M | 2 | Make A Deal
Jiro melewati banyak pejalan kaki yang memandangnya bingung. Ia berlari dengan mata yang terus mencari siluet wanita itu. Ketika ia menemukannya, wanita itu tidak menyadari kalau beberapa tiang listrik akan roboh dan akan menghantam banyak orang termasuk wanita itu di sana. Anak itu kepekaannya kurang sekali, pikir Jiro.
Semuanya menjadi sangat menegangkan saat tiang listrik roboh secara perlahan menghantam beberapa gedung dan orang-orang berlari untuk menghindarinya. Musim dingin tahun ini membuat hampir permukaan jalan menjadi es sehingga semua orang di sana berteriak ketika mereka terus tergelincir pada langkahnya sendiri.
Di antara orang-orang yang berusaha berlari, Jiro menemukan Kira terinjak di sana berusaha merangkak dengan tangan-tangannya yang kesakitan menahan dinginnya jalanan yang ditutupi es, juga sepatu-sepatu yang menginjak ruas jarinya. Jiro mengusak rambut frustrasi melihatnya. Pria itu tidak bisa mendekat sebab banyak orang yang menghalangi jalannya terlihat panik menyaksikan kejadian itu. "Seseorang lakukan sesuatu!" Dapat Jiro dengar beberapa suara untuk membuat yang lain bergerak membantu.
Orang-orang yang ada dalam jangkauan aman mencoba mengulurkan tangan untuk menarik mereka yang terjebak di jalanan es tersebut. Jiro memperhatikan sekitar mencoba menemukan apapun hal yang dapat ia lakukan tanpa membuatnya mencolok.
Kira melihat bagian pinggir gedung telah hancur menghantam beberapa orang di sekitarnya. Lalu matanya menemukan potongan tiang listrik jatuh menimpa kembali orang-orang yang tidak bisa menyelamatkan diri. "Tanganmu terluka." Tapi di sela-sela napas pendeknya, ia berhasil menghindari detik-detik kejadian itu. Jiro menarik dirinya dengan tali tambang sebagai pegangan tepat ketika ia tidak bisa melarikan dirinya lagi. Pria itu berjongkok untuk melihat tangan-tangannya yang terluka, lalu menutupnya dengan jas beludru yang pria itu pakai.
"Bisa berdiri? Atau aku gendong?"
"Kali ini kau akan menyebutnya dengan prank lagi?"
"Apa? Tidak, tentu saja tidak." Jiro membantunya berdiri dan melihat wajah wanita itu yang memiliki banyak luka di pelipis dan bagian tulang pipinya. Ia tidak menemukan topi bisbol wanita itu lagi sehingga ia bisa memperhatikan seluruh garis wajahnya.
"Kalau begitu, ini adalah bagian dari percobaanmu untuk membunuhku," kata wanita itu lagi.
"Mengingat kejadian di toko, sangat masuk akal kau berkata demikian. Tapi jika tidak keberatan, biarkan aku menjelaskan beberapa hal untukmu. Termasuk luka-lukamu itu."
"Aku kehilangan cerminku." Kira mencari cermin yang terlepas dari tangannya, dan ketika matanya menemukan benda itu telah hancur di antara reruntuhan bangunan sana, ia medesah. "Uangku lenyap di sana."
"Kau menyimpan nota tadi? Di sana ada stempel basah yang bisa digunakan sebagai garansi. Bawa itu ke tokoku, kau bisa memilihnya lagi dengan harga yang sama."
"Sekarang kau mencoba membawaku kembali ke sana dan membunuhku."
"Aku tidak mengerti kenapa kau terus berkata demikian."
Kira melihat wajah pria itu yang menatapnya dengan bingung dan kesal secara bersamaan. "Aku memegang kelemahanmu. Kalau kuberitahukan kepada semua orang, tokomu akan bangkrut."
"Rocultf tidak akan gulung tikar semudah itu. Tidak ketika hanya ada satu ulasan buruk."
Itu membuat Kira memundurkan kepalanya. Terkejut dengan cara bicara pria itu yang begitu menyebalkan di telinganya. "Kau adalah pria asing yang sombong."
Jiro membawanya menyingkir dari keramaian dan berhenti ketika wanita itu menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. "Singkirkan tanganmu dari bahuku. Kenapa kau membawaku ke tempat yang tidak ada orang? Sementara kau melihat ada mobil ambulans di sana. Kau bisa membawaku ke sana, bukan ke gang ini."
"Ada hal yang ingin kubicarakan, sangat sulit mengatakan di tempat ramai. Tapi yang utama saat ini adalah lukamuㅡ"
"Lukaku akan baik-baik saja kalau kau membawaku kepada tim medis yang ada di sana. Apa kau akan membunuhku di sini?"
Kembali Jiro menekan pangkal hidungnya sendiri bersama dengan decakan kesal. "Bisa kau hentikan pertanyaan berulang itu? Jika kau menaikan satu oktaf nada suaramu lagi, semua orang akan melihat ke arah kita."
"Jadi kita berbicara di tempat sepi ini untuk membuatmu mudah membunuhku." Kira merendahkan suaranya memastikan hanya pria itu yang mendengarkan perkataan berulangnya. "Kalau begitu aku tidak mau," lanjutnya kembali dengan nada suara biasa, membiarkan Jiro mengikutinya keluar dari gang dan mendapatkan pria itu berusaha menghalangi jalannya.
"Tapi luka-lukamu membutuhkan perhatian sekarang." Jiro menemukan darah mengalir dari pelipis lawan bicaranya yang dapat ia lihat itu berwarna biru tua dan secara perlahan kembali menjadi warna darah sebenarnya. "Manusia akan mati hanya karena kekurangan cairan merah itu."
"Memangnya kau bukan manusia?" Kira mendengus. "Tapi aku baik-baik saja. Silakan kembali pada kesibukanmu dan ingat kesepakatan kita di toko tadi. Mari berpisah di sini saja." Kira mengembalikan jas beludrunya, dan membungkuk seolah memberi salam perpisahan kepada penonton opera.
Ia berjalan sedikit linglung tapi memutar tubuhnya ketika ia melupakan satu hal. "Terima kasih sudah menolongku."
ㅡ
"Wah, sialan." Kira mengusak rambutnya ke belakang dan tidak mempercayai apa yang ia lihat sekarang. Pria yang sama seperti tadi pagi muncul kembali di depannyaㅡduduk di sofa sana sedang memperhatikan dirinya yang baru saja mendapatkan kesadarannya. Ia mencoba membuat dirinya duduk dan mendesah kasar. "Sialan."
"Mulutmu kurang dididik sepertinya." Jiro menutup buku saku yang tengah ia baca. Ia tidak beranjak dari sofa, melainkan menyilangkan satu kaki kananya di atas kaki kiri. "Perlu kujelaskan mengapa kau terbaring di sana?"
"Yang pasti kau tidak melecehkanku." Jiro menahan tawa pada balasan wanita itu, dan menggeleng beberapa kali. Sepertinya ia akan menyukai cara wanita itu merespon kata-katanya.
Kira melihat sekililing dan tahu ini bukan tempatnya, bukan pula rumah sakit. Ruangannya penuh dengan interior kayu lama gaya renaissanceㅡ mirip dengan bangunan toko pria itu. Di ujung kanan ada cahaya yang masuk melalui jendela segitiga besar pengganti dinding. Otaknya dengan cepat menyimpulkan kalau ini ada di ruangan paling atas bangunan toko pria itu. "Aku kembali ke tempat ini lagi. Ya, kau akan membunuhㅡ"
"Aku tidak membunuh orang yang mengingkat kontrak denganku." Jiro menyela pembicaraan wanita itu. "Setidaknya untuk saat ini."
"Kontrak apalagi yang kau bicarakan? Tunggu. Biarkan aku berpikir." Kira menutup mata memaksa kepalanya yang masih pusing berpura-pura mengingat kejadian mana yang membuatnya melakukan kontrak konyol dengan pria itu, walau sadar ia tidak melakukannya. Kemudian ia menggeleng. "Tidak ada. Kau berbohong."
"Cermin yang kau inginkan sebelumnya. Ada jejak darahmu di sana."
"Jadi kau mengutuk cermin prank itu, dan darah siapapun yang ada di sana akan terikat denganmu? Apa kita sedang melakukan sihir sekarang?"
"Tidak begitu." Kesimpulan bodoh wanita itu sedikit menjengkelkan di telinganya. "Itu adalah wadahku tidur, jadi hanya akuㅡpemilik cermin itu yang bisa melihat diriku sendiri di sana. Tetapi beda cerita ketika darah manusia ikut campur."
"Dan?"
"Artinya ada seseorang yang membutuhkan sesuatu dariku. Baik ia sadar melakukannya atau tidak."
"Apa kita sedang memainkan permainan konyol di sini?" tanya Kira dengan senyuman mengejek. "Kau sedang melakukan cosplay menjadi makhluk misterius dan aku akan menjadi manusia tidak berdaya yang ditolong olehmu?"
"Kita harus kembali ke topik awal." Jiro membuka buku sakunya lagi di sana, dan mencoba untuk tidak peduli dengan pembicaraan menyebalkan lawan bicaranya. "Setelah kau menyentuh cermin itu, kau melihat sesuatu di sana. Artinya, jarimu terluka dan jejak darahnya sudah ada tepat ketika kau menyentuhnya."
"Aku melihat sosok hitam di cermin itu berdiri di belangkangku. Jadi, itu bukan prank? Melainkan aku sedang membutuhkan bantuanmu sekarang?"
"Ya. Kau membutuhkanku untuk kedepannya, lalu ...." Mendengarkan kata-kata pria itu membuat Kira ingin tertawa. Ia memiringkan kepala heran pada pembicaraan tidak masuk di akalnya. Ini seperti mengingatkannya kembali pada klub astral yang tidak resmi di kampusnya dulu.
Ia percaya pada mereka yang berbaur di bumi, hanya saja dirinya tidak tertarik pada projek astral, cerita penampakan, mitos semacam vampir, manusia serigala, penyihir, apalagi ramalan masa depan. Persetan, membayangkan besok ada uang atau tidak itu lebih menyeramkan, pikirnya.
Tapi jika diperlihatkan secara jelas mereka itu ada, otak dan tubuhnya yang berfungsi dengan baik jelas takut. Sosok di cermin tadi bersisik, gelap, dan mengkilap seperti diolesi minyakㅡKira menutup mata dan mengerucutkan bibirnya, sangat yakin itu hanya tipuan. Zaman sudah terlalu maju untuk menjelaskan hal seperti itu, pikirnya lagi.
"Jadi begitu kesimpulannya."
"Oh, begitu. Ya, aku mengerti," kata Kira, dan Jiro menatapnya murka. Tahu wanita itu tidak mendengarkan dan berbohong padanya.
"Kau tidak mendengarkanku."
"Aku mendengarkanmu." Kira membalasnya. Wanita itu kemudian menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan menahan malu ketika melihat ujung kaus kakinya yang bolong. "Kau pasti tertawa ketika melepas sepatuku dan melihat ini."
"Tidak." Jiro berdiri dari sofa untuk menangkap lengan wanita itu yang akan kembali terjatuh. "Tapi dari situ aku tahu, kau memang membutuhkan uang. Sayangnya aku tidak melihat jiwamu menginginkan itu." Mata abunya menemukan kedua kaki wanita itu masih bergetar karena terkejut dengan kejadian pagi tadi.
"Kau pingsan karena tubuhmu terkejut mengalami kejadian tadi. Istirahatlah sampai kakimu berhenti bergetar seperti lansia."
Kira menyipitkan mata dan Jiro menyadari kalau wanita itu cukup tinggi sehingga ia hanya sedikit menundukkan kepalanya. "Lenganmu bahkan bergetar begini. Istirahatlah sebentar lagi, dan dengarkan penjelasanku dari awal."
"Jadi, kontrak bagaimana yang akan kau lakukan?" Kira duduk di tepi ranjang bersama pria itu sekarang. Membiarkan pria itu melihat raut wajahnya yang benar-benar tidak tertarik.
"Kita yang akan melakukannya." Jiro memperbaiki perkataannya. "Ini berjalan selama satu tahun. Selama waktu itu kau harus dalam jangkauanku."
"Satu tahun denganmu?" Kira menundukkan kepala di depan pria itu dan menunjuk kepalanya sendiri. "Kau bunuh saja aku sekarang. Aku bisa gila melihatmu selama itu."
"Bisa cepat dari itu jika aku menemukan apa yang kau butuhkan." Kata-katanya membuat wanita itu melihatnya kembali. "Lagi pula aku tidak berminat membunuhmu."
"Kalau begitu berikan aku uang."
"Sudah kubilang kau tidak membutuhkan itu." Jiro menggaruk pelipisnya yang tidak gatal untuk mengalihkan perasaan kesalnya. "Kau membutuhkan sesuatu yang sentimental, penuh emosional."
Dahi Kira mengerut bersama pandangan sangsinya. "Maksudmu cinta?"
"Mungkin."
"Oh tidak. Riwayat percintaanku mulus. Aku memiliki lima mantan. Dan kami berpisah dengan baik. Aku tidak separah itu hingga membutuhkan cinta dari ... darimu. Tidak." Lalu ia membuat gestur doa pada kepala dan dadanya. "Tuhan, tolong dengarkan dombamu ini. Aku hanya membutuhkan uang. Aku tidak begitu menderita hingga Kau mengirimkan pria ini kepadaku."
"Sialan." Jiro tertawa sinis pada ucapan wanita itu yang masih berdoa dan menautkan kedua tangannya erat. "Cinta itu maknanya luas, betul? Seiring berjalannya waktu kita akan menemukannya. Aku juga punya firasat bukan semacam itu yang kau inginkan."
"Bagaimana kalau selama satu tahun kau tidak menemukan apa yang aku butuhkan?"
Jiro terlihat mengusap dagunya. "Sejauh aku melakukan kontrak dengan manusia, belum ada yang melewati waktu satu tahun. Tapi jika itu benar-benar terjadi, kontrak hangus. Dan pilihan akhir ada dua. Menghapus semua ingatanmu, atau kau mati. Itu semua tergantung pada kesepakatan bersama."
Kira tertawa sinis. "Konyol. Kau sedang mengajukan kontrak konyol apa ini? Sialan, aku malas mendengarkannya lebih jauh." Tapi Jiro menarik lengannya untuk duduk kembali. Pria itu menggelengkan kepalanya sebentar. "Itu semua masuk akal. Sebab kau tahu keberadaanku, melihat wujudku, dan akan tahu kemampuanku. Jadi untuk membuat segalanya tetap rahasia, dua itu adalah jalan keluarnya."
"Aku banyak dirugikan di sini."
"Aku belum mengatakan bagianku." Jiro membuka sarung tangan kulitnya. Menunjukkan sebagian ruas jarinya yang menghitam. "Kau terbangun tanpa rasa sakit yang berarti di tubuhmu. Luka-luka luarmuㅡ aku menyerapnya. Rasa sakit itu berpindah padaku sekarang. Ke depannya, akan banyak kejadian sial menimpamu seperti tadi siang, kabar bagusnya aku akan selalu membantumu. Tidak peduli bahkan jika tubuhku menolak melakukannya."
Kira memperhatikan tangannya yang sekarang terlihat baik-baik saja. Beralih pada wajahnya dan mengingat bagaimana ia merasakan perih pada permukaan kulit wajahnya. Ia meraba dan melihat pria itu sedikit tak percaya ketika ia tidak merasakan sakit lagi di sana.
"Jadi kau benar-benar bukan manusia?"
Pertanyaan itu membuat kedua mata Jiro melebar dan detik berikutnya menyipit. "Hanya itu yang kau rangkum di kepalamu?"
"Jadi ini sungguhan?" Kira melihat sekelilingnya berharap menemukan kamera tersembunyi. "Ini bukan prank?"
"Kau mau aku melakukan apa agar kau percaya?"
"Ubah wajahku menjadi cantik."
Jiro mengangkat satu alisnya. "Teman dan keluargamu tidak akan mengenalmu jika aku melakukannya."
"Kenapa?"
"Sebab aku harus mengubah semua bagian di wajah itu, bukan hanya satu atau dua bagian." Jiro memutar jari telunjuknya mengikuti bentuk wajah Kira. "Tidak menarik. Aku tidak yakin kau memiliki lima mantan kekasih."
"Berengsek." Jiro menghindari serangan wanita itu dengan mudah. "Lalu bagaimana denganmu?" pertanyaan Kira berikutnya membuat ia mengerutkan dahiㅡ melihat dirinya begitu jelas pada mata hitam wanita itu sedikit membuatnya aneh.
"Apa kau memakan jiwa sebagai imbalannya? Jiwaku tidak suci." Kira mendengus miris di akhir kalimatnya, karena ia tidak bisa menghitung berapa kali dirinya pergi ke gereja. Eksistensi Tuhan di matanya tidak terasa. Ia hanya berdoa layaknya orang beragama, merayakan Natal seperti kebanyakan orang. Seolah semua yang ia lakukan seperti kewajiban tradisi turun-temurun keluarga daripada niat dari dalam hatinya.
Tentu saja Jiro dapat mengetahui itu semua dari matanya. Sekali lihat saja ia tahu mata hitam pekat itu hampa dan kosong. Peluang besar untuk makhluk manapun bersemayam di jiwa yang meronta pertolongan.
"Kau beruntung." Jiro mendengus.
"Apa?"
"Kau beruntung bertemu denganku. Sebab aku tidak melakukan hal yang seperti itu. Begini-begini aku makhluk yang adil dengan manusia." Jiro menaikan kedua alisnya percaya diri.
"Kalau begitu, jiwaku akan menikah denganmu di kehidupan selanjutnya?"
"Mana ada hal yang seperti itu, sialan." Jiro tertawa. "Pada akhirnya jiwa-jiwa manusia sepertimu hanya akan menjadi budak yang disika di sana."
"Di sana? Maksudmu neraka?"
"Katakanlah seperti itu."
"Begitu." Kira mengangguk dengan ekspresi berpikir. Jiro menerka wanita itu mulai menganalisa kontrak mereka kemudian membatalkannya. Sehingga ia tidak membuang waktu satu tahunnya bersama wanita itu. Tapi kata-kata wanita itu berikutnya membuat ia mengerutkan dahi.
"Kau percaya Tuhan?"
"Mengapa tiba-tiba?"
"Sedari tadi, aku berdoa di dalam hati. Dan kau bersikap biasa saja. Harusnya kau menjerit, atau kesakitan. Tapi ini ... aneh. Kalau bukan iblis, maka kau adalah malaikat? Dewa?"
Ia mendengus. "Doamu tidak bekerja. Kau tidak bersungguh-sungguh meminta pada-Nya."
"Kau meremehkan aku sekarang?"
"Dan kau bahkan meragukan-Nya." Kira tersentak pada perkataan Jiro dan terdiam.
"Membuat kontrak ini, sudah jelas menujukkan kau ragu pada-Nya."
Diliriknya gerakan samar tangan wanita itu menggenggam selimutnya kuat-kuat. Raut wajahnya terlihat datar, tapi bahasa tubuh wanita itu berkata lain. Batalkanlah. Jiro menunggu wanita itu mengatakan isi kepalanya sekarang.
"Aku tidak tahu kalau menyentuh cermin itu akan seperti ini." Kira mengerutkan dahi. "Tidak adil."
"Rocutlf adalah toko antik yang bisa dikunjungi siapa pun, tapi untuk menemukan cermin itu bukan sebuah kebetulan. Yang bisa menemukannya adalah mereka yang membutuhkan bantuan, sehingga kontrak terjadi secara sadar atau tidak." Jiro mengulang kata-katanya dengan cepat membalas wanita itu. "Di awal pertemuan aku sudah mencoba menjauhkanmu dari cermin itu, dan kukatakan untuk tidak menyentuhnya, tapi kau menggunakan impulsifmu untuk tetap mengambil benda itu. Berakhirlah kita di sini."
"Kau ada jalan keluar?"
Batalkan kontraknya. Jiro ingin mengatakan itu, sangat, tapi lidah dan mulutnya secara mutlak memastikan ia tidak akan mengatakannya. Jika ia memaksa, lidahnya akan robek dan itu terasa seperti dilumuri lava mendidih. Jadi ia menyarankan hal lain yang tidak dirinya sukai. "Lakukanlah dengan cepat untuk menyelesaikan ini. Jika diberi umur panjang, saranku kau gunakan itu untuk mengabadikan dirimu di gerejaㅡberdoa. Atau jadi biarawati? Kurasa Ia akan mengampunimu."
Kira tertawa sinis. "Tuhan sedang menertawakan rencana bertobat yang kau sarankan sekarang."
"Aku adalah makhluk yang ada di antara kebaikan dan keburukan." Jiro menjelaskan. "Setengah diriku tunduk pada-Nya. Setengahnya lagi tidak. Jadi aku tidak memiliki hak untuk mengaturmu. Saranku tadi hanya formalitas, lakukan apa yang kau sukai."
"Apa yang kau inginkan kalau begitu?" tanya Kira.
Jiro melihatnya sebentar sebelum ia mengalihkan matanya ke arah lain. "Yang sama denganmu. Aku menyesuaikannya."
"Cinta? Tidak. Aku tidak akan memberikan perasaanku padamu."
Itu terdengar menggelikan di telinga Jiro hingga ia reflek mengangkat kedua bahunya sepersekian detik. "Aku ulangi. Kita tidak akan berakhir saling mencintaiㅡkalau itu maksudmu. Kau sudah melihat wujud asliku, dan aku tidak tertarik dengan manusia. Aku tidak memiliki perasaan itu."
"Kau bisa menjaminnya?"
"Terakhir kali kau bertanya seperti itu kita berakhir bertemu kembali. Jadi, mari berjanji pada diri masing-masing saja," kata Jiro mengambil keputusan.
"Kau belum mengatakan satu hal penting." Kira merasakan kedua kakinya berhenti bergetar dan ia mulai mencari sepatunya yang ada di pinggir ranjang. Matanya masih melihat pria itu dengan setelan kunonya. "Makhluk apa yang menginginkan imbalan setimpal dengan apa yang dibutuhkan manusia?" Kira mengulang pertanyaannya. "Kau makhluk apa?"
Ketika wanita itu menyelesaikan ikatan di tali sepatunya, Jiro berkata dengan tenang. "Imp."
"Oh."
Pria itu mengangkat satu alisnya karena respon Kira terkesan biasa saja. "Oh? Kau tidak takut denganku?"
"Sejujurnya, aku baru pertama kali mendengar itu. Imp." Kira mengingat setiap bacaan atau pembicaraan temannya di klub astral mengenai itu. Ia yakin kalau makhluk itu tidak pernah disebutkan. "Kau spesies langka, ya? Produk lama."
Pria itu mendengus, kemudian memimpin jalan keluar untuknya. "Kumaafkan karena kau adalah rekanku sekarang."
"Kalau begituㅡrekan produk lamakuㅡjika kita melewati satu tahun tanpa hasil, buat aku lupa denganmu, buat semua orang yang pernah melihatku dengamu lupa. Oh, dengan urusan kaus kaki ini juga, sedari tadi aku menahan malu dengan ini."
Jiro membuka pintu belakang tokonya dengan kerutan dahi heran. "Aku agak terkejut dengan bagaimana responmu terlihat biasa saja setelah aku menjelaskan semuanya."
"Jadi kau mau aku berteriak dan mencakar wajahmu?"
"Itu agak berlebihan." Jiro tertawa. "Tapi aku merasa lega sebab kau terlihat dewasa untuk menyikapi ini. Satu tahunㅡya, tidak akan ada hal yang buruk selama kita menjalankannya dengan hati-hati."
Kira mengangguk. Ini mudah, pikirnya. Ia tidak tahu apa Jiro sedang menipunya atau tidak, tapi pria itu telah menunjukkan cukup bukti untuknya. Selama ia bisa menjaga rahasia yang ada di antara mereka, hal pertama yang bisa dipastikan adalah ia akan hidup. Lalu ia akan menjalani hidupnya lagi seperti biasa. Segala hal sial kedepannya yang dikatakan Jiro akan ditangani oleh pria itu, ya semuanya akan baik-baik saja. Sekali lagi Kira mengangguk dan tidak pernah membayangkan kalau ada hal lain yang lebih merepotkan atau berbahaya dari itu.
Ya, ia hanya belum tahu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top