11. Pertengkaran

Kau harus tahu, dalam hatiku bergetar
Waktu ku tahu, kau terluka saat aku...
Buatmu menangis, buatmu bersedih
Ingin ku memelukmu dan ucapkan maaf
Maafkan aku
(Jikustik - Maaf)

***

Panggilan salat dari gawai menyadarkan mereka dari pelukan --yang ternyata-- panjang. Andro buru-buru melepas Salma dan berpamitan ke kamar mandi. Lima menit berikutnya berteriak meminta Salma mengambilkan baju ganti.

"Sal, kamu mandinya jangan lama-lama ya. Kita salat berjamaah." Pesan Andro begitu berpapasan dengan salma di depan pintu. Salma mengiyakan. Lalu bergegas mandi. Cuma sepuluh menit, ia keluar kamar mandi dengan wajah segar, mengenakan homedress lengkap dengan jilbab lebar.

"Sal, ini pertama kali aku jadi imam salat kamu setelah kita jadi suami istri. Kalau kemarin ada kamu di barisan belakang, aku takut salah bacaan dan malu, akhirnya yang keluar cuma Al Falaq dan Qulhu. Sekarang aku nggak perlu malu lagi. Aku mau pakai surat yang agak panjang, nanti kalau salah, tolong kamu benerin ya."

Bukannya tertawa, Salma justru terharu mendengar pengakuan dan permintaan laki-laki di hadapannya.

"Iya, Mas. Insya Allah Mas bisa tanpa harus saya betulkan."

Iqomah Andro lantunkan. Dilanjut takbiratul ikram. Usai Al Fatihah, Andro memilih surat Abasa di rakaat pertama. Alhamdulillah lancar. Lalu membaca At Takwir di rakaat kedua, sempat terbalik-balik sebab ketegangan itu masih ada. Salma membetulkan dengan adab yang telah ditentukan.

Betapa petang itu menjadi pembuka malam yang membahagiakan. Andro merasa ada sejuk mengaliri dirinya. Untuk kesekian kali ia bersyukur, Allah memilihnya untuk bersanding dengan perempuan sebaik Salma.

"Sal, malam ini kita di sini aja ya. Kita lanjutkan ngobrol yang kemarin tertunda. Nanti, setelah salat isya. Sekarang, boleh aku minta tolong sama kamu?"

"Eh, minta tolong apa ya, Mas? Kalau saya bisa, insya Allah saya akan lakukan."

"Emm, tolong kamu sisirin rambutku. Mau, ya?"

Salma mengangguk. Semburat merah terbit di kedua pipi. Ia menyukai rambut Andro yang selalu terikat rapi. Kadang sedikit berantakan, yang di mata Salma justru menaikkan level ketampanan. Dan malam ini, ia punya kesempatan untuk menyentuhnya. What a wonderful life.

"Tahu nggak, Sal, waktu aku galau soal menikahi kamu, Mbak Rea nyuruh aku bikin daftar plus minusku berkaitan dengan kamu, dengan kita, dengan pernikahan kita. Kata Mbak Rea, nanti kalau kita udah nikah, yang ada di daftar itu dulu yang harus kita bahas dan selesaikan. Kupikir nggak ada salahnya aku melakukan saran Mbak Rea, ditambah aku agak nge-blank juga waktu itu, jadi aku beneran bikin." Andro mulai bercerita, sembari menikmati belaian lembut Salma pada setiap helai rambutnya.

"Nanti kamu baca ya, Sal. Tapi sebelumnya aku mau kamu jangan menyebut dirimu 'saya' lagi. Rasanya kayak ngomong sama orang lain gitu, Sal. Kamu kan istriku, bukan orang lain."

"Mas mau saya menyebut diri apa?" tanya Salma di sela kesibukannya menyisir dan menghalau desir.

"Terserah kamu, Sal. Sebut saja 'aku'. Atau Salma, mungkin? Asal jangan Mawar, soalnya itu bukan nama sebenarnya." Salma cekikikan, ia mencubit lagi, sambil menghirupi segar yang menguar dari rambut Andro.

"Kalau Mas? Mas suka manggil saya apa?"

"Aku? Emm, aku suka manggil kamu Sal. Tiap nyebut Sal, rasanya aku punya seseorang yang istimewa, yang aku sayang banget."

"Mas nggak sedang gombalin saya kan?"

"Nggak. Aku mana bisa ngegombal, Sal? Aku bisanya ngegambar." Andro terlihat serius.

"Kalau gitu, di depan Mas, saya akan sebut diri saya Sal. Boleh?"

"Apa sih yang nggak buat kamu?" Andro menoleh ke belakang, dengan sudut mata mencari bayangan sang istri kesayangan.

"Terima kasih ya, Sal, udah mau nyisirin rambutku. Aku deg-degan, tahu nggak." Salma tersipu. Diikatnya rambut Andro dengan rapi, lalu menaruh sisir di atas kasur. Ia menghela napas, mengumpulkan keberanian. Setelahnya memeluk Andro dari belakang. Erat. Juga hangat.

"Sal sayang sama Mas," ucap Salma pelan. Menaruh pipinya pada punggung Andro yang lapang.

Mereka kembali larut menikmati pelukan. Dunia seakan berhenti berputar. Sampai gawai Andro kembali berbunyi nyaring dan membuyarkan suasana.

"Huff." Andro bersungut. Diraihnya handphone sambil menahan tangan Salma tetap berada di tempatnya.

"Assalamualaikum, Pa." Andro mengaktifkan loudspeaker agar Salma bisa ikut mendengarkan tanpa harus melepas pelukan.

"Waalaikumussalam. Habis isya kita keluar ya, Ndro. Ada teman papa yang weekend kemarin buka resto baru di dekat sini. Kita diundang dinner."

"Emm, kalau kami nggak ikut gimana, Pa?"

"Masa nggak ikut sih? Kan nggak enak, Ndro. Ikutlah. Teman papa tahu kalau papa mama habis mantu kamu juga, makanya disuruh ngajakin kalian. Memangnya kalian lagi ngapain, sih, kok nggak mau ikut?" Mamanya menyerobot.

"Nggak lagi ngapa-ngapain sih, Ma. Cuma..., ada yang lagi meluk-meluk Andro, nih. Ini lho." Andro mengarahkan lensa kamera pada tangan Salma yang melingkari pinggangnya.

Salma baru sadar kalau Andro dan papa mamanya sedang melakukan panggilan video. Malunya tak terkira. Mama papa pasti nganggap aku agresif, batin Salma. Tapi ia tak bisa apa-apa, tangan Andro menguncinya. Salma menenggelamkan kepala di balik punggung suaminya.

Pada akhirnya mereka tak bisa menolak ajakan papa dan mama. Terpaksa menunda obrolan berdua demi menghormati teman papa yang mengundang makan malam. Untung saja tempatnya bagus dan romantis. Malah kepada Andro dan Salma, teman papa memberi candle light dinner sebagai hadiah pernikahan. Jadilah pengantin baru itu akhirnya menghabiskan waktu berdua di rooftop, ditingkahi semilir angin yang membuat lilin di meja mereka berkedip-kedip genit, seolah menggoda dua sejoli yang masih sama-sama malu.

"Dingin, Sal?" Salma menggeleng, tapi juga mengangguk. Bingung. Sebenarnya memang kedinginan, tapi suasana berduaan di situ sungguh sayang untuk diakhiri terlalu cepat.

Andro berdiri, menggeser kursinya ke sebelah Salma. Ia lepas jaketnya dan membantu Salma mengenakannya. Mereka duduk berdua, bersisian, saling bersandaran. Jemari keduanya saling bertautan. Tak ada pembicaraan, cukup hati saja yang berbincang tentang perasaan.

Hampir jam sepuluh, ketika mama menelepon untuk mengajak mereka kembali ke hotel.

"Masih kuat melek, Sal?" Andro baru usai bersih-bersih diri, juga mengganti baju. Belum ngantuk. Berharap bisa melanjutkan agenda yang sudah mereka sepakati sebelumnya. Membicarakan list plus minus yang pernah dibuatnya.

"Insya Allah."

"Sambil kita ngobrol ya, Sal. Aku mau kamu baca dulu list plus minus yang udah aku tulis. Nanti kita bahas satu per satu."

"Kayak rapat organisasi ya, Mas. Pakai bahas draft segala," celetuk Salma. Andro tergelak, lantas menyodorkan sebuah buku catatan berwarna biru tua yang sudah diberi pembatas pada bagian yang harus dibaca Salma.

Dengan hati-hati Salma membuka buku tersebut. Pada halaman yang terbuka, terlihat catatan yang dibuat spontan tapi tetap dengan pemikiran dan pertimbangan. Salma menyimpulkan demikian bukan tanpa alasan, ia melihat beberapa coretan. Meski harus Salma akui, catatan Andro sangat rapi. Ia mencoba mengintip halaman-halaman lain, dan semuanya rapi. Bahkan hari dan tanggal kapan tulisan dibuat selalu tercatat dengan jelas.

Salma tersenyum sendiri. Ia baru tiga hari menyandang status istri, dan menikmati setiap hal baru yang ia temukan tentang diri sang suami.

"Jangan senyum-senyum sendiri, Sal. Udah dibaca belum?"

"Hehe, belum, Mas. Kan Sal harus bersyukur dulu punya suami sebaik Mas."

"Kebalik kali, Sal. Aku yang harus bersyukur punya istri bidadari."

"Hih, gombal." Salma merajuk. Ada manja dalam nada suaranya.

"Udah sih, buruan dibaca. Nanti keburu aku gemes sama kamu lho, Sal." Andro memeluk lutut di sebelah Salma, jantungnya berdegup menanti respon gadis cantik yang sudah halal untuknya. Ada malu, yang coba ia enyahkan dengan merapal doa.

Salma kembali ke halaman yang ada pembatasnya. Memelototi deretan tulisan dengan serius. Tapi baru mulai, ia sudah terkikik geli.

Plus Minusku dengan Salma

Plus:
1. Ganteng

Salma berhenti membaca, berusaha menahan tawa.

"Yang nomor satu buat disyukuri, Sal, bukan buat diketawain." Andro protes. Salma malah jadi terpingkal-pingkal.

Andro mendekat. Merebut bukunya dari tangan Salma, dan menghentikan tawa Salma dengan satu kecupan kilat di bibirnya yang kemerahan.

Hening....

Andro merasa dirinya melayang. Salma merasa dirinya mau pingsan. Itu ciuman pertama bagi keduanya. Yang terjadi sekilas, tapi tampaknya akan selalu membekas keras.

Ciuman itu meninggalkan efek tak biasa pada diri Salma. Hangat yang menyapa bibirnya sekilas membuat hatinya berkali-kali memanas.

"Mau dilanjutin sekarang apa besok, Sal?"

"Ehk, ap-apanya, Mas?" Ya tentu saja membicarakan daftar yang ada di buku biru tua milik Andro tadi. Pikiran Salma jadi tak fokus.

"Nah, kamu pengen apanya yang dilanjutin?" Melihat istrinya gugup, Andro malah menggoda.

"Baca daftarnya tadi, Sal." Andro tertawa.

"Oh, emm..., i-iya. Jadi, Mas. Jadi dilanjutin. Biar Sal baca dulu."

Plus Minusku dengan Salma

Plus:
1. Ganteng
2. Pekerja keras
3. Calon orang sukses
4. Sayang sama Salma
5. Ada papa mama
6. Masih punya tabungan

Minus:
1. Belum punya penghasilan tetap
2. Masih kuliah
3. Ilmu agama ketinggalan jauh sama Salma
4. Kuliah masih dibayarin mama papa
5. Belum siap punya anak
6. Tugas kuliah banyak, mungkin waktu buat Salma agak kurang
7. Nggak pernah punya cewek
8. Belum siap teman2 tau statusku
9. Masih ada sisa masa lalu (dicoret sampai nggak terbaca)
10. Belum ada cinta (dicoret sampai nggak terbaca)

"Yang dicoret ini apa, Mas?"

"Yang dicoret berarti nggak kepakai, Sal."

"Mas masih ingat apa yang dicoret ini?"

"Nggak. Kan udah nggak kepakai, Sal. Jadi nggak usah dibahas lagi." Kenapa malah yang dicoret, sih, yang menarik perhatian Salma?

"Masih ada yang Mas ragukan dari diri Mas ke Sal? Kenapa ada yang disembunyikan?"

"Aku nggak sembunyiin apa-apa, Sal. Memang itu nggak jadi kutulis. Berarti bukan sesuatu yang masuk daftar minus."

"Tapi Mas masih ingat kan itu tulisannya apa?"

"Ingat pun aku nggak akan bilang ke kamu. Itu udah nggak kepakai. Bukan sesuatu yang harus dibahas. Lagian ada delapan poin yang kutulis, kenapa malah fokusmu ke yang kucoret, sih? Ini buang-buang waktu dan tenaga banget, Sal." Andro mulai emosi.

"Udah, gini aja. Kamu mau bahas ini sekarang apa nggak? Kalau nggak aku mau tidur."

"Ini juga kita sedang bahas kan, Mas?" Salma juga emosi, tapi mencoba untuk tetap tenang dan mengendalikan diri.

"Ya tapi yang jadi fokus kamu malah yang nggak seharusnya kita bahas."

"Karena saya yakin, yang Mas coret itu justru poin minus yang paling utama. Itu yang jadi kegalauan terbesarnya Mas. Dan itu yang seharusnya kita selesaikan pertama."

Jleb! Andro menelan ludah. Yang Salma katakan menusuk tepat ke sasaran. Andro mati langkah, tak bisa meneruskan.

Masih saling diam. Andro meraih gawainya dan sibuk menggulir layar. Tensi tinggi begini minum susu madu kelihatannya pas. Andro mencari kafe, warung, kedai, angkringan, atau apa saja yang menyediakan menu tersebut.

"Mas, bukan begini caranya. Main HP nggak akan menyelesaikan masalah."

"Kita nggak punya masalah, Sal."

"Punya! Mas masih menyembunyikan sesuatu dari saya."

"Jangan sebut dirimu 'saya', aku nggak suka."

"Saya juga nggak suka Mas lari dari keadaan. Saya siap menghadapi apapun yang jadi kegalauan Mas. Tapi Mas malah mau melarikan diri. Nggak begini caranya, Mas. Come on, kita selesaikan baik-baik." Salma mulai ikut terbawa emosi.

"Aku butuh minum yang panas-panas, Sal. Aku mau keluar sebentar."

"Ini udah larut malam, Mas. Nggak baik keluar-keluar." Suara Salma melembut.

"Maaf. Kalau Mas belum siap bahas ini, kita stop saja. Tapi Mas nggak perlu ke mana-mana. Saya yang akan bikinin wedang buat Mas."

Tak berpamitan, Salma menuju ke pantry yang ada di ruangan mereka. Memanaskan satu kotak susu dari kulkas, lalu menuanginya dengan beberapa sendok madu.

"Sudah malam, Mas. Kalau sudah nggak ada perlu sama saya, saya mau tidur dulu."

Andro tak menjawab, bahkan sekadar terima kasih pun tidak. Hatinya masih merasakan pukulan yang telak. Bagaimana caranya mengelak? Salma punya daya pikir yang tak main-main. Analisanya tajam, sanggup membuat Andro bungkam. Ia masih sering lupa, yang dia hadapi bukan Zulfa, tapi Salma. Perempuan dengan kecerdasan di atas rata-rata.

Salma keluar dari kamar mandi, matanya terlihat agak sembap. Andro ingin bertanya, tapi mengurungkan niatnya. Dia memang salah. Dia juga tak menyiapkan jawaban untuk pertanyaan Salma. Situasinya sungguh di luar dugaan.

Tak ada pembicaraan lagi. Sekadar sapaan atau basa-basi pun tak keluar dari bibir Salma. Ia langsung berbaring, menarik selimut hingga menutup hampir seluruh tubuhnya, kecuali kepala, yang itupun masih tetap rapat terbalut jilbab.

Andro menghabiskan susu madunya. Ia harus jujur, susu madu bikinan Salma lebih nikmat dari buatan manapun yang pernah dia rasakan. Bahkan angkringan langganannya di Semarang pun lewat. Entah, mungkin karena dibuatnya dengan sentuhan cinta, ditambah sedikit bumbu-bumbu pertengkaran.

Ada yang menghangat di dada Andro. Perasaan bersalah hadir. Ia hanya tak siap dengan pernyataan Salma yang sama sekali tak ada dalam bayangannya. Sayangnya, pernyataan istrinya itu tak sedikitpun meleset.

Yang Mas coret itu justru poin minus yang paling utama. Itu yang jadi kegalauan terbesarnya Mas. Dan itu yang seharusnya kita selesaikan pertama.

Kata-kata Salma terus terngiang di benak Andro. Dia melangkah ke kamar mandi, mencuci muka dengan air hangat, setelahnya menyusul Salma ke tempat tidur. Seperti biasa, kaus dan celana pendeknya ia lepas dan lempar asal saja.

Tak ada pergerakan, Andro hanya mengamati Salma dari belakang. Nafasnya terlihat beraturan, sesekali bahunya terlihat bergerak dua atau tiga kali dalam beberapa detik. Andro paham, istrinya sedang menahan isak.

Tak banyak bicara, Andro menyusup ke selimut yang sama. Melingkarkan lengannya pada tubuh Salma. Tak ada penolakan.

"Ada yang lain di hatinya Mas?" tanya Salma. Ada nyeri yang tertahan di dada.

"Ssstt, tidurlah, Sal. Kamu sedang marah. Besok saja, kalau sudah sama-sama tenang kita ngobrol lagi"

"Saya nggak apa-apa kok kalau Mas masih menyimpan nama yang lain di hatinya Mas. Saya memang cuma---" Andro menutup bibir Salma, memintanya untuk tak mengatakan apa-apa.

"Aku sayang kamu, Sal. Tidurlah." Isak Salma justru semakin kentara. Badannya sampai berguncang.

"Kamu pengen aku gimana, Sal? Meluk kamu? Atau kamu mau pukul aku? Apapun, Sal, asal kamu lega dan nggak nangis lagi. Sekarang aku nggak perlu mata kuliah apapun untuk tahu kalau tangismu kali ini sebab sedih. Dan aku juga tahu, aku yang menyebabkan semua itu. Maafkan aku, Sal."

Tanpa bicara Salma membalikkan badan, lalu meluapkan isaknya dalam pelukan Andro. Untuk pertama kali, Salma merasakan pipinya bersentuhan langsung dengan dada suaminya, tak ada jarak, bahkan sekadar selembar kain. Salma merasa nyaman, juga aman. Angkasa Andromeda-nya bukan galaksi milik semesta raya. Angkasa Andromeda-nya adalah miliknya. Hanya miliknya.

Salma tertidur berbantalkan lengan Andro. Pemuda itu tak berani bergerak, takut membangunkan istrinya. Lagipula ia sedang menikmati setiap mili dari wajah cantik di hadapannya. Memandangi dengan leluasa, tanpa khawatir menimbulkan rasa malu pada hati perempuannya.

Sama sekali tak ada hasrat yang lain. Andro benar-benar menghayati rasa sayangnya pada Salma. Tak berhenti bersyukur karena kehadiran Salma membawa banyak kebaikan untuk hidupnya. Dari lisannya meluncur doa-doa baik. Untuk Salmanya, untuk dirinya, dan untuk pernikahan mereka.

***

Baru sehari udah bertengkar. Piye ikiii?

Hehe, maafkan. Aku nemenin bocil dan ikut bablas ketiduran, jadi updatenya agak telat dikit nih.

Terima kasih banyak sudah selalu kasih semangat ke aku. Semoga nggak pada bosan untuk tetap suka dan mendukung tulisanku.

See you :)

Semarang, 22042021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top