Morning Breeze - part 4

Dinasty

Aku keracunan..

Baru hari pertama dan aku di bombardir dengan serangan membabi buta dari dokter tebar pesona itu..

Dan gara-gara Fabian sialan, aku belum bisa tidur sampai lewat jam 12 malam ini. Ya, okaylah itu hanya pipi Dinasty, sekedar ciuman di pipi. Hendi juga sering kan cium pipi? Tapi Hendi kan beda, dia agak bengkok, nah kalau Fabian, semua orang juga bisa lihat kalau dia normal. Pria berwajah tampan, kulit putih bersih dengan tubuh tinggi tegap dan senyum kharismatik juga mata cokelat gelap yang di jamin bisa membuat setiap wanita jatuh dalam pesonanya.

Semua wanita. Kecuali aku.

Aku menggelengkan kepalaku beberapa kali dan menarik selimut sampai menutupi wajahku, berusaha menghapus adegan cium pipi tadi siang. Pada akhirnya aku menyerah dan memutuskan keluar dari kamarku menuju dapur untuk membuat susu cokelat hangat. Lampu ruang tengah sudah dimatikan hanya tinggal lampu dapur yang menyala. Sambil menggenggam mug berisi susu cokelat aku duduk di sofa dan menyalakan televisi.

Rumahku bukanlah rumah besar bertingkat dua dengan garasi yang mampu menampung lima mobil. Rumahku hanya rumah biasa, rumah sederhana dengan halaman depan yang cukup luas tempat mama menanam sejumlah pohon-pohon cangkokan seperti mangga, jambu, dan nangka. Di taman belakang ada ayunan untuk mainan Keenan, anak mbak Dayu. Terkadang aku tersenyum miris melihat bocah tampan itu, betapa dia merindukan ayahnya yang brengseknya bukan main.

Aku ingat saat suatu hari Mbak Dayu pulang ke rumah dengan wajah lebam dan mata bengkak sambil menggendong Keenan yang masih berusia dua tahun. Mama histeris, papa bingung dan aku ingin mengambil pisau untuk mencincang tubuh keparat pengecut yang memukuli kakakku. Kesabaranku habis saat kondisi mental mbak Dayu memburuk.

Bahkan aku nekat menemui Angga brengsek itu untuk meninju mukanya, dan yang kulihat kemudian membuat aku pulang dengan hati yang sesak. Laki-laki itu tengah bermesraan dengan wanita seksi yang membuatku ingin muntah melihatnya. Aku hanya tidak ingin mengotori tanganku dengan memukulnya, biarlah, biar Tuhan yang balas.

Aku menyipitkan mata saat lampu tiba-tiba menyala,

"Lho Asty belum tidur?" Mama dengan rambut acak-acakan dan muka bantal duduk di sampingku.

"Nggak bisa tidur ma.." Ujarku sambil bersandar di bahunya. Kami saling diam selama beberapa menit sambil menatap layar televisi yang sedang menyiarkan film warkop Dono, Kasino, Indro.

"Masih mikirin Dirga?" Tanya mama lembut.

Aku menggeleng sambil tersenyum hambar.

Mama mengusap rambutku perlahan, "Cari yang lain ajalah, Ty..dia juga mungkin sudah nikah, setahun nggak ada kabarnya."

Aku menarik nafas, "Belum ada juga, ma, yang lain."

"Yang lain nggak akan dateng kalau Asty tetep nutup pintu hati gitu. Coba mungkin si Hendi itu cocok sama kamu, apalagi kalian udah temenan lama kan.."

Seketika tawaku pecah, sementara mama menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Iya sih, aku ngerti banget maksud mama baik. Tapi Hendi, oh Tuhan, pria tomboy itu lebih seneng sama kaumnya dan belum berpindah aliran sampai saat ini. Dan kalaupun suatu hari dia berpindah aliran kembali normal, aku tetap meragukannya.

***

Setengah mati aku berusaha untuk tidak menenggelamkan kepalaku di meja dan tertidur sekitar 5 sampai 10 menit lagi. Aku mengantuk karena hanya tidur tiga jam sebelum alarmku yang berisik menjerit-jerit.

"Pagi Dinasty..cerah banget pagi ini." Aku menaikkan kepala dan menemukan Fabian sedang berdiri di depanku.

Wajahnya terlihat segar, rambutnya yang berpotongan pendek dan sedikit acak-acakan masih agak basah. Kemeja cokelat membungkus tubuh tegapnya dengan sempurna. Dunia tidak adil. Si tebar pesona ini pasti tidur nyenyak semalam, berkebalikan denganku.

"Jelas cerah..saya tidur nyenyak tadi malam." Ujarku datar sambil mengalihkan pandanganku ke arah layar komputer untuk mengecek daftar pasien.

Fabian memiringkan kepalanya, mata cokelat gelapnya masih menatapku, "Oh ya? Ah itu pasti karena ciuman di pipi kemarin kan? Saya tidak menyangka efeknya sedahsyat itu buat kamu.."

Dasar brengsek..

Aku melirik tajam padanya, ada senyum geli bermain di bibirnya. Fabian memasukkan kedua tangannya ke saku celana, "Panggil pasien pertama sepuluh menit lagi, Dinasty. Dan jangan lupa kopi saya pagi ini." Ujarnya santai sambil berjalan santai masuk ke ruangannya.

Aku memijat pelipisku, pening. Pening yang sebenarnya. Selain karena kurang tidur, belum sarapan juga karena kelakuan pria di dalam itu. Aku bangkit dan menuju pantry untuk membuat kopi. Kenapa sih dia nggak meminta Office Boy untuk membuatkannya?

Aku kembali lima menit kemudian dengan secangkir kopi di tanganku. Fabian sedang bicara di telepon dengan seseorang saat aku menaruh kopi di mejanya.

"Sandra, dia cuma flu paling. Sok sakit aja itu biar lo manjain.." Ujarnya sambil terkekeh. Tatapannya mengunciku.

"Yaudah bawa aja kesini besok.." Dia tertawa sekali lagi sebelum mematikan teleponnya dan kemudian bersandar di kursinya.

"Saya mau menemui Bu Ima dulu, mungkin siang ini ada asisten baru yang menggantikan saya." Ujarku cepat dan tanpa menunggu jawaban darinya, aku berjalan keluar dari ruangannya. Matanya berbahaya. Pria ini pasti sudah membuat hati puluhan wanita menggelepar di lantai.

Aku menitipkan mejaku kepada Arini, suster yang bertugas di ruangan sebelah. Dengan langkah terburu-buru aku menuju lantai tiga dan senyumku terkembang saat melihat Bu Ima sedang duduk sambil membaca koran di mejanya.

"Pagi bu.." ujarku dengan suara pelan.

Bu Ima menaikkan kepalanya sejenak kemudian kembali membaca koran di depannya.

"Ada apa Dinasty?" Ujarnya ketus.

"Saya mau minta tolong di rolling, Bu..kalau bisa biar suster lain yang jadi asisten dokter Fabian. Saya di pindah ke rawat inap juga tidak apa-apa, Bu.." Aku mendengar nada memohon dari suaraku.

Brak!  

Aku terlonjak dan meringis saat Bu Ima malah menggebrak mejanya. Matanya menatapku dengan tatapan 'kubunuh kau sekarang juga'.

"Kamu pikir ini rumah sakit bapakmu apa? Minta tuker ini itu. Kerja di rumah sakit bonafit macam ini susah, banyak yang siap gantikan kamu kalau kamu nggak bisa ikut peraturan yang saya buat!" Dia menatap galak ke arahku.

Okelah..aku menciut. Atasanku ini memang galaknya bukan main. Dan entah setan apa yang menyambitku sampai berani menghadapinya pagi-pagi begini.

"Tapi bu..Dokter Fabian sepertinya butuh asisten yang lebih senior. Yang lebih ahli." Aku masih mencoba.

Tolong aku, Tuhan. Tolong aku.

"Barusan Dokter Fabian telepon saya, katanya kinerja kamu luar biasa. Dia bilang sudah cocok, jadi kalau bisa jangan hanya tiga bulan, tapi selama dia bekerja disini, kamulah asistennya." Bu Ima menutup pembicaraan dengan senyum setan terukir di bibirnya.

Aku melongo..

"Sudah sekarang balik sana. Pasiennya pasti sudah mengantri.." Lanjutnya lagi tanpa melihatku.

Sambil menggumamkan permisi, aku berbalik dengan bahu terkulai. Oh ya sudahlah, aku memang sudah kalah telak.

***

Aku sudah berdiri sekitar setengah jam, sudah selesai merapihkan tempat periksa, mencuci tangan lalu mendengarkan keluhan seorang ibu yang sepertinya tidak ada habisnya.

"Terus dok, saya suka berdebar-debar deh dok kalau malem kenapa ya?" Ujar si ibu yang berobat dengan keluhan demam, tapi ke rumah sakit hanya pakai hotpants dan tanktop.

"Ibu habis olahraga malem mungkin.." Jawab Fabian santai sambil menulis sesuatu di file milik pasien.

"Iiiih dokter Fabian..olahraga malem apa coba, orang nggak ada lawannya." Ujar si ibu sambil terkekeh.

Oh astaga..si ibu bener-bener minta di guyur air es kepalanya.

"Bu, maaf kalau sudah selesai mari saya antar keluar, jam praktek dokter sudah habis." Ujarku datar. Ibu ini sudah setengah jam lebih berada di ruangan dan si tebar pesona terlalu baik untuk mengusirnya.

Ibu itu melirikku tajam, "Ck..suster , saya kan belum selesai.."

"Bu, keluhan ibu sudah di jawab dokter Fabian, ini sudah melewati jam prakteknya." Aku mulai tidak sabar.

"Tapi saya kan masih kangen ama dokter Fabian.." Ujarnya manja. Dokter fabian langsung mengangkat alisnya.

Aku mengepalkan tanganku, menahan setengah mati keinginan untuk mencakar muka si ibu dengan kuku-kuku tajamku.

"Bu, kalau ibu nggak mau keluar juga, terpaksa saya panggil security.." Ujarku tegas.

"Ibu Dewi, nanti kalau sakit ibu bisa datang kesini lagi. Ini resepnya.." Fabian berusaha menengahi dengan ramah meskipun wajahnya terlihat jengah. Dia menyerahkan selembar kertas resep kepada si ibu dan file kepadaku.

Ibu yang konon namanya Dewi ini menyerah dan berdiri dengan wajah cemberut, "Yaudah deh..boleh cium pipi nggak dok?"

Ya Tuhan..

Aku langsung memegang lengan ibu Dewi pelan dan menggiringnya keluar.

"Hih! Suster galak amat sih.." Ujarnya sambil berlalu di hadapanku.

Terserah bu, terserah ibu mau ngomong apa. Aku berbalik dan menemukan Fabian berdiri tepat di belakangku.

"Permisi, saya mau pulang.." Ujarku datar.

Dia terkekeh "Saya nggak nyangka, kamu bisa ngusir pasien begitu.."

Aku menghela nafas, "Dok, tegas dikit dong. Kalau memang udah nggak ada yang di konsultasikan suruh keluar aja.." Mau tidak mau, demi kesopanan, aku menatap ke manik matanya saat bicara.

Fabian mengangkat bahu, "Saya nggak tega. Apalagi perempuan.."  

"Ya tapi saya jadi telat pulang terus kalau gitu caranya.." Sahutku kesal sambil melirik jam di tangan kiriku.

"Saya mau kok nganter kamu pulang.." Ujarnya dengan wajah serius.

"Terima kasih, tapi saya bisa pulang sendiri. Sekarang tolong permisi.." Fabian terdiam sejenak sebelum menggeser tubuhnya, sehingga aku bisa lewat untuk mematikan komputer dan mengambil tasku, lalu berjalan meninggalkannya tanpa menoleh lagi.

-----------------------------------------

Hai,

 

Dinasty mah gitu, gak peka ama bang fabian :"D

Belum sodara sodara, ini belum waktunya jatuh cinta apalagi bergalau ria. Wkwkwkwk..

Trima kasih ya semuaa, saya terhura ternyata banyak yang voment untuk cerita ini :") i love you so much!

Mari vote dan comment lagi yaa untuk part ini, nti di kasih cipok atu-atu dari fabian. Ayo baris yang rapih :D

 

Love,

Vy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: