10. Pelukan

Tak terasa gelap pun jatuh
Di ujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya
(Payung Teduh - Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan)

***

Salma baru selesai merapikan kamar Andro. Kamarnya memang tampak rapi, tapi hanya kamuflase. Isi lemari Andro sungguh sangat berantakan. Belum kulkas yang isinya cuma air mineral tapi ditaruh sembarangan. Rak buku yang susunannya asal, bagian bawah meja yang dipenuhi jajaran botol air mineral kosong, dan bungkus keripik kentang yang terlipat rapi berjejalan di satu tempat persembunyian.

"Apa laki-laki tuh malas bersih-bersih ya, Mas?" Salma bicara pada Andro, yang masih asyik membaca, entah buku apa. Tebal bukunya nyaris setara tisu 200 sheet. Gambarnya seperti kerangka bangunan. Tulisan yang terbaca oleh Salma hanya kata 'construction' saja.

"Nggak, Sal. Di dunia ini cuma aku aja laki-laki yang malas bersih-bersih. Tapi seenggaknya aku berhasil menyembunyikan sampahku kan, Sal, buktinya Bu Jani nggak bisa nemuin," jawab Andro sekenanya. Salma melirik suaminya sambil tersenyum.

"Iya, nggak apa-apa. Di dunia ini banyak kok istri yang senang mengurus suami yang hobinya nyembunyiin sampah. Minimal saya nggak sendirian, banyak temennya." Andro tertawa, suka dengan guyonan Salma.

Pintu kamar diketuk, suara Bu Jani terdengar dari luar, memanggil keduanya untuk sarapan.

"Kalau lagi di rumah, makan bareng di meja makan hukumnya wajib, Sal. Ini berlaku lagi sejak aku balik liburan ini." Andro memberi informasi.

"Itu memang kebiasaan baik, Mas. Kenapa sempat dihilangkan?"

"Karena papa kawin lagi. Sejak itu aku malas lihat papa, apalagi harus duduk bareng semeja." Salma tahu ceritanya, meski tidak detail.

"Alhamdulillah. Berarti Mas juga yang mengembalikan kebiasaan baik itu?"

"Ya nggak juga sih. Kalau papa sama mama memang masih selalu makan bersama di meja makan, tapi aku sama Mbak Rea yang jarang pulang. Pulang juga buat apa?"

"Udah ah, Mas. Nggak usah dibahas. Saya suka sakit hati kalau ada anak yang benci sama orang tuanya."

Andro menaruh bukunya, lalu menghampiri Salma. "Maaf, Sal. Aku udah nggak gitu lagi kok. Kamu lihat sendiri kan, keluarga kami udah kembali hangat. Sehangat nasi dalam magic jar. So, jangan sakit hati sama aku ya?" Salma tertawa lepas. Segala magic jar dibawa-bawa.

"Sal, kamu nyenengin banget kalau ketawa lepas begitu. Sering-sering ya, Sal. Buat aku." Andro mengelus kepala Salma yang masih tetap terbungkus jilbab, membuat hati gadis itu seperti dicubit-cubit. Geli.

Tanpa bicara, Andro menggandeng Salma keluar. Papa dan mama sudah menunggu di meja makan. Andro mencium tangan papanya, menambahkan ciuman pada kedua pipi mamanya. Salma mengikuti, melakukan hal yang sama.

"Maaf, Ma, Salma nggak bantu apa-apa." Salma merasa tak enak hati melihat banyak makanan di meja, sedangkan ia sama sekali tak membantu prosesnya.

"Kamu kan udah bantu bersihin kamarku, Sal. Lagian, di rumah ini udah ada bagian masak sendiri, jadi urusanmu cuma aku aja, nggak usah direpotin yang lain-lain lagi." Memang dasar tipikal tuan muda.

Mama dan papa terkekeh mendengar ucapan anak bungsunya. "Tapi nanti kalau di Semarang, ya tetep kamu kudu bantu Salma lho, Ndro." Papanya mengingatkan.

"Tenang aja, Pa. Nanti Andro yang bagian bantu kasih kerjaan ke Salma. Termasuk lemari yang berantakan dan sampah yang disembunyikan. Iya kan, Sal?" Semua tertawa. Mama dan papa sudah hafal di luar kepala kebiasaan anaknya.

Salma senang dengan suasana di meja makan keluarga Antariksa. Sama sekali tak ada kesan bahwa keluarga itu pernah mengalami badai yang hampir mengaramkan biduk rumah tangga papa dan mama mertuanya. Lagi-lagi mata Salma menghangat. Ini adalah makan bersama keluarga yang pertama dalam hidupnya.

Satu sentuhan lembut mendarat di tangan Salma. "Mau dipeluk lagi? Di sini apa di kamar?" Bisikan Andro membuat Salma tak jadi menangis, ia tersenyum lebar. Suaminya suka sekali menggoda.

Berempat melanjutkan makan. Sungguh, ada bahagia mendesak-desak di dalam dada Salma.

"Kalian ada rencana bulan madu?" tanya mama setelah piring kotor dibawa ke belakang oleh salah satu asisten rumah tangga.

Andro berhenti menyedot jus apelnya. Menoleh ke arah Salma. "Gimana Salma aja, Ma. Tapi kayaknya sih nggak ada."

"Kalau gitu, kalian ikut mama sama papa aja. Nanti siang kami mau ke Malang."

Selasa besok akan ada ngunduh mantu di keluarga Dimas. Tadinya papa dan mama berencana berangkat besok pagi --hari Senin-- tapi acara berubah. Mama ingin bersilaturahim dulu ke rumah beberapa saudara sepuh yang tak bisa datang ke pernikahan Dimas Rea dan Andro Salma kemarin.

"Ada voucher hotel dari temen papa. Rea sama Dimas baru ke Malang besok, jadi kalau kalian mau, kalian aja yang pakai. Lumayan lho, dua malam." Papa menyebut nama hotel berbintang dengan resort di daerah Batu.

"Mau ya, Sal? Nanti kuajak ke rumah Celia deh."

"Saya terserah Mas aja." Mendengar nama Celia membuat Salma jadi bersemangat. Bocah lucu itu selalu akrab dan menunjukkan rasa sayangnya pada Salma.

"Iya, Pa. Kami ikut. Jam berapa perginya?"

"Nanti agak siangan, habis dhuhur."

"Ya udah. Kami izin ke kamar dulu ya, Ma, Pa," pamit Andro. Tak lupa mencomot dua butir apel dari meja makan.

"Kami nggak buru-buru minta cucu lho, Ndro." Papanya menggoda, walau memang demikian adanya. Beda lagi kalau dengan Rea, karena Dimas sudah bekerja, umur Rea pun sudah ideal untuk menjadi orang tua.

"Aish, Bapak Antariksa ini. Tolong bicaranya dikondisikan, ya. Ada yang masih suka shock dengar yang semacam itu." Dari tadi Salma cuma bisa tersipu. Paling banter mencubit suaminya yang suka usil. Ia melakukannya lagi.

Mereka kembali ke kamar, Andro tak lupa mengunci pintunya. Kebiasaan baru sejak menikah. Sebelumnya jangankan mengunci, tidur saja ia kadang lupa menutup pintu, sampai mama, papa, atau Rea harus ikut ngecek setiap malam.

"Sal, itu di gantungan ada baju dari mama." Bu Jani yang mengantar dan menata, tadi saat mereka makan.

Salma menuju ke gantungan terbuka yanh menjadi satu dengan lemari Andro. Dilihatnya tujuh potong gamis dengan berbagai warna dan motif yang semuanya bagus. Masing-masing dilengkapi dengan jilbab yang juga bagus. Tak ada yang menyangsikan selera mama mertuanya.

"Sebanyak ini buat saya semua, Mas?" Salma tahu gamis-gamis itu tidak murah. Ia yang biasa membeli bahan --itupun harga miring jadi pertimbangan utama-- dan menjahitnya sendiri menjadi terharu.

"Ini brand-nya mama kan ya, Mas? Saya mimpi punya baju mahal-mahal gini juga nggak pernah, Mas."

Disentuhnya gamis-gamis itu satu per satu. Merah marun, biru tua, dan moka jadi favoritnya. Ada yang menggenang di mata Salma, yang kalau dia berkedip sudah pasti tumpah ke pipi mulusnya.

"Sal, aku memintamu jadi istriku tuh buat bahagiain kamu. Ini baru hari kedua lho, tapi aku udah berkali-kali lihat kamu nangis, berkaca-kaca, dan semacamnya. Aku nggak suka."

"Saya nangis karena terharu dan bahagia, Mas. Bukan sedih."

"Sayangnya aku nggak bisa bedain kamu nangis karena sedih, terharu, bahagia, atau apa, Sal. Aku belajar sesuatu yang berhubungan dengan air. Mekanika fluida, hidrolika, drainase, irigasi, macem-macem. Tapi nggak ada satupun yang bahasannya berhubungan dengan air mata, Sal."

"Ya nggak gitu juga kali, Mas." Salma batal menangis. Sebaliknya, ia terkikik. Mulai menerka bahwa ia menikah dengan seseorang yang study minded.

"Maaf ya, Mas, kalau beberapa hari ini saya masih akan sering menangis. Percaya deh, saya nangisnya karena bahagia, Allah sayang sekali sama saya. Saya nggak pernah membayangkan hidup saya akan seperti ini. Saya berterima kasih sekali, Mas bikin saya jadi punya orang tua, punya keluarga." Pipi Salma kembali basah.

"Kalaupun sampai nanti-nanti Mas nggak pernah bisa mencintai saya, saya akan tetap bahagia. Saya juga akan tetap bertahan di samping Mas." Salma tahu, yang mendasari Andro menikahinya bukan cinta. Lebih tepatnya belum. Tapi Andro sudah berjanji untuk bersama-sama belajar mencintai.

Sebenarnya bukan bersama-sama, sebab Salma sudah jatuh cinta pada Andro di malam ketika Andro melamarnya. Dan berubah menjadi cinta, begitu ia menjawab "ya" pada permintaan yang Andro ajukan padanya. Salma pernah berjanji pada dirinya sendiri, kalau ada laki-laki baik yang memintanya menjadi istri, ia tak akan menunda untuk mencintai. Tanpa tapi. Tanpa nanti.

"Aku nggak suka kamu ngomong begitu, Sal. Aku sudah mencintai kamu sejak aku mengucapkan qobul kemarin pagi. Dan aku nggak punya alasan untuk nggak mencintai seseorang yang lebih pantas disebut sebagai malaikat." Andro menatap tajam pada Salma.

"Oh, bukan malaikat, tapi bidadari." Diralatnya pernyataan yang baru saja terlontar. Salma malu sendiri mendengar pujian sang suami.

"Please. Jangan pernah ngomong begitu lagi ya, Sal. I love you and always will."

Ditangkupnya kedua pipi Salma, kembali menatap pada mata beningnya. Wajah mereka makin dekat, Salma mulai pucat, jantung Andro seperti mau meloncat.

"K-kita b-belum packing, Mas." Salma mendorong Andro.

Hampir saja! teriak Andro dalam hati. Ia malu sendiri pada apa yang baru saja terjadi, lalu bersegera ke kamar mandi usai meminta Salma menata baju untuk menginap di Batu. Salma menarik napas, mengenyahkan apa yang baru saja membuat jantungnya nyaris terhenti.

Kemudian dengan cekatan Salma melaksanakan pesan suaminya. Bermodal mengira-ira, ia siapkan baju dan apa-apa saja yang sekiranya diperlukan Andro untuk bepergian. Selama ini ia terbiasa membuat keputusan sendiri, jadi merasa tak perlu kebanyakan tanya hanya untuk menyiapkan baju saja.

"Kita di Malang sampai kapan ya, Mas? Saya cuma siapin baju buat tiga hari, semoga cukup, ya. Atau Mas mau cek lagi?" Andro selesai mandi tepat saat Salma menutup koper.

"Nggak usah, Sal. Insya Allah cukup. Paling Selasa sore atau malam udah pulang. Tapi nggak tahu juga, papa sama mama suka tiba-tiba ada perubahan. Nanti kita bawa mobil sendiri aja, biar bebas mau pulang kapan."

Biasanya papa mamanya tak akan mengizinkan Andro membawa mobil sendiri saat pergi bersama, tapi sekarang mungkin beda, Andro sudah bukan single available.

"Saya jadi diajak tinggal di Semarang, Mas?" Tanpa mukadimah, Salma menggeser topik pembicaraan.

"Pertanyaan macam apa itu?" Andro merasa terganggu dengan pertanyaan Salma.

Semua sudah dibicarakan dengan jelas dari sebelum mereka menikah. Andro menikahi Salma salah satunya karena ingin melindungi, bukan untuk menitipkan Salma agar dilindungi oleh mama papanya. Maka dia meminta Salma ikut dengannya, bukan sekadar pindah ke rumah mama papa, walau di sana Salma juga pasti aman dan terlindungi.

"Iya, maaf, Mas. Maksud saya, kita ke Semarangnya kapan?" Salma mengubah pertanyaan.

"Aku Senin udah masuk. Kita ke Semarang Jumat atau Sabtu. Kamisnya kita bisa ke Bu Miska untuk pamitan. Kamu beneran udah ikhlas ikut aku ke sana kan, Sal?" Salma mengangguk.

"Terus, kenapa tadi nanya begitu?"

"Ng-nggak. Nggak apa-apa, Mas."

"Ada masalah, Sal? Ada yang masih mengganjal? Kalau ada, jangan ditunda, kita selesaiin sekarang juga."

"Ng-nggak kok, Mas. Saya cuma agak sedih aja mau ninggalin Surabaya."

"Nggak lama, Sal. Paling dua tahun kita di sana, setelah aku lulus, kita kembali ke sini. Aku optimis bisa selesaiin kuliah dalam empat tahun dan cumlaude. Harus cumlaude." Andro merasa perlu memberi penekanan pada keinginannya itu.

"Setelahnya kita balik ke sini. Aku akan kerja di perusahaan papa setahun atau dua tahun. Setelahnya aku mau kuliah lagi."

"Di mana, Mas? Surabaya?"

"Belum tahu. Pengennya di Bandung. Tapi tetap sambil kerja buat portofolio. Papa pernah bilang, suatu hari nanti, aku yang akan melanjutkan usaha papa, tapi aku nggak mau nerima hanya karena aku anak papa. Aku harus benar-benar qualified untuk itu."

Andro memang begitu, selalu idealis kalau soal masa depan. Kecuali pernikahan, yang terjadi di luar perkiraan, saat dirinya masih sama sekali belum pernah ada bayangan.

Oh, ralat. Ia pernah sekali membayangkan. Waktu itu dia merencanakan untuk lulus tepat waktu, lalu segera punya pekerjaan dan penghasilan tetap, agar bisa menafkahi seseorang yang ia sayangi. Yang sayangnya tak mungkin ia miliki.

Eh, kok ke dia lagi sih?!

"Emm, kamu, Sal? Gimana dengan kuliahmu? Beneran nggak pa-pa kalau kuliahmu berhenti?"

Ini sudah pernah dibahas. Sebenarnya Andro tak sampai hati menghentikan kuliah Salma sampai di sini, apalagi dua semester yang sudah dilalui Salma usahakan dari hasil keringatnya sendiri. Tapi berhubungan jarak jauh juga bukan pilihan. Buat apa punya istri kalau hidupnya tetap sendiri-sendiri?

Salma sendiri yang memilih untuk berhenti. Padahal mama sudah menawarkan untuk memindahkan kuliah Salma ke perguruan tinggi yang sama dengan sekarang, tapi di Semarang. Kebetulan letaknya tak jauh dari kampus Andro. Andro tak meragukan kemampuan mamanya dalam hal negosiasi, termasuk pada pihak perguruan tinggi. Andro pula tak keberatan sama sekali jika Salma tetap mau melanjutkan kuliah di Semarang nanti. Tapi Salma kukuh menolak tawaran mama. Bakti kepada suami Salma ajukan sebagai alasan utama. Tentu saja diterima.

"Nggak pa-pa, Mas. Saya sudah jadi istri. Kalau saya berat kuliah, itu berarti saya harus tetap di sini. Melanjutkan kuliah di Semarang juga berarti saya harus beradaptasi dengan tiga kondisi sekaligus. Kuliah bisa nanti-nanti lagi, tapi belajar menjadi istri dan menyesuaikan diri di tempat yang baru, mau nggak mau harus saya lakukan sekarang juga. Dan saya lebih memilih itu."

"Thanks, Sal. Sebenarnya aku juga malas membahas hal yang sama berkali-kali. Kamu tenang aja, nanti di Semarang kamu bisa belajar apa aja yang kamu mau. Untuk kuliah, mungkin dua tahun lagi kalau kita udah balik dan tinggal di sini, tapi jangan di kesehatan ya. Ekonomi, hukum, atau teknik sipil sepertinya lebih cocok. Kamu pintar. Aku maunya kamu bisa jadi partnerku di mana pun, termasuk dalam pekerjaan. Ngurus keuangan mungkin. Atau legal. Atau turun ke lapangan." Satu lagi yang Salma tahu tentang Andro. Suaminya itu semangat sekali kalau sudah membicarakan rencana masa depan.

Gawai Andro berdering, sebuah panggilan masuk, dari mama. Rencana keberangkatan diajukan. Yang tadinya bakda zuhur menjadi setengah jam ke depan. Tak masalah, mereka berdua sudah siap

Andro berusaha memanfaatkan waktu dengan meminta Salma mengajarinya salat dhuha. Salma terharu, bahkan di pagi pertama mereka bersama, Andro sudah menunjukkan niat untuk menjadi imam yang baik baginya.

Mobil papa sudah siap. Feeling Andro tak meleset sama sekali. Mama papa tak mengizinkannya membawa mobil sendiri ke Malang. Andro dan Salma harus berangkat bersama keduanya.

Alasan sudah Andro ajukan, bahwa mereka akan kesulitan pergi ke Batu dan lain-lainnya. Tapi jawaban mama papanya membuat Andro tak bisa menolak.

"Mama papa juga menginap di tempat yang sama, Ndro. Kalau mau bawa mobil sendiri, nanti biar diantar driver. Sekarang berangkatnya tetap bareng kami."

Bagi Andro, ucapan mama adalah titah yang tak bisa dibantah. Ia menurut saja, meski sedikit kecewa. Seharusnya ia bisa pergi berdua dengan Salma, mengisi perjalanan dengan saling bercerita tentang satu sama lain.

Beruntung, mama dan papa sangat menyayangi Salma. Sepanjang rute Surabaya-Malang, orang tuanya tak membiarkan suasana mobil mencekam. Memang bukan kebiasaan keluarga Antariksa juga untuk diam-diaman di dalam mobil.

Salma senang, ia merasa diterima. Mama mertuanya juga kocak, sering membuatnya tergelak-gelak. Andro yang memegang setir berkali memandangi Salma yang duduk di belakangnya bersama mama. Andro sangat suka melihat Salma tertawa lepas dan mama sungguh jago melakukannya.

Obrolan mengalir lancar. Yang paling banyak dibahas tentu saja Andro. Tentang masa kecilnya, hobinya, kebiasaan-kebiasaannya, dan hal-hal lain yang sebagian besar membuat Salma tertawa, sedangkan Andro sebaliknya.

"Ma, Andro jangan dikuliti gitu, deh. Nanti Salma nyesel jadi istri Andro." Andro agak sebal.

"Nggak, Mas. Saya nggak akan pernah menyesal jadi istrinya Mas. Sampai kapanpun." Salma menyahut cepat. Spontan saja. Tapi setelahnya ia malu.

"Ciee, mbak pengantin baru, gercep ya." Mendapat ledekan dari suami, tangan Salma terulur, mau mencubit bagian mana saja yang bisa ia raih. Andro menangkap tangan Salma, menahannya agar tetap berada di sana. Salma membiarkan saja, menikmati ombak yang berdebur-debur di hatinya.

"Andro itu suka banget minum susu. Paling suka dicampur madu. Waktu kecil dia ngedotnya sampai hampir lulus SD lho. Nanti kalau dia nyusunya banyak dan sering, Salma maklumin aja ya." Maksudnya apa deh? Lagipula, tega sekali mama membuka aib Andro.

"Dia juga suka banget makan apel dan minum jus apel. Kalau makan apel bersih banget dia, bisa sebiji-bijinya. Nggak tau deh, itu doyan apa rakus. Pokoknya kalau nggak fresh milk, ya jus apel. Dua itu harus selalu ada persediaan di kulkas."

"Ma, yang kayak gitu nggak perlu diceritain juga kali. Aib banget." Andro cemberut.

"Salma kan istrimu. Dia harus tahu apa yang paling jadi kesukaanmu. Jangan sampai habis persediaan, nanti kamu bete. Kamu kalau bete kan terus ngambek. Mana kalau lagi ngambek nggak banget."

"Please deh, Ma. Nanti Andro sendiri yang kasih tahu Salma kan bisa. Segala ngedot sampai gede, makan apel sebiji-bijinya, ngambek juga, pakai diceritain. Andro kan malu, Ma. Udahlah ilmunya Andro nggak ada apa-apanya di depan Salma, banyak pula aibnya."

"Nggak apa-apa, Mas. Saya senang kok dengarnya. Masa kecil memang harus menyenangkan, kan? Dan apa yang jadi kesukaan Mas memang saya harus tahu, kan? Soal ilmu, Mas orangnya pintar, pasti belajarnya bisa lebih cepat paham. Saya yakin Mas nggak perlu waktu lama untuk melebihi saya," hibur Salma.

"Mas Andro tadi malam qiyamul lail, Ma, Pa. Tadi juga salat dhuha." Salma membagi kabar bahagia untuk kedua mertuanya.

"Masya Allah. Bener yang kamu bilang, Salma? Kamu nggak lagi mimpi, kan?" Mama dan papa saling menimpali.

Salma membenarkan. Menceritakan kejadian dini hari dan sesaat sebelum mereka berangkat tadi. Juga tentang Andro yang tak malu-malu minta diajari, bahkan minta disimak saat memuroja'ah dua surat paling belakang dari juz 29.

Mama memeluk Salma, matanya berkaca-kaca. Hamdalah terdengar berkali-kali, juga ucapan terima kasih untuk sang menantu bungsu. Papa mengungkapkan syukurnya dengan cara yang berbeda. Menepuk bahu anak laki-lakinya, membisikkan kalimat yang menunjukkan dia bangga memiliki Andro sebagai pewaris namanya.

"Eh, Sal. Kok bilang-bilang sih, ntar jadi hilang pahalaku."

"Kan bukan Mas yang bilang. Nggak apa-apa." Andro pasrah. Apa saja, asal bisa membuat Salma merasa senang berada di tengah keluarganya.

Hari itu mereka mengunjungi beberapa saudara di Kota Malang, ada yang kemarin tak datang ke pernikahan Dimas-Rea dan Andro-Salma karena sakit, ada juga yang karena sudah sangat sepuh sehingga tak memungkinkan datang.

Andro tak hafal jalan di kota Malang. Boro-boro di kota orang, di Surabaya saja baru satu setengah bulan terakhir dia bisa bepergian tanpa mengandalkan aplikasi peta. Cuma di area Semarang atas dia hafal jalan di luar kepala. Di seputaran Malang dia hanya mengikuti instruksi papanya. Sawojajar, Blimbing, Dinoyo, dan yang terakhir ke rumah orang tua Dimas di daerah Tlogomas.

Mama Andro arek Malang asli, yang lahir dan menghabiskan masa kecil di Malang. Lalu eyangnya pindah ke Surabaya saat mama kelas empat SD. Papa Andro sendiri asli orang Surabaya, dengan separuh darah Madura mengalir di tubuhnya. Meski begitu mama dan papanya hafal seluk beluk Malang sebab keduanya sering ke sana. Kakak sulung mama Andro masih tinggal di rumah lama eyangnya. Saudara yang lain juga masih banyak yang tinggal di sana, termasuk keluarga Dimas. Urusan pekerjaan juga membuat Antariksa sering mengunjungi kota apel.

Salma menjadi yang paling gembira. Ini perjalanan terjauh yang pernah ia tempuh. Salma juga senang bertemu orang-orang baru, saudara-saudara baru. Ia sampai tak mampu melukiskan kebahagiaannya. Dari yang dulunya tak punya siapa-siapa, tiba-tiba ia diperkenalkan pada banyak orang yang semua menerima dengan baik keberadaannya.

Kalau tak malu, rasanya Salma ingin sekali menggenggam tangan Andro erat-erat, sebagai ungkapan terima kasih yang sangat. Apalagi setiap kali Andro memperkenalkan dia sebagai Nyonya Angkasa Andromeda, hati Salma terasa menghangat.

"Mas." Mereka berdua baru saja menutup pintu suite room yang akan menjadi tempat mereka tidur malam ini.

"Gimana, Sal? Ada yang ketinggalan, kah?" Andro yang lebih dulu masuk membuka tirai yang menutupi jendela kaca super besar. View pegunungan menyapa matanya, dengan langit jingga yang sebentar lagi kehilangan cahaya.

"Emm, i-iya. A-ada."

"Apa? Di sebelah mana? Biar aku ambilkan. Kunci mobil di aku kok."

"Oh, ng-nggak, Mas. Nggak. Nggak ada."

"Bener? Tadi katanya ada."

"Emm, itu, Mas. Emm, y-yang ketinggalan itu. Emm, anu. S-saya, emm...."

Andro mendekat. Disentuhnya kedua bahu Salma, dipandangi wajah cantik itu lekat-lekat.

"Jangan kuatir, Sal. Kita nanti cuma akan bicara, tentang aku, tentang kamu, tentang kita. So, kamu nggak usah gugup gitu. Oke?"

"M-maaf, Mas. B-bukan itu. S-saya cuma m-mau bilang kalau..., eh, emm, s-saya..., saya sayang sama Mas."

Huff, betapa leganya hati Salma. Beban yang menghimpit dadanya sejak tadi siang terlepas sudah. Bahkan cuma mau bilang begitu, dia gugup setengah mati. Tangannya sampai dingin dan basah.

"Eh, k-kamu bilang apa, Sal?" Tega sekali Andro ini. Apa dia nggak lihat Salma susah payah mengatakannya? Pakai dikode untuk mengulang segala?

"S-sorry. Sorry, Sal. Nggak seharusnya aku tanya begitu ya? Aku...." Andro juga salah tingkah. Senyum seperti tak mau meninggalkan wajah gantengnya. Ia ingin berhenti tersenyum, tapi otak dan bibirnya bekerja sama mengkhianati maunya.

"Thanks, Sal. Kamu tahu? Ini untuk pertama kalinya dalam hidupku, seorang perempuan mengatakan ini ke aku. Dan perempuan itu adalah kamu. Istriku. I love you, Sal. I love you."

Sebelumnya, Salma sudah pernah mengatakan i love you. Tapi mendengar itu diucapkan dalam bahasa ibu, entah kenapa Andro merasa ada yang berbeda. Ada semriwing-semriwingnya, gitu.

Andro memeluk Salma erat. Sangat erat. Pada kedua matanya, terasa ada yang memberat. Dia merasa bahagia. Sangat bahagia. Ternyata seperti ini rasanya ketika seorang perempuan menyampaikan rasa sayang padanya, di hadapannya. Andro mendengar sendiri dengan telinganya, melihat sendiri lisan Salma mengucapkan empat kata itu untuknya.

Saya sayang sama Mas.

"Saya kok nggak percaya," kata Salma pelan.

"Kamu nggak percaya kalau aku sayang kamu, gitu?"

"Eh, b-bukan gitu, Mas. Tapi saya kok nggak percaya kalau Mas nggak pernah punya pacar atau mantan. Mas kan..., ganteng." Satu kata terakhir diucapkan Salma sangat pelan, tapi masih bisa Andro dengar.

"Apa, Sal? Ngomongnya jangan pelan-pelan gitu, dong."

"Ih, Mas nih sengaja. Padahal denger, kan?" Salma cemberut.

"Peluk lagi boleh nggak, Sal?"

"Kalau saya bilang nggak boleh?"

"Beneran nggak mau dipeluk cowok ganteng?"

"Mas jangan suka ngeledekin gitu, ih. Saya kan malu." Salma membenamkan wajahnya ke dada Andro. Menjatuhkan banyak cubitan di pinggang suaminya. Andro mempererat dekapan. Serasa dunia milik berdua, yang lain cuma figuran.

***

Cieee, yang udah halal, pelak peluk baeee. Kasian teman-teman pembaca yang masih jomlo yekaaan. Ahaha.... Mahapkan kami.

Sebenernya ending part ini kemarin bukan begini. Pas kubaca lagi, ini intinya apa sih, muter-muter bae kek gasing. Akhirnya aku bongkar hampir separuh, terus kusatuin sama part berikutnya, terus kuedit lagi. Ya beginilah jadinya... Semoga menghibur dan enak dibacanya ya :)

Btw, bongkar pasang ceritanya jadi ngaruh juga ke lagunya. Yang tadinya bingung kasih lagu apa, pas nulis endingnya kok langsung kepikiran lagu ini. Judulnya udah pas banget yekaaan? Hihi...

Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan.

Aish... Ndrooo, kamu bikin kita senyum-senyum sendiri deeeh. Apalagi yg versi live pakai orkestra-orkestra ini. Ah, udah deh... Andro juara pokoknyaaa.

Baiklah, sampai sini dulu. Seperti biasanya, mohon maaf dan thank you.

Awas ya bilang kurang panjang, udah 3,5K+ lho iniii. Wkwk..

Tetap semangat mengisi Ramadhan dengan memperbanyak ibadah dan kebaikan yaa.

See you :)

Semarang, 19042021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top