M | 8 | Viktor And His Promise

Jiro membuang napas begitu kesal pada suara kulkas yang berisik di dapur. Ia berdiri dengan sumpah serapahnya dan melihat ruangan flat yang hanya diterangi siluet dari cahaya luar selama beberapa saat. Matanya kemudian bergeser pada gumpalan daging hidup di ranjang sanaㅡdi sana, Kira tidur dengan posisi liar dan Jiro melihatnya sedikit kesal. Padahal badanku kesakitan tidur di sofa ini. Ia mencibir tapi tubuhnya bergerak untuk memperbaiki posisi tidur wanita itu dan menerima tamparan keras di kepala ketika wanita itu tengah berbicara di dalam mimpinya. "Kurang ajar," gumamnya sedikit mendesis.

Setelah meletakkan selimut yang terjatuh kembali ke tubuh Kira, ia duduk di pinggir ranjang dan hanya melihat bagaimana napas wanita itu begitu teratur dalam tidurnya. Ia mendengus dengan sinis ketika melihat wanita itu tersenyum. "Sepertinya mimpimu terlalu indah daripada kenyataan yang ada." Lalu menutup wajah wanita itu dengan selimut.

Tokonya. Ia memikirkan tokonya beberapa hari ini. Tidak ada waktu untuknya melihat bagaimana tokonya di sana sebab bahaya yang datang pada Kira tidak bisa diterka kapan tiba. Jadi malam ini ia sangat yakin kalau wanita itu akan baik-baik saja selama ia pergi. Ia juga telah memastikan semua barang di dalam ruangan itu tidak akan melukai Kira sama sekali.

Ia keluar dari flat dengan kaus lengan pendek, celana olahraga, dan tanpa alas kaki. Berniat untuk lompat dari lantai tiga untuk menghemat waktu daripada turun melalui tangga. Tubuhnya sudah siap untuk terjun ke bawah sana, tapi matanya menemukan anak kecil berdiri di lorong. Keduanya bertatapan hingga anak itu berkata padanya, "Kau tidak akan mati kalau lompat. Paling hanya cacat."

Jiro tidak menjawab cepat, matanya berpindah pada kamera polaroid yang tergantung di leher anak itu.

"Saljunya tebal. Aku akan baik-baik saja."

"Kau mau bunuh diri?"

"Menurutmu?"

"Tidak tahu. Melihat sayap di punggungmu, sepertinya itu akan menyelamatkanmu."

"Apa?" Jiro melirik pada punggungnya memastikan kalau ia menyembunyikan sosok aslinya dengan baik. Ketika ia yakin ia telah melakukannya, kembali matanya melihat anak itu.

"Kau bisa melihatnya?"

"Jadi kau sedang menyembunyikannya?"

Tersenyum adalah ekspresi berikutnya saat tahu ada sesuatu yang menarik dari anak tersebut. "Ah, benar. Aku lupa ada beberapa manusia yang memiliki kemampuan sepertimu. Bahkan Kira saja tidak bisa melihatnya."

"Kau mengenal Kira?"

Jiro dapat mengetahui nada antusias anak tersebut begitu ia menyebut nama Kira di dalamnya. Ia dengan cepat menyimpulkan anak itu adalah putra Martina.

"Namamu Viktor?" Tanyanya setelah sedikit mendekati anak itu.

"Tavolin. Viktor Tavolin." Viktor menambahkan. "Usiaku sebelas tahun."

"Terima kasih untuk informasi tambahannya." Walau tidak berguna. Tapi Jiro begitu penasaran pada ekspresi anak itu yang terlihat biasa saja setelah melihat dirinya. "Kau tidak takut?"

"Denganmu?" Viktor memiringkan sedikit kepalanya. "Aku sudah terbiasa melihat yang lebih mengerikan darimu."

Sombong sekali. Jiro tersenyum sinis. "Kau belum melihat aku yang sebenarnya, anak kecil."

"Aku ingin bertemu dengan Kira sekarang," kata Viktor melirik pada pintu flat yang tertutup.

"Ia sudah tidur. Ini jam manusia tidur." Lalu alis Jiro mengerut ketika menyadari rumah Martina dengan flat mereka berjarak beberapa blok dan cukup jauh untuk dilalui oleh anak kecil. Terutama salju tebal sangat berisiko untuk membuat tubuh anak itu tenggelam. "Dan kenapa kau di sini? Martinaㅡmaksudku, Ibumu akan mencarimu."

"Ibu tidak ada di rumah. Ada beberapa waktu ia tidak akan ada di rumah dan hanya akan membuat makanan yang dipanaskan untukku." Viktor menautkan jari-jari kecilnya untuk mencari kehangatan. Rambut keritingnya yang merah menyala begitu kentara hingga Jiro menahan diri untuk tidak mengusaknya. "Aku baru saja kembali dari rumah Nenek dan Kakekku, tapi malam ini Ibu hanya mengantarku pulang dan pergi tidak tahu ke mana."

"Ibuku juga mengatakan besok pagi ia ingin memperkenalkan aku dengan suami Kira. Aku begitu penasaran, jadi aku berinisiatif sendiri ke sini. Dan mendengarmu menyebut nama Kira, kurasa kau orangnya," kata Viktor menambahkan.

Jiro memiringkan kepala dan melipat kedua tangannya. "Kau tidak merasa aneh?"

"Dengan?"

"Mana ada suami punya ini." Jiro menunjuk kedua sayap di punggungnya dimana hanya Viktor yang bisa melihatnya. "Suami harus seorang manusia."

"Memang aneh." Viktor sejenak terdiam memaksa kepala kecilnya dengan cepat berpikir. "Aku menyimpulkan kalian sedang berbohong."

Sedikit takjub, Jiro mengusap dagunya dengan kedua alis terangkat. "Kau cepat menyimpulkan. Tapi aku harap kau bisa menjaga rahasia ini. Berbahaya jika orang lain tahu."

"Apa Kira baik-baik saja dengan itu?" Viktor mendongak dan kali ini ia dapat melihat mata abu pria itu sangat terang bersama sayap gelap yang dikatupkan. Mata hijau Viktor kemudian bergeser pada kuku panjang berwarna sama yang membuatnya sedikit gugup. "Kau tidak akan menyakiti Kira, 'kan?"

"Ia akan baik-baik saja dalam jangkauanku." Lalu berjongkok mencoba membuat anak itu tidak merasa didominasi olehnya. "Jadi, kau kemari untuk tidur di tempat Kira sebab kau takut sendirian?" Jiro menyimpulkan dan Viktor mengangguk sedikit malu membuat ia tersenyum.

Pintu flat dibuka, Jiro mempersilakan Viktor masuk. "Jangan membuat suara keras." Tapi Viktor menarik ujung kausnya ketika anak itu menyadari Jiro tidak masuk bersamanya.

"Kau mau melajutkan kegiatan melompatmu itu?"

"Apa?" Jiro menahan tawanyaㅡtindakannya terdengar konyol jika anak itu yang berbicara. "Tidak. Aku akan turun dengan tangga."

"Mau pergi ke mana? Kata Ibu, Santa Claus itu tidak ada. Kau tidak akan menemukannya."

"Aku ingin melihat kota," dustanya.

"Dengan terbang?"

Jiro melirik punggungnya dan tiba-tiba ia menangkap mata anak itu berbinar seolah memohon untuk membiarkannya turut serta. "Ya. Mau ikut?"

Jiro berharap segumpal daging hidup yang ada di ranjang sana masih tertidur dan tidak mendengarkan pembicaraan ini. Ia merapatkan mantel yang digunakan Viktor dan membawanya kembali ke luar. "Ini adalah rahasia kita berdua saja, kau mengerti?" Viktor mengangguk dalam gendongannya. Pada hitungan ketiga keduanya pergi melihat kota Moskow dimalam hari.

"Teh?" Rambut keriting Viktor bergerak ringan bersamaan dengan angin yang menerpa wajahnya. Kakinya bergelantungan di sela teralis puncak bangunan gedung. Ia mendongak ketika Jiro membawakannya sebuah teh panas di dalam gelas kertas. Kemudian bibirnya mengerucut. "Aku tidak suka teh."

Jiro memutar bola matanya. Ah, dasar selera anak zaman sekarang. Ia kemudian mengusap permukaan gelas itu dan sekali lagi memberikannya kepada Viktor. "Cokelat hangat." Dan dengan cepat anak itu menerimanya kemudian meminumnya. "Minum pelan-pelan."

"Ngomong-ngomong kau darimana?" tanya Viktor beberapa saat kemudian setelah Jiro membiarkan ia sendirian duduk di atas gedung selama beberapa menit.

"Aku melihat jalan utama. Memastikan kalau salju tidak menumpuk menghalangi banyak kendaraan." Jiro sedikit berbohong dengan kata-katanya. Setelah ia yakin jalanan utama tidak dihalangi dengan tumpukan salju, ia melihat tokonya dan memastikan untuk sementara waktu keberadaan tokonya tidak bisa dilihat dan dirasakan oleh orang-orang. Bagaimanapun, toko yang terlalu lama tutupㅡterutama dalam jangka satu tahun, akan membuatnya begitu mencolok apalagi letaknya di distrik merah Moskow.

"Dan minuman ini? Kau membelinya?"

Ia mendengus sinis dengan pertanyaan Viktor. "Untuk apa aku membeli ketika aku bisa membuatnya hanya dengan jentikkan jari?"

"Wah, sangat sombong."

"Manusia 'kan tidak bisa begitu. Semuanya dilakukan dengan proses."

Viktor mengangguk. "Sepertinya kalau ini kuceritakan pada temanku mereka tidak akan percaya." Ia membersihkan ujung mulutnya yang tersisa minuman cokelat dengan lengan mantelnya. Kepalanya mendongak lagi untuk melihat Jiro dan tersenyum menunjukkan satu giginya yang ompong. "Paling aku akan dikatai gila."

"Tentu saja. Zaman sekarang beda dengan zaman dulu." Jiro melipat kedua tangannya dan bersandar pada teralis bagian luar. Membiarkan tubuhnya tanpa pengaman sementara kedua matanya dimanjakan oleh lampu-lampu kota dengan butiran salju. "Apa kehidupanmu baik-baik saja?" Ia melihat anak itu dan meneruskan, "Kemampuanmu melihat hal-hal di luar nalar manusiaㅡkau baik-baik saja dengan itu? Kurasa zaman sekarang sangat mudah menjelaskan hal yang tidak masuk akal dengan ... apa namanyaㅡoh, sains. Ya, itu."

"Aku baik-baik saja. Keluargaku cukup religius jadi ketika aku mengatakan hal-hal tidak masuk akal, mereka tidak menganggapku gila. Tapi, sepertinya teman-temanku tidak." Viktor mengingat ketika pertama kali ia memasuki kelas pertama di sekolah dasar, ia menemukan sosok yang merayap di langit kelasnya dan yakin kalau itu yang menyebabkan serangga masuk dengan jumlah tidak masuk akal secara terus-menerus. Ketika diperiksa oleh petugas, mereka membersihkannya tapi tidak menemukan sumbernya. Beberapa hari kemudian kejadian itu terulang lagi, hingga pada akhirnya kelas mereka dipindah. Anehnya serangga itu muncul kembali di kelas mereka yang baru tanpa henti membuat semua orang bingung. Pernah ia katakan pada guru dan temanya kalau itu perbuatan sosok gelap di langit-langit kelas, tapi ia ditertawakan dan wali kelas menghubungi orang tuanya karena ia terus mengatakan hal yang sama berulang kali.

Ibu dan Kakeknya datang ke sekolah. Sementara Ibunya berbicara dengan wali kelas, Kakeknya memberitahu kalau tidak semua hal yang ia lihat harus dikatakan kepada semua orang. "Ada beberapa hal yang sebaiknya kau simpan sendiri, sebab kau tidak tahu respon apa yang akan mereka buat padamu. Untuk mencegah hal yang menyakiti hatimuㅡkau tidak perlu mengatakan 'mereka' ada kepada semua orang. Kau anak yang spesial, Viktor. Tidak semua orang bisa memiliki kemampuan sepertimu." Ia menulis kata-kata Kakeknya dengan jelas di buku hariannya. Dan membacanya lagi esok hariㅡmemastikan ingatannya dengan baik. Satu minggu setelah kejadian itu kelasnya sudah baik-baik saja setelah kakeknya memeriksa kelasnya beberapa saat. Tentu saja ia tidak bisa membuat keadaan kelasnya kembali normal setelah kata-katanya waktu itu.

"Ada beberapa hal yang tidak bisa kukatakan secara spontan dengan teman-temanku," kata Viktor. "Walaupun temanku mengeluh kepalanya akhir-akhir ini sakit dan aku tahu ada sesuatu yang duduk di atas kepalanya, aku tetap tidak bisa mengatakannya. Agak sulit untukku ketika mencoba tidak peduli dengan derita temanku sendiri. Tapi sekarang aku sadar, memang terkadang diam lebih baik untuk memastikan semua hal berjalan dengan biasa saja."

Viktor merasakan kepalanya diusap oleh Jiro dan pria itu melihatnya dengan senyuman. "Siapa sangka anak sekecil ini pikirannya sudah jauh lebih dewasa daripada yang sedang tidur nyenyak dengan nyaman di ranjang sana."

"Maksudmu Kira?" Jiro mengangguk dan melihat Viktor terkekeh. "Ia hanya memikirkan uang. Kalau diibaratkan dengan anak kecil, ia akan terus mengoceh soal permen, mainan, dan cokelat."

"Sepertinya begitu. Aku pernah menemaninya berbelanja ketika Ibu menitipkanku padanya. Di toko besar, ia sangat lama berdiri di etalase buah-buahan. Bukan melihat kualitasnya, melainkan harganya. Lalu berputar dan tidak membawa buah satupun. Ketika kutanya di mana buahnya, ia mengatakan kalau vitamin seperti itu jauh lebih murah jika membeli di toko jus buah."

Jiro tertawa ketika membayangkannya. "Sangat perhitungan. Aku tebak ia tidak membelikanmu makanan manis satupun."

"Hmm ... ia membelikanku cokelat paling murah di toko itu. Sedang diskon." Kembali Jiro tertawa hingga ia mulai membungkuk membiarkan satu tangannya memegang perutnya sendiri.

"Kau tahu ...." Jiro mengambil napasnya di sela-sela ia masih sedikit tertawa. "Selama aku ada di dunia ini, tidak pernah kulihat ada manusia sangat perhitungan sepertinya. Baju yang kupakai saat ini adalah uangnya dan ia mengatakan aku harus menggantinya dengan bekerja. Hanya ia yang berani menyuruhkuㅡyang lebih tua iniㅡbekerja."

"Sebab uang bagi manusia 'kan hal yang butuh proses untuk mendapatkannya. Tidak semudah kau menjentikkan jari." Jiro berhenti tertawa ketika Viktor berkata dengan polosnya. "Salah satu kebahagiaan manusia itu uang. Makhluk sepertimu pasti sudah sangat tahu dengan hal itu."

Seharusnya ia tersinggung karena Viktor menanggapi kata-katanya dengan serius. Tapi daripada itu, Jiro mengusap dagunya memikirkan perkataan Viktor sebelumnya. "Ah, kau benar. Aku lupa bagian itu."

"Aku tidak terlalu tahu banyak tentang Kira, yang pasti bisa kukatakan padamu adalah, ia memang sangat memperhatikan pengeluarannya karena ia hidup sendiri di kota ini. Walau begitu aku tersanjung ketika ia mau menyisihkan sebagian uangnya untuk membelikanku cokelat. Aku tidak masalah dengan kualitasnya, cara ia menghargai orangㅡitu yang aku kagumi."

"Kau seperti sudah mengenal ia sangat lama."

"Ia temanku satu-satunya yang melihatku sebagai seseorang yang normal," kata Viktor. Mata hijaunya berbinar melihat cahaya lampu di bawahnya. Sementara Jiro sedikit miris mengingat kata-kata Kira yang tidak melihat orang lain sebagai temannya. "Aku tak sengaja mengatakan keadaanku, dan responnya biasa saja. Kadang aku melihat banyak sosok gelap yang ada di flatnyaㅡwalau sudah kukatakan, ia bilang itu tidak mengganggu. Tapi barusan aku sedikit melihat ke dalam, sepertinya itu sudah tidak ada sama sekali. Mungkin karena kau? Oh, makhluk apa kau? Aku belum pernah melihat yang sepertimu."

"Aku malas menyebutnya." Nada suara Jiro terdengar tak minat ketika menjawabnya.

"Kenapa?"

"Karena kau akan mengatakan aku adalah produk lama. Kira mengatakanku demikian ketika aku memberitahu identitas diriku."

"Bukannya kau memang produk lama? Kau 'kan hidup lebih lama dari manusia yang ada di muka bumi saat ini."

Jiro mendesah. "Kau sangat berpihak pada temanmu itu."

"Maafkan aku kalau begitu." Viktor memegang ujung kaus pria itu dan melihatnya dengan mata yang menggemaskan. "Imp," kata Jiro setelah melihat bola mata hijau itu kemudian membuang wajahnya dengan dengusan. "Kau tidak tahu imp, bukan? Jadi biarkan aku jelaskan secara singㅡ"

"Oh, aku tahu." Viktor memotongnya. Satu jarinya mengetuk-ngetukan ujung dagu seolah mengingat sesuatu. "Makhluk yang tidak pasti ada di pihak mana. Iblis atau Tuhan. Kakekku pernah menujukkan sosoknya di buku. Tapi berbeda dengan apa yang kulihat sekarang. Sepertinya buku Kakekku itu faktanya agak diragukan."

Itu hanya jenis yang lain. Jiro meliriknya dan bertanya, "Kakekmu sepertinya agak berbahaya untukku. Apa ia pemburu?"

"Tidak." Viktor menggeleng cepat. "Kakekku jauh dari hal-hal memburu setan atah rohㅡkalau itu maksudmu. Ia hanya sedikit lebih memahami hal yang seperti itu."

"Begitu, ya. Tapi tetap saja aku harus berhati-hati jika kakekmu ada di sini."

Viktor berdiri dari duduknya dan menyandarkan tubuh bagian depan pada teralis. "Kau percaya Tuhan itu ada?" tanya anak itu kemudian.

Jiro mengerutkan dahi. Merasa tidak asing dengan pertanyaannya. "Kau sendiri bagaimana?"

"Aku mungkin bukan umat-Nya yang baik, tapi aku percaya dengan Tuhan." Viktor menjawab dengan cepat dan tidak meninggalkan keraguan pada kata-kata berikutnya. "Dulu aku ragu kalau Ia bisa menolongku, tapi sekarang aku sadar kenapa aku tidak bisa mendekatkan diri pada-Nya."

"Kenapa?"

"Sebab aku tidak merasa takut dan cemas. Walau keadaanku begini, aku menjalani kehidupanku baik-baik saja, sehingga aku merasa tidak membutuhkan Tuhan. Karena itulah Ia tidak bisa dekat denganku."

Jiro terdiam. Detik berikutnya ia tersenyum sinis dan membiarkan kepalanya memutar memori lama. Benar, manusia adalah makhluk yang hanya menyebut Tuhan ketika mereka diambang jurang kesengsaraan. Saat mereka berada di posisi aman, mereka lupa sosok-Nya, seolah merasa keberhasilan adalah hal nyata yang mereka raih tanpa bantuan siapapun.

"Aku juga percaya, Tuhan," jawab Jiro singkat. Tentu saja ia percaya. Setengah bagian dirinya bertekuk lutut pada Ia di atas sana. Jiro menutup matanya sebentar sangat tahu bagaimana kuatnya manusia ketika telah meyakinkan diri pada sosok-Nya.

Itu mengingatkannya pada seseorang di masa lampau. Mengingat bagaimana tangan-tangan itu membuatnya berada dalam artefak dengan jangka waktu yang lama, membuatnya terluka, menghabiskan seluruh kekuatannya, hingga ia putus asa dan menyerah untuk melarikan diri. Jiro mengeraskan rahang ketika ia mengingatnya bersama dengan genggamannya pada bahu kirinya secara spontan. Mengerikan, pikirnya. Manusia adalah makhluk yang mampu mengeluarkan kemampuan mengerikan berdasarkan kepercayaan dan keimanannya pada Tuhan. Jiro membuka matanya setelah ia mengendalikan dirinya dan melihat Viktor untuk beberapa saat.

"Manusia itu unik, Viktor. Tidak terkecuali kau."

Anak itu tersenyum. "Kau makhluk pertama yang mengatakan aku demikianㅡselain manusia tentunya."

"Karena sudah begini, kita berteman saja bagaimana?" Viktor kemudian mengulurkan satu tangannya pada Jiro dan meneruskan, "Tentu saja ini akan aku rahasiakan."

Teman dalam pengertian Jiro berbeda, itu harus dibuat dengan kontrak seperti dirinya dan Kira. Tapi ia tidak akan membicarakan itu kepada Viktor. "Ya baiklah. Lagi pula kau sudah berjanji tidak mengatakan hal ini pada siapapun. Aku mempercayaimu."

"Ia di tempatku sekarang. Kau bisa menjemputnya sebelum aku berangkat bekerja." Pagi harinya Jiro mendengarkan Kira menelepon Martina sementara ia menemani Viktor tengah menikmati sarapan sederhana di dapur. Wanita itu kemudian bergabung bersama mereka dengan wajah kusut ketika selesai berbicara dengan Martina. "Dengar Viktor, aku tidak suka kalau kau melakukan hal nekat seperti itu lagi. Berjalan di tengah malam menuju tempatkuㅡnasib baik kau tidak apa-apa. Lain kali telepon aku jika kau memang ingin ke sini."

"Baiklah. Maafkan aku." Viktor menunduk tapi matanya melirik pada Jiro di seberang. Kemudian keduanya terkikik hingga Kira melihat mereka bingung.

"Apa yang kalian sembunyikan?"

"Semalam kami memperhatikanmu tidur. Air liurmu menetes di bantal." Jiro menjelaskan sedikit alasan Viktor tertawa. Ketika ia dan anak itu kembali sebelum matahari menyingsing, mereka menemukan Kira yang tidur begitu nyenyak dan menemukan air liur membasahi bantalnya.

Viktor berbicara setelahnya, "Kami menikmati momen itu untuk beberapa saat. Aku mengambil satu fotomu dengan kameraku. Bermaksud untuk memasukkannya di buku harian kalau kau tidak keberatan."

Kira memutar mata dan mendengus. "Lakukan apa yang kau suka. Lagi pula aku mana bisa menolak. Kau 'kan anak pemilik flat ini." Ia berbicara dengan bahasa Korea di akhir kalimat dimana hanya dimengerti oleh Jiro, dan tawa spontan pria itu membuat Viktor kebingungan.

Ketiganya kemudian kembali menikmati sarapan roti isi telur, dan tidak lama mendengarkan Martina mengetuk pintu. Jiro melihat dari jauh Kira mengantar Viktor ke pintu depan, dan ia tersenyum ketika Martina bersama Viktor memberikan ia salam untuk berpamitan. Ketika Kira menutup pintu flat dimana hanya menyisakan mereka berdua, wanita itu berkata, "Kau harus berhati-hati pada Viktor. Anak itu sedikit spesial."

"Ia sudah tahu ketika pertama kali melihatku." Jiro meneruskan pada saat wanita itu memutar tubuh hanya untuk melihatnya. "Ia bisa melihat yang tidak bisa manusia biasa lihat. Intinya adalah, kita tidak perlu bertingkah sebagai suami istri ketika di depannya."

"Dan bagaimana reaksi pertamanya melihatmu?"

"Biasa saja. Tidak sepertimu yang menuduh seseorang akan membunuhmu." Jiro menghindari lemparan sendok makan dari wanita itu dengan tawanya. "Kabar baiknya ia bisa menjaga rahasia."

"Ia masih anak kecil. Kita tidak tahu hal apa yang akan ia katakan pada keluarganya."

"Jangan khawatir." Berikutnya Jiro menahan lengan wanita itu dengan cepat dan mengambil garpu yang ada di tangannya. "Ia tidak akan menceritakannya. Lebih tepatnya tidak bisa."

Kira mengangkat satu alisnya dan menunggu pria itu melanjutkan kata-katanya, tapi hanya senyuman singkat yang ditunjukkan pada akhirnya.

Sebab aku telah membuat ia tidak akan bisa menceritakannya pada siapapun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top