M | 3 | Play Pretend

Kira mendesah melihat layar ponselnya yang retak. Ia berjalan bersama Jiro di sampingnya dan menyalahkan pria itu atas semua hal yang terjadi padanya. "Semua ini karenamu. Ponselku yang rusak, tubuhku yang terluka, cerminku yang hancur. Semuanya."

Jiro secara singkat telah menjelaskan lebih dari tiga kali kepada Kira bahwa imp adalah peri yang setengahnya adalah iblis. Tapi Kira mulai berpikir kalau Jiro adalah makhluk produk lama tingkat rendah yang membawa masalah untuknya. "Semuanya kesalahanmu." Ia terus mengulang kata-katanya kepada pria itu dengan kesal.

"Jalanmu masih pincang begitu. Mau ke rumah sakit?" Jiro baru menyadari kalau kaki wanita itu terluka, ia tidak tahu sebab luka itu tertutup oleh celana jins yang wanita itu pakai. Ia telah menawarkan diri untuk menyembuhkannya kembali, tapi wanita itu mengancam akan meludahinya jika ia terus menyentuhnya.

"Ponselku lebih penting daripada itu."

"Baru pertama kali kudengar ada manusia yang lebih mengutamakan benda persegi itu daripada lukanya."

"Bagaimana kau akan bertanggung jawab dengan ini?" Kira menunjukkan ponselnya di depan wajah pria itu. "Lebih baik kau berikan aku uang untuk memperbaiki ponselku, dan biaya perawatanku. Oh, dan topiku itu. Aku bahkan kehilangan topiku di reruntuhan gedung tadi."

"Di kepalamu hanya ada uang?"

"Kau makhluk yang bisa membuat segalanya menjadi masuk akal, betul? Kalau begitu, uang bukanlah hal yang sulit untukmu."

"Kenapa kau tidak takut?"

"Denganmu?" Kira memutar kedua bola matanya jengah. "Aku lebih takut tidak punya uang, tidak bisa makan, dan tidak bisa bertahan di negara ini."

Pria itu mendengus dengan gelengan kepala. "Jawabanmu memang tipikal manusia sekali."

"Memangnya zaman sekarang ada yang takut dengan hantu? Kalau ada, pasti anak kecil."

"Aku sudah memberitahumu kalau aku bukan hantu." Ketika mereka berhenti di depan flat berwarna merah bata yang usang, Jiro merasa tidak yakin wanita itu tinggal di sana. "Itu tempat tinggalmu?" tanyanya.

Kira melihatnya dengan alis terangkat satu. "Ya. Pergilah. Terima kasih sudah menolongkuㅡdan mengantarku pulang."

"Aku belum selesai berbicara denganmu."

"Tidak ada hal apapun lagi yang akan kita bicarakan. Aku tidak akan menulis ulasan hal buruk pada tokomu, aku tidak akan mengatakan hal apapun yang terjadi hari ini. Aku juga akan merahasiakan identitasmu. Hal yang kita bicarakan hari ini, mari kita lupakan. Hanya besokㅡbesok kita akan memulai kesepakatan yang kita buat."

Jiro baru saja menghetikan langkah wanita itu yang akan meninggalkannya di sana. "Aku tidak tahu kenapa kau menganggap ini semua terlihat mudah. Seperti rekan bisnis biasa." Kira mendengarkan dan kata-kata berikutnya membuatnya terkejut. "Hal sial bisa menimpamu kapan saja. Apa kau tidak memikirkan kalau hal itu bisa menimpa nyawa orang lain? Seperti kematian puluhan orang di tengah kota tadi?"

Itu membuat Kira memutar tubuhnya dan melihat pria berambut gelap itu dengan kesal. Raut wajahnya kemudian berubah, ia tersenyum mengolok dan mendengus. "Kau ingin mengatakan kalau aku adalah pembunuh dari orang-orang yang memang sudah takdirnya untuk mati? Pembicaraanmu membuatku semakin terlihat seperti orang gila."

"Aku tidak sedang mencoba membuatmu terlihat demikian."

"Kau bunuh saja aku sekarang. Aku muak memikirkan pembicaraan gila ini."

"Bahkan ketika kontrak kita selesai, nyawamu tidak berharga sampai harus kubunuh."

"..."

"..."

"Kontrak atau apapun itu sebutannyaㅡaku tidak ada urusan dengan kematian orang-orang tadi pagi. Jangan mencoba untuk memengaruhi pemikiranku. Dasar sialan."

"Kenapa kau tidak takut? Aku menanyakan itu untuk hal yang sangat serius." Jiro mendekatinya lagi dan kali ini ia sangat yakin mata hitam lawan bicaranya begitu pekat hingga ia tidak bisa menemukan pupil wanita itu di sana. "Akan banyak hal buruk datang padamu. Jadi, mari bicarakan jalan keluar ini dengan kepala dingin, agar aku bisa menyelesaikan kontrak yang telah kau buat dengan cepat."

Dan wanita itu meninggalkannya di sana dengan jari tengah yang terpampang jelas.

Pagi harinya Kira terbangun karena Martina Tavolinaㅡpemilik flat tempat tinggalnya mengetuk pintu begitu keras. Ketika ia membuka pintunya wanita itu berkata, "Kenapa kau membiarkannya kedinginan di depan pintumu, Kira?"

"Apa?"

"Suamimu."

Kali ini Kira mendapatkan seluruh kesadarannya dan terlihat bingung. "Apa?"

Martina mendengus karena balasan dari wanita itu membuatnya kesal. "Temui ia sekarang." Martina menarik Kira untuk mengikutinya ke lantai satuㅡruangan yang biasa digunakan penghuni flat sebagai acara sederhana. Keduanya mendekati kerumunan kecil yang tengah mengelilingi Jiro di sana. "Kubawakan istrimu, ia baru saja bangun," kata Martina melewati orang-orang di sana dan berbicara pada Jiro.

"Ah, sebenarnya tidak perlu sampai seperti itu, tapi terima kasih," balas Jiro pada wanita empat puluhan tersebut. Lalu mata abunya bergeser pada wanita yang berdiri di belakang Martina. Ia mencoba menahan tawanya dengan senyuman ketika memperhatikan rambut wanita itu mencuat ke atas seperti singa. "Apa tidurmu nyenyak?"

"Ya, tidurku nyenyak sampai ada orang yang mengaku menjadi suamiku muncul pagi ini," kata Kira kepada Jiro.

Dengan cepat Jiro mengendalikan atmosfer canggung itu. Ia memegang dada kirinya bertingkah seolah dirinya sakit hati. "Kau merindukanku hingga begitu kesal. Maafkan aku yang terlalu lama meninggalkanmu sendirian di sini." Lalu semua orang di sana tertawa karena tingkahnya.

"Kemarilah, aku membawakan cermin dengan ukuran pas sesuai keinginanmu."

Mata Kira bergeser pada cermin biasa dengan pinggiran hitam berukuran sedang. Pas untuk di meja rias sederhananya. Membuat ia yakin kalau pria itu memikirkan keinginannya kemarin.

"Sekali lagi terima kasih, Martina." Jiro berdiri dan tersenyum pada Martina yang awalnya membagikan susu botol pada setiap pintu penghuni flat, justru menemukannya berdiri di depan pintu Kira dan membantunya untuk mendapatkan sofa selama ia menunggu Kira terbangun. "Terima kasih untuk teh hitamnya. Ini menghangatkanku."

Martina menerima kembali cangkirnya yang telah kosong dari pria itu. "Datanglah ke tempatku bersama istrimu nanti malam. Aku akan menyambutmu sebagai keluarga baru."

"Terdengar bagus. Aku akan datang nanti malam. Sekarang, aku harus berbicara dengan singa di belakangmuㅡkalau kau tidak keberatan."

Martina terkekeh dan menyetujui permintaan Jiro yang suaranya sedikit dikecilkan tersebut. "Apalagi yang kau lakukan di sini?" Kira bertanya ketika Martina dan semua orang telah meninggalkan keduanya di sana. Matanya bergerak pada koper dan cermin yang Jiro bawa. Pakaian yang pria itu pakai pagi ini juga telah diganti dengan yang baru. Walau kerah tinggi yang diikat pita itu menganggunya.

"Mau apa kau ke sini?" Tidak mendapatkan jawaban, ia mengikuti Jiro yang masih tersenyum di sana. Langkah pria itu yang lebar dengan tenang memasuki flatnya dan memandang huniannya dengan tatapan menilai.

"Tidak buruk untuk ditinggali dua orang. Di mana aku letakkan koperku?"

"Keluar."

"Tidak mau."

Kira masih berdiri di tempat pintunya yang terbuka. "Jangan membuatku melakukan hal gila."

Itu membuat pandangan Jiro teralihkan padanya dengan alis terangkat satu. "Aku penasaran, tapi kita bisa melakukan itu nanti. Sekarang bisa kita berbicara seperti orang dewasa pada umumnya? Karena banyak sekali hal yang akan kusampaikan padamu."

"Kalau kau tidak ada urusan selain cermin itu, sebaiknya keluar."

"Bagaimana kalau aku juga membawa uang untuk perbaikan ponselmu sekarang? Apa kau akan berbicara denganku?"

Kira memikirkan apa yang baru saja dikatakan Jiro kepadanya. "Kalau menolak?"

"Tentu saja kau tidak akan mendapatkan perbaikan layar ponselmu, dan akan kukatakan pada semua orang di sini kalau kau telah berbohong memiliki suami. Aku hanya suruhanmu."

"Apa kau memberi ultimatum padaku sekarang?"

Jiro menyeringai. "Aku datang ke sini dengan penuh perhitungan. Kalau kau mau melakukan negosiasi, aku dengarkan. Bukankah komunikasi adalah hal utama untuk memulai hubungan?"

"Menjijikan jika aku mendengar itu dari mulutmu." Kira tahu pria itu sedang menggunakan kartunya sekarang. Ia telah berbohong kepada semua orang di sini kalau dirinya telah menikah dan memiliki suami yang bekerja sangat jauh ketika ia baru saja pindah ke Moskow dari Volgograd. Ia terpaksa melakukannya sebab Martina dan semua orang selalu mengulang pertanyaan perihal rencana ia kedepannya setelah menyelesaikan gelar sarjananya di Universitas Volgograd tiga tahun yang lalu.

Pada kenyataannya, Kira tidak bisa kembali ke kampung halamannya tanpa membawa apapun yang bisa ia banggakan. Ia telah berjuang sejauh ini di Rusia dan sangat memalukan kalau kenyataannya ia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak di negara ini. Semua CV yang ia ajukan selalu akan dikirim kembali kepadanya, dan itu membuatnya frustrasi. Satu-satunya hal baik padanya adalah, ia masih bisa menggantungkan hidupnya pada pekerjaan biasa di Vladykino sebagai staf di panti jompo. Hanya itu.

Ia tidak tahu bagaimana pria itu mengetahui kebohongannya. Tapi yang pasti, ia tahu pria itu telah mengetahui segalanya termasuk ketakutannyaㅡ mungkin, tapi perkataan pria itu berikutnya membuatnya ragu. "Ada banyak yang tidak aku ketahui tentangmu, aku hanya mengetahui sedikit latar belakangmu. Jadi biarkan aku mendengarkan semuanya agar ini cepat selesai."

"Bagian mana saja yang sudah kau ketahui?"

Jiro menghentikan tangannya untuk melepas jas beludrunya sendiri. Lalu mengusap dagunya berusaha mengingat-ingat. "Kau ditolak dua puluh perusahaan. Kemampuan menghitungmu rendah. Latar belakang sarjanamu adalah ilmu komputer dan matematikaㅡtunggu, kosentrasi yang kau ambil ada hitungannya, bagaimana bisa kau ditolak? Tidak mungkin kau buruk dalam menghitung."

"Hanya itu saja?"

"Namamu Kira. Nama keluarga Choi. Saat ini bekerja sebagai staf di panti jompo. Kelebihanmu membuat tembakan dari air liurmu."

Kira mengusap pelipisnya malu ketika Jiro mengatakan kelebihannya dengan nada yang menahan tawa. "Itu sebabnya ketika aku mengancam akan meludahimu, kau ketakutan. Kupikir kau merasa jijik."

"Sebenarnya jijik. Hanya saja, membayangkan cairan bau itu menjadi senjata membunuh sedikit mengerikan juga. Kapan-kapan aku ingin melihatmu memburu lalat dengan itu."

"Berengsek."

"Apa kau akan berdiri di pintu sana dengan pakaian seperti itu?" Kira melihat dirinya yang menggunakan baju tidur tanpa alas kaki. Dan baru saja ia merasakan tubuhnya sangat kedinginan.

"Kau sungguh membawa uangnya?" Ketika pria itu mengangguk, ia menutup pintunya lalu meneruskan, "Baik, kita akan berbicara."

Jiro tersenyum dan ia dipersilakan wanita itu untuk meletakkan koper kayunya di mana saja. Mengajaknya berbicara di dapur yang tidak menarik matanya kecuali suara kulkas yang berisik di sana. "Kopi?" tawar wanita itu padanya.

"Tidak."

"Baiklah."

"Teh hitam. Tolong."

"Tidak ada teh hitam."

"Kalau begitu kopi."

Kira meliriknya tapi kali ini wanita itu membalasnya dengan dengusan. Ketika Jiro menerima gelas berisi kopi, wanita itu bertanya, "Kau bisa merahasiakannya?"

"Soal kau berbohong telah bersuami?"

"Ya."

Jiro menyeruput kopinya. Di sela-sela itu, ia tersenyum jahil. "Kenapa aku harus merahasiakannya?"

"Aku tidak punya muka untuk tinggal lebih lama di sini kalau semuanya terbongkar. Bahkan saat ini saja aku merasa sangat bersalah pada Martina dan semua orang."

Ada jeda beberapa detik untuknya memperhatikan jari-jari wanita itu memutih karena terlalu kuat mencengkeram gelasnya sendiri.

"Berarti kau setuju dengan aku yang akan memainkan peran ini untukmu. Begitu?"

Ia menunggu sampai pada akhirnya Kira menganggukan kepala menyetujui kata-katanya.

"Hanya ketika di depan orang, 'kan?"

"Tentu saja. Aku akan memberitahu hal ini, jangan melihatku sebagai seorang pria. Dengan begitu tidak ada perasaan emosional yang akan kau rasakan."

"Ya. Lagi pula aku melihatmu sebagai produk lama."

"Kau sudah mengulangi itu kemarin."

"Agar kau ingat kalau umurmu terlalu tua untuk menyulitkan anak muda sepertiku."

"..."

"Mau membicarakan kontrak, atau uang terlebih dulu?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top