MtW 50 - too much

Tap votesnya dulu boleh??? 🌟

Enjoy

.
.
.

♏♏♏

Hari baru yang kini kujalani dengan kembali ke tanah kelahiranku. Tempatku dibesarkan dengan kasih sayang kedua orang tua, di kota istimewa, Jogjakarta. Tentu banyak pertanyaan yang muncul ketika kedatanganku yang terkesan tiba tiba, terutama saat mengatakan bahwa sebelumnya sudah resign dari kantor tempatku bekerja di Surabaya hingga menjadi manager kafe selama dua bulan yang tidak diketahui keluarga.

Salah satu orang yang selalu menjadi support systemku adalah Ayah, beliau selalu demokratis tanpa menjudge apapun yang menjadi pilihan anak anaknya selama itu positif. Beda lagi dengan Ibu yang menanyakan secara rinci perihal penyebab resignku hingg pindah kota tanpa memberi tahu kepada mereka, Ibu Ibu memang seperti itu.

Dan perihal resign dan kepulanganku kali ini off the record dari Mas Tama.

"Mbak, sarapan dulu yuk. Udah dipanggil ibu dari tadi" ajak Nabila adikku sedang berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka.

"Bentar bil, Mbak mau kirim email dulu" ujarku yang masih berhadapan dengan laptop untuk menyelesaikan slip gaji yang harus segera kukirimkan kepada Mas Alkha.

"Yaudah aku ke bawah dulu, jangan lama lama tapi... kalau Ibu sampai kesel nungguin mbak gak turun bisa bisa Ibu sendiri yang keatas, aku gak ikutan" ujar Nabila memperingatkanku.

"Iya iya... dikit lagi beres" jawabku memastikan.

Setelah email terkirim kemudian menutup laptop dan segera turun untuk sarapan bersama. Rutinitas dua hari ini setelah kembali ke Jogja dan berkumpul bersama keluargaku, sejak bangun tidur hingga tidur lagi.

"Ada pesanan lagi bu?" Tanyaku saat melihat Ibu menyiapkan beberapa bahan di dapur.

"Iya Nad, nanti minta tolong bantuin Ibu" ujar Ibu sambil meletakkan bahan bahan kemudian kami berempat duduk di meja makan untuk sarapan bersama.

"Udah ada mbak Nadia jadi gak perlu minta bantuanku ya Bu?" Kata Nabila disela sela ia menyuapkan sarapannya.

"Katanya kamu mau bimbingan skripsi?" Ujar Ibuku sambil menyiapkan sarapan untuk Ayah.

Kedua orang tuaku selalu manis dengan perhatian perhatian kecilnya.

"Udah skripsi kamu bil?" Tanyaku kepada Nabila.

"Baru tahap pengajuan judul kok mbak, kalau acc nanti lanjut ngerjain bab satu" jawabnya menjelaskan.

"Ohh... udah dapat judul memang?" Tanyaku penasaran.

"Ada beberapa, semoga nanti di acc salah satu. Bisa pusing aku kalau diminta nyari judul lagi" ujar Nabila yang membuatku terkekeh.

"Lanjut terus, tahun ini harus beres itu skripsinya" ucapku memberikan semangat kepada adikku satu satunya.

"Siap deh. Mumpung ada mbak Nadia, boleh dong nanti bantuin aku" katanya sambil mengedipkan matanya kepadaku.

Semua mahasiswa pasti akan tiba dimana harus melalui tugas akhir sebagai syarat mutlak memperoleh gelar strata satu. Bagaimana memperjuangkan judul agar disetujui kedua dosen pembimbing, belum lagi jika ada salah satu dosen yang tidak kooperatif atau terkesan mempersulit proses mengerjakan skripsi. Time flies, aku sudah melewati itu semua dengan penuh perjuangan yang tidak mudah. Aku tersenyum mengingat hal yang sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.

"Bantuin apa sih? Orang jurusan kamu sama mbakmu beda kok" kali ini Ibu yang angkat bicara.

"Pasti ada aja Bu..." jawab Nabila kekeh.

"Sudah, sarapan dihabiskan dulu. Ngobrolnya dilanjutkan setelah sarapan selesai" tegur Ayah memotong pembicraan kami.

Akhirnya kami bertiga sama sama diam dan melanjutkan sarapan masing masing. Ayah juga sekaligus menjadi satu satunya laki laki di rumah ini kerap kali menegur kami bertiga yang kadang suka berbicara tanpa kontrol, terutama aku dan Nabila yang lumayan sering berdebat dalam hal apapun. Bukan jenis perdebatan yang ekstrim, cuma kami sering membicarakan suatu hal dengan mengutarakan sudut pandang masing masing.

***

Keesokan harinya,

"Pagi buk" sapaku kepada Ibu yang sedang memasukkan adonan pisang kedalam penggorengan.

"Pagi juga, kamu sarapan sendiri aja ya. Tadi ayah sama Ibu udah sarapan" jawab Ibu.

"Nabil mana?" Tanyaku mencari keberadaan adikku.

"Udah berangkat jam setengah tujuh tadi, ada janjian sama dosen jam tujuh katanya" jawab Ibu dan kujawab berohria.

"Itu Ayah lagi ada tamu?" Tanyaku saat mendengar ada suara samar samar dari ruang tamu.

"Iya" jawab Ibu singkat.

"Pagi amat tamunya Ayah" ujarku sambil mendekat kearah meja makan yang terdapat satu piring berisi pisang goreng yang terlihat sangat menggiurkan untuk dicicipi.

"Pagi versi kamu, ini udah mau jam delapan" tegur Ibu mengingatkan.

Aku terkekeh menanggapinya,

"Eh, jangan ambil yang dipiring. Nunggu yang masih digoreng aja bentar lagi matang" tegur Ibu saat melihatku mengambil satu pisang goreng di depanku.

"Ih, pelit amat Ibu. Banyak lho ini" kataku sambil meletakkannya kembali.

"Mau disuguhkan sama tamu di depan itu lho mbak" ujar Ibu yang tetap menolak.

"Satu aja bu..." ujarku merengek yang dibuat buat agar diperbolehkan.

"Gak boleh, nungguin yang dipenggorengan aja" tolak Ibu dengan tegas.

Kalau nada suara Ibu sudah mulai tidak bersahabat begini lebih baik mengalah saja.

"Siapa sih tamunya Ayah?" Tanyaku menghampiri Ibu yang membalikkan adonan.

"Gak tau, yang buka pintu tadi ayah sendiri terus ngobrol di depan. Ini Ibu bisa minta tolong bawain ke depan suguhannya Nad" Pinta Ibu sambil mengangsurkan nampan berisi satu piring pisang goreng dengan dua mug berisi teh manis hangat.

"Bukannya Nadia gak mau ya Bu, ini masih kucel gini apa gak malu maluin ketemu tamunya ayah" kataku mencari alasan untuk menolak permintaan Ibuku.

Yang benar saja, muka bantal dengan baju kucel begini mau mengantarkan suguhan untuk tamunya Ayah.

"Iya juga sih, kamu memang kalau gak kerja anti banget kena air apalagi pas berhalangan gini" ujar Ibuku sambil menyerahkan spatula agar aku melanjutkan kegiatan menggoreng.

"Nadia bukan anti air Bu, tadi udah cuci muka sebelum kebawah" ujarku meralat perkataan Ibu.

"Kalau gorengannya udah mateng disisihkan, kamu sarapan dulu Nad" kata Ibu memberikan instruksi.

"Iya bu..." jawabku menurutinya.

Hampir lima belas menit berlalu hingga sarapanku hampir selesai, namun Ibu masih belum kembali dari ruang tamu. Ada rasa penasaran tentang siapa tamu Ayah pagi ini hingga Ibu belum juga kembali, sayup sayup terdengar meraka mengobrol cukup akrab.

"Nad nad..." suara Ibuku yang datang tiba tiba mengagetkanku.

"Ada apa bu?" Tanyaku heran saat melihat Ibu yang tersenyum begini.

"Ini kamu udah selesai sarapan belum sih?" Tanya Ibu balik,

"Tinggal dua suap lagi, ada apa sih bu? Itu tadi kenapa lama banget ke depan ngantar suguhan buat tamu?" Tanyaku penasaran.

"Tamunya Ayah kamu cakep banget, mana tadi sopan gitu ngajak kenalan Ibu" jelas Ibu dengan berbinar.

"Idih, genit amat. Ingat bu, ada Ayah tuh" ingatku kepada Ibu yang jadi genit begini.

"Ibu kan cuma sekedar bilang cakep aja" bela Ibu.

"Siapa sih?" Tanyaku kembali diselimuti penasaran.

"Aduh, Ibu lupa lagi namanya tadi siapa" kata Ibu sambil mencoba mengingat.

Aku menggeleng melihat Ibu yang begitu antusias dengan tamu Ayah hingga mengajak berkenalan tapi ujungnya lupa siapa nama yang sejak tadi dibilang cakep olehnya.

Secakep apasih? Kok aku makin penasaran.

"Eh, kamu udahan sarapannya gih, disuruh Ayah pakai baju yang rapi terus kedepan sana" ujar Ibu menyampaikan permintaan Ayah.

"Kan masih ada tamu" kataku.

"Iya mana ibu tau, kali aja tamunya mau dikenalin sama kamu" ujar Ibu yang kembali antusias.

"Ihh, Ibu kok gitu. Kan kemarin Nadia udah bilang lagi deket sama seseorang, gak perlu ada acara kenal kenalan" kataku kesal melihat tanggapan dari Ibu.

Semalam aku memang sudah menyampaikan bahwa kali ini sedang dekat dengan seseorang kepada Ayah dan Ibu. Namun obrolan kemarin belum menjelaskan secara detail, hanya sekilas memberitahukan namanya saja.

"Iya sekedar kenalan kan gak apa apa Nad, udah sana buruan mandi" titah Ibuku.

"Tadi bilangnya pakai baju rapi aja" kataku mengingatkan.

"Maksud kamu mau ganti baju gak pakai mandi gitu? Duh, ibu gak pernah ngajarin kamu jorok dalam berpenampilan ya Nadia" ujara Ibu kembali dengan nada tegasnya.

"Iya bu, yaudah Nadia keatas dulu" pamitku kemudian segera menuju tangga dan melakukan apa yang Ibu minta, jika saja masih membantah bisa makin panjang urusannya.

Hampir lima belas menit kuhabiskan untuk mandi kilat, berganti pakaian yang rapi juga memoles cussion tipis di wajah dan lip balm serta mengikat rambutku yang panjang karena tadi tidak sempat untuk keramas yang akan menambah lama pekerjaanku dengan mengeringkan rambutku yang panjang ini. Bisa bisa Ibu akan menjemputku ke kamar karena terlalu lama tidak segera turun ke bawah.

"Nad, ya ampun lama banget kamu" kata Ibu saat melihatku baru turun dari lantai dua.

Kali ini aku memakai blouse warna cokelat dengan celana bahan berwarna mocca.

"Sesuai perintah kan mandi dulu" jawabku sambil mengingatkan Ibu tentang permintaannya agar mandi dan berpenampilan rapi.

"Kamu ini, udah sana, kasihan yang didepan nungguin kamu lama banget. Ayah tadi juga sampai kesini nanyain kamu" titah Ibu.

Tanpa menanggapi Ibuk kemudian segera menuju ke ruang tamu.

"Ada apa A-yah--- Mas?" Sapaku yang terhenti saat melihat sosok laki laki yang duduk disalah satu kursi dengan senyum saat melihat ekspresi kagetku.

.
.
.

To be continued

♏♏♏

Jangan lupa follow aku diakun sosmed yang lain yaaa...

WP, Ig, Dreame : Ayaya2211

Terimakasih.

Ayaya 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top