MtW 45 - Alone

Tap votesnya dulu boleh??? 🌟

Enjoy

.
.
.

♏♏♏

Sinar mentari seakan enggan muncul ketika awan mendung mendominasi langit dipagi ini. Suasana dingin menyeruak begitu jendela kamar kubiarkan terbuka agar sirkulasi udara dapat masuk dan terasa menyegarkan, hingga bau khas petrichor tercium tidak lama setelah rintikan air hujan mulai turun dan semakin deras.

Hari berganti hari seakan menjadi lebih panjang dari biasanya. Selama itu juga kelebatan semua hal yang terjadi belakangan ini kembali hadir dalam benakku, bayangan Gilang Adhitama masih saja mengingatkan dimanapun aku berada. Dan akhirnya keputusan final yang aku ambil ternyata membuat bagian dari lubuk hatiku kini sedang tidak baik baik saja. Bagaimana bisa kali ini merasakan kembali sakitnya merelakan orang yang kucintai meski dalam konteks yang berbeda.

Hampir satu bulan sejak hari dimana aku berpisah dengan Mas Tama. Satu bulan yang menyiksa dengan menyibukkan diri untuk bekerja ditempat dan suasana yang baru, meski urung bayangan itu datang ketika dalam keadaan sendiri seperti saat ini.

Saat ini aku berada di pesisir kota Lamongan, tempat yang sama saat kunjunganku dengan Mas Tama menghabiskan waktu bersama sebelum aku pergi meninggalkannya. Sebenarnya tempat ini bukan opsi pertamaku saat meniggalkan Surabaya, satu bulan yang lalu tujuan pertamaku adalah kota Batu yang dapat ditempuh perjalanan selama dua jam dari Surabaya. Selama satu minggu disana belum menemukan satu tempat kerja yang sesuai dengan passionku, hingga minggu kedua mendapatkan kabar baik dari Andin-teman satu kos Wilda ketika kuliah yang berasal dari kota yang sudah tiga minggu ini kutempati.

Tinggal disebuah kos yang terletak disamping tempat wisata yang memiliki kenanganku dengan Mas Tama juga tidak jauh dari tempatku bekerja saat ini. Di tempat kerja yang baru dipercaya menjadi bagian manajemen keuangan di salah satu kafe modern klasik dengan menu utama kopi yang dikemas lebih berkelas.

Beragam kafe berjamur disini, hingga owner harus memutar otak untuk menjadikan kafenya lebih up to date baik dari segi kelola tata ruang yang harus instagramable juga menu yang menarik pengunjung.

Jam menunjukkan pukul dua belas siang dimana jam kerjaku tinggal dua jam lagi akan mulai. Aku bersiap dengan perlengkapan kerjaku seperti seragam kerja lengkap dengan sepatu hitam dengan hak yang tidak terlampau tinggi serta perlengkapan wajib yang kumasukkan kedalam pouch untuk dimasukkan kedalam sling bag. Disana memang diwajibkan untuk berpenampilan rapi dimanapun posisi kerjanya.

Jam dua kurang lima belas menit, ketukan pintu kamar kosku terdengar nyaring kemudian tidak lama pintuku terbuka.

"udah siap mbak?" tanya Ike, anak perantauan yang baru dua tahun tamat SMA juga menjadi tetangga kamar kos dan kami bekerja disatu tempat yang sama, ia menjadi bagian kasir yang juga mempunyai akses tepat dibawah naunganku.

"udah kok. Yuk berangkat" ajakku kemudian kami berjalan menuju lantai satu umtuk mengambil sepeda motor milik Ike yang berada di garasi yang dikhususkan kepada penghuni kosan.

***

Kafe bernuansa klasik modern dengan didominasi warna hitam dan putih dengan penerangan warm white juga penataan ruangan yang terasa homey. Ruanganku berada disudut kafe bersebelahan dengan dapur utama, ruangan dengan luas 3 x 3 meter dengan perabotan yang tidak terlalu banyak, satu set meja kerja dengan sebuah lemari besi satu pintu yang terdapat brankas didalamnya. Meletakkan sling bag ku disalah satu sudut meja kemudian menyalakan laptop yang baru saja kuambil dari brankas.

Hampir satu bulan disini dan kali ini pekerjaanku cukup sibuk mendekati akhir bulan. Tugas untuk merekap gaji karyawan mulai menanti untuk segera dientry yang dilihat dari absensi juga kinerja yang turut menjadi bahan pertimbangan. Setelah hasil absen finger print keluar kemudian mulai mengkalkulasinya.

Kafe ini dipegang oleh ownernya sendiri yaitu Mas Alkha, lelaki berusia tiga puluhan yang mempunyai usaha sampingan yakni Vienna Caffe and Gallery yang menjadi tempatku bekarja saat ini. Ia seorang pekerja kantoran di pusat kota dan kafe ini menjadi salah satu bagian dari investasinya, kira kira begitu yang ia katakan saat kami beberapa kali mengobrol santai.

"Nad, saya mau ngobrol sebentar bisa?" tanya Mas Alkha yang sedang berdiri ditengah pintu.

"Bisa Mas, silakan masuk" ucapku sambil berdiri dan mempersilakannya masuk.

"Kamu duduk aja, saya gak lama kok" tolaknya ketika aku memberikan tempat dudukku.

Sebenarnya ruangan ini adalah milik Mas Alkha, sedangkan mejaku terletak bersebelahan dengan kasir. Karena Bosku yang terlampau baik hati ia memberikan ruangannya untuk kutempati agar aku bisa bekerja dengan nyaman ketika sedang mengentry data. Perlu diketahui juga jika Mas Alkha mengunjungi kafenya hanya ketika weekend saat ia libur bekerja atau jika dalam situasi yang urgen.

"Kamu sudah tau kalau akhir bulan ini ada yang mau resign?" tanya Mas Alkha yang sedang duduk di depanku yang terpisah oleh meja kerja.

"Iya Mas, mbak Aini kepala koki sudah bilang sama saya" jawabku menggerti.

"Untuk penggantinya gimana?" tanya Mas Alkha kembali.

"Sudah dikonfirmasi. Akhir bulan pegawai baru sudah masuk untuk perkenalan dan awal bulannya sudah siap kerja" jelasku kepadanya.

"Oke, kamu memang selalu bisa diandalkan" katanya memuji yang membuat lengkungan senyum dibibirku.

"Terimakasih Mas" ujarku.

"Ohya, sebulan ini kamu gak mengajukan libur sama sekali?" tanya Mas Alkha tiba tiba.

Memang benar, satu bulan ini kuhabiskan untuk menyibukkan diri hingga tidak pernah mengambil jatah cuti satu hari selama dua minggu bekerja.

"Belum pengen aja, mungkin bulan depan atau bulan depannya lagi" jawabku sambil terkekeh.

"Yaudah, saya balik dulu. Kalau ada apa apa nanti bisa kabarin saya segera" katanya sambil beranjak dari kursinya.

"Siap Mas" jawabku mantap.

Setelah Mas Alkha undur diri kembali menatap layar laptop untuk melanjutkan entry data yang sempat tertunda. Hal yang paling tidak menyenangkan saat ini yaitu ketika memberikan penilaianku terhadap kinerja karyawan yang harus sesubjektif mungkin. Merasa tidak enak saja jika ada yang keberatan dan mengira aku berat sebelah, semoga tidak akan terjadi hal semacam itu nantinya.

Ponselku berdering panggilan masuk oleh satu nama yang membuatku tersenyum melihatnya.

"Iya ndin?" Sapaku kepada sang penelepon juga teman yang sudah membantuku sejauh ini.

"Mbak, udah tau belum kalau mbak Wilda sudah lahiran?" Tanya Andin to the poin ketika aku baru saja menyapanya.

"Ohya? Tau dari mana kamu?" Kataku sedikit kaget.

"Dari story instagramnya mbak Wilda, lucu amat itu bayi" jelas Andin antusias.

Terlahir dari pasangan orang tua yang cantik dan ganteng bisa dilihat sendiri hasilnya kan?

"Kirim gambar dong Ndin" pintaku kepadanya.

"Makanya punya instagram itu dibuka jangan dianggurin. Followers hampir lima ribu kan lumayan buat endorse" bukan menjawab permintaanku malah mengungkit akun social mediaku yang vakum selama satu bulan ini.

"Ini bocah malah ngebahas itu lagi"

Andin terkekeh hingga membuatku mendecak sebal.

"kalau sekedar ngabarin mbak Wilda aja kan gak apa apa" kata Andin tiba tiba.

"Ndin, jangan mulai deh. Kita udah pernah bahas ini kalau kamu lupa" ingatkanku pada Andin.

"Tapi ini beda mbak, kita punya ponakan baru masa mbak Nadia sebatas ngucapin aja enggak?" Ujar Andin yang membuat sisi rasa bersalahku muncul.

Walau bagaimanapun Wilda dan Pak Satya pernah membantuku dimasa masa yang sulit, hingga kini saja sejumlah uang untuk menggantikan pengobatanku dahulu masih enggan diterimanya. Wilda kompak bersama suaminya menolak keras ketika aku mengungkit hal itu, padahal jumlahnya cukup lumayan untuk tindakan operasi peserta perawatannya.

"Nanti aku pasti kabarin Wilda" kataku.

"Kelamaan mikirnya. Aku nelpon mbak Nadia itu buat ngajak jenguk bareng bareng bayinya mbak Wilda sama Pak Satya, ihh gak peka amat" cibir Andin.

Kenapa harus muter muter obrolannya jika memang niat awalnya pengen ngajak jenguk, emang dasar Andin si dokter suka gak konsisten sama omongannya.

"Iya iya, nanti ya... jangan sekarang" kataku final.

Bersyukur Andin segera mengiyakan permintaanku. Bukannya aku tidak ingin menjenguk keponakanku juga Wilda, aku sangat ingin sekali. Wilda yang periang dan selalu heboh pasti akan bercerita banyak tentang proses melahirkan anaknya, belum lagi petuah petuah sok bijaknya yang selalu menasehatiku dalam segala hal. Mimikirkan ini saja sudh membuatku ingin segera kesana untuk menghambur memeluknya dan mengucapkan selamat, tapi sisi hatiku yang terdalam aku belum siap untuk kembali ke Surabaya.

***

Vienna caffe memiliki waktu buka selama delapan jam, dari jam dua siang hingga sepuluh malam. Karena malam ini bukan weekend atau hari libur ketika jam menunjukkan pukul sembilan malam pengunjung mulai meninggalkan kafe dan itu berarti jam pulangku bisa semakin cepat.

Jam setengah sepuluh pengunjung benar benar sudah habis dan kelompok pramusaji yang terdiri dari lima orang laki laki segera merapikan kursi yang berada di luar ruangan dan membersihkan kafe ini.

"Tadi ada Mas Alkha ya mbak?" Tanya Ike saat menyetorkan sejumlah uang dan rekapan bill.

"Iya, sebentar aja tadi. Kenapa?" tanyaku balik melihat ada maksud lain dari pertanyaannya.

"Gak apa apa, cuma tanya aja" sanggahnya semakin mencurigakan.

"Pertanyaan kamu jadi ambigu gitu Ke" kataku.

"Seneng aja punya Bos kayak Mas Alkha. Udah ganteng, orangnya baik, mapan, sopan. Cuma kurang lengkap sama status doi" jelasnya kemudian.

"iya kan semua gak ada yang sempurna Ke?" ujarku tidak setuju dengan penyebutannya tentang status sosial seseorang.

"tau mbak, sayang aja. Eh, kalau orang baru lihat dikira Mas Alkha masih anak muda itu" kata Ike membuat kesimpulan.

"ke, mulai deh ghibahin bos sendiri" ujarku memperingatkannya.

"tapi mbak setuju kan sama yang aku bilang tadi?" tanya Ike meminta pendapatku.

"tau ah, yuk pulang" tidak menjawab jenis pertanyaan Ike karena tidak akan berakhir rasa kekepoannya.

Setelah menyelesaikan pekerjaan untuk hari ini kemudian kami membereskan tas masing masing untuk bersiap kembali ke kosan.

Mataku menatap langit malam yang begitu pekat ketika menunggu Ike mengambil sepada motornya di parkiran karyawan. Malam ini tidak ada satupun bintang yang berkelip menunjukkan sinarnya, kenapa rasanya juga sama dengan kondisiku saat ini ya? Gelap tanpa arah yang jelas.

Kembali menghirup udara lekat lekat untuk mengisi rongga dada yang tiba tiba sesak sebelum kemudian menghembuskan nafas bersamaan dari arah mulut dengan harapan agar dapat sedikit mengurangi sesak didada.

Ya, seperti malam malam yang lain. Kali ini pun terbesit wajahnya muncul dalam benakku. Bagaimana bisa antara hati dan fikiranku kembali tidak sinkron untuk mencoba mulai melupakannya. Sepertinya aku harus berjuang lebih keras lagi.

.
.
.

To be continued

♏️♏️♏️

Jangan lupa follow aku diakun sosmed yang lain yaaa...

WP, Ig, Dreame : Ayaya2211

Terimakasih.

Ayaya 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top