Morning Breeze - part 3

FABIAN

 
Kau menciumnya?

 
Dasar bodoh!

Dia bisa membencimu!

 

Peduli setan..toh sejak awal wanita itu tidak suka padaku.

Aku tersenyum sambil berjalan di koridor rumah sakit menuju coffeshop di lantai Ground. Senang? Tentu saja, bukankah tidak ada yang lebih menghibur daripada melihat wajah serba mungil itu melongo kebingungan. Apa dia tidak pernah di cium sebelumnya?

Bukan, aku bukan playboy jika itu yang kalian khawatirkan. Aku tidak seperti sahabatku Alaric yang dulunya selalu mengencani wanita seksi manapun yang bahkan baru di temuinya, atau Ribeldi yang terbiasa di gila-gilai wanita. Aku hanya pria biasa, suka wanita tentu saja, tapi tidak tertarik mempermainkan hati mereka. Aku terbiasa setia dengan satu wanita, dan tidak melirik kanan kiri ketika sudah berada dalam suatu hubungan. Dan saat ini dengan statusku yang single, -di luar dari kebiasaan mama menjodohkanku dengan anak temannya- , sah-sah saja kalau aku menggoda Dinasty, asisten baruku.

Aku memesan espresso dan memilih duduk di sofa dekat jendela. Memandang ke arah luar yang sepertinya akan turun hujan sambil menikmati waktu senggang yang belakangan sangat sulit kudapatkan. Baiklah, aku akui, jantungku pun masih berdebar tidak karuan karena perbuatan bodoh tadi. Sejujurnya sudah lama aku mencuri pandang pada wanita yang sekarang menjadi asistenku. Bahkan aku meminta langsung kepada bu Ima agar Dinasty yang menggantikan Fani, asisten lamaku yang cuti melahirkan.

Ya, katakan aku menyukainya, aku tidak menyangkal hal itu. Dia cantik, dan cuek. Dua paduan itu adalah favoritku dan sukses membuatku penasaran. Yang masih mengganjal hanya sikapnya yang seolah selalu menghindar dariku. Aneh bukan? Ketika pasien wanitaku rela mengantri berjam-jam hanya untuk sedikit konsultasi, Dinasty malah membuang mentah-mentah kesempatan itu. Bahkan sejak dia belum menjadi asistenku, mata bulat itu selalu mengalihkan pandangannya ketika bertemu denganku.

Tapi kenapa?

Apa yang salah?

Apa dia punya pacar?

Mengapa hal itu bisa kulupakan, mungkin saja dia memang sudah memiliki seseorang. Lagipula ini baru hari pertama dan aku sudah membuatnya ingin lari menjauh. Bodoh!

"Om Fabian!!" Suara bocah kecil perempuan mengejutkanku dan membuyarkan lamunanku. Aku langsung berdiri ketika tahu siapa yang memanggilku dan mengayunnya dalam pelukanku.

"Gayatri..ngapain di rumah sakit?" Ujarku sambil mencium pipi bocah berumur tiga tahun itu.

"Aya demam, om.." Jawabnya dengan muka memelas. Air matanya siap mengalir.

"Oo..sini om cium dulu biar demamnya hilang.." Aku mencium keningnya dan Aya tertawa cekikikan.

"Dasar nggak tahu malu. Ngerayu ama bocah tiga tahun.."

Aku tersenyum mendengar suara serak milik sahabatku.

"Daddy.." Aya langsung beralih dan minta gendong oleh Daddynya, Ribeldi.

"Aya sakit?" Tanyaku.

"Demam, Dara bilang sih nggak apa-apa, tapi gue takut,jadi gue bawa aja kesini.." Ujarnya sambil mengangkat bahu.

Ibel duduk di sofa kosong di hadapanku sambil memangku bocah kecilnya yang cantik.

"Tumben lo keluyuran, nggak ada pasien?"

Aku tertawa, "Harusnya hari ini ada seminar, tapi gue balik cepet. Nggak papa sekali-kali nyantai.."

Ibel mengangkat alisnya, "Jadi..nyokap lo ngejodohin ama siapa lagi sekarang?"

Sudah menjadi rahasia umum bahwa aku di perlakukan seperti bujang lapuk oleh mamaku, serasa mempunyai anak laki-laki umur 30 tahun dan belum menikah adalah aib bagi mama. Jadi, setiap ada kesempatan, wanita yang kusayangi itu selalu mengenalkan aku kepada anak-anak sahabatnya. Bahkan yang terakhir lebih mengerikan, Mama membawa seorang wanita yang di temuinya di mall ke rumah karena merasa si wanita yang entah siapa namanya akan serasi bila berpasangan denganku.

"Katrina..dokter disini juga. Gue rasa dia bisa kerja di rumah sakit ini juga karena campur tangan nyokap. Biar bisa deket ama gue." Ujarku malas.

Ibel mengerutkan keningnya, kemudian merubah posisi Gayatri agar bisa tertidur dalam pangkuannya, "Trus? Cantik kan? Seksi? Lo nggak mau juga?"

Aku mendecak kesal, "Ck..cantik seksi iya, kalo gue nggak cinta mau gimana."

"Sok idealis lo..ya di buat have fun lah, Bi. Masa udah 30 tahun lo masih perjaka aja." Ujarnya sambil tertawa.

Gayatri tampak mulai tertidur dalam pangkuan ibel.

"Tahu dari mana lo, Emang kalo gue ml harus lapor.." Sahutku mulai kesal dengan percakapan ini.

Ibel tertawa puas, "Yaelaah Bi..semua juga tahu kalau lo pacaran paling jauh juga cuma kissing."

"Kalau orang baik nggak usah di racunin gitu deh, bel. Emang semua cowok kayak kamu, tidur sana sini ama cewek.." Suara seorang wanita dari belakangku membuatku tersenyum. Andara, istri sekaligus pawangnya Ribeldi. Aku mengamati perubahan wajah ibel saat mendengar kata-kata istrinya.

"Fabian..." Dara menyapaku sambil tersenyum. Dia terlihat cantik seperti biasanya. Sementara ibel langsung terdiam ketika sang istri mulai melotot padanya.

"Ayo pulang, Aya udah bobo tuh. Kasian juga Reitama di rumah mama, pasti udah nyariin aku dari tadi." Ujar Dara sambil menyebut nama putra kedua mereka.

"Bi, gue duluan.." Ibel menepuk punggungku dan berbisik, "Udah, oke-in aja si Katrina. Lumayan buat pemula kayak lo." Ujarnya sambil terbahak dan berbuah cubitan dari Andara di pinggangnya.

"Jadi orang, mesum banget pikirannya. Orang lurus kok mau di belok-belokin. Bian nggak usah denger omongannya ibel!" Sahut Dara kesal kemudian mereka berlalu dari hadapanku.

Sementara aku, ya aku dari dulu hanya bisa tertawa geli melihat sepasang suami istri yang selalu bertingkah laku seperti kucing dan anjing itu.

***

Aku kembali ke ruangan satu jam kemudian dan menemukan Dinasty duduk di mejanya dengan cemberut.

"Ada pasien?" Tanyaku saat melewati mejanya.

"Nggak ada.." Ujarnya dengan suara di tekan. Tawaku hampir pecah saat melihat bibir tipisnya mengerucut karena kesal.

Aku masuk ke ruanganku dan entah kenapa tidak terkejut melihat dia mengikuti di belakangku.

"Apa maksudnya ciuman tadi?!" Suara itu keluar dari mulutnya bahkan sebelum aku duduk di kursiku dengan sempurna.

"Nggak ada maksud apa-apa.." Ujarku memasang wajah tidak berdosa.

Dia maju, dan mata bulatnya menatapku dengan berani. "Jangan pikir saya seperti pasien-pasien kamu ya, dok! Main cium-cium aja. Saya bukan cewek murahan!"

Okay..wanita ini lucu sekali. Hidungnya yang mancung kembang kempis, bibir tipisnya mengerucut, mata bulatnya melotot dan rambut ikalnya terlihat acak-acakan, berani taruhan selama sejam kutinggal ke coffeshop, wanita ini pasti uring-uringan.

"Saya nggak pernah nyium pasien saya.." Ujarku dengan wajah innocent lagi. "Dan seingat saya, saya tidak pernah menganggap kamu wanita murahan.."

"Tapi kamu cium saya!!" Bentaknya lagi.

"Dinasty.." Ujarku tenang, "Itu hanya ciuman di pipi. Ciuman biasa. Mungkin kamu yang menganggap itu hal yang luar biasa, sampai marah-marah seperti ini.."

"Bukan begitu..." wajahnya mulai berubah meskipun masih terlihat marah. Dia mulai kehilangan kata-kata.

"Mungkin kamu belum pernah di cium sebelumnya?" Tanyaku sambil menatap geli padanya.

"Itu bukan urusan kamu!! Dan satu lagi, saya mau lapor ke bu Ima. Biar suster lain saja yang menjadi asisten kamu!" Ujarnya sambil menghentakkan kaki dan keluar dari ruanganku.

Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan tawaku. Dia pikir, bu Ima yang terkenal galak itu mau memenuhi permintaannya. Tawaku terhenti karena ringtone ponselku berbunyi. Panggilan dari mama.

"Ya ma.." Jawabku.

"Bian..gimana Katrina?" mama menyapaku dengan suara cerianya.

Mulai lagi..

"Ya nggak gimana-gimana ma, biasa aja.."

"Gimana kalau pertunangan kalian di percepat?"

"Ma, aku nggak pernah setuju di jodoh-jodohin ama perempuan pilihan mama. Apalagi bicara tunangan.." Sahutku kesal.

Mama tertawa, "Cari pacar dong kalau gitu..coba lihat Alaric, ibel, Harsya udah pada nikah. Masak kamu yang ganteng gitu nggak laku-laku."

"Bukan nggak laku ma, cuma sekedar nggak ada yang mau.." Ujarku malas.

Mama tertawa lagi, "Sama aja dong nak, yasudahlah. Padahal katrina ini oke lho, seksi lagi. Mama kan hanya membuka jalan, kalau Bian nggak mau, mama nggak bisa maksa. Tapi mama pengen punya cucu.."

"Kalau mama pengen cucu, nanti aku bikinin. Tapi nggak usah pakai nikah ya?" Ancamku.

"Eh jangan dong..maksud mama, mama pengen punya mantu juga biar anak mama yang udah 30 tahun ini ada yang ngurus." Mama terkikik lagi.

"Ck mama..udah ah, aku lagi praktek ni."

Setelah menyudahi sambungan telepon dari mama, aku mengangkat telepon dan menekan nomor yang terhubung dengan milik Dinasty di depan.

"Ya!" Bentaknya.

"Dinasty, saya pengen kue apem, tolong beliin ya.." Ujarku tegas. Terdengar geraman dari ujung telepon dan sambungan telepon langsung kumatikan.

Aku tertawa lagi..

Sebenarnya aku tidak terlalu menginginkan kue favoritku itu, tapi melihatnya kesal merupakan hobi baruku mulai hari ini.

---------------------------------

Hai,

 

Huaaa, saya berasanya udah nulis banyak jadinya cuma seiprit. Yasudahlah, di nikmati saja abang fabiannya :D doakan saya biar sedikit-sedikit tapi sering apdet :))

 

Boleh dong minta vote dan komennya..biar saya semangat ni nulis lanjutannya, kalo yg voment sedikit saya jadi males-malesan :D

 

Buat yang setia nungguin, memuja abang bian, vote dan komen..trimikisii banyaaaak. I love you so much!! *di cipok fabian atu-atu*

 

Love

Vy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: