, you're absolutely right. Memangnya kamu ingat tiga yang pertama?"
"Sal bahkan ingat semua poinnya. Dari mulai judul, poin plus yang jumlahnya enam, sampai poin minus yang jumlahnya sepuluh dengan dua poin paling bawah yang Mas coret." Kemudian gadis itu menyebutkannya satu per satu.
Andro tercengang, tapi hanya sekejap. Ia segera tersadar, 30 juz Al Qur'an saja dia bisa hafal, apalagi cuma catatan yang sedikit itu. Masya Allah.
"Oke, Sal. Lebih tepatnya empat poin yang pertama. Untuk poin satu bagian minus, insya Allah terselesaikan di poin plus nomor enam. Dari awal masuk kuliah, mama nggak pernah absen kirim uang, jumlahnya lumayan, kadang sepuluh, seringnya lima belas---"
"Juta, Mas?"
"Ya iyalah, Sal, masa lima belas sen? Kita nggak hidup di zaman kolonial, Nyonya." Satu cubitan Andro dapatkan, satu senyum Salma berikan pula sebagai penawarnya.
"Aku bukan mahasiswa dengan gaya hidup foya-foya, Sal. Aku menjalani hidupku dengan biasa saja. Kalau kata Wahyudi, gaya hidupku terlalu sederhana kalau pembandingnya kiriman mama." Andro terkekeh mengingat komentar Wahyudi.
"Selama itu pula aku nggak pernah ngurusin berapa sisa saldo dan semacamnya. Pokoknya aku butuh duit, ada. Seenak itu hidupku, Sal. Sampai aku galau setelah kejadian denganmu malam itu. Terus aku bikin catatan ini, dan besoknya aku cek saldo. Alhamdulillah, masih cukup banyak, Sal. Setidaknya buat hidup sederhana dua tahun ke depan."
Andro beranjak, mengambil sebuah kotak berukuran sedang dari backpack-nya. Satu-satunya buku tabungan ia keluarkan dan ia berikan pada Salma. Gadis itu membuka halaman yang memuat saldo terakhir, matanya membelalak menemukan sembilan deret angka dengan angka dua berada di paling depan.
Hidup sederhana macam apa yang dijalani dengan angka sebanyak itu? Mereka bahkan punya jatah bulanan hampir sepuluh juta kalau nominal itu dibagi rata untuk dua puluh empat bulan ke depan.
"Mas, ini banyak sekali. Hidup sederhana yang ada di pikiran Mas itu yang seperti apa memangnya?"
"Ya pokoknya hidup yang ada keterbatasan, Sal. Karena aku belum bisa mencari, minimal buat menjaga nilainya biar konstan. Jadi kemungkinan besar dari bulan ke bulan jumlahnya akan terus berkurang, sampai aku bisa menghasilkan uang."
"Bukannya untuk kuliah Mas juga udah ada sendiri ya?" Salma ingat poin keempat.
"Iya. Mama bilang, aku harus bertanggung jawab dalam kehidupanku sebagai kepala keluarga. Dalam hal ini menafkahi kamu dan diriku sendiri. Tapi untuk pendidikan, mama dan papa yang akan bertanggung jawab sampai aku selesai, bahkan untuk aku kuliah S2 nanti."
"Ya sudah, Mas. Insya Allah yang ada sekarang lebih dari cukup sampai kita bisa menghasilkan uang."
"Aku, Sal. Bukan kita."
"Mas nggak nganggap saya bagian dari diri Mas? Sampai saya nggak boleh terlibat di urusan keluarga kita?"
"Nggak gitu, Sal. Emm, kupikir pembahasan tentang keuangan sudah bisa kita cukupkan, Sal. Tentang yang lain-lain, nanti kita bahas sambil jalan. Sekarang kita bicara tentang ilmu agamaku yang masih ketinggalan jauh dari kamu, makmumku."
"Itu juga udah nggak perlu dibahas, Mas. Asalkan Mas mau berazzam untuk belajar dan memperbaiki diri, memperbaiki keadaan, yakinlah, Allah akan memberi jalan serta banyak kemudahan."
"Aku juga belum siap punya anak, Sal."
"Ehk, emm..., Sal, emm..., Sal malah b-belum siap buka baju di depan Mas." Salma menutup muka dengan kedua tangannya.
"Gimana mau buka baju, buka jilbab aja sampai sekarang kamu belum mau." Diusapnya kepala Salma. Andro merasakan sayang yang tak biasa.
"Tapi kalau jadi ibu insya Allah Sal sudah siap, Mas. Sal kan biasa momong adik-adik selama di panti. Cuma tinggal kesiapan soal, emm..., soal itunya aja. Insya Allah akan datang seiring berjalannya waktu." Andro setuju.
Poin berikutnya adalah tugas kuliah yang banyak. Salma lagi-lagi tak mau membahas panjang lebar, baginya itu sudah konsekuensi menikah dengan mahasiswa. Apalagi mahasiswa fakultas teknik yang kuliahnya tak mudah, tugasnya pun tak sedikit.
Selanjutnya menurut Salma, nggak pernah pacaran seharusnya masuk pada poin plus. Walaupun alasan Andro memasukkan pada deretan daftar minus adalah sebab tak ada pengalaman menghadapi kaum perempuan.
Memangnya Zulfa bukan perempuan, Ndro? Hatinya mengejek. Ingatan tentang betapa sabarnya dia menghadapi banyak kelakuan absurd seorang Zulfa Nurulita --yang cuma teman saja-- berkelebat di kepala. Andro buru-buru membatinkan istighfar.
"Tapi kamu nggak apa-apa kan, Sal,kalau aku nggak membuka dulu tentang status kita?" Dengan hati-hati Andro mengajukan pertanyaan.
"Sebenarnya Sal nggak keberatan, Mas. Tapi feeling Sal, ini ada hubungannya dengan dua poin yang Mas coret sampai nggak bisa dibaca."
"Oke. Kita minum yang hangat-hangat dulu aja ya. Aku nggak mau ada emosi yang terlibat seperti tadi malam, Sal."
Salma sepakat. Dengan tangkas menyiapkan dua gelas minuman. Susu madu untuk Andro, teh panas untuknya sendiri. Sekotak strudel dan dua butir apel menjadi pelengkap untuk mengisi perut.
"Eh, Sal. Kita kan sekarang ini statusnya pacaran nih, pacaran halal. Mbok ya kamu tuh yang mesra dikit ke aku. Suapin strudel kek, atau potongan apel, gitu. Masa iya aku harus makan sendiri terus." Aish, ada yang ingin merasakan bagaimana pacaran.
"Dih, manja ya," rajuk Salma. Tangannya bergerak mencuil strudel dan menyuapkan ke mulut suaminya. Desir-desir kembali meramaikan hati keduanya.
"Sal."
"Ya?"
"Kamu percaya nggak kalau aku nggak pernah punya pacar?"
Sebenarnya jeda minum dan kudapan hanya bisa-bisanya Andro saja. Menurutnya akan lebih aman jika obrolan yang semalam memancing pertengkaran dibicarakan sambil melakukan kegiatan yang lain. Makan atau minum salah satunya.
"Emm, sebenernya Sal nggak percaya sih, Mas. Mas kan pintar, kaya, keren, cool, dan..., ganteng. Kalau mau gonta-ganti pacar tiap bulan aja bisa."
"Aku memang beneran nggak pernah punya, Sal. Nggak pernah punya pacar. Tapi kalau masa lalu aku punya, dan maaf..., belum hilang sepenuhnya."
"Itu yang Mas tulis di nomor sembilan?"
"Iya. Aku ingat bener, di situ aku tulis, masih ada sisa masa lalu. Yaa gimana ya, Sal? Bukankah sesuatu yang pernah menghuni hatimu cukup dalam, biasanya cukup sulit juga untuk menghilangkannya begitu saja?" Ditandaskannya susu madu, lalu segera meletakkan cangkirnya ke meja.
"Nggak tahu. Kan Sal belum pernah. Sal cuma pernah jatuh cinta sekali. Untuk pertama, insya Allah untuk yang terakhir juga."
"Aku kah orang yang beruntung itu, Sal?" Salma mengangguk. Andro merangkulnya, mengecup kepala Salma. Lama.
"Maaf ya, Sal. Aku nggak bisa memberikan yang sama, karena apa yang udah terjadi nggak bisa diulang lagi. Tapi percayalah, aku sayang sama kamu."
"Sama dia?"
"Dulu iya, seka---"
"Mantan?"
"Teman. Bertepuk sebelah tangan. Dia nggak mau pacaran."
"Kalau dia mau pacaran, mungkin sekarang ini Mas nggak ada di sini sama Sal, ya?" Ada sedih di wajah cantik gadis itu.
"Buat apa berandai-andai seperti itu, Sal? Dia cuma masa lalu."
"Kenapa Mas berhenti sayang sama dia?"
"Dia udah nikah."
"Kalau dia belum nikah, pasti Mas masih nung---"
"Enough, Sal. Nggak perlu dibahas lagi. Sekarang aku cuma milikmu. Aku, dengan segala kekuranganku, termasuk masa laluku."
"Apa Sal cuma pelarian saja?"
"I've guessed," desis Andro.
"Aku udah nebak kalau ini akan terjadi. Makanya aku coret dua poin yang paling bawah, Sal. Karena aku yakin, kamu juga akan bertanya seperti itu. Pelarian. Ya..., pelarian. And if i say no, will you believe it?" Andro tertawa kecil, agak sinis. Bukan pada Salma, lebih pada dirinya sendiri.
"Kalau Sal percaya?"
"Aku sudah nggak berharap begitu, Sal. Mama, papa, Mbak Rea, bahkan Wahyudi yang paling tahu aku dua tahun ini, semua mengajukan pertanyaan yang sama ketika aku bilang ingin menikahimu. Apa aku menjadikanmu pelarian? Tak ada satupun yang tak berpikir begitu. Jadi aku udah menduga kalau kamu pun punya pikiran yang sama. Dan benar, pertanyaan itu keluar juga dari kamu.
"Aku nggak akan memaksamu untuk percaya ke aku, Sal. Tapi aku akan buktikan, kalau aku nggak begitu. I promise you."
"Buat apa kita menikah kalau tidak didasari dengan kepercayaan satu sama lain, Mas? Benar Sal ada kepikiran seperti itu, tapi Sal juga yakin kalau Mas nggak akan tega melakukannya ke Sal. Mas orang baik, kok. Sal percaya itu.
"Karena kalau cuma untuk pelarian, Sal yakin Mas nggak akan mau repot-repot menikahi Sal. Mengambil tanggung jawab yang nggak kecil, sedangkan Mas sendiri masih kuliah, dan menikah berarti beban pikiran bertambah. Di luar sana banyak perempuan yang bisa Mas datangi kalau sekadar buat mencari hiburan. Buat pelarian. Tapi Mas mau bersusah payah menikahi Sal. Jadi, apa yang membuat Sal harus meragukan niat baik Mas?" Lagi-lagi apa yang dikatakan Salma semua bisa diterima oleh logika.
"Yang penting satu hal. Mas harus jujur sama Sal. Apapun itu, Sal nggak mau Mas menyembunyikan sesuatu. Kita nggak perlu bertengkar seperti semalam kalau Mas nggak pakai berbelit-belit menyembunyikan apa yang Mas tulis lalu dicoret sampai segitunya.
"Jadi, apa yang Mas coret di nomor sepuluh?"
Dyarrr.... Belum ada cinta. Oh, sungguh Andro tak sanggup mengatakannya. Pasti akan menyakiti hati Salma.
"Emm, aku minta maaf dulu sebelumnya. Semoga ini nggak menyakiti hati kamu, Sal. Lagi pula, itu kutulis hampir dua pekan lalu, dan semua sudah berubah dalam dua hari ini."
"Nah, kan, berbelit-belit lagi. Udah sih, Mas tinggal sebut saja apa."
"Belum ada cinta. Maaf, Sal. Tapi itu dulu. Aku sudah bilang kan kemarin, kalau aku sudah mencintaimu sejak aku mengucapkan qobul pagi itu. And i love you more each day."
"Benar, Mas udah punya cinta buat Sal?" Gadis itu menunduk, suaranya terdengar sangat lirih.
"Lagi-lagi aku cuma bisa bilang, kalau aku nggak bisa memaksa kamu untuk percaya. Tapi aku akan berusaha menunjukkan kalau aku pantas dipercaya, Sal."
"Apa cintanya Mas sama teman yang jadi masa lalu Mas masih---"
"Cukup, Sal. Nggak perlu bahas soal itu lagi. Kamu lebih segalanya dari dia. Aku bahkan nggak tahu lagi bagaimana menunjukkan rasa syukurku karena memiliki kamu, Sal. I love you. Nggak ada yang perlu dibahas lagi."
Andro meraih Salma ke pelukannya. Gadis itu menyandarkan kepala pada dada suaminya. Kedua tangannya melingkari perut Andro yang rata. Kecupan hangat kembali menghujani puncak kepala si gadis cantik dengan banyak sifat istimewa.
Salma mengendurkan pelukannya, lalu mendongak, menatap Andro dengan sorot mata sendu. "Sal percaya."
"Terima kasih, Sal. Terima kasih..., Sayang."
"Eh, Mas b-bilang apa? Sal mau dengar lagi." Bisikan Salma dan wajah malu-malunya menggugah sesuatu pada diri Angkasa Andromeda.
"Sal, aku...."
Andro tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bibirnya telah lebih dulu merasakan hangatnya bibir Salma. Lama. Sampai desah-desah kecil lolos dari keduanya. Jari-jari Andro pun tak lagi diam di satu tempat saja.
Ting tong.
Bunyi bel menginterupsi, membuat keduanya terlonjak seperti maling yang tertangkap basah saat hendak mencuri.
Salma lari ke kamar mandi. Terengah di depan wastafel. Dibetulkannya jilbab yang sudah bergeser tak tentu arah. Ia membasahi wajahnya, berkumur berkali-kali demi menghapus jejak Andro di sana. Ia merasa malu tak terkira. Juga rasa aneh, yang entah kenapa membuat jantungnya berpacu saat mengingatnya.
Andro menyusul. Salma membuang muka, tak mau melihat ke arah suaminya. Malu.
"M-maaf, Sal. Aku..., aku kebablasan ya?"
Salma tak peduli, masih tak mau melihat pada Andro, ia buru-buru keluar dari kamar mandi. Bel masih tetap berbunyi, Salma tak ada keinginan sama sekali untuk membukakan pintu. Ia naik ke atas bed, menarik selimut hingga seluruh tubuhnya terbalut.
Andro terpaksa membuka pintu. Ada Rea di sana, dengan wajah semringah seperti baru turun dari surga.
"Lagi ngapain, Ndro? Nganu ya?" bisiknya menggoda.
"Nganu apaan? Salma tidur."
"Tidur beneran apa kamu suruh pura-pura tidur?" Masih istiqomah menggoda.
"Ngaco! Mau ngapain sih, Mbak? Pagi-pagi udah kerajinan amat gangguin orang. Bukannya ngabisin jatah hotel di Surabaya aja sampai jam check out." Andro mulai ngegas.
"Ngabisin jatah hotel sampai jam check out? Kamu kayak orang susah aja sih, Ndro." Rea tertawa, tangannya usil mendorong jidat adiknya.
"Udah berhasil belum, Ndro?"
"Apaan deh?"
"Itu, membobol gawang lawan? Atau malah hole in one?"
"Ngaco, ah! Udah sana, pergi aja. Ganggu banget. Bye!" Andro mendorong paksa kakaknya, lalu menutup pintu dengan tergesa. Menyisakan suara tawa khas Rea yang membahana.
"Nggak berubah, ketawanya masih aja kayak setan," gerutu Andro.
Ia lalu mendekati Salma, berjongkok di sisi tempat tidurnya.
"Sal, maafin aku. Emm, aku..., aku tadi hilang kendali. Maaf kalau kamu nggak suka. Tapi..., aku suka, Sal." Tak mau munafik, Andro memang suka. Ia menikmati sensasinya.
"Aku sayang kamu, Sal. Salmaku." Wuiss, ada acara merayu segala.
"Tapi Sal malu, Mas." Wajah cantik itu mengintip dari balik selimut. Dengan lirih menyampaikan perasaannya.
"Nggak apa-apa, Sal. Aku suka lihat wajahmu kalau malu-malu. Kamu makin cantik kalau begitu. Tetaplah malu-malu, asal tetap mau. Ya?"
Wajah Salma merona. Pipi mulusnya yang kemerah-merahan mengundang Andro untuk menjatuhkan kecup di sana. Detik berikutnya ia meloncat ke atas bed. Merebahkan diri dan memeluk Salma dari belakang. Salma membiarkan saja. Sejujurnya ia pun menyukai setiap detik kebersamaan mereka.
"Mbak Rea tadi ngapain, Mas?" Salma tahu tadi Rea yang memencet bel berkali-kali. Tapi obrolan suami dan kakak iparnya itu tak tertangkap oleh telinganya.
"Halah, nggak usah digagas. Dia tuh usilnya nggak ada obat."
"Pasti nanya tentang malam pertama, ya? Maaf ya, Mas, Sal belum bisa seperti pengantin perempuan pada umumnya. Sal masih malu, masih ngerasa aneh gitu."
"Ssstt, apa sih, Sal? Aku nggak mempermasalahkan itu. Kita gini aja aku udah senang. Kita kan sama-sama nggak pernah pacaran, anggap aja Allah kasih kita kesempatan untuk ngerasain dulu serunya pacaran. Gimana deg-degannya aku kalau lagi meluk kamu gini. Jantungku yang rasanya mau loncat kalau lagi cium kamu. Aku tuh---"
"Mas bisa diem nggak sih? Udah tahu istrinya malu malah diulang-ulang terus. Sal marah, ah."
"Hehe, iya. Janji nggak diulang lagi ngeledekinnya. Kalau yang lain-lainnya mau diulang lagi."
"Maas, ih." Salma merajuk, membuat Andro makin mengeratkan peluk.
Mereka lalu berbincang, masih sambil Andro memeluk dari belakang. Obrolan yang ringan saja. Tentang makanan kesukaan, hobi, kebiasaan, dan hal-hal lain yang nantinya akan mereka hadapi sehari-hari. Salma berkali tertawa lepas mendengar cerita dan pengakuan Andro. Dari masa kecilnya yang manja, hingga masa SMA-nya yang dilalui dengan hambar. Saat di mana hidupnya hanya berputar di sekolah, rumah, perpustakaan atau toko buku, dan lapangan golf.
"Orang memang melihatku sebagai anak yang ganteng, keren, pintar, dan orang tuaku kaya, tapi hidupku macam nggak ada rasanya, Sal. Anyep. Kegiatanku cuma membaca dan belajar. Tujuanku cuma satu, ngejar kelas akselerasi biar bisa lulus SMA secepatnya dan pergi jauh dari rumah. Aku benci papa yang mengkhianati mama, mengkhianati kami anak-anaknya. Aku kesal sama mama, yang cuma diam saja, nggak mau bersikap tegas sama papa. Aku iri sama Mbak Rea, karena dia bisa menjauh dari rumah dan nggak harus menghadapi itu semua.
"Lapangan jadi tempat lain aku menghabiskan waktu. Tujuanku cuma satu. Jadi yang terbaik, yang nomor satu. Terus kalau papa sudah bangga dan berharap banyak ke aku, aku akan tinggalkan semua itu. Biar papa tahu gimana rasanya dikecewakan."
"Tujuan Mas salah semua dong, ya?"
"Begitulah, Sal. So, jangan pikir semua orang yang hidupnya penuh kemudahan itu selalu bahagia. Hidupku terlihat sempurna, tapi aku menjalaninya kayak nggak ada rasa. Untung aku nggak lari ke hal-hal yang negatif. But it's okey, selalu ada hikmah dari banyak kejadian yang datang dalam hidup kita. Kalau kita bersabar, Allah akan kasih kebahagiaan yang banyak. Begitu mama bilang waktu mau kasih tahu aku kalau papa sudah pisah dari perempuan penggoda itu.
"Kalau dalam hidupku, kebahagiaan besar itu sudah datang, Sal. Allah kasih dalam wujud bidadari, yang bisa kupeluk setiap hari. Namanya Salma. Salma Andromeda."
Pipi mulus itu tak lagi merona, hanya basah oleh bulir-bulir bening yang turun sebab sedih, haru, juga bahagia. Salma meraih tangan Andro, membimbing jari-jari kokoh itu untuk menghapus air matanya.
"Nggak boleh kali, Mas, kasih nama Mas buat Sal." Salma menciumi punggung tangan Andro.
"Kenapa?"
"Karena dalam Islam, nama seseorang hanya bisa dinisbatkan pada bapaknya."
"Aku nggak menisbatkan kamu ke aku, Sal. Aku cuma mau semua orang tahu kalau kamu itu milikku. Jadi kutitipkan namaku sebagai penanda untuk itu."
"Mas posesif juga, ya?"
"Aku yakin, laki-laki manapun kalau punya istri seistimewa kamu ya akan posesif, Sal." Sekali lagi kecupan Andro menghangatkan kepala Salma.
"Katanya nggak bisa ngegombal, ini dari tadi ngegombal terus. Sal sampai capek deg-degannya." Andro tertawa lagi. Happy.
"Oh iya, Mas, kita jadi mau ke rumah Celia nggak, sih?" Salma mengingatkan tawaran Andro kemarin, saat menyetujui ajakan mama papanya.
Salma sudah kenal cukup lama dengan ibu Celia atau kakak sepupu Andro. Makanya Salma cukup akrab dengannya, itu juga yang membuatnya lebih gampang akrab dengan Celia.
"Kamu kok kayaknya akrab sama mamanya Celi sih, Sal?"
"Kan Sal dulu ngajar ngaji di rumah Bu Utari. Waktu itu Mbak Hanin masih nikah, belum kuliah, jadi lumayan sering ketemu kalau pas Sal ngajar. Memang orangnya juga baik dan santai, jadi cepat akrab," jelas Salma.
"Hah? Jadi kamu dulu ngajar di rumah Bude Tari? Ngajar siapa deh?" Andro baru tahu fakta tentang Salma.
Sebelum mengajar ngaji mama Andro, Salma lebih dulu mengajar ngaji di rumah budenya Andro. Bu Utari namanya. Sejak masih SMA, Salma sudah menemani cucu-cucu Bu Utari belajar membaca dan menghafal Al Qur'an. Baru hampir dua tahun terakhir Salma berpindah mengajar di rumah mama Andro, sebab murid-muridnya ikut orang tuanya menempuh pendidikan di Britania Raya.
Dari situ pula Salma tahu sedikit tentang prahara yang menerpa keluarga Antariksa. Tapi ia senang berada di sana, sebab ia bisa menjadi bagian dari proses hijrahnya keluarga yang sangat baik hati. Keluarga yang ia menjadi bagian darinya sekarang ini.
"Berarti kamu ngajar Sinan ya, Sal?"
"Iya, Mas. Sama adiknya."
"Oh, si..., si..., siapa ya, Sal, namanya?" Ia bahkan tak bisa menyebutkan nama keponakannya.
Tahun lalu Andro pulang liburan hanya sebentar, kurang dari satu minggu, itupun ia habiskan dengan rebahan di rumah saja. Ia kurang komunikasi dengan saudara-saudaranya. Lha dengan mama papanya saja hampir tak pernah bicara.
"Biruni, Mas. Al Biruni. Mas nih om macam apa sih sampai lupa nama ponakannya?"
Andro tertawa. Yang ia ingat hanya kakak sepupunya menamakan anak-anaknya dengan nama tokoh muslim yang terkenal dalam bidangnya. Sinan diambil dari Mimar Sinan, arsitek paling berpengaruh di era Turki Utsmani. Sedangkan Al Biruni --yang Andro lupa namanya, tapi tahu sejarahnya-- adalah nama ilmuwan multibidang yang sudah menelurkan banyak karya dalam bidang matematika, fisika, astronomi, bahkan kedokteran dan farmasi.
"Aku yang kemarin-kemarin itu memang nggak banget, Sal. Nggak usah dibahas ya, yang penting aku yang sekarang nggak kayak gitu lagi. Aku udah punya kamu. Tolong aku ya, Sal. Tolong bantu aku agar lebih baik dari yang lalu. Ingatkan aku kalau aku sudah mulai oleng dan keluar jalur. Aku---"
Salma membalikkan badan, menaruh telunjuknya pada bibir Andro, "Ssstt, Sal nggak mau bicara yang sedih-sedih, Mas." Kemudian jemari Salma bergerak, menyusuri bulu-bulu halus di rahang Andro. Matanya menatap mesra pada mata suaminya.
Andro menelan saliva. Ke rumah Celia bisa nanti-nanti lagi. Yang ingin ia lakukan saat ini hanya menikmati kebersamaan dengan bidadarinya. Meski harus menahan napas, juga menahan sesuatu yang rasanya ingin sekali ia lepas.
***
Menahan apa sih, Ndro? Hihihi...
Yeaiy... Aku update lagi. 3,5K+ nih. Tapi maaf ya kalau ada yg sedikit nyerempet-nyerempet. Terus maaf juga kalau agak ngalor ngidul karena aku nggak baca edit lagi ini sebelum post.
Sebenernya aku update ini buat menghibur hatiku. Nggak tau kenapa, dari tadi pagi aku ikut kepikiran kapal selam Nanggala 402, dan aku jadi ikut melow seharian. Makin makin waktu baca berita ttg status Nanggala 402 yg sekarang menjadi On Eternal Patrol (Berpatroli untuk Selamanya). Ya Rabb, ada yg nyeri di hati.
Jangan lupa utk ikut kirim doa ya, teman-teman.
Ya udah, gitu dulu aja. Terima kasih banyak udah baca. Dan maaf kalau ditutup dg curhatan melow begini.
InsyaAllah Senin kita ketemu lagi.
See you.
Semarang, 24042021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top