M | 1 | The Day We Met
"Aku seperti pernah melihatmu."
Kira mencoba untuk tersenyum walau pada akhirnya terlihat dipaksakan. Yang benar saja, pikirnya. Baru hari ini ia bertemu dengan pria itu, dan kata-kata pertamanya sangat tidak masuk akal. Tapi dengan cepat Kira berpikir kalau itu adalah cara basa-basi yang sedikit aneh dari toko bernama Rocutlf tersebut.
Itu adalah toko antik yang menyediakan barang rumah dengan kualitas baik. Tapi yang membuat toko itu memiliki ulasan terbaik di website adalah, pelayanannya yang dikenal unik. Dari kabar beredar, Rocultf adalah saksi bisu selama Moskow sibuk berkembang dan bersaing bersama negara lain dari waktu ke waktu. Tentu saja Kira datang ke Rocutlf bukan tergiur dengan ulasan di internet, melainkan ia melihat harga yang cukup miring dan membandingkannya dengan IKEA. Kira tidak berpikir panjang untuk berkunjung ke sana dan segera mencari barang yang ia inginkan. Barang antik dengan harga murah, dan kualitas yang bagus. Persetan jika benda itu ada hantunya, aku lebih takut tidak punya uang!
"Mungkin kau bertemu dengan tujuh kembaranku," balasannya kemudian membuat pria itu tertawa sesaat.
"Jadi, ada sesuatu yang ingin kau cari di sini?"
"Ya." Mata hitam Kira berhenti pada tanda pengenal yang ada di dada kiri pria itu. Ia mengeja namanya di dalam hati. Jiro. "Aku menginginkan cermin untuk meja riasku, tapi tidak terlalu besar. Apa toko ini memilikinya?" tanyanya mengalihkan pandangan ketika pria itu tahu ia sedang melihat tanda pengenalnya.
"Kami hanya punya dua ukuran." Jiro keluar dari meja kasir yang menggunakan model bar, membiarkan Kira mengikutinya dari belakang. "Kami bisa mengatur pengirimannya ke tempatmu jika kau menginginkannya, kemudian untuk ...." Jiro belum selesai menjelaskan beberapa hal kepada Kira tapi wanita itu menganggukkan kepalanya, membuat Jiro berpikir kalau wanita itu akan mengambil salah satu cermin yang ada di depan mereka sekarang.
"Mana yang kau inginkan?"
Kira menunjuk cermin yang ada di tengah, tertindih di antara cermin lainnya. "Aku ingin melihat itu. Bisa kau keluarkan?" Beberapa detik ia tidak melihat ada tanda pergerakan dari Jiro untuknya, jadi ia mendekati pria itu. "Apa kau tidak melihatnya? Baiklah aku akan mengambilnya sendiri."
Tapi dengan cepat pria itu menghalangi pergerakannya. Ia mengerutkan dahi bingung.
"Itu tidak dijual karena sedikit berbahaya," kata pria itu padanya.
"Jika berbahaya, kenapa diletakkan di sana?"
"Kesalahanku yang kurang teliti memilah barangnya. Maafkan aku."
Jiro kemudian memimpin jalan untuk menaiki lantai dua menunjukkan pilihan cermin antik lebih banyak di sana. "Silakan dilihat dulu." Jiro membiarkan wanita itu melihat barangnya di sana sementara ia akan menyembunyikan cermin yang ditunjuk wanita itu sebelumnya. Ia harus segera menyembunyikannya dan memastikan tidak satu pun orang dapat melihat sesuatu di dalam cermin itu. Tapi Jiro tidak memperhatikan karpet yang ujungnya sedikit melengkung dan membuatnya tersandung. Detik berikutnya ia terjatuh bersama dengan cermin di tangannya.
Jiro membuang napas lega ketika menemukan cermin itu hanya memiliki sedikit retak di bagian pinggir. "Kau tidak apa-apa?" Kepalanya menengadah saat Kira datang dan mengulurkan satu tangan untuknya. "Aku baik-baik saja." Tapi ia memilih untuk berdiri sendiri dan bergegas untuk mengambil cermin itu kembali.
Paham ke mana arah mata pria itu, Kira bernisiatif untuk mengambil cermin yang jaraknya lebih dekat dengan dirinya. "Sebaiknya kau tidak menyentuh cermin itㅡ" Sebelum Kira dapat mendengarkan larangan dari Jiro, ia menemukan sesuatu yang menakutkan di dalam cermin. Kira terpaku beberapa saat ketika melihat sosok gelap di sana. Kemudian melihat Jiro dan tertawa. "Seingatku, halloween tidak dirayakan pada bulan Desember, betul?"
"Ya." Jiro mengambil cermin yang ada di tangan wanita itu dan melewatinya. "Ini hanya cermin semacam untuk melakukan prank," dustanya dengan ekspresi tenang. "Alasanku tidak bisa menjualnya karena hal itu."
"Tapi kurasa cermin ini sangat mahal jika kau jual."
Jiro menggosok bawah hidungnya dengan satu jari. Selagi wanita itu melihat barang-barang antiknya yang lain, ia membuat wanita itu terkejut dengan kata-katanya, "Kau melihatnya, 'kan?"
Wanita itu berbalik. "Ya? Oh, ya aku melihat sosok gelap di cermin. Kau bilang itu prank, betul? Kalau begitu bukan masalah yang serius."
"Kau bersikap seperti itu agar bisa keluar dari toko ini dengan selamat?"
Kali ini Kira menyipitkan kedua matanya. "Apa ini juga termasuk prank-nya? Kurasa aku mengerti kenapa toko ini mendapatkan ulasan bagus di internet."
Jiro terdiam sebentar. Berikutnya ia menarik satu ujung bibir untuk tersenyum. "Biasanya aku tidak pernah membiarkan seseorang menyentuh cerminku. Tapi melihatmu yang menipu diri sendiri sedikit menghibur." Mata abunya melihat jari-jari wanita itu memilih cermin yang membuatnya tertarik.
"Bagus. Pelayanan toko ini unik. Aku akan menulis ulasanku di sana." Kira membawa cermin berukuran sedang di atas meja kasir dengan tenang. Bentuknya lebih sederhana daripada yang lain, sehingga tidak terlalu mencolok untuk meja rias sederhananya. "Aku ambil yang ini."
Tapi Jiro masih memikirkan kejadian sebelumnya, merasa yakin kalau wanita itu takut pada apa yang baru saja terjadi. Di sela-sela ia menulis nota dan melakukan stempel basah, mata penuh selidiknya memperhatikan raut wajah pengunjung pertamanya pada pagi ini terlihat tidak terganggu. Walau ia hanya bisa melihat sedikit. Topi bisbol itu menghalangi pandangan Jiro padanya.
"Kalau kau masih terganggu dengan itu, aku akan menutup mulut soal ini. Kau bisa percaya padaku."
"Sebentar." Jiro menarik notanya sebelum wanita itu menerimanya. "Apa pemikiran kita sama?"
"Kau tidak ingin aku menulis ulasan kalau Rocultf memiliki permainan prank itu, betul? Sangat berbahaya untuk orang yang memiliki serangan jantung ketika melihatnya."
Ia masih mengelak. Jiro mengembuskan napas dan menyerah pada sanggahan wanita itu. Bukan itu maksudnya. Pemikiran keduanya sebenarnya sama persis. Hanya saja salah satu di antara mereka enggan menerima dan membiarkan itu mengambang pada langit-langit ruangan, tepat di bawah lampu kaca bercahaya kuning.
Bukan masalah prank pada cermin itu, melainkan sosok di dalamnya yang Jiro pikirkan.
"Tapi manusia adalah hal yang berubah. Pemikiran dan perasaan mereka cepat sekali berubah. Bagaimana bisa aku mempercayaimu?"
"Kau bilang kita pernah bertemu, bukan? Seharusnya kau ingat aku adalah orang yang seperti apa."
"Dan seharusnya kau tahu itu bukan hal yang serius."
Di sana Kira mengetuk satu jarinya di atas meja kasir. "Lalu kau mau aku bagaimana?"
"Beri aku jaminan kalau kau bisa menjaga rahasia."
"Kau bisa mengambil salah satu anggota tubuhku jika aku memberitahukan ini pada orang lain. Hanya itu yang bisa aku jaminkan padamu." Kira tidak serius pada kata-katanya, tapi pada akhirnya ia memutuskan untuk tidak menulis apapun di website nanti. Terlalu malas baginya.
Jiro terkekeh. "Agak berlebihan, tapi kalau begitu maumu baiklah." Ia kemudian mendekati pintu keluar dan membukanya. Membiarkan dirinya berdiri di depan pintu toko yang banyak dilewati orang. "Kau yakin akan membawa cermin itu sendirian?"
Kira mengangguk, melirik cermin yang telah ia beli. "Aku akan mencari taksi di ujung jalan ini." Sebelum ia benar-benar meninggalkan toko itu, sekali lagi ia memutar tubuhnya hanya untuk melihat Jiro masih berdiri di pintu dengan setelan kunonya. "Apa kita akan bertemu lagi?"
"Kau mengajak aku berkencan?"
Kira tersenyum heran. "Firasatku mengatakan kau tidak mempercayaiku." Tapi ia tidak mendapatkan jawaban dari pria itu, jadi untuk terakhir kalinya Kira meyakinkannya. "Aku akan menjaganya. Jadi mari lupakan kejadian ini."
"Ya, baiklah," dustanya dengan nada ramah. Mana mungkin ia membiarkan wanita itu pergi melenggang keluar dengan mudah dari tokonya. Ia akan memastikan selamaㅡmungkinㅡsatu minggu untuk melihat wanita itu menjaga rahasianya. Ia bisa saja membuat urusannya mudahㅡmisalnya memanipulasi ingatan wanita itu. Tapi rasanya itu terlalu berlebihan dan lagi terlalu membuang energi.
Tidak ada salahnya keluar melihat kota untuk satu minggu. Jiro meyakini diri sendiri ketika wanita itu sudah menyebrangi jalan. Ia kemudian melihat cermin miliknya tadi hanya untuk memperhatikan bagiannya yang retak. Matanya dengan teliti melihat ada sesuatu yang ganjil. Mengusap bagian retakan itu dan mengetahui ada jejak jari wanita itu yang tergores meninggalkan sedikit darah di sana.
"Sepertinya ini benar-benar nasib sialku."
Jiro tidak terkejut pada saat cermin itu pecah berkeping-keping dengan sendirinya. Ia hanya menekan pangkal hidung dan mendesah kasar. Astaga tidak lagi. Kembali ia menutup mata untuk meredakan emosi dengan dengusan tawanyaㅡmengolok nasib sialnya yang akan datang. Tapi suara telivisi klasik di sudut atas ruangan tidak membiarkan dirinya untuk berdiam diri terlalu lama. Sebab benda persegi itu menyiarkan berita langsung di pusat kota yang tengah dalam bahaya sekarang.
Dengan malas ia mengunci toko dan meletakkan papan bertuliskan tutup di sana. Jiro sekali lagi membuang napas dari mulut ketika matanya bergerak melihat banyaknya orang dengan mantel tebal. Gerutu samar dari mulut terdengar bersamaan dengan ia merenggangkan tubuhnya untuk mulai mencari wanita itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top