Motivasi
🌺🌺🌺🌺🌺
Book pesanan fthyoonio
Happy reading ✨
🌺🌺🌺🌺🌺
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Seorang guru muda membawa kedua kakinya yang terbalut pantofel melangkah keluar dari kelas XII IPS 4 yang baru saja selesai ia cekoki dengan teori Geometri milik Euclid yang dikenal sebagai Bapak Geometri.
Langkahnya santai, bibirnya tak sungkan mengumbar senyum--walau sedikit kaku--ketika beberapa orang yang berpapasan dengannya menyapa hangat, kendati gurat-gurat lelah tampak di wajahnya yang tampan seolah tanpa cela, bak porselen.
Satu tangan menenteng buku dan laptop, sementara satu tangannya yang bebas sengaja ia selipkan ke dalam saku celana panjang yang membungkus kaki. Berbelok di ujung koridor, lantas ia menemukan dirinya berdiri di depan pintu dengan papan kayu bertuliskan 'Ruang Guru' yang menggantung.
Satu tangannya yang tadi diselipkan ke saku ia bawa keluar untuk meraih handle pintu dan mendorongnya perlahan, menimbulkan suara decitan samar. Hela nafas lega lepas dari bibirnya ketika ia disambut oleh wangi lavender khas pengharum ruangan bercampur sensasi dingin air condicitioner di udara. Ruangan ini terlalu familiar untuknya, dan selama hampir tiga tahun ini menjelma menjadi rumah kedua untuknya--dibeberapa kesempatan ia bahkan menghabiskan waktu disini lebih lama ketimbang lingkup nyaman rumahnya sendiri.
"Ah, Sir Iori~, sudah selesai mengajar kelas hari ini?"
Suara itu langsung menyambut gendang telinganya kala ia melewati meja guru pertama--membuat Iori sekejap menghentikan langkah.
Itu adalah rekan kerjanya sesama guru. Guru Bahasa Inggris--Rokuya Nagi.
Sudut bibir Iori secara otomatis membentuk sebuah senyum untuk menyapa. Tak terlalu lebar, namun cukup sopan untuk ditunjukkan kepada seniornya itu. Dia yang ramah senyum seolah sudah menjadi bagian dari persona yang ia bentuk.
Dengan suaranya yang setenang air, ia pun menjawab, "Iya, Rokuya-sensei. Sensei sendiri belum pulang?" ucapnya berbasa-basi sedikit.
Nagi mendesahkan nafas, kemudian menggidikan dagunya ke arah lembaran kertas yang menggunung, "I'm finishing the correction. Nanggung 'sih, jadi aku selesaikan sekarang saja."
Iori hanya menggangguk saja sebagai tanggapan. Ia sempatkan melirik ke arah dua meja yang berlawanan dari tempat ia duduk, menyadari bahwa dua rekan sesama guru penghuni ruangan ini--Yuki-sensei sang guru Sejarah dan Yamato-sensei sang guru Ekonomi--sepertinya sudah singgah ke rumah masing-masing. Asumsi itu dibuktikan melihat keadaan kedua meja yang sudah tertata rapi dan cangkir teh yang isinya telah tandas ke dasar.
"Baiklah, Sensei. Kalau begitu saya duluan," Iori berujar sembari membungkukkan badannya sepintas, sementara Nagi hanya membalas dengan seulas senyum ramah dan sebuah lambaian tangan--mempesilahkannya untuk melakukan apapun yang diinginkannya.
Iori lantas berjalan ke mejanya yang terletak tepat berseberangan dengan meja Nagi. Meja dengan sebuah papan nama terukir untaian aksara "Izumi Iori".
Iori melemparkan tubuhnya yang terasa kebas itu ke kursi putarnya yang empuk dan nyaman. Mengajar banyak kelas dari pagi hingga pagi kembali memang melelahkan. Tapi itu memang kewajibannya, dan meskipun terdengar klise, ia merasa mendapat kebahagiaan tersendiri ketika ia mampu berbagi ilmu dengan para siswa-siswanya.
Guru termuda di Ainana High School itu meletakkan barang-barangnya ke meja, mencondongkan tubuh ke depan dan mengusap wajah dengan telapak tangan. Ia menunduk, mengamati beberapa map berwarna berbeda sudah bertumpuk di mejanya yang terkepung oleh dokumen penting lainnya yang menumpuk bak gunung.
Iori membolak balik map-map itu--macam-macam isinya. Ada undangan kegiatan, ada satu map isi tugas individu satu kelas tentang tugas makalah, beberapa makalah revisian yang tergabung dalam satu map lainnya--tapi hanya satu map yang langsung mencuri atensinya. Map tersebut berpola batik, khas beberapa murid terpandang di SMA tersebut dengan cover map bertuliskan "Surat Permohonan Pertimbangan Jadwal Ujian Praktek".
Alirnya berkerut. Tangannya secara otomatis membalik map, untuk menemukan selembar kertas dengan tulisan yang tercetak dalam tinta hitam.
Manik onyx miliknya bergerak-gerak, membaca selembar kertas di dalam map itu dengan seksama. Kedua matanya makin memicing seiring ia mencerna deret demi deret kalimat yang tercetak oleh tinta hitam dengan font Arial disana. Lengkap dengan tanda tangan Kepala Tata Usaha dibagian bawah, berikut dengan tanda tangan dan sebuah nama terang nan familiar di kehidupannya.
Fafa Adinata.
"Ah, itu surat permintaan untuk memikirkan ulang jadwal Ujian Praktek milik Fafa, ya?"
Suara Nagi dari seberang membuat Iori terdongak, menemukan rekan sesama gurunya itu ikut mengamati lembar kertas yang ada di gengamannya. "Tadi dia kesini untuk minta tanda tanganku sebagai pengawas pertama. Dia mengajukan permintaan untuk memikirkan ulang jadwal Ujian Praktek. Hah, akhrinya dia muncul juga," desah Nagi dengan nada yang hampir putus asa.
"Memangnya dia jarang konsul untuk persiapan, sensei?" tanya guru muda itu dengan penasaran.
Fafa Adinata itu adalah salah satu dari sekian banyak siswa kelas XII yang akan dia uji--dia adalah guru penguji di Ujian Praktek gadis itu. Ia tak terlalu tahu kalau salah satu siswinya yang satu itu sempat mangkir konsultasi dengan salah satu guru pengajar. Yang lebih sering berhubungan dengan Fafa perihal pemantapan akhir Ujian Praktek tentu saja adalah Kujo Tenn sang guru yang multitalent, saat ini Tenn-Sensei mengajar sebagai guru Biologi namun jika ditelusur lebih jauh, Tenn-Sensei telah menamatkan studi akhir sebagai guru Biologi, Matematika, Fisika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, Bahasa Prancis dan Sejarah. Dibandingkan dengan ia yang hanya menamatkan studi Matematika, Kujo Tenn-sensei sangat pantas menjadi guru pembimbing untuk memantapkan para murid sebelum Ujian tiba.
"Hampir satu minggu ini dia menghilang semenjak jadwal Ujian Praktek diumumkan. Seharusnya dia ikut kelas pemantapan akhir dengan Tenn-Sensei, tapi dia sama sekali tidak ada kabar, bahkan Tenn-Sensei sampai marah-marah menunggunya untuk ikut kelas pemantapan akhir." Nagi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Syukur akhirnya dia muncul juga, walaupun untuk mengajukan permintaan untuk mengganti jadwal Ujian Praktek 'sih. When I asked what was wrong, she said it's okay, it just takes time." jelas sang guru dengan rambut pirang indahnya itu yang terkenal bak seorang Pangeran dari negeri dongeng.
"This is an opportunity to request a final schedule change. I'm afraid that if she have to postpone it again, time will run out and Fafa will have to start all over again with her underclassmen." ucap Nagi sembari salah satu tangannya yang mejepit bolpoin memutar-mutar sudut keningnya. Sekali lagi ia mendesah, menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir, "Aku tidak tahu kenapa siswa zaman sekarang itu malas sekali mengerjakan tugas sekolah terutama Ujian Kelulusan. Padahal Ujian Praktek itu gampang loh.
Iori tak terlalu menyimak Nagi yang kini mengeluhkan soal kemalasa generasi milineal.
Atensi Iori justru tertuju kepada cerita Nagi beberapa saat sebelumnya--mengenai Nona Fafa Adinata yang sempat hilang entah kemana dari mandatnya.
Ia justru memikirkan posibilitas yang diutarakan oleh Rokuya Nagi-Sensei barusan--jika Fafa tidak bisa mengejar kelas pemantapan dalam jangka waktu 1 minggu ini, maka kemungkinan untuknya gugur karena tidak mendapatkan tambahan score di surat Ijazah. Fafa harus mengulang dari awal lagi, bersama-sama dengan adik kelas.
Ainana High School memang punya peraturan khusus yang ketat mengenai jangka waktu kelas pemantapan akhir untuk mendorong siswa kelas XII agar tidak menelantarkan tugas mereka sebagai murid kelas akhir.
Iori jadi kepikiran sendiri. Dan dia pun mulai di desak oleh pertanyaan "Kenapa?" yang sekarang mulai singgah memenuhi ruang di kepala.
Hmmm.... Fafa Adinata, ya?
Sepertinya Iori harus bicara empat mata.
🌺🌺🌺🌺🌺
"Tumben sekali tiba-tiba mengajak keluar,"
Adalah hal pertama yang dikatakan Fafa sesaat setelah Iori menarik kursi baginya untuknya duduk.
Gadis itu datang dengan mengenakan seragam khas Ainana High School. Rambut hitam pekatnya yang panjang sepinggang dibiarkan tergerai bebas. Ia juga mengenakan jepit rambut di sisi kiri rambutnya sebagai pemanis. Di bahunya terlihat tas ransel berwarna putih dengan sebuah boneka beruang kecil berwarna putih sebagai pemanis di tas tersebut.
Iori meraih tangan kanan Fafa dan memberikan sebuah kecupan ringan di punggung tangan gadis itu sekilas--ia mempelajari ini dari sebuah buku berjudul "Bagaimana Cara Memperlakukan Wanita dengan Benar"--salah satu buku pegangannya dalam romansa. Well, meskipun dia ini seorang guru, nyatanya kalau untuk urusan bercinta, dia ini masih amatir. Maka dia melakukan segala cara untuk bisa mengerti dan memahami, apa yang mungkin diekspektasikan seorang Fafa Adinata ketika mereka menjalin relasi.
Apapun yang bisa membuat gadis itu bahagia dan tersenyum seperti sekarang.
Dengan pipi yang sedikit menyembulkan semu delima, gadis itu tersenyum lebar, tanda bahwa ia mengapresiasi perlakuan Iori barusan.
Ah, buku utu memang tepat.
Oh iya, aku belum bilang ya?
Sekedar informasi, Iori memang telah menjalin relasi istimewa dengan Fafa kurang lebuh 2 tahun ini.
Tenang saja, tidak ada praktik pedofilia disini. Jarang umur Iori dengan Fafa hanya berjarak 3 tahun. Itu karena Iori mengambil kelas percepatan semenjak sekolah menengah dulu, dan faktanya dia memang guru termuda di Ainana High School untuk saat ini setelah Kujo Tenn dan Nanase Riku.
Selain itu, keduanya juga sama-sama punya consent untuk menjalin hubungan--tak ada paksaan apapun disini. Bahkan kedua keluarga mereka sudah saling kenal satu sama lain.
Selain keluarga dan teman-temannya, di lingkungan sekolah belum ada yang mengetahui soal hubungan mereka ini. Kalau bisa sih, dirahasiakan saja dulu.
Sebenarnya sih tidak ada larangan apapun di lingkungan sekolah jika memang terjalin hubungan lebih antara murid dengan gurunya. Asalkan memang mau sama mau. Mereka memang sepakat untuk lay low saja, alias tak mengumbar-umbar sebelum waktunya.
Jaga-jaga kalau ada yang lihat, maka Iori dan Fafa biasanya menggunakan masker ketika mereka hangout bareng. Atau setidaknya memilih tempat makam yang tidak terlalu ramai atau mungkim mereservasi meja yang punya tempat terpisah dan cukup terpencil seperti saat ini, misalnya.
"By the way, maaf ya aku agak terlambat," kata gadis itu dengan perasaan tak enak. Senyumannya agak kecut.
Iori membalasnya dengan mengulum senyuman menenangkan, berharap bisa menetralisir persaan bersalah si gadis. "Tidak apa, Fafa."
Iori tak bisa menahan diri untuk tak mengapresiasi. Setiap komposisi detail-detail menakjubkan yang tertoreh dari figur sang kekasih. Kulit putih bersih, hidung kecilnya yang bangir, semu merah bunga satsuki serta bibir lembut merah muda. Ah, tangan yang tadi ada di genggamannya itu juga begitu lembut--selembut gradasi langit biru. Terlebih, Fafa punya pribadi yang luar biasa. Sifat suka menolongnya, sikap perhatiannya, semuanya membuat seorang Izumi Iori jatuh cinta.
Iori tentu tahu, dia adalah lelaki beruntung.
Mereka melanjutkan percakapan ke berbagai hal, sembari mereka memanggil pelayan untuk menyebutkan pesanan. Sang guru muda itu memang sengaja ingin mengambil jalan memutar. Mendorong Fafa untuk bercerita apapun sebelum Iori menuju inti permasalahan.
Ia ingin mengetahui alasan kenapa Fafa tiba-tiba vakim dari kelas pemantapan akhirnya. Padahal selama ini, Fafa bilang dia tidak ada masalah dan kelas pemantapan akhirnya lancar-lancar saja. Mau tak mau, Iori jadi ikut kepikiran.
Mereka baru saja menyelesaikan hidangan utama mereka--low to medium tenderloin steak untuk Fafa dan rib-eye steak untuk Iori--ketika pemuda itu merasa bahwa inilah timing yang tepat, maka ia pun membuka topik.
"Akhir-akhir ini kau sibuk apa, Fafa?" tanya Iori sebagai intermezzo. Ia meraih gelas champagne di atas meja untuk meneguk beberapa tegak. Manik onyx miliknya dengan seksama menatap lawan bicaranya itu yang tengah mengusap ujung bibirnya dengan napkin.
"Aku masih sibuk mengurus basket team," timpal Fafa dengan santai. Tangannya lantas terjulur untuk meraih dessert yang terhidang di meja--sepotong fruitty puding yang tampak lezat.
"Mengurusi basket team?" Iori membeo, satu alisnya secara otomatis terangkat. Agak terkejut, tanpaknya, ia baru dengar soal ini.
Fafa mengangguk saja, sembari ia menyuapkan potongan-potongan kecil pudding itu ke mulut, "Iya, soalnya sebentar lagi akan ada kompetisi besar."
Iori melipat tangannya di meja, "Aku tidak tahu kau masih sibuk mengurusi basket team sekolah," ujarnya, "Bukannya kau sudah lana turun jabatan? Kau bilang sudah ada ketua yang baru?"
Iori tentu tahu gadis-nya itu adalah mantan ketua Basketball Team Ainana High School. Fafa memang sangat aktif di kegiatan non akademisnya yang satu itu. Tetapi sepengetahuannya, Fafa sudah meletakkan titelnya dan ketua baru pun sudah dilantik di periode sebelumnya.
"Iya, memang," kata Fafa, kini gadis itu mendongak, kemudian menyibakan poninya ke telinga. Memberikan Iori akses lebar-lebar untuk mengamati kedua bola matanya yang berbinar dengan lebih jelas. Fafa lantas nyengir ala kadarnya kepada Iori, mungkin merasakan kekhawatiran akan apa yang dia lakukan itu. "Aku hanya bantu-bantu saja kok
No big deal,"
Iori mengangguk, menyeloroh pada akhirnya, "Apa itu alasannya kenapa kau mangkir mengikuti kelas pemantapan akhir?"
"Nah, kan! Sudah kuduga pasti ujungnya akan ngomongin kelas pemantapan akhir," Fafa mengucir bibirnya, memberengut tak suka. Matanya lalu menajam, seolah tengah berseru dan meratap untuk 'tolong-ngomong-apapun-selain-kelas pemantapan-pls'.
"Oh ya omong-omong," gadis itu lalu sedikit memajukan tubuhnya, sekarang binar matanya berkilat menatap penuh harap, "Kau pasti sudah membaca surat permintaan milikku, ya? Apa sudah kau tanda tangani?"
"Sebelum aku tanda tangan, aku ingin menanyakan dulu," Iori ikut mencondongkan tubuhnya, "Memangnya ada apa? Ada masalah? Aku mendengar dari Nagi-sensei kalau kau semingguan ini menghilang. Aku bahkan tidak tahu soal ini, Fafa. Selama ini kutanya, kau bilang kelas pemantapan lancar-lancar saja,"
Ia menatap Fafa lekat-lekat dengan manik onyx miliknya, "Kau tahu kalau kau ada kesulitan, aku akan dengan senang hati membantu," ujarnya dengan nada datar, namun jika di dengarkan dengan seksama, maka bisa menangkap ada afeksi mendalam yang menyerta.
Bukan nepotisme atau apa. Nyatanya meskipun Iori adalah guru pengawas Ujian Praktek--terlepas mereka menjalin hubungan atau tidak--Fafa dipersilahkan untuk konsultasi tentang soal yang akan keluar di Ujian Praktek kepada guru yang ada, bahkan kepada guru pengawas jika itu dirasa dibutuhkan. Boleh saja, karena ini kan demi kemajuan anak didik mereka. Yang nanti tentu akan memberikan dampak yang baik bagi akreditasi sekolah.
"Aku well..." Fafa mengubah posisi duduknya, kini satu tangannya ia gunakan untuk menyanggah dagunya, dan ia pun medesahkan nafas panjang, "Sebenarnya tidak ada apa-apa. Aku rasa aku hanya sedang butuh demotivasi saja."
"Demotivasi?"
Anggukan kepala menjadi jawaban, sehingga Fafa pun melanjutkan, "Ayah dan Bunda juga terus-terusan menanyakan kapan Ujian Nasional, kapan lulus. Sekarang aku malah lagi kehilangan motivasi, jadi mau ikut kelas pemantapan akhir segala tetek bengeknya rasanya jadi tidak mood."
Iori tak memberi tanggapan, namun ia mendengar dengan sungguh-sungguh, membuat Fafa kembali bercerita.
"Seperti ingin istirahat sejenak saja. Bagaimana ya menjelaskannya.... yah, rasanya lagi jenuh. Tidak ingin berkutat dengan kelas pemantapan akhir dulu untuk saat ini. Ingin take a break. Mau dipaksa juga sama saja. Rasanya seperti kehilangan energi buat mengerjakan sesuatu. Malas gerak, malas belajar, malas ngapa-ngapain. Lagi hilang motivasi lah intinya."
'Hmm, jadi demotivasi, ya?' Iori menggumam dalam hati.
Motivasi adalah alasan yang mendasari individu melakukan sesuatu hal. Demotivasi adalah peristiwa melemahnya alasan tersebut.
Motivasi adalah alasan yang mendasari individu melakukan suatu hal. Demotivasi adalah peristiwa melemahnya alasan tersebut.
Yah, wajar sih.
Dan kejadian ini juga sering dialami oleh orang lain juga. Bahkan Iori pun sesekali merasakannya. Tiba-tiba mulai kehilangan motivasi dalam pekerjaan atau tugas. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya, tentu saja.
Namun dari cerita Fafa barusan, Iori menangkap bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah rasa frustasi karena ketatnya kelas pemantapan akhir, belum lagi tekanan dari orang tua dan yang lainnya. Fafa lantas mengambil coping stres dengan cara flight--atau kabur sejenak dari masalahnya. Melibatkan diri dalam aktivitas basket team-nya dan meninggalkan kelas pemantapan akhir.
"Tapi kau tahu kan perpanjangan kelas pemantapan akhir hanya berlaku sampai seminggu?" Iori bertanya lagi. Pancaran matanya begitu sungguh-sungguh, "Kalau kau tidak bisa menyelesaikan kelas pemantapan akhir dalam waktu itu, maka akan dipastikan Ujian nanti kau gugur, kau harus mengulang kelas kembali," jelas Iori pada gadis di depannya yang mendengarkan dengan ogah-ogahan. Justru memilih memainkan garpu di tangan, "Kan' sayang, bukan?"
"Aku pasti mengerjakan' kok," Fafa berusaha menenangkan sang kekasih. Matanya masih menatap penuh harap. Kentara benar ia ingin percakapan soal kelas pemantapan akhir dan Ujian ini segera diakhiri.
"Tapi nanti," sambungnya.
Air muka Iori masih saja datar, "Nantinya kapan?" Pertanyaan itu diutarakan dengan nada netral, namun tajam dan tepat sasaran.
"Ya... Pokoknya nanti. Nanti kalau sudah mood lagi, aku pasti mengerjakan' kok. Tenang saja." Gadis jelita itu menepuk-nepuk punggung tangan Iori yang ada di meja, "Pak guru tahu sendiri' kan, di dalam prinsip belajar, motivasi itu sangat penting untuk keberhasilan belajar? Kalau dipaksakan tanpa di dasari motivasi di dalam diri si individu, hasil belajar individu itu tidak akan maksimal, iya kan?"
Pernyataan Fafa yang membawa salah satu teori psikologi untuk dijadikan alibi itu alih-alih membuat Iori kesal. Ia justru berakhir terdiam, merenungkan perkataan kekasihnya barusan.
Jadi... Dia sedang butuh motivasi ya? Motivasi external sepertinya akan bisa mendorongnya.
Tapi apa?
"Fafa," Iori memanggil namanya, membuat Fafa langsung terdongak, "Kau mau jalan-jalan setelah ini? Ke Mall?"
Dia tahu sugestinya tepat sasaran kala ia melihat mata cokelat milik Fafa berkilat antusias dalam sejenak, "Kita bisa membeli baju atau sepatu."
"Benar sekali! Ayo kita jalan-jalan ke Mall," Fafa nyengir lebar-lebar, bangkit berdiri secepat kilat, "Kau selalu bisa mengerti aku, Iori," tangannya berangsur bergerak untuk meraih tangan Iori yang tergeletak di meja. Gadis itu tanpa keraguan menyatukan jemari mereka menjadi satu kaitan.
"Kau pun begitu," meskipun itu kalimat yang terkesan flattering, nyatanya Iori tidak berbohong. Gadis itu, dengan segala yang ada pada dirinya, begitu sabar untuknya.
Ia mau mengerti, memahami, dan menunggu dirinya.
Iori lantas memberikan remasan di tautan tangan mereka sebagai balasan.
"Ayo....."
🌺🌺🌺🌺🌺
Iori tak tahu semenjak kapan ia berakhir berdiri di toko perhiasan yang ada di salah satu Mall terbesar di Tokyo ini, bersama Fafa di sisinya. Tadi ia menurut saja mau dibawa kemana oleh gadis itu. Memasuki toko satu ke toko yang lain.
Iori baru menyadarinya setelah akhirnya benar-benar memperhatikan dan merealisasinya. Ia kini berada di toko perhiasan. Ia tidak terlalu tahu pasti untuk apa Fafa menyeretnya kemari.
Apa Fafa ingin membeli perhiasan baru?
Iori menoleh, kepalanya tergerak ke tempat dimana Fafa berada. Fafa sepertinya tengah tertarik untuk membeli perhiasan jenis cincin. Sekarang kekasihnya yang berambut sehitam arang itu tengah menundukkan tubuhnya, mengamati dengan sungguh-sungguh berbagai cincin beragam yang di pamerkan di etalase kaca.
Banyak sekali cincin di dalam kotak kaca tersebut, dengan berbagai rupa, warna, dan ukuran. Dengan harga yang bermacam-macam juga tentunya.
Iori berjalan mendekati Fafa, berdiri di sisi gadis yang masih sibuk mengamati cincin yang terdisplay, ditemani oleh seorang pramuniaga yang sigap membantu dengan seulas senyum ramah di wajahnya.
"Kau mau membeli cincin?" Tanya Iori penasaran.
Fafa menoleh kepalanya, menggeleng, "Tidak juga sih. Hanya ingin melihat-lihat sa--ah! Cincin yang itu bagus!" Gadis itu tiba-tiba berseru di ujung kalimatnya. Dia bergegas menoleh ke arah penjaga toko di depannya, "Boleh aku lihat?"
Sang Shopkeeper melihat cincin yang ditunjuk oleh Fafa dengan tenang, dalam sedetik senyuman terlihat di wajahnya. "Tentu, Nona," Shopkeeper mengeluarkan cincin tersebut dari etalase untuk kemudian diletakkan di hadapan Fafa.
Fafa melihat cincin itu dengan seulas senyum cerah. Iori mau tidak mau jadi ikut mengamati juga.
Cincin itu memang cantik. Warna silver dengan bentuk bulat yang klasik. Yang menarik dari cincin itu adalah permata berwarna sapphire kecil yang tepat berada di tengah, berbentuk pola segitiga. Di sisi cincin mengakar ukiran layaknya bunga snowdrop, dengan permata kecil berwarna putih transparan di ujung-ujungnya.
Cantik sekali.
Mewah, namun tidak berlebihan. Elegan menurut Iori. Ia tahu Fafa memang berbakat dalam menilai sesuatu yang cantik. Ia sama sekali tidak meragukan selera estetika gadis itu.
"Kamu suka?" Tanya Iori pada Fafa yang masih terlihat takjub dan sibuk mengagumi cincin di hadapannya--mengamati setiap detailnya.
Fafa mengangguk dengan semangat untuk menjawab pertanyaannya. Bola matanya yang berwarna kecoklatan terlihat berbinar. "Aku suka design-nya. Elegan kan? Kalau aku menikah nanti, aku ingin cincin yang seperti ini," Iori bisa melihat Fafa tiba-tiba saja menoleh ke arahnya. Ia melihat bagaimana gadis itu kemudian tampak menggigit bibir bawahnya, seperti tengah menimang-nimang sesuatu sebelum dia mengutarakannya pada Iori. Iori hafal kebiasaan gadis itu.
"Apa?" Iori bertanya, mendorong Fafa untuk mengatakan apapun yang hendak gadis itu sampaikan.
"Kalau cincin pernikahanmu yang seperti apa, Iori?" Tanya Fafa pada akhirnya, terdengar agak ragu-ragu.
Iori mengerjakan matanya, alisnya terangkat sedikit, sama sekali tidak mengharapkan akan diberi pertanyaan seperti itu. Jujur saja, ia tidak pernah membayangkan mengenai cincin pertunangan, pernikahan, atau apapun. Ia tidak memikirkan hal-hal seperti itu.
"Aku tidak punya bayangan soal cincin pernikahan impian," ucap Iori dengan jujur. Ia lantas mengerling pada Fafa di sampingnya. Mengunci bola matanya di tempat, Iori lalu menimpali kalimat yang ia ucapkan dengan ringannya, "Aku ikut kamu saja."
Sebenarnya kalimat itu biasa saja--polos, diutarakan dengan nada setenang air layaknya sifat Iori biasanya. Namun kalimat itu mampu membuat seorang Fafa Adinata seketika merona mendengarnya.
Bukan tanpa alasan Fafa jadi salah tingkah karena kalimat yang dikatakan Iori barusan. Kalimat itu secara tidak langsung mengimplikasikan bahwa Iori percaya bahwa hubungan mereka akan berumur panjang dan berakhir sampai ke altar pernikahan. Iori percaya bahwa mereka akan mengikat janji suci pada akhirnya. Mau tidak mau, Fafa jadi dibuat seolah melayang sampai langit ketujuh.
Siapa yang tidak akan kesengsem, coba?
"Aku jadi ingat," Fafa tiba-tiba angkat bicara. Pipinya masih terlihat merona kemerahan, namun kepalanya tertunduk untuk mengamati cincin yang masih berada di hadapannya, "Nanase-san cerita padaku jika dia melamar Kujo-sensei kemarin malam, dan mereka akan melangsungkan pesta pertunangan di akhir Desember," Fafa tersenyum-senyum sendiri, "Yang aku dengar Nanase-san melamar Kujo-sensei dengan menyelipkan cincinnya ke dalam sampanye. Sempat ada drama sih, Kujo-sensei hampir saja tidak menyadari ada sebuah cincin di sampanye-nya, tapi untung saja dia tidak tersedak. Kau harus melihat cincinnya, cincinnya cantik sekali." Fafa mendesahkan nafas dramatis, matanya menerawang, "Kujo-sensei tampak bahagia sekali ketika menceritakannya."
Mengabaikan rasa penasaran mengapa seorang Kujo Tenn sempat-sempatnya bergosip ria dengan Fafa, Iori hanya menyimak saja cerita Fafa, tidak berkomentar apapun.
Namun dari cerita Fafa barusan dan mencocokkannya dengan apa yang terjadi saat ini--Iori mulai mengambil insight. Iori tahu terkadang ia punya self-awareness taraf jongkok--tidak peka istilahnya. Tapi untuk yang kali ini dia cepat menangkap implikasi dari tindakan Fafa akhir-akhir ini.
Fafa yang akhir-akhir ini suka meng-share mengenai hal-hal yang berbau pernikahan. Memasang quotes mengenai penyatuan janji suci untuk dijadikan story Instagram. Bercerita mengenai teman-temannya yang dilamar. Dan sekarang gadis itu menyeret Iori ke toko perhiasan dan memperhatikan cincin bersama-sama.
Ah, Iori mulai mengerti.
"Kamu mau dilamar juga?" Iori tanpa basa-basi langsung bertanya, yang jelas membuat Fafa merona tak karuan.
Gadis itu menunduk saja. Enggan menatapnya untuk beberapa saat. Suaranya memang hampir tidak audibel di telinga, namun Iori berhasil menangkap gumaman yang meluncur dari bibir Fafa pada akhirnya--
"Ya siapa yang tidak mau sih?"
Jadi begitu.....
Iori sekarang mencapai konklusi.
Fafa butuh motivasi.
Dan Iori jadi mempunyai ide sekarang.
🌺🌺🌺🌺🌺
Fafa Adinata
Jadi jalan?
Riku
Sorry, beb, lagi sibuk nih.
Gaku
Bilang saja kau sebenarnya lagi jalan sama Tenn kan, Nanase.
Tenn
Jalan, jalan, belajar sama gua belum buat ujian malah ngajak jalan segala.
Fafa Adinata
Ya maaf.
Minami
Pesanku tidak terlalu jauh berbeda sama Tenn sih.
Momo
Maaf banget Fafa, aku masih belum bisa (◍•ᴗ•◍)
Dan beberapa lontaran penuh ejekan dari beberapa member atau ajakan keluar bersama di akhir pekan.
Fafa mengunci bibir memandang balasan dari teman yang entah sejak kapan jadi temannya di grup chat mereka.
Dia badmood. Teman-temannya sedang sibuk dengan dunia mereka dan mulai jarang main bersama. Fafa tahu mereka memiliki kehidupan masing-masing tapi ayolah bahkan Iori tidak muncul atau setidaknya membaca pesannya di grup.
Entah sudah berapa kali Mitsuki men-tag Iori, begitu juga dengan Tenn yang semula sempat hampir mengeluarkan wejangan soal menjadi kekasih yang baik, beruntung Riku online dan berada di sekitar sang surai baby pink sehingga Fafa berhasil lolos dari ceramahnya.
Dengan perasaan yang masih kesal, Fafa terus melangkahkan kakinya, menikmati taman kota kala senja di akhir pekan yang menyenangkan. Terpesona akan warna lembayung senja yang terpantul di atas permukaan kolam taman, jelas memberikan mata sebuah kemanjaan personal.
Tetapi sayang, Fafa sedang tidak dalam mood bagus saat ini.
Gadis itu sedikit berjingit, kala ia merasakan ponsel di genggamannya bervibrasi tak henti--ada yang menghubunginya. Sebuah kontak yang terlalu familiar dalam hidupnya menghiasi layar, tidak sabar menuntut jawaban.
Gadis dengan rambut hitam yang tergerai itu memilih menggeser tanda berwarna hijau dan membawa ponselnya ke telinga dengan alis terkenyit, "Halo?"
"Lagi sibuk tidak?" Sahut suara favorit Fafa dari seberang sana. Suaranya tenang, mengingatkannya akan permukaan air di kolam.
"Tidak juga, aku lagi jalan-jalan sendiri di taman kota."
"Dekat dari tempatku sekarang berarti," timpal Iori dengan suaranya yang entah mengapa terdengar ceria, "Temui aku di Coffee Shop milik Tsunashi-san, mau ya?"
Fafa tidak langsung menyetujui. Matanya menyipit penuh siaga, "Kalau ini masalah persiapan Ujian...."
"Bukan kok, bukan Ujian," tampik Iori dengan cepat.
Fafa menghela napqs lega, mengangguk-angguk walau tahu Iori tidak bisa melihatnya dari ujung telepon. "Oke deh, aku kesana."
"Aku tunggu."
Sambungan lantas dimatikan.
Fafa bergegas memasukkan ponselnya dan keluar dari taman. Jarak antara taman dengan Coffee Shop milik Tsunashi Ryunosuke memang tidak terlalu jauh, ia hanya perlu berjalan ke arah selatan Tokyo sekitar 150 meter. Fafa tidak mau mengakuinya terang-terangan, tetapi ia penasaran dengan apa yang tengah dilakukan Iori sampai tiba-tiba saja menyuruh menemuinya di Coffee Shop yang paling terkenal dengan rating tertinggi di daerah itu.
Jangan bilang..... Jangan bilang Iori mau menyampaikan pesan terakhirnya sebelum meminta putus?
Mana mungkin!
Mana mungkin hanya karena aku tidak ingin belajar untuk Ujian dia sampai-sampai meminta putus!
Apapun itu, Fafa putuskan untuk mempercepat langkah, sesekali berlari agar ia lebih cepat tiba di destinasi.
Dan ketika ia sampai, dari jarak beberapa meter, Fafa bisa menangkap siluet Iori terlihat duduk dalam lingkaran besar dengan orang-orang yang membelakanginya sehingga wajah mereka tidak dapat gadis itu lihat.
Fafa membawa dirinya berlari, sampai akhirnya ia berdiri tepat di sisi Iori dengan nafas terengah.
Gadis itu baru diperbolehkan duduk saat salah satu lingkaran besar yang mengelilingi Iori--ternyata adalah geng ajaib mereka--dengan wajah yang terlihat menahan tawa menunjuk kursi kosong.
Diantara suara percakapan berbagai arah yang saling terlontar, Fafa menyandarkan tubuhnya ke kursi, menikmati pemandangan sekitar Coffee Shop di senja hari, matahari yang hendak kembali ke singgasananya dan lampu-lampu kekuningan yang mulai dinyalakan untuk memberikan berkas-berkas cahaya sebagai penerang jalan. Sembari ia berusaha menormalkan ritme nafasnya, Fafa sesekali menanggapi dengan kalimat candaan, sedangkan Iori hanya tersenyum memandanginya. Pemuda itu menggeser tubuhnya mendekat, menempel hingga tidak ada jarak antara lengannya dengan lengan Fafa.
Kontak kulit yang terjadi tidak luput dari seluruh pasang mata disana, tidak ada satu pun yang berniat mengganggu, mereka memutuskan untuk memperhatikan dengan kedok berbincang mengenai kehidupan setelah mendapatkan pasangan.
Disisi lain, kontak kulit itu membuat kepala Fafa akhirnya menoleh. Memperhatikan Iori yang terlihat tampan dengan longcoat berwarna hitam dan poni surai ravennya yang terbelai angin sore.
Fafa tidak akan pernah bisa untuk tidak mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini. Dan mengetahui fakta bahwa lelaki itu adalah miliknya, terkadang masih sulit diterima oleh kognitif Fafa.
Merasa nafasnya sudah mulai berangsur normal kembali, gadis itu memilih angkat bicara, "Jadi kenapa menyuruhku kesini, Iori?"
"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu," ujar pemuda itu dengan nada suaranya yang mendamaikan.
Sekali lagi pikiran Fafa mulai berpikir kesana kemari, memikirkan segala kemungkinan apa yang akan dikatakan Iori. Sorot mata Fafa secara otomatis berubah panik. Sekelebat pikiran negatif mulai bermunculan tanpa bisa dicegah.
"Jangan-jangan kamu mau minta putus ya--."
Iori menggeleng cepat, "Tidak, bukan begitu," sangkalnya. Fafa melihat bagaimana pemuda itu kemudian menggaruk pipinya dengan satu tangannya. Gerakan non-verbal yang mulai dihafal Fafa sebagai tanda bahwa pemuda itu tengah gugup sekarang, "Eum.... Jujur saja aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Iori terdiam sebentar untuk mengambil nafas. Ia mendongak menatap Fafa, mengunci pandangannya di tempat, "Aku sudah memikirkan ini matang-matang....."
Melihat gestur dan kata-kata Iori membuat jantung Fafa berdebar, penuh antisipasi.
Ada apa ini?
Astaga Dragon...... Mungkinkah.....
Mungkinkah Iori tengah melamarnya?
Ya Tuhan......
Jantungnya semakin bertalu-talu. Fafa hampir saja menjerit saking girangnya. Tidak salah lagi!
Iya, yang itu!
Kotak sakral itu!
Si kotak kecil beludru berwarna merah.
Tanpa perlu diperhatikan dijelaskan secara gamblang, semua orang tentu tahu apa artinya jika pasanganmu tiba-tiba mengeluarkan kotak merah dan mempersembahkannya padamu. Fafa tidak percaya keinginannya tiba-tiba terwujud dalam waktu dekat ini. Hell yes--
"Bukalah," perintah pemuda bersurai raven itu. Senyumannya menggores sempurna kala ia meletakkan kotak beludru itu di telapak tangan Fafa.
Fafa bisa merasakan air mata mendesak di pelupuk mata. Air mata haru. Ia bahagia.
Kotak yang ada di genggamannya itu terasa begitu berat untuk dipikul, namun anehnya ia merasakan debaran candu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia tidak sabar ingin membuka dan melihat isinya. Dengan tangan gemetar dan penuh kehati-hatian, Fafa membuka kotak di tangannya. Bersiap untuk mengetahui jenis batu permata apa yang akan melingkari jari manisnya kelak, dan--
"..... Lah? Kosong?......"
Air mata haru tidak jadi menuruni pipi, raut mukanya yang semula penuh harap menampilkan tanda tanya besar.
Mendapatkan kenyataan jika di dalam kotak beludru beralaskan spons itu nyatanya tidak menjepit cincin dengan permata apapun.
Tidak ada cincin.
Satu pun.
Benar-benar kosong.
Jangan-jangan cincinnya jatuh? Atau terselip di sisi lain? Fafa mencoba membolak-balik kotak cincin itu, tapi tidak ada satu cincin pun yang menggelinding keluar. Atau--
Fafa lalu mendongak, mencoba mencari jawaban akan seluruh keheranannya. Anehnya, ia tidak menemukan seinci pun raut wajah yang panik dari paras rupawan seorang Izumi Iori.
Apa-apaan?
Matanya memicing penuh sangsi.
"Iori, kamu bayar cincinnya nyicil ya? Kok kotaknya kosong?"
"Memang sengaja kosong kok," ucap Iori tenang, ditemani seulas senyuman di wajahnya.
Hah, apa yang direncanakan Iori sebenarnya?
"Cincinnya aku kasih kalau nanti kamu sudah berhasil lulus Ujian."
"....."
"....."
"....."
"....."
".... HAAAAAAAAAH?!!......"
Fafa memekik, jelas tidak percaya.
Iori masih saja mempertahankan senyumannya--yang terlihat sangat menyebalkan di pelupuk mata Fafa sekarang. Iori justru membalikan tubuhnya, bersiap hendak pergi. Guru muda itu menyempatkan menoleh pada Fafa lewat bahunya, mengamati kekasihnya yang duduk dengan bibir ternganga dan masih memegang sebuah kotak beludru yang terbuka.
"Sebelum mendapatkan tanda tanganku di buku nikah kita, dapatkan dulu tanda tanganku di lembar ujian, oke?"
Iori memberinya senyum pamungkas, sebelum akhirnya benar-benar berbalik untuk mengambil langkah pergi.
Sementara Fafa hanya bisa diam ditempat mengerjakan matanya, tidak berkutik memperhatikan punggung itu menjauh darinya, berlalu begitu saja tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Suara tawa kecil yang familiar--Tenn, terdengar di telinganya.
Begitu realisasi menghantamnya, Fafa pun menggeram, lalu berteriak sekuat tenaga yang semakin membuat pemuda bersurai baby pink itu tertawa renyah sembari berkata, "Besok kita mulai bimbingan persiapan Ujian, jangan kabur lagi."
"Iori! Jahat sekali! Awas saja nanti namamu tidak akan aku masukkan ke lembar persembahankuuuuu! Heiiii! Ioriii!"
Iori tidak terlalu mempermasalahkan jika Fafa memang tidak memasukkan namanya di lembar persembahan--
--asalkan namanya tetap tercetak mendampingi nama Fafa di undangan pernikahan mereka nanti sebagai suami, Iori ikhlas lahir dan batin.
🌺
🌺
🌺
🌺
🌺
The And
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top